Senin, 22 Desember 2008

Menulis, Terapi yang Menyembuhkan

Oleh Munawir Aziz
peneliti di Cepdes Jakarta

Menulis
pada hakikatnya merupakan aktivitas yang menggerakkan energi imajinatif nan mencerahkan. Akitivitas menulis tak hanya membuat sehat fisik dan mengukuhkan kekuatan jasmaniah, tetapi juga mencemerlangkan kehidupan. Menulis juga menjadi kekuatan untuk bertahan dari gempuran penyakit yang telah berakar dalam tubuh. Maka, dapat kita lacak dalam lanskap aras dunia kepenulisan termaktub nama-nama penulis yang berkarib dengan penyakit, namun tetap bugar.

Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.

Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.

Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.

Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.

Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.

Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.

Menghalau Kabut

Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.

Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.

Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.

Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)

[Jawa Pos, 14 Desember 2008]

Logika Kapital Tradisi Nyumbang

Oleh M Abdullah Badri

Peneliti di Idea Studies Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Bergiat di Dewandaru Jepara Society

Beberapa waktu lalu, ketika bertemu dengan kawan lama di sebuah acara, ia meminta saya untuk mendoakan agar acara pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi dihadiri banyak tamu. Selain itu, ia juga meminta pertimbangan saya untuk menentukan kapan waktu yang tepat melangsungkan pernikahan. Bak paranormal, saya menjawab sekenanya, ia pun mantap dengan jawaban saya.

Ketika saya tanya apa perlunya menyesuaikan tanggal nikah? Ia menjawab supaya tamu yang datang juga banyak. Lho kok? Pernikahan adalah upacara sakral yang harus disertai dengan ikhlas menjalankan sunnah nabi. Namun sayang, kini kerap kali ketika orang akan melangsungkan upacara pernikahan (resepsi) justru dimanfaatkan sebagai momen mengumpulkan kekayaan dengan mengundang sebanyak- banyaknya tamu.

Logikanya, lebih banyak tamu, lebih banyak pula pemasukan. Apa pun akan dilakukan agar tamu yang datang dari segala arah, termasuk dengan mencari tanggal yang tepat. Dari sini, logika kapital mulai berjalan. Sebenarnya tidak ada masalah untuk mencari hari yang cocok dengan kemaslahatan hari esokkarena itu merupakan kearifan lokal yang sudah berlaku berabad-abad dalam masyarakat Jawa.

Namun, ketika niat tersebut dibelokkan untuk mencari keuntungan materi, yang timbul kemudian adalah terkikisnya nuansa sakral yang seharusnya ada. Tradisi, dan bahkan agama, yang mulanya menyimpan kearifan lokal, hilang terganti oleh logika kapital. Untuk mencapai target tamu yang datang, undangan banyak disebar. Ke mana pun. Bukan hanya kepada sanak kerabat, handai tolan dan relasi, tetapi kepada orang yang belum pernah dikenal nan jauh berada di sana. Beberapa kali saya pribadi menjumpai hal demikian.

Para pejabat setempat, bahkan mungkin juga tidak luput dari sasaran undangan pernikahan gelap yang entah. Sebab, ia adalah publik figur, barangkali. Khusus untuk para nama-nama yang dianggap penting, dalam beberapa kasus, sebagaimana yang saya jumpai, ternyata mereka menjadi sasaran penting undangan, terutama kepada mereka yang sedang membangun citra atau sedang dalam masa kampanye.

Yang mengherankan lagi, meski nama-nama penting itu merasa tidak kenal, toh sebagian dari mereka sudi datang. Hanya untuk memenuhi hasrat pribadinya. Dengan datang ke lokasi undangan, paling tidak mereka mendapatkan keuntungan berupa kepopuleran. Upacara pernikahansaya pikir juga acara seremonial lainnyakini disesaki dengan orang-orang yang penuh hasrat kapital.

Yang satu memperoleh keuntungan materi, satunya lagi popularitas. Sinyal negatif Lalu, apa soal memperbincangkan hal demikian? Dalam paradigma positivisme, gejala tersebut tidak akan dipermasalahkan, selama tidak mengganggu kemaslahatan umum. Namun, jika dilihat dalam konstruk pemikiran budaya, hal semacam itu jelas menunjukkan sinyal yang negatif.

Sebab, fenomena tersebut jelas telah menggeser nilai luhur budaya, berupa terjalinnya rasa persaudaraan saling membantu, bukan saling menguntungkan dalam arti positivistik. Jika relasi yang terbangun dalam budaya adalah hierarki persaudaraan-sosial-spiritual, maka relasi dalam nuansa kapital adalah hierarki keuntungan-pribadi- politik. Budaya kemudian tidak dimengerti dalam ikatan spiritual, tetapi lebih sebagai hubungan ekonomi.

Kita tidak menyalahkan secara mutlak apa yang diperbuat oleh saudara kita dalam kasus di atas. Sebab, mereka melaksanakan hal demikian juga dalam rangka memenuhi kemaslahatan hidup mereka, agar upacara yang diadakan tidak merugikan diri sendiri. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika ia, dalam suatu waktu, tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman yang pernah diberikan oleh para tamu undangan yang dulu pernah diundang, ketika ada upacara balasan. Hakikatnya, tradisi nyumbang adalah untuk membantu mengurangi beban biaya saat ada upacara keluarga digelar. Namun, nilai luhur semacam itu kini terganti oleh logika kapitalistik. Kini, orang menyumbang karena dua alasan.

Pertama, bangun jasa. Yaitu menyumbang dengan maksud agar yang disumbangkan itu menjadi tanggungan, yang kelak akan dikembalikan, kendati tidak ada akad. Kedua, balas jasa. Ini terjadi ketika sumbangan yang dimaksudkan itu dalam rangka timbal balik karena mungkin dulu pernah menyumbangnya. Ada kejadian yang ironis, ketika seseorang usai melaksanakan upacara pernikahan dengan sangat mewah dan dihadiri banyak tamu undangan, baik dari masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, selang beberapa minggu kemudian, pasangan pengantin yang telah mendapatkan sumbangan begitu banyak itu tiba-tiba pindah ke daerah lain, ke luar kampung.

Kontan, karena logika kapital sudah mengakar dalam tradisi nyumbang, masyarakat sekitar merasa dikibuli. Harapan mereka agar sumbangan yang telah diberikan kepada pasangan itu kelak dikembalikan pupus akibat kepergiannya. Tentu hal ini meresahkan masyarakat. Inilah buah dari logika kapital yang telah menghilangkan nilai persaudaraan dalam upacara-upacara pernikahan dan sejenisnya. Kita sambut baik ketika ada fatwa ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang menyatakan bahwa nyumbang bukan utang.

Ia adalah amal. Jadi, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan barang sumbangan, kecuali tercatat dalam nota kesepakatan. Itu adalah salah satu upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan keikhlasan yang kian luntur dari karakter masyarakat kita. Sulit memang mengubah orientasi masyarakat yang kadung kapitalistik dan individualistik. Jika menunggu campur tangan pemerintah untuk mengatur mekanisme nalar semacam itu, jelas akan menghabiskan energi, sebab ini adalah wilayah budaya, bukan wilayah politik, apalagi politik budaya.

Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah dengan memulai dari diri sendiri, memahami relasi positif yang seharusnya dijadikan pijakan dalam setiap kehidupan kita. Saya kemudian menjelaskan kepada kawan lama saya di atas tentang pentingnya nilai budaya sedikit banyak mengembalikan apa yang selama ini telah hilang dari budaya kita. Karena ia akhirnya memahami. []

[Forum, Kompas 13 Desember 2008]

Jumat, 12 Desember 2008

Merindukan pendidikan berkarakter

Oleh Agus Mutohar
Pengamat pendidikan, alumnus University of South Carolina

Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Ratusan mahasiswa Universitas 45 Makassar terlibat tawuran dengan aksi lempar batu sesama mahasiswa pada Senin 3 November. Kemudian terjadi bentrok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar pada 17 November kemarin.

Sepertinya bukan hanya kelompok preman yang tergolong dalam kaum anarkis. Pelajar dan mahasiswa kini juga banyak yang anarkis karena memanfaatkan cara-cara kekerasan untuk melampiaskan emosi dan ide-idenya.

Mahasiswa yang terlibat bentrokan tersebut tak ubahnya seperti anak-anak. Bentrokan yang dilakukan merupakan cerminan belum adanya sikap dewasa dalam diri pelaku.

Sikap kekanak-kanakan yang dimiliki pelaku menjadikan para pelaku tidak mengedepankan hati nurani serta akal jernih. Emosi mudah sekali meledak hanya karena ejekan atau provokasi yang tidak ada gunanya.

Sayangnya para pelaku membawa identitas mahasiswa yang notabenenya merupakan kaum intelek, kaum terpelajar. Kaum yang mengenyam pendidikan hingga tingkatan tinggi dalam strata pendidikan formal.

Nilai luhur pendidikan akan menjadikan seseorang yang dididik memiliki akhlak yang baik, kemandirian, dan kedewasaan tampaknya kini menjadi jargon belaka. Ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan Indonesia masih gagal membentuk pelajar dan mahasiswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Serentetan fakta akhir-akhir ini cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati betul permasalahan ini.

Evaluasi dan tindakan cepat harus segera dilakukan untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa. Bagaimana mungkin Indonesia akan mencapai visinya pada tahun 2020 yakni ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang bersatu jika pada saat ini mahasiswa dan pelajarnya saja masih tawuran.

Pendidikan karakter
Sekolah dan kampus merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan keilmuan saja, tetapi juga bertugas dalam pembentukan kapasitas moralitas anak didik.

Tahun 1990-an bangsa Amerika mengalami kegagalan dalam pengelolaan moral anak didik yang ditandai dengan demoralisasi yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang mencetuskan adanya pendidikan karakter (character education). Semenjak itu diberlakukan pendidikan karakter sebagai solusi terhadap penyakit masyarakat Amerika.

Di Indonesia, pendidikan agama telah di ajarkan di sekolah-sekolah, namun pendidikan moral masih berjalan di tempat dibuktikan dengan adanya konflik horizontal yang semakin meningkat.

Dilihat dari penerapannya pendidikan agama tampaknya masih bermuara pada dasar-dasar agama sehingga mengabaikan kandungan nilai-nilai dan akhlak.

Pendekatan yang dipakai dalam pendidikan agama pun masih berpusat pada ranah kognitif dan banyak menekankan hafalan, penguasaan materi tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nurani peserta didik.

Berkaca pada permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan, kita harus memberi perhatian lebih pada pendidikan karakter.

Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

Orang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.

Paradigma pendidikan karakter ini sebaiknya diadopsi di Indonesia. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.

Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi orang lain.

Mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki beragam alternatif bahasa untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang dianggap musuh.

Sebaliknya, mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya punya satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa membedakan musuh.

Mahasiswa dan pelajar akhir-akhir ini menjadikan tolok ukur seseorang dianggap kawan atau musuh adalah komunitas dan seragamnya. Siapapun dia, asalnya dari mana, jika berasal dari komunitas lain maka harus dimusuhi.

Bagaimanapun juga karakter para mahasiswa dan pelajar sangat menentukan karakter bangsa yang merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) yang merupakan buah dari pendidikan karekter lebih menentukan hasil pendidikan dari pada kemampuan intelektual.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah dan kuliah.

Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan membimbing mahasiswa dan pelajar dalam mengatasi konflik kepribadian sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial kelak.

Semoga saja tawaran solusi itu bisa untuk mengurangi tawuran di dunia pendidikan sekaligus mengembalikan citra pendidikan Indonesia menjadi tempat memanusiakan manusia (humanizing human being). []

[Opini, Wawasan 03 Desember 2008]

Selasa, 09 Desember 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Ladang Gersang

apa kau tahu apa yang lebih bahagia
bagi ladang-ladang gersang
selain ingin yang menggandeng gerimis
menghapus rasa dahaga
dan menyaksikan rerumputan berebut salam
kepadanya

karena salam adalah senandung rindu
yang mengalir tulus dari lubuk kalbu
mengantar dalam ziarah waktu
hilanglah semua kelu kalam lalu

Surakarta, 24 April 2007.
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Kutanya Cahaya, Air, dan Api

Kutanya cahaya
Mengapa dunia nian gelap?
Dia menjawab:
Dunia tidaklah gelap
Yang gelap, hati manusia

Kutanya air
Mengapa dunia kering?
Apa jawabnya?
Dunia tidaklah kering
Yang kering, jiwa manusia

Kutanya api
Mengapa dunia kian nian panas?
Dia menjawab:
Dunia tidaklah panas
Yang panas, nafsu manusia

Jepara, 23 Februari 2005.
[Harian Suara Merdeka, 20 Maret 2005]

Senin, 01 Desember 2008

Mengembangkan Potensi Kerajinan Jepara

Oleh Muhammad Rohani
Kontributor LPM Idea Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang aktif di forum kajian Dewandaru Jepara Society


BERBICARA
tentang Kabupaten Jepara, tidak afdol jika tidak dikaitkan dengan sebutannya sebagai "Kota Ukir". Julukan inilah yang selama ini kita kenal untuk kabupaten yang terletak di bagian timur Pantai Utara Jawa itu. Tentu saja ini bukan asal-asalan, melainkan didasarkan atas fakta riil yang ada di lapangan. Ya, daerah ini memang menjadi sentra industri mebel ukir dan barang-barang furnitur.

Konon, industri mebel di Jepara telah ada sejak Ratu Shima berkuasa pada abad ke 7. Kemudian pada masa pemerintahan Nimas Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan utama di Pulau Jawa yang melayani ekspor-impor. Selain itu, juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.

Dalam perkembangannya, industri ini maju pesat dan menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara. Bahkan pada tahun 1999-2000, industri ini mengalami masa keemasan. Pada waktu itu nilai ekspornya mencapai 169.251.410 dollar AS. Jumlah pelaku usaha mencapai 3.965 unit dengan nilai investasi Rp 124,6 miliar, dan pemasaran merambah ke 64 negara. Industri ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 58.210 jiwa. (Kompas, 16 Juli 2007).

Di sisi lain, di balik nama besar Jepara sebagai kota ukir, terdapat pula potensi dan keunikan lain yang dimiliki oleh daerah yang juga kaya dengan obyek wisata ini. Itulah yang penulis maksudkan dengan industri kerajinan berupa tenun ikat, produk berbahan rotan, aksesori monel (stainless steel), dan keramik-gerabah.

Kerajinan tenun ikat berpusat di Troso, Pecangaan. Industri ini melibatkan 191 unit usaha dan menyerap sekitar 1.800 tenaga kerja. Tiap tahun volume produksinya mencapai 3,1 juta meter dengan nilai produksi Rp 54,5 miliar.

Sedangkan kerajinan berbahan rotan terkonsentrasi di Jepara bagian selatan, yaitu Kecamatan Welahan. Di sana terdapat 346 unit usaha berbahan rotan yang melibatkan lebih dari 2.000 tenaga terampil. Nilai produksinya mencapai rata-rata Rp 2 miliar pertahun.

Kerajinan monel berpusat di Kecamatan Kalinyamatan. Ratusan tenaga kerja terserap, dan tiap tahunnya memproduksi belasan ribu jenis aksesoris. Selain itu, ada juga kerajinan gerabah yang berpusat di Kecamatan Mayong. Pangsa pasarnya 262 unit usaha, dan telah merambah ke luar Jawa. (Suara Merdeka, 16 Juli 2007).

Maka, tidak berlebihan jika beberapa waktu yang lalu Jepara dicanangkan sebagai The World Carving Center, Pusat Kerajinan Ukir Dunia. Ini tentu karena potensinya yang sangat besar dalam bidang kerajinan mebel ukir, dan semakin diperkuat dengan industri-industri kerajinan yang lain.

Kerajinan sebagai Industri Kreatif
Kerajinan merupakan salah satu dari 14 subsektor ekonomi kreatif yang diunggulkan oleh pemerintah. Ekonomi kreatif adalah berbagai aktivitas berbasis kreativitas, keterampilan, dan bakat, yang memiliki potensi ekonomi dan peluang kerja baru melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan intelektual.

Secara nasional, industri kreatif menyumbang 6,28 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, 28 persen di antaranya disumbangkan oleh industri kerajinan. Ini merupakan urutan kedua. Sedangkan peringkat pertama ditempati oleh produk mode yang menyumbang angka 44 persen. (Jurnal Koperasi dan UMKM, edisi IV/September 2008).

Industri kreatif ini berperan penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan citra dan identitas bangsa –di tengah gempuran hebat arus globalisasi--, serta peningkatan ekspor. Sebagai gambaran, nilai ekspor industri ini pada tahun 2007 mencapai 642 juta USD. Jumlah ini meningkat 20 persen dari ekspor tahun sebelumnya yang bernilai 534 juta USD.

Pengembangan Sektor Kerajinan
Melihat besarnya potensi industri kerajinan yang dimiliki oleh Kabupaten Jepara, serta peluang yang ditawarkan oleh industri ini, perlu kiranya pemkab Jepara mengembangkan sektor ini. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain adalah: pertama, memberikan dan mempermudah akses permodalan kepada pengusaha yang membutuhkannya, terutama bagi pengusaha kelas menengah ke bawah yang biasanya kesulitan permodalan. Selain itu, pemkab juga hendaknya menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Ciptakan birokrasi dan mekanisme perijinan yang tidak berbelit-belit, bebas pungli, dan tidak memakan waktu yang lama.

Ke-dua, meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk kerajinan melalui pendidikan, pelatihan, maupun workshop. Ini sangat urgen dan menduduki posisi yang sangat strategis. Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa kewirausahaan, manajemen bisnis kerajinan, maupun skill teknis masing-masing bidang kerajinan. Bagaimanapun juga, industri kerajinan merupakan industri kreatif yang sangat menekankan dan bertumpu pada sumber daya manusia. Maka, kualitas SDM ini harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan agar dapat terus eksis dan bisa bersaing dengan industri serupa dari daerah maupun negara lain.

Ke-tiga, mengadakan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat luar, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ini dapat dilakukan dengan mengiklankan produk-produk kerajinan di media massa, mengadakan pameran-pameran, membuka showroom di tempat-tempat yang strategis, maupun membuat situs di internet.

Satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh pemerintah –terkait dengan pengembangan industri kerajinan ini— adalah menumbuh-kembangkan minat kaum muda Jepara terhadap produk-produk kerajinan khas Jepara tersebut. Ini sangat penting untuk menjaga eksistensi dan kelestarian industri ini di masa-masa mendatang.

Peran Lembaga Pendukung
Menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan pengembangan industri kerajinan tersebut, di Jepara telah terdapat beberapa lembaga yang konsen dengan industri kerajinan berikut pengembangannya. Lembaga-lembaga itu adalah Sekolah Ukir yang terletak di Tahunan, SMKN 2 Jepara yang berada di Kecamatan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain (STTD-NU) di Tahunan, dan Pusat Promosi dan Pasar Lelang Furnitur (PPLF) yang berlokasi di Rengging, Pecangaan.

Tiga lembaga yang disebut pertama berkonsentrasi pada pencetakan tangan-tangan terampil dan tenaga ahli di bidang kerajinan. STTD-NU misalnya, lembaga pendidikan tinggi yang dahulunya bernama Akademi Teknologi dan Industri Kayu (ATIKA) ini berkonsentrasi pada studi tentang teknologi perkayuan dan desain mebel.

Demikian juga SMKN 2 Jepara, atau yang lebih dikenal dengan SMIK Jepara, sekolah ini mempunyai fokus pada program studi tentang kerajinan kayu, tekstil, logam, keramik-gerabah, dan tata busana. Lembaga-lembaga itu cukup representatif dan memadai sebagai penyedia tangan-tangan terampil maupun tenaga ahli dalam bidang kerajinan.

Sedangkan PPLF berfungsi sebagai pusat promosi, pusat desain mebel, klinik HAKI, dan pusat informasi potensi daerah dan pariwisata.

Lengkap sudah lembaga yang diperlukan untuk pengembangan industri kerajinan yang ada di Jepara. Hanya saja, lembaga-lembaga tersebut hendaknya bisa berusaha secara maksimal untuk mendukung, mengembangkan, dan melestarikan industri kerajinan ini sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Jangan sampai –di tengah perjalanan nanti— mereka kehabisan energi dalam mengembangkan industri kerajinan. Sehingga fungsi dan perannya pun pudar, selanjutnya lambat-laun akan mati. (Semoga ini tidak terjadi). Apa yang menimpa Pasar Kerajinan Margoyoso cukuplah menjadi pelajaran bagi pemerintah kabupaten maupun insan kerajinan Jepara lainnya. Belajarlah dari kegagalannya. []

Selasa, 25 November 2008

Keseimbangan Nasib Guru

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, alumnus University of South Carolina AS.

SETIAP tahun Hari Guru diperingati pada 25 November; namun tampaknya keberpihakan nasib kepada guru masih rendah. Di Jawa Tengah. misalnya, saat ini ribuan guru sedang berjuang untuk mendapatkan kursi pegawai negeri sipil (PNS) lewat formasi pemerintah daerah (pemda) maupun Departemen Agama (Depag), walaupun dengan jatah yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah pendaftar.

Itulah sebuah realita bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi wacana. Pun dengan munculnya program sertifikasi, masih memunculkan diskriminasi. Perbandingan 70 % sertifikasi untuk guru negeri dan 30 % untuk guru swasta adalah wujud nyata diskriminasi tersebut.

Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang seimbang kepada guru swasta. Pasalnya, berdasarkan data di lapangan. guru swastalah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena minimnya gaji yang diterima mereka.

Mendapatkan penghasilan Rp 500.000 per bulan merupakan hal yang sulit bagi guru swasta; mereka bak sales yang harus berpindah-pindah mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Bahkan ada juga yang berprofesi sebagai tukang parkir atau tukang ojek untuk menopang perekonomian keluarga.

Verbalisme dan sloganisme pahlawan tanpa tanda jasa juga berpengaruh kepada terpuruknya nasib guru. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan dengan tulus, tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya.

Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu; juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesi, kepastian karier, hubungan antarpribadi, dan perlindungan hukum.

Berkait dengan fakta tersebut , akhir-akhir ini kita sering melihat pemberitaan di media cetak maupun televisi adanya guru yang melaksanakan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-haknya kepada pemerintah. Saat itulah, pemandangan ironis dipertontonkan. Guru harus berteriak-teriak menyuarakan nuraninya, bahkan karena luapan emosinya mereka banyak yang mencucurkan air mata sambil memanjatkan doa di depan pemerintah demi perbaikan nasib.
Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai dengan hak-hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional.

Peningkatan Diri
Pakar pendidikan Arif Rahman dalam wawacancara ekslusif TV One, Minggu 23 November 2008, mangatakan bahwa tugas guru saat ini semakin berat. Selain dihadapkan kepada permasalahan moralitas siswa, guru juga dihadapkan kepada tuntutan akan kualitas pendidikan yang semakin tinggi.

Penelitian dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2006 melaporkan, Indonesia mendapatkan peringkat ke-44 dari 56 negara berkembang dalam hal kemampuan penguasaan membaca, matematika, dan bahasa. Peringkat tersebut tergolong sangat rendah, terpaut jauh di bawah Malaysia, negara yang pernah mendatangkan guru-guru Indonesia beberapa dekade lalu.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan ”pekerjaan rumah” (PR) bagi guru. Pasalnya, pendidikan dan guru adalah dua komponen yang tak dapat dipisahkan.

Guru, dalam pandangan Paulo Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang mengajarkan pengetahuan (kognitif), tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers) dalam memperbaiki tatanan sosial yang ada.

Jika dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih baik.
Untuk tujuan itu, guru harus mulai berbenah diri meningkatkan kualitas kelimuan maupun meningkatkan integritas kepribadiannya lewat pendidikan maupun pelatihan-pelatihan.

Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 juta yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma empat (D-4). Dari jumlah itu, satu juta guru mengajar di sekolah dasar (SD) dan 173 ribu lainnya mengajar di madrasah ibtidaiyah (MI).

Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Fakta tersebut semakin mengharuskan guru-guru di Indoensia untuk berbenah diri.
Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan.

Perubahan kurikulum dengan beragam julukannya CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun merknya, tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala guru tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab.

Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreativitas mereka. Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekpresi, sehingga tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran salah prosedur atau menyalahi standar birokrasi.

Untuk itu, guru harus mampu kreatif melakukan modifikasi pembelajaran di sekolah sehingga tidak berkesan hanya transfer pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi juga memperhatikan aspek emosional dan psikomotorik peserta didik.

Maju tidaknya kualitas pendidikan akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Professor Gregory Jay, pakar pendidikan dari University of Wisconsin, Milwaukee, Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada saya saat diskusi September lalu, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan (future investment). Bangsa yang tidak menanamkan pendidikan yang baik sekarang, akan mengalami kehancuran di masa-masa mendatang.

Semoga momentum 25 November menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para guru yang diiringi dengan peningkatan profesionalisme, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang maju di masa mendatang. Semoga!

[Wacana, Suara Merdeka, 25 November 2008]

Puisi-puisi Lina Nur Jannah

Lina Nur Jannah, lulusan MA Tasywiqul Banat, Robayan, kini mahasiswi Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara.

Karena Mereka Lebih Tahu

aku tidak menangis
yang selama ini penuh teori, ternyata…
kosong belaka

mereka membuta sejadinya
termakan ego yang bengis oleh sekelumit perkara
saling mengadu dan menghasut
melepaskan tangantangan dengan amarah
menyebarkan serpihanserpihan racun dengan warna luka
menyerang…membalas
dan menumbangkan akar yang kritis

bukan hanya baju seragam
sebagai sorak dalam warna hidup
yang turut meramaikan panggung pendidikan
memang naluri menuntut keadilan
namun tidak sepatutnya untuk mengadili
tanamlah kebijaksanaan disana

mengatasnamakan kebersamaan


Debu

kau mudah terbawa tiupan angin
kemana arah ia pergi
disana kau membawa diri

kau sering terombang-ambing oleh bayu
tak mampu sejenak tenang dalam keberadaanmu
kau ada di sudut itu…
terbawa oleh kencangnya arus
kau ada ditempat dudukku
terbawa oleh hembusan semu
kau ada dibawah tempatku berdiri
terbawa oleh hembusan bayu
kau mudah tergoyahkan…


Sujudku PadaMu

percikan air menghangatkan hati
sehangat hari pagi karena sinar mentari
sujudku padaMu ya Rabbi
dengan segala kerendahan hati
aku serahkan diri yang hina ini

syukurku atas nikmatMu
yang tak pernah lekang termakan waktu
memberiku cahaya dalam gelapnya hidup
cahayamu lebih terang dari mentari
menembus ruang menerangi hati

ya Ilahi…
nikmat mana yang bisa aku lupakan?
dalam lelah aku berjalan
dalam diam aku bernafas
dalam fananya kehidupan
Kau berikan yang terbaik untukku
alhamdulillah…
puji syukur aku haturkan

Jumat, 21 November 2008

Puisi-puisi Nanik Kurniawati

Nanik Kurniawati, lulusan SMAN 1 Jepara kini mahasiswi tadris Matematika IAIN Walisongo, Semarang.

Ucapan Hati

Dalam diam ku berdo'a
Memanjatkan puja pada Yang Kuasa
Rintih hati meminta padaNya
Mengharapkan keajaiban kan tiba
Tuhan...
Berilah rahmatmu
Tunjukkan hidayahmu
Pada jiwa yang hina
Pada hidup yang lara

Alamku

Marahkah engkau padaku
kau tiupkan angin kencangmu
kau hempaskan banjir padaku
Saat hujan kau menangis sedu
Hingga semua kau bawa dalam larutan tangismu
Saat panas kau luapkan semua
Hingga bumi ini terasa panas tak terhingga
Atas nama kesalahan
kami ucapakan
Maaf pada pencipta alam

Rabu, 19 November 2008

Seperti Bulan dan Bintang

Cerpen Lasinta Ari Nendra Wibawa


Seperti bulan dia mendekap tubuhku
Membawaku ke dalam mimpi terindahku
Mampukah aku berpaling jauh darinya
Tanpa dustai cintaku untuk diriNya

Seperti bintang dia membelai hatiku
Merasuki tiap bilik dalam sukmaku
Mampukah aku meraih cinta kasihnya
Tanpa lukai cinta kasihku untukNya *

Seandainya kisahku dikemas dalam sebuah cerita, kuingin lagu "Seperti Bulan dan Bintang" karya Ari Nendra yang menjadi sound-tracknya. Kau tahu kenapa? Tidak lain karena reffrain lagu ini cukup mewakili kisah nyata yang aku jalani. Anehnya, kejadiannya sama dengan saat pembuatan lagu ini.

Saat itu, aku ditawari cinta oleh hari-hari yang lewat seperti biasa. Aku menyebutnya cinta kedua karena menurutku cinta pertama adalah dari sesosok wanita anggun yang senantiasa memberikan bunga kasih sayang dalam setiap denyut napasnya, menyambut kehadiran kita untuk pertama kalinya di muka bumi yang mulai renta, dan di bawah kakinya tercium aroma surga.

Tapi jujur, aku tak tahu itu cinta atau bukan karena cinta dan birahi hampir tak nampak tapal batasnya. Sama saja membedakan areal di tengah hutan yang dipisahkan oleh benang hitam jam dua belas malam. Meski hati kecilku mengatakan, "Cinta itu seperti jalinan antara daun dan
akar pepohonan. Jika suatu saat daun gugur, akar pepohonan akan merengkuhnya menjadi tunas-tunas sewarna harapan. Bukan malah membusukkan diri lalu terurai di perut bumi."

Entah kenapa saat itu waktu enggan mengulurkan tangan untuk semakin mengenalkanku pada aroma parfum yang dipakainya. Atau sekedar mengabadikan momen-momen penting
di mana ia mewarnai angkasa dengan senyumnya yang bermuatan cinta dan pesona.

"Aduh, manisnya", teriaknya saat ia mengamati kupu-kupu yang hinggap di atas kelopak bunga mawar di taman sekolah. Ia mengagumi sentuhan kupu-kupu yang lembut dan penuh cinta tanpa merusak putiknya. Ia tak menyadari kalau aku sedang mengamatinya lekat-lekat di atas balkon, di lantai dua dengan memendam rindu yang membukit dan mulai membatu.

"Wahai, kupu-kupu! Seandainya kau menjelma menjadi seorang manusia yang bersahaja sekalipun. Aku akan tetap berhasrat untuk merebahkan segenap kasihku kepadamu", ucapnya penuh makna. "Karena aku yakin kau pasti akan menjaga ikatan cinta tanpa menodainya seperti halnya lelaki di dunia ini. Aku telah menyaksikan nafsu-nafsu yang membara dalam diri
lelaki yang takkan mampu diredam oleh akal sehat manapun."

"Seandainya kau juga tahu akan kesunyianku di belantara kehidupan ini, kau pasti akan rela memberikan sepasang sayapmu untuk melepaskanku dari kenyataan yang menghampiriku dan membawaku terbang ke angkasa. Betapa kesunyian telah melekat dalam urat-urat nadiku,
kupu-kupu!. Aku telah kehilangan kasih sayang dari seorang bunda yang dulu tak pernah usai mengalirkan mata air cinta membasuh kepedihan-kepedihanku. Sedang ayah yang masih
tersisa untukku telah lalai dan larut dalam bisnis yang digelutinya. Mungkin, ayah berpikir bila harta mampu meniupkan kedamaian bagiku", ucapnya sambil menahan isak
yang hampir membuatku ikut menangis.

Sejenak ia mendongak ke arah barat. Matahari hendak berkemas untuk menghilang dari batas cakrawala, malam akan kembali bertahta. Aura sunyi pun bertiup penuh luka.

"Malam hampir memijakkan kakinya, kupu-kupu! Aku harus pulang sekarang. Tapi kamu janji, ya! Akan menemuiku lagi di taman ini."

"Mungkin, aku akan seperti matahari itu. Pernah berpendar di atas bumi namun akhirnya akan tenggelam dalam mimpi keabadian", bisiknya lirih. "Demikian juga denganmu, kupu-kupu". Setelah mengatakan kalimat itu, ia kemudian bergegas meninggalkan taman dengan langkah yang agak berat. Aku masih sempat melihat derum mobilnya menderu meninggalkan areal kampus.

Setelah peristiwa sore itu, aku tak pernah bersua lagi dengannya. Sampai kemudian aku mendengar burung gagak meniupkan sepenggal berita duka pada para kafilah bumi. Dan nama itu, nama yang dipilihnya adalah nama yang hampir terpahat indah dalam semenanjung hatiku.

Cukup lama mendung bergelayut di mataku. Hingga aku bisa memetik seuntai bias pelangi di antara hujan yang mewarnai hari-hariku. Mungkin, jika aku sempat mengajak mawar itu dalam pendakianku, durinya pasti akan merenggangkan pegangan tanganku. Seandainya kutinggalkan, pendakianku takkan nikmat karena wajahku akan selalu kutolehkan ke
belakang.

***

Sore itu, aku mendatangi taman di mana dulu ia bercakap-cakap dengan kupu-kupu. Kulihat kupu-kupu itu masih berkeliaran di sekitar taman. Ia kelihatan resah karena gadis yang dulu pernah bercakap-cakap dengannya tidak memenuhi janjinya. "Aku tahu aku bukan lelaki sebaik
yang ia mau. Namun, aku juga bukan lelaki seburuk yang ia tahu. Sampaikan salam hangatku untuknya', ucapku pada kupu-kupu itu. []

Lasinta Ari Nendra Wibawa (Ari Nendra). Selain menulis cerpen juga menulis puisi, artikel, esai, dan lirik lagu. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa baik lokal maupun nasional, antara lain: Pena, MOP, Puitika, SOLOPOS, Suara Merdeka, ANNIDA, Kompas, dan puluhan website. Masih menjabat sebagai Redaktur majalah Teknik EUREKA dan majalah Teknik Mesin. Mahasiswa Semester 3 Prodi Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret, Solo ini beralamat di Jln. Kerinci No. 5 RT 4 RW VI Demaan, Jepara 59419.

Sabtu, 15 November 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Semak Belukar

Lihatlah semak belukar itu, katamu
Sekilas tampak gelap dan menyeramkan
Dibanding padang rumput yang luas di sampingku
(Sesaat aku terdiam
mencerna kata yang mengalun dari bibirmu
laksana tanah gersang
merindukan hujan :
dan runtuhlah dinding nalar yang kubangun)

“Andai kau bisa melihat dari sisi lain
kau pasti akan temukan satu alasan
mengapa rusa senang berlindung di sana
dan bukankah di sana dia bisa bernaung
dari terik dan hujan
dari pemburu yang mengintai setiap saat ”

Jepara, 17 April 2007
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Cahaya Illahi

pada jiwa-jiwa yang terdampar
oleh buasnya alur kehidupan
kuingin kau menyaksikan petuah matahari
yang menyinari bumi sepenuh hati
kau lihat sinarnya yang menembus tumpukan daun kering
yang telah menjadi humus
dan membantu menyuburkan tanahnya
bukankah sebelumnya kau anggap dedaunan itu
adalah tumpukan sampah
dan pernahkah kau merasa
jika dirimu adalah daun-daun kering itu
namun pernahkah kau menyadari
jika cahaya Illahi lebih dari matahari
bahkan membantumu menjadi
tunas muda kembali

Surakarta, 30 April 2007.
[Harian SOLOPOS, 25 November 2007]

Jumat, 14 November 2008

Secuil Asa

Cerpen Syaiful Mustaqim
Pembina ekstrakulikuler Jurnalistik Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan

KISAH ini menceritakan sekelumit perjalanan seorang manusia dalam menggapai cita-cita. Dia berusaha melawan arus yang ada di masyarakat untuk meraihnya. Ada hal penting yang bisa kita ambil di sini.

Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 05.3o. Aku bergegas bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekolahku lumayan jauh, kira-kira ditempuh dalam waktu seperempat jam. Bangun pagi-pagi menjadi jadwal harianku. Semenit telat bisa-bisa aku kena hukuman, entah berdiri didepan tiang bendera, bersih-bersih toilet siswa, dan seabrek hukuman yang lain. Begitulah keseharianku.

Hari ini aku sangat gelisah, pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling ku benci, sulit, dan tak akan pernah aku pahami. Selain itu, guru-gurunya pun terkenal killer. Aku bertambah takut. Berderet pelajaran hari ini, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia. Ah, aku nggak tahan, jika setiap hari aku harus mengkonsumsi sarapan pelajaran yang mengerikan itu.

Saat masuk kelas XI, aku tak punya impian untuk memilih salah satu jurusan. Ilmu Bahasa, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial. Semuanya tak ada yang cocok denganku. Akhirnya, aku hanya ikut-ikutan dengan temen-temenku kelas X dulu. Jurusan ilmu alam-lah yang aku pilih, walaupun sebenarnya aku sangat muak dengan pelajaran-pelajaran itu. Setiap hari bisa dipastikan akan ketemu dengan pelajaran-pelajaran eksak.

Aku paling kontra dengan guru-guruku, walau hanya dengan suara hati. Aku tak berani mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana tidak? Masa rumus-rumus dan segala tetek bengeknya itu harus dihafal semua. Belum lagi, setiap hari aku harus menghafal kosakata-kosakata Inggris maksimal 10 kata tiap hari. “Untuk apa semua itu?” hujatku.

Banyak para pengangguran di negeri ini, adalah hasil dari produk-produk pendidikan yang belum siap pakai. Pendidikan selama ini hanya berkutat untuk mencari nilai, nilai, dan nilai, tanpa memikirkan hal lain. Hasilnya, setelah dapat nilai bagus dan ijazah, mau cari pekerjaan kemana? Sedangkan lapangan susah didapatkan. Tak mungkin, setelah lulus SMA, bagi yang tak mampu melanjutkan studi, tetek bengek itu akan bisa berguna.

Kalaupun berguna, bisa dipastikan hanya satu persen, lainnya berupa skill dan ketrampilan. Namun, selama ini guru tak pernah mengomongkan itu, sejak menginjak dua tahun di bangku SMA aku tak pernah diajari dengan ketrampilan yang memadai. Aku sering dijejali dengan seabrek rumus-rumus. Apalagi aku, setelah lulus nanti, tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ya, aku malu dengan orang tuaku. Hampir belasan tahun aku telah menghabiskan sebagian hasil jerih payah mereka untuk biaya sekolah, namun hasilnya masih saja nol. Aku belum bisa membalas semua jasa-jasanya yang selama ini mereka berikan. Apalagi ayahku seorang buruh pabrik, dan bundaku seorang penjahit. Usia mereka sudah semakin senja. Sekarang di gubukku, aku hanya sendiri ditemani ayah dan bunda. Mereka hanya mempunyai penghasilan sangat pas-pasan. Malah kadang-kadang kurang.

Sejak dulu, aku memang sudah tak ingin sekolah, namun mereka memaksaku untuk tetap sekolah dengan biaya yang pas-pasan. Mereka berharap aku bercita-cita setinggi langit, tidak seperti mereka. Bagiku, sekolah hanya akan mencetak calon-calon pengangguran intelek. Lihat saja mayoritas penduduk negeri ini, mereka adalah pengangguran-pengangguran terdidik. Tak banyak mereka yang mempunyai pekerjaan yang layak. “Apa bedanya sekolah dan tidak?” pikirku.

Aku tak ingin mengecewakan mereka. Masuklah aku ke bangku SMA. Apa yang terjadi? Otakku yang serba pas-pasan sulit memahami pelbagai pelajaran. Setiap kali pelajaran, sulit aku memahaminya. Aku sering tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan guruku, aku hanya diam seribu bahasa.

***

Satu keinginanku. Aku ingin menjadi penulis. Namun, pelajaran bahasa Indonesia yang berhubungan erat, tak pernah menyinggung tentang profesi itu. Pelajaran bahasa Indonesia hanya sebatas teori, praktiknya nol. Tapi apa daya, jika aku protes guru pasti marah besar, bisa dipastikan nilaiku merah, dan aku akan di black list.

Tak banyak sosok Soe Hok Gie yang berani memprotes guru karena takut tidak dinaikkan. Begitu juga guru, tak sedikit yang mau menerima protes dari anak didiknya.

Tanpa pikir panjang, cita-citaku ingin menjadi penulis harus dijalani secara otodidak. Namun, aku yakin suatu saat akan berhasil dengan gemilang. Tak pernah terlewatkan aku sering membaca edisi remaja mingguan di pelbagai macam jenis koran di koran dinding yang ditempel di perempatan kecamatan. Selain itu, karena uang sakuku yang serba pas-pasan, jadi hanya mampu membaca majalah di loper koran tanpa membelinya. Aku terkagum-kagum dengan siswa sekolah lain yang karya-karyanya sering nongol di media.

Aku iri. Kapan aku bisa laiknya mereka? Apalagi tak pernah ku jumpai penulis asli dari daerahku. Padahal, konon daerahku mempunyai ribuan sekolah. Hampir di setiap desa, dan kecamatan bisa ditemukan sekolah berdiri. Tapi tak satupun ku dapati mereka yang asli daerahku, tulisannya nongol di media.

Aku sedih, aku pun semangat. Sedih karena tak ada guru yang memberikan support anak didiknya agar bisa menulis, padahal itu lebih manfaat. Semangat. “Ini adalah tantanganku, agar aku bisa menjadi seorang penulis.” Inginku.

Berderet alamat redaksi tertata rapi di salah satu buku tulisku. Aku berharap suatu saat tulisanku akan dimuat, seperti mereka. Aku ingin mengharumkan nama sekolah, dan daerahku, walaupun nantinya pemkab tidak memberiku apa-apa. Tapi tak apa. Aku tetap semangat untuk selalu menulis.

Jika ku ingat, berulang kali aku telah mengirim tulisan ke pelbagai media, namun tak pernah ada jawaban dari redaksi kalau tulisanku hendak dimuat. Kusimpan rapi naskah-naskah yang pernah ku kirimkan ke media. Barangkali aku bisa belajar dari kegagalan-kegagalan itu, dan aku pun bisa memperbaikinya.

Kadang aku sudah putus asa. Lha wong aku tidak pernah di ajari pelajaran jurnalistik (tulis menulis) secara kontinyu, apa aku mampu berkompetisi dengan mereka? Kebanyakan dari mereka, di sekolahnya diajari ilmu jurnalistik yang memadai, selain itu setiap kali menghadirkan wartawan dari pelbagai media untuk menambah wawasan, dan turut mengisi tentang ilmu jurnalistik.

***

Pagi ini, kembali aku menulis kembali dari sebuah asa untuk barpartisipasi membangun daerah lewat menulis. Aku hanyalah insan yang tak pernah belajar bagaimana cara menulis yang baik dan benar maupun yang sesuai EYD. Aku anak dari kalangan menengah kebawah. Aku yakin, yakin dan yakin kalau suatu saat akan berhasil.

Ini adalah karyaku yang ke sembilan puluh sembilan kali. Aku tak banyak berharap tulisanku akan dimuat. “Semoga karyaku dimuat,” do’aku. Namun ini adalah bagian dari ikhtiarku. Sehingga secuil asaku benar-benar menjadi kenyataan. Amin.

[Cerpen, Kartunet.com, 05 Maret 2008]

Senin, 10 November 2008

Puisi-puisi Muhammad Asy'ari

Muhammad Asy'ari, pembina teater Epos [SMAN 1 Pecangaan, Jepara]

Bukit Cadas

bukit cadas kini hilang di telan bumi
tak tahu siapa melukainya
semua bungkam
memejamkan mata
meninggalkan luka
demi kenikmatan fatamorgana
dan kini bukit cadas
hanya bisa menangis
menangis seserpih debu
pun tumbang segala harapan
bukit cadas semenjanjung utara
masa depanmu ditangan MEREKA


Lelaki di atas Trotoar

demi anakanak sungai
kau alirkan sejuta puisi
menjejaki loronglorong
mencari cahaya
membujuk bulan
lekat dengan debu
setelah malam bawakan rindu
lelaki di atas trotoar
kini kau dimakan usia


Bocahbocah di bawah terang bulan

sorak sorai bocahbocah
di kesunyian malam
bermainlah
lepaskan tawa canda
kejarlah masa depan
mengaliri sungaisungai
jadikan surgawi
menarilah
seperti ilalang di pematang sawah
bergoyang melambai-lamabai
bocahbocah polos di kesunyian malam kini kau hilang rupa

Jumat, 07 November 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Merintis Gerimis

dalam diam aku mendekam
antara ngarai dan tebing curam
bersama luka lintasi malam
sesaat muka aku tengadah
memuja malam berakhir indah
namun asa tinggalah punah
sewaktu badai mulai mendesah
dan adakah udara kebebasan
yang masih sempat aku rasakan
di antara langit yang bergelora
oleh mega-mega nestapa

padamu langit warna kelabu
kumohon jawab pertanyaan kalbu:
mengapa kini aku merintis
dalam hari penuh gerimis?”

Jepara, 20 April 2007
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Pelayaran Terakhir

inilah kali terakhir aku berlayar
setelah mengarungi buas samudra dalam jiwa yang bergejolak
mengenang kembali tiap detik perjalanan
yang melekat erat dalam tingkap-tingkap kalbu
yang tanpa sadar telah mengantarku di ambang batas
di mana nahkoda harus merapat ke dermaga
meninggalkan bunyi gaduh
dari ombak yang menghantam lambung kapal
hingga setiap perjalanan hanya akan menjadi cerita
yang tak akan pernah habis
bagi anak cucu

Surakarta, 2 Mei 2007
[Harian SOLOPOS, 25 November 2007]

Minggu, 02 November 2008

Puisi-puisi Akhmad Syafiq

AKHMAD SYAFIQ, Pembina teater Tekad Kap's [SMAN 1 Mayong, Jepara] dan teater Embun [MTs-MA Al-Falah Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara]

DO'A

Tuhan...
Dosa siapa yang Kau tanamkan di ufuk timur?
Tidak cukupkah air mata kami?
Tidakkah Kau lihat derita kami?
Sampai kapan ini semua akan berakhir?


LUKA

Namaku luka terlahir dari air mata
Sakit dan perih terlanjur ku nikmati
Suara tak lagi bisa berkata
Mata tak lagi bisa merekam
Telinga tak lagi bisa menjaring aksara
Inikah kenikmatan neraka tertinggi?


HESA

Dengan cinta aku menyapamu
Dengan rindu aku memelukmu
Dengan kasih aku membelaimu
Tapi dengan apa aku mati untukmu?

Minggu, 26 Oktober 2008

Ciptakan Fun Learning

Oleh Agus Thohir

Guru SMP Negeri 31 Semarang dan Direktur Lingkar Studi Alternatif (LASTA) Semarang

PENDIDIKAN adalah bentuk dari representasi pembelajaran yang dapat berdampak pada perkembangan potensi dan skill peserta didik. Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran, guru harus terampil dan kreatif supaya pembelajaran tidak monoton.

Guru bukan sekadar mengajar secara teoretis dan menargetkan lulus dengan nilai terbaik pada eksekusi akhir (ulangan dan UN), tapi lebih dari itu, bagaimana mendesain lebih untuk bisa membentuk karakter anak didik.

Dasar pemahaman ini harus dijadikan fondasi berpikir bagi setiap guru.Sebab, mereka mempunyai peran strategis untuk mendesain dan merekayasa bentuk pembelajaran yang bermutu dan menyenangkan.

Mereka dapat memberikan sederet kemampuan. Karena itu, tanpa punya keahlian khusus dalam menyampaikannya, pembelajaran pun hanya bersifat monoton dan terlihat kaku, bahkan tidak sesuai dengan target. Jika tak ingin dianggap siswa sebagai guru yang kuper dan jadul, seharusnyalah guru pandai menyiasati semua itu dengan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (fun learning) sehingga kelas terasa hidup, mengasyikkan, dan membekas pada diri siswa.

Tentu hal itu tidaklah mudah. Sebab, butuh keahlian dan keyakinan kuat serta semangat membaja sehingga akan mempermudah dalam penanganan dan pengelolaan kelas yang efektif.

Libatkan Siswa
Dalam perencanaan pembelajaran, tak ada salahnya guru melibatkan siswa. Pertama, siswa harus diajak untuk terlibat aktif sehingga termotivasi dalam melakukan apresiasi dan kreativitas di kelas dengan cara memberi game.

Kedua, guru harus mengerti kondisi kelas sehingga tidak bisa disamaratakan antara kelas satu dan kelas yang lain, maka dibutuhkan strategi penanganan yang berbeda pula. Ketiga, memanfaatkan fasilitas baik berupa metode, multimedia, lingkungan maupun alat pendukung lainnya yang bisa membuat siswa merasakan betah dan nyaman dalam belajar di kelas.

Apakah ini semua mungkin dan bisa tercapai? Tentu diperlukan ijtihad (keyakinan) ekstra dari para guru dan kreativitas. Dengan menanamkan paradigma holistik maka akan tercapai inovasi tiada batas dari pendidik dan siswa pun lebih bergairah serta kreatif ketika model pembelajaran menyenangkan (fun learning) dapat dijalankan.

Dampaknya, anak didik dapat memaksimalkan potensi. Dengan demikian, otomatis para guru telah menyukseskan bentuk pendidikan tanpa mengesampingkan proses untuk mencapai hasil yang maksimal. Lebih jauh lagi, bisadikatakan guru telah melakukan investasi sumber daya manusia (SDM) untuk jangka panjang. []

[Suara Guru, Suara Merdeka 20 Oktober 2008]

Sabtu, 25 Oktober 2008

Bunga dari Jepara

Cerpen LUBIS GRAFURA
www.lubisgrafura.co.cc


Europese Lagere School (ELS), Jepara, 1891

GEMERISIK daun bambu diterpa angin pagi menanggalkan beberapa helai daun keringnya. Helai-helai daun itu menikmati masa terakhir di udara sebelum jatuh ke tanah. Dan, ada sehelai daun yang tersangkut dahan sebelum luruh bukan ke atas tanah, melainkan di rambut seorang gadis yang tengah berlari.

“Letsy, tunggu!”

Seorang gadis berlari setelah ia membuang daun kering yang luruh di atas kepalanya. Jarit yang membebat tubuhnya hampir tak bisa dikatakan ia tengah berlari. Sementara temannya yang berambut pirang menunggu di depan.

“Letsy, kita duduk di sana yuk bercerita-cerita”

Keduanya memilih duduk di bawah pohon waru yang rindang. Rerantingnya berdesik. Menciptakan hawa semilir di bawahnya. Letsy mengeluarkan bukunya. Sementara dirinya memandang aneh kepada sahabatnya akrabnya itu.

“Letsy ceritakanlah sesuatu kepadaku”

Letsy membuka bukunya. Namun bukan buku cerita yang ia tunjukkan kepada gadis pribumi itu, melainkan buku pelajaran bahasa Perancis. Gadis pribumi itu masih menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

”Ni,” Kata Letsy ”Aku sekarang harus menghafal pelajaran Perancis”

“Ah, itukan dapat kau kerjakan di rumah, sebab itu bukan pekerjaan sekolah.”

“Benar katamu Ni, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Prancis baik-baik, dua tahun lagi saya belum boleh pergi ke negeri Belanda. Karena saya ingin masuk sekolah guru. Kalau kelak nanti saya tamat, barangkali saya akan ditempatkan di sini. Dan saya tidak akan duduk di dalam kelas, tetapi di depan kelas. Nah, sekarang katakan kepadaku Ni, kamu kelak ingin jadi apa?”

Sepasang mata gadis Jawa itu menatap dengan penuh rasa heran. Sebab, yang baru saja terucap dari bibir karibnya itu sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Dan hati kecilnya membenarkan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya. Ingin jadi apakah dirinya?

“Ayolah Ni katakan sekarang.”

Letsy mendesak Ni dan menggoyang tangan karibnya yang masih mematung. Gadis pribumi itu memutar otaknya, mengumpulkan seluruh tenaganya. Menyusun kata-kata untuk menjawabnya, tapi sia-sia. Ia tak kunjung mendapatkan jawabannya.

“Ayolah. Kau ingin jadi apa?”

Tanda masuk kelas sudah dibunyikan, sementara Ni belum juga menemukan jawabannya. Ni kecil sungguh tak memiliki jawaban untuk pertanyaan sesederhana itu. Dengan nada yang polos dan penuh kejujuran ia menggelengkan kepala sambil berkata pendek.

“Tidak tahu.”

***

”Tidak tahu?”

Ni bertanya pada cermin. Ia melihat wajah yang tampak begitu bodoh. Betapa tidak, otak yang bersemayam di dalam kepalanya tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana. Pertanyaan itu tak kunjung juga berlalu. Hampir setiap malam sebelum dirinya tidur, pertanyaan itu selalu dipikirkannya. Begitu pula saat sepasang matanya yang masih sayu menatap fajar, pertanyaan itu juga tak kunjung pudar.

”Hendak jadi apakah aku?”

Ni kembali bertanya kepada cermin di depannya. Pertanyaan itu seharusnya tak menjadi mendung untuk pagi-paginya. Tapi, gadis seusianya musti menanggung pertanyaan sederhana yang hampir tak dapat ditemukan jawabnya.

Ia masih ingat kemarin, saat ia sepulang sekolah, ia segera menemui ayahnya. Nafas Ni membuat dadanya turun naik, sebab ia berlari tanpa henti dari sekolah menuju rumah. Hanya ingin mendengar jawaban dari ayahnya.

“Hendak jadi apakah aku nanti ayah?”

Dengan penuh harap cemas, Ni kecil menunggu jawaban ayahnya. Ayahnya tidak mengatakan sesuatu. Beliau hanya tersenyum dan mencubit pipi Ni. Namun, gadis Jawa itu tetap merengek-rengek meminta jawaban dari sang ayah.

“Harus jadi apakah gadis-gadis? Ya, menjadi Raden Ayu, tentu saja.”

Jawaban itu keluar begitu saja dari sepasang bibir. Tapi, itu bukan kata-kata milik ayahnya. Perkataan itu adalah milik kakaknya yang kebetulan mendengar pertanyaan Ni. Kakaknya menghampiri Ni dan mengatakan sekali lagi bahwa Ni kelak akan menjadi Raden Ayu yang memiliki budi pekerti dan nilai-nilai perempuan yang berderajat.

”Raden Ayu?,” Tanya Ni kepada cermin kembali ”Apa enaknya jadi Raden Ayu?”

“Ni, Letsy sudah menunggumu!”

Ada suara ibunya di balik pintu kamarnya. Ni segera merapikan dandannya. Ia tak mau Letsy menunggu dirinya terlalu lama. Tapi tentu saja ia tidak akan mengatakan kepada karibnya bahwa dirinya kelak akan menjadi Raden Ayu. Ni memilih menyimpannya.

***

Ni memilih menyimpan semua keinginannya dalam hati. Air matanya mengiringi mimpi-mimpinya yang baru saja dikubur. Dan harapannya tinggal nisan bertuliskan kepupusan. Ni benci menjadi dewasa, sebab dewasa hanya akan membuatnya menderita.

Hal yang membuatnya menderita adalah ketakutannya. Ketakutan akan sebuah pintu kamar menguncinya dari luar. Menjauhkannya dari buku-buku. Menjauhkan dari segala kehausan akan ilmu. Ni musti menghadapi kenyataan. Sebuah pingitan.

Ni kecil kemarin berjalan dari sekolah ke rumah untuk terakhir kalinya. Matanya menjadi basah. Hatinya piluluka. Bibirnya mengatup kering dan gemetar. Tapi apa yang dirasakan oleh gadis polos kecil itu tak dapat disembunyikan lagi. Kedua matanya terlalu muda untuk menyimpan air mata. Ia uraiakan air mata itu sebisanya. Dia sadar, bahwa dengan tertutupnya pintu sekolah, berarti segala sesuatu yang dicintainya juga telah tertutup.

Sementara, pikiran kritis yang pernah diajarkan oleh pikiran Barat telah meletup-letup bersemangat, tetapi pada kedua tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai budaya Timur. Sedangkan otot-ototnya sangat lemah. Ia belum sanggup melepaskan diri dari belenggu yang mengikat itu. Kini pintu sekolah sudah tertutup rapat di belakangnya, sedangkan pintu rumahnya terbuka lebar untuk dirinya. Ia akan berada di sana selamanya. Ruangan itu juga kelak akan menjadi dunianya, alam semestanya yang dikelilingi oleh tembok tebal. Ia musti menikmati dunianya dalam sangkar.

Hari-hari Ni adalah hari-hari yang suram dan dia harus melaluinya. Seolah pasir waktu itu tersendat dan berhenti mengalir. Baginya matahari tak pernah bersinar mengisi pagi-paginya. Namun, diantara kebosanannya melihat lingkungan yang sama, orang-orang yang sama, Ni Kecil mendapatkan sedikit hiburan ketika Letsy datang mengunjunginya. Ia merasa menjadi Ni Kecil yang dulu lagi. Menjadi masa anak-anak yang penuh dengan kegembiraan. Ia melupakan pingitan yang senantiasa membelenggu dirinya.

Tentu saja Letsy tidak akan berlama-lama disangkarnya. Titik terang itu kembali padam. Kini di matanya hanyalah kegelapan dan belenggu itu makin kuat mengikat dirinya. Hidup yang penuh dengan kebosanaan itu akan terus berlangsung dan makin sunyi. Namun, sunyi itu pula yang mengajarkan Ni tetap terus membaca. Membaca dan memetik detik kehidupan yang terus mengalir bersama surat-suratnya.

Holland, 7 Juni 1898.

…Ni, Anda adalah pelopor semangat muda wanita bangsamu. Lebih dari itu Andapun telah meretas jalan kemuliaan rakyat sini…Ya Ni, kudoakan semoga Anda bisa merealisasikan apa yang selama ini hidup sebagai buah mimpimu….

Ni melipat surat yang baru saja diterimanya. Lantas, ia melihat dunia luar lewat jendela. Ada angin yang menerpa rambut di keningnya. Ni berharap apa yang ada di surat itu benar. Sepertinya ia sudah tahu hendak jadi apakah dirinya. Ia hanya ingin menjadi wanita yang dihargai. Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih. []

Terinspirasi dari Surat Abendanon, 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Asah Keterampilan Bahasa Inggris, Siswa MA Walisongo “On Air” di Double-E

Jepara, NU Online
English Conversation Club (ECC), salah satu kegiatan ekstrakulikuler siswa di Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, mulai Rabu (22/10) kemarin on air (mengudara) di Radio Double E pada gelombang 98.7 FM. Program ini dimaksudkan untuk mengasah ketrampilan speaking (berbicara) bahasa Inggris para anggota.

Untuk kelancaran program baru ECC di madrasah yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jepara ini, dalam setiap siaran yang dilaksanakan setiap Rabu siang hanya dijatah lima orang anggota untuk mengudara.

Ulfatun Nikmah, ketua ECC menyatakan siaran yang dilaksan akan setiap hari Rabu setelah pulang sekolah ini merupakan wahana untuk melatih anggota agar lebih berani mengekspresikan "cuap-cuap" dalam bahasa Inggris.

"Saya berharap agar temen-temen pegiat ECC, lebih enjoy tatkala mengudara di Radio Double E", kata Ulfatun, siswi kelas XI jurusan Bahasa, ditemui kontributor NU Online Syaiful Mustaqim di MA Walisongo, Jepara, Rabu (22/20).

ECC lahir sejak 2002 silam dan kegiatan ini dikhususkan bagi siswa jurusan Bahasa. Awal mulanya merupakan rintisan Drs Rohmadi AF, wali kelas jurusan Bahasa saat itu merekomendasikan kepada Alexander Mongot Jaya (Mr Mongot), salah seorang lulusan madrasah ini yang kemudian kuliah di AKABA 17 Semarang untuk menularkan ilmu kepada adik kelasnya.

Dengan kehadiran Mr Mongot, banyak siswa yang antusias untuk mengikuti kegiatan ini, sehingga ECC eksis hingga sekarang. Tahun berganti tahun akhirnya, pada tahun ajaran baru 2008 kemarin ECC berubah menjadi kegiatan ekstrakulikuler di MA Walisongo.

Selain itu, tidak hanya untuk siswa jurusan bahasa saja, akan tetapi semua jurusan baik IPA, IPS boleh mengikutinya. Hal ini merupakan antisipasi agar tidak mengalami penurunan jumlah anggota.

Pembina ECC, Irbab Aulia Amri mengutarakan kegiatan ECC saat ini dilaksanakan rutin setiap hari Sabtu siang. Sedangkan kegiatan tambahan setiap hari Rabu merupakan kerjasama ECC dengan Radio Double E yang berada di desa Troso, Pecangaan Jepara.

Lebih lanjut lulusan Universitas Muria Kudus menambahkan setiap Rabu akan dibahas topik tertentu sehingga pendengar radio bisa mengirimkan opini atau hanya sekadar mengirim SMS kepada kawan-kawan selain itu juga bisa request lagu favorit.

Respon dari pendengar cukup baik, terbukti program perdana yang baru digelar siang kemarin banyak pendengar radio yang mengirimkan pesan singkat (SMS) baik berupa opini atau sekedar kirim salam kepada teman.

"Mudah-mudahan ini menjadikan awal yang baik agar ECC semakin eksis dan makin di kenal oleh khalayak", kata Irbab. (nam)

[Warta, NU Online 23 Oktober 2008]

Minggu, 19 Oktober 2008

Puisi-puisi Sri Wahyuni

SRI WAHYUNI, Lulusan Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan

Mengapa Berbeda

Senja merona di ufuk petang
Mengapa engkau selalu mengalahkan siang?
Malam ini sepintas tampak suram
Bintang tersipu menatap enggan
Mengapa ada orang yang menantang enggan?
Alangkah bijak ketika perbedaan itu menjadi penerang dan sisi gelap bagi seseorang


Alam itu Romantis

Sadarkah bahwa alam mengajarkan banyak hal
Serbuk sari dan putik selalu menjadi pelengkap bunga untuk merekah
Akar dan batang selalu menjadi kekuatan pohon untuk bertumbuh kembang
Kupukupu betina dan jantan saling bergandengan dan berhimpitan
Bukit dan lembah selalu setia pada gunung-gunung yang menjulang
Mendung selalu takluk dengan getaran halilintar
Sadarkah kita bahwa alam itu indah dan berkah


Minggu, 12 Oktober 2008

Polesan Film Laskar Pelangi

Oleh Heri Priyatmoko

Peneliti di Kabut Institut, Solo

Daun kalender menunjuk angka 25 September 2008. Di bioskop terlihat berderet antrean panjang pengunjung di depan loket bak antrean BBM di SPBU menjelang kenaikan harga. Karcis laris manis bagai kacang goreng. Kursi bioskop terisi penuh. Sudah diprediksi, pemutaran perdana film Laskar Pelangi (LP) bakal meledak. Ternyata benar, ratusan orang tidak mau melewatkan film yang dibesut oleh Riri Reza dan Mira Lesmana tersebut. Apresiasi publik cukup menggembirakan.

Sepintas, film LP terlihat seperti film anak-anak. Tapi di sana, disuguhkan tema-tema kemiskinan, kemelaratan, pendidikan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Film yang terlebih dahulu terdongkrak oleh larisnya novel LP garapan Andrea Hirata itu, mampu menampilkan cerita tragik tentang orang-orang dari struktur masyarakat yang dikalahkan. Atau, mereka yang tidak diperhitungkan dan tidak cerah masa depannya.

Sentuhan Riri sebagai sutradara muda yang andal terbukti melalui film yang menelan ongkos 8 miliar ini. Banyak polesan elok dari aspek bahasa gambar maupun tampilan bermacam detil yang “tertulis” menjadi terucap. Idealisme Riri di film yang berdurasi 120 menit itu tampak jelas tak ingin menyajikan LP yang dalam memoar karya pegawai Telkom Bandung ini berkisah tentang kenakalan dan kejeniusan anak-anak sekolah Muhammadiyah semata. Riri sebisa mungkin memberikan solekan baru, bahkan memperkaya dengan latar sosial dan budaya.

Sutradara berambut keriwil itu sedikit menggesar fokus cerita lebih kepada perjuangan anak-anak LP menghadapi hidupnya yang tak karuan susahnya, baik secara ekonomi maupun kelas sosial di Belitong. Sebuah tanah kaya akan tambang timah, tapi penduduknya justru terjerembab dalam lingkaran kemiskinan akibat warisan kolonial Belanda. Peristiwa dan tokoh yang tak terdapat di novel bermunculan. Riri melukiskan dalam layar perak suatu adegan baru. Contoh, sebuah lemari kaca bekas yang dikirim ke sekolah untuk menaruh piala hasil lomba karnaval yang diraih berkat kepiawaian Mahar (Verrys Yamarno) dalam seni. Lemari itu tiada kancingnya, terbuka terus sehingga mengganggu Ibu Muslimah (Cut Mini). Lalu, Lintang (Ferdian) mengganjalkan kertas agar pintu tertutup. Begitu memukau polesan Riri. Sebab, ini menggambarkan adegan humor di sela-sela kemiskinan yang didera penghuni sekolah yang malamnya untuk kandang kambing ini.

Namun, tak sedikit pemirsa yang sebelumnya sudah menamatkan membaca novel, dibuat bingung sutradara. Pasalnya, ada tiga tokoh baru yang menghidupkan alur cerita film. Tokoh tambahan ada Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) yang menjadi pejabat PN Timah yang menaruh simpati keberadaan sekolah yang bermurid sepuluh orang itu. Lalu Pak Bakri (Rifnu T Winaka), seorang guru SD Muhammadiyah yang kepincut pindah ke SD lain di Bangka karena perhitungan materi tentunya. Kemudian, Pak Mahmud (Tora Sudiro), guru SD PN yang gandrung pada Ibu Muslimah.

Penonton wajar kecewa takkala menunggu cerita Tripani yang berakhir dramatis, menderita mother complex, yang malah tak dihadirkan di film. Atau kisah Mahar yang seperti dukun yang mengobati Ikal (Yulfany) yang merana akibat ditinggal cinta pertamanya, A Ling (Levina). Mungkin pertimbangan Riri lebih mengutamakan kisah yang kental nafas sosialnya. Demi terkena sasaran pada aspek kultur Melayu, tak sungkan Riri mengganti lagu Tennesee Waltz yang dinyanyikan Mahar dengan lagu Bunga Seroja. Bahkan, untuk pemain cilik LP, Riri tak mau kirim dari Jakarta, ia mencomot anak Belitong karena butuh dialek setempat dan tahu persis kehidupan sosio-kultural kota yang sempat “terbelah” ini dengan dua masyarakat yang timpang dan dibatasi papan “Dilarang Masuk buat orang jang tida punja hak”.

Budaya Popoler
Sepotong cuplikan yang paling menyayat hati penonton ketika Lintang pamitan pada teman-temannya dan Ibu Muslimah karena harus meninggalkan sekolah selamanya. Ayahnya meninggal dunia, dan dia mesti menggantikan peran ayahnya sebagai kepala rumah tangga agar dapur tetap terkepul. Di situ, Ikal mengejar Lintang dengan berurai air mata. Tapi, si jenius yang telah menyelamatkan sekolah dalam lomba cerdas cermat itu, kian jauh tak terkejar. Tak mungkin lagi ada cerita Lintang yang dihadang buaya tempo hari dan naik onthel berjarak 40 kilometer untuk sampai di sekolah. Suntikan Riri dalam adegan ini meski tidak ada dialog apa-apa hanya gambar yang sederhana, tapi bagaikan setrum sebab memberi letupan yang amat menyentuh jiwa.

Sangat tepat manakala Ibu Muslimah dalam film diposisikan lebih dominan. Apa yang dilakukan Ibu Muslimah saat mengajar penuh keikhlasan dan beliau tetap bersemangat menunaikan tugasnya sebagai guru walau gajinya harus diutang dua bulan. Ini sungguh sentilan bagi ratusan sampai ribuan guru GTT di Indonesia yang berdemo ngotot minta dijadikan sebagai pegawai negeri sipil. Ibu Muslimah sempat galau dan berhenti mengajar setelah Pak Harfan (Ikranagara) wafat. Namun, tiba-tiba Pak Zulkarnaen datang memberi pencerahan bahwa mengajar itu adalah berangkat dari rasa bukan materi seutuhnya. Akhirnya, Ibu Muslimah kembali mengayuh sepeda menemui anak didiknya seperti biasa. Sungguh gambaran yang mengharukan.

Karena itulah, mengangkat novel LP ke layar lebar dan Andrea memberikan kepercayaan itu kepada Riri dan Mira, bukanlah hal yang keliru. Pasalnya, Andrea meniupkan semangat untuk bangkit lewat novel, tersalurkan pula secara visual. Memang jauh sebelum Ayat-ayat Cinta dan LP sohor, cerita novel yang difilmkan sudah banyak. Sebut saja film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I’m In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet. Boleh saja dikatakan melalui sinetronisasi karya sastra (pemilik stasiun televisi) hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan sebagai mesin kapitalisme untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Orientasi yang lebih mulia ialah dengan mengampanyekan lewat film akan nilai-nilai agama, secercah semangat, dan percikan-percikan inspirasi yang bertaburan di dalam buku LP, diharapkan menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia yang terpuruk karena kemiskinan, merasa termarjinalkan, mereka yang keok sebelum bertarung, dan sekaligus mengkritik para pembuat kebijakan yang memandang sebelah mata pendidikan di daerah pedalaman. Dengan demikian, sepantasnya kita tak keberatan angkat topi kepada pembuat novel dan film LP. []

[Opini, Joglosemar, 27 September 2008]

Refleksi Kemerdekaan

Oleh Awaludin Marwan, S.H
Pegiat Dewandaru Jepara Society

Patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan kemerdekaan Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis. Kemerdekaan pada intinya harapan dan cita tentang kesejahteraan manusia. Kemerdekaan absurd hanya mengalih fungsikan penggantian penindasan lama dengan penindasan baru.

Suasana mencekam bukan berakibat dari kobaran perang, namun karena masyarakat yang terhimpit kemiskinan dan keterbelakangan. Kemerdekaan harusnya menjadi solusi bagi kesengsaraan masyarakat pascakolonial yang membebaskan dan membahagiakan. Justru dengan kemerdekaan ini, kondisi diperkeruh dengan maraknya praktek korupsi dan suap oleh politisi di menara gading sana yang seharusnya sebagai negarawan yang memperdulikan nasib rakyatnya.

Kemerdekaan pascakolonial bisa diartikan membebaskan kelas konglomerat dan politisi busuk, mencengkeram kuat upaya penyejahteraan masyarakat kelas rendah. Kebijakan yang di buat pemerintah Indonesia beserta politisi di Senayan yang cenderung lebih berpihak pada kaum neo-liberalisme, membuat rakyat dipaksa mengikuti skenario pemerintah yang tak rasional. Kenaikkan harga BBM, pencabutan subsidi, privatisasi, dan ratifikasi konvenan internasional yang sama sekali tidak menguntung masyarakat Indonesia menjadi warna yang kental bagaimana elit negara mengisi kemerdekaan ini.

Perkembangan refleksi kemerdekaan kini kian jauh dari makna yang sesungguhnya. Tidak hanya semangat kemerdekaan yang sama sekali tidak pernah dipakai elit Negara dalam menyusun kebijakannya. Namun refleksi kemerdekaan mengalami pergeseran pada ranah yang lebih luas. Kemerdekaan yang harusnya memiliki esensi keprihatinan, maraknya aksi hedonis yang dilancarkan oleh tiap sudut kota negeri dalam memperingati hari kemerdekaan membuat kekecewaan menjadi teramat sangat. Aksi hedonis, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Epikuras dan Aristippos, berarti kata tentang kenikmatan (hedone). Kenikmatan badaniah yang sifatnya sementara dipandang lebih menyenangkan ketimbang kenikmatan rohaniah.

Unsur penghambur-hamburan harta begitu lekat dengan perayaan kemerdekaan di sudut kota negeri ini. Suasana lomba, pawai, hiburan dan bentuk kegiatan yang sesungguhnya membuat kita lena pada makna kemerdekaan subtansial, sekarang, menjadi tradisi absolute. Seolah-olah perayaan kemerdekaan berarti penghiasan aksesoris tempat-tempat, perlombaan, karnaval, dan kegiatan lain yang tak jelas.

Perayaan kemerdekaan bukan lagi merekontruksikan gagasan tentang cita bangsa. Terus bertanya tentang hasil evaluasi pelaksanaan humanisasi, keadilan sosial, moral, dan etika bangsa dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa ini.

Lunturnya Nasionalisme
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) dalam dimensi yang di baca oleh Benedict Anderson (1983) Imagined Comunities merupakan konsep antropologi yang semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Pada konsepsi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined”. Artinya, orang-orang mendefinisikan dirinya sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah mengenal, bertemu atau bahkan mendengar. Namun dalam benak mereka, hidup imagined mengenai kesatuan bersama. Itulah setiap warga bangsa sepatutnya mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan Negara.

Di dalam domain ini, jiwa patriotisme dan etika mengutamakan kepentingan bangsa sebuah keharusan yang di lakukan warga bangsa. Namun kenyataannya prinsip ini hanya sebuah slogan dalam kehidupan berbangsa belaka. Prinsip ini lepas dari laku dan disiplin kehidupan bermasyarakat. Masyarakat kita lebih mengutamakan hak milik pribadi ketimbang kepentingan bersama.

Kebiasaan oligarkisme dan individualisme lebih dominan ketimbang prinsip komunal-sosial. Sebagai contoh, partai beserta elitnya saling melakukan black campaign dan negative campaign di ranah politik mendekati masa pemilu, para intelektual saling mencemooh karena dugaan praktek permainan kepetingan di balik pemikiran, aksi kekerasaan pelanggaran hak asasi layim terjadi akibat perbedaan keyakinan kepercayaan dan banyak kasus lain. Sederetan kasuistis ini menandakan lemahnya nilai-nilai kebangsaan dan tumbuh suburnya oligarkisme dan individualisme.

Oligarkisme dan individualism adalah motor penggerak lunturnya nasionalisme. Dia menyeret kita pada kondisi ketidak pekaan sosial, disorientasi nilai dan tujuan bangsa untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia hanya menginginkan kesejahteraan dan kecerdasan bagi kaum bahkan pribadinya sendiri.

Gesernya Jeparaisme
Nasionalisme dipandang sebagai konsepsi yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut dengan ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos dan simbolisme. Ketika unsur ini di bicarakan , maka Jepara sebagai sebuah lokalitas memiliki semua unsur ini.

Pada abad ke-7 Jepara diperintah oleh ratu yang arif, bijaksana, keras, dan tegas dalam menegakkan disiplin serta penuh tangggung jawab dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ia bertahta dikerajaan Kalingga, bergelar Ratu Shima. Pada masa pemerintahan Demak, di Jepara hadar tokoh putri lainnya yaitu ratu kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa.

Belajar dari uraian diatas, maka masyarakat Jepara sebenarnya sudah bisa bangkit dan lahir kembali dengan atribut kultural yang otonom. Menciptakan paham Jeparaisme, menempatkan warga Jepara dengan gagasan, jiwa, dan raga untuk kemajuan Jepara seutuhnya. Meskipun mungkin kita harus berhenti sejenak menyaksikan ketimpangan budaya masyarakat Jepara.

Budaya yang menghinggapi masyarakat Jepara antara lain, plutokrasi dan hedonisasi. Plutokrasi yang pernah subur di Sparta Yunani zaman itu memperlihatkan keterbudakan orang-orang pada harta sebagai tolok ukur derajat manusia. Pengusaha lebih merasa bahwa kekayaannya selama ini hanya didapat atas kerja kerasnya sendiri, tanpa memperdulikan lingkungan sekitar yang miskin, bahkan melupakan penggabdiannya pada masyarakat, Negara dan bangsanya, apalagi daerahnya.

Sedangkan hedonisasi, nampaknya bersatu dalam jiwa generasi muda Jepara. Anak-anak muda lebih mengutamakan gengsi pergaulan, kompetisi meniru gaya model artis, dan terperangkap pada kehidupan glamour. Pada titik ini, sangat tidak mungkin bisa memberikan ruang kontemplasi bagi mereka untuk mencurahkan keprihatinannya, membangun daerahnya kedepan.

Dengan generasi muda seperti ini, harapan untuk kemajuan Jepara hampir mencapai puncak kepupusan. Padahal ketauladanan telah dicerminkan tokol lokal yang sekaligus menjadi tokoh nasional Jepara, RA Kartini. Di samping pemikirannya tentang emansipasi perempuan, beliau berpikir keras tentang kesejahteraan masyarakat Jepara saat itu. Sumbangsihnya sangat berpengaruh pada perkembangan kerajinan mebel ukir Jepara yang hingga saat ini masih menjadi komoditas unggulan masyarakat Jepara.

Kerajinan ukir mengalami perkembangan lebih lanjut secara pesat setelah kemunculan RA Kartini yaitu putri keempat dari R.M.AA Sosroningrat Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880-1905. Pada masa RA Kartini yang mampu memberikan kontribusi yang luar biasa karena jaman dahulu ukiran itu hanya dibuat untuk kepentingan bangsawan sehingga rakyat biasa belum memiliki penghasilan atas ukiran tersebut. Atas dasar pemikiran Kartini kemudian, dia berharap agar ukiran bisa diproduksi secara massal dan semua rakyat bisa membuatnya. Akibatnya, perajin atau rakyat biasa mampu meningkatkan penghasilan keluarganya (Gustami, 2000: 205).

Karena usaha keras RA Kartini inilah memperkenalkan kerajinan ukir Jepara ke Eropa Barat, pada akhirnya kerajinan ini memiliki pangsa pasar yang bisa di nikmati oleh kebanyakkan masyarakat Jepara hingga saat ini. RA Kartini salah satu putri terbaik Jepara, bagaimanapun kita masih berharap akan lahirnya RA Kartini- RA Kartini baru di zaman ini dengan gagasan-gagasannya yang dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat masyarakat Jepara ke depan. []

Sabtu, 11 Oktober 2008

Mengapa (Malas) Menulis?

Oleh Siswanto

Mantan reporter SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang

DI
samping menjadi pembaca dan mendapat inspirasi dari tulisan orang lain, sebaiknya kita juga berkontribusi memberi bacaan dan inspirasi kepada yang lain. Rasanya naif apabila kita banyak membaca namun tidak menelurkan tulisan dari otak kita.

Padahal bukan hal yang sulit jika seorang berbekal banyak bacaan untuk beranjak menjadi penulis. Namun, banyak alasan yang mencoba mengganjal penulis pemula.

Menurut hemat saya, ada empat alasan mengapa kita malas menulis yang harus segera “disingkirkan”. Pertama, kita tidak menganggap diri kita bakat menulis. Alasan ini sering terdengar bagi mereka yang sampai saat ini belum mau mencoba menulis. Padahal menulis adalah kebiasaan.

Kedua, kita (merasa) sibuk dan tidak sempat menulis. Ini lucu karena menulis tidak harus membutuhkan waktu lama. Jika ada kejadian yang kita lihat dan menarik, langsung saja corat-coret di kertas, dua menit sampai lima menit cukup untuk menggambarkan kejadian tersebut.

Atau, ketika di pikiran kita ada sesuatu, baik yang menyedihkan maupun menyenangkan dapat juga kita tulis dalam buku harian.

Ketiga, kita kurang sadar bahwa tulisan memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan diri kita, yang tidak lekang waktu. Setiap tulisan yang kita hasilkan baik berupa artikel atau buku pasti mendapatkan pembacanya sendiri. Sejauh yang kita tulis adalah hal kebajikan, pasti akan membawa keberkahan bersama.

Keempat, sekaligus yang menjadi masalah krusial bagi penulis (pemula) Indonesia adalah penghargaan bagi penulis sangat minim. Alasan ini sering keluar dari penulis pemula bahkan seorang doktor.

”Menjadi penulis di Indonesia jangan berharap menjadi kaya, maka saya malas menulis,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Badiatur Roziqin, penulis muda Semarang yang sudah menetaskan puluhan buku. ”Penulis kok susah kaya ya, beginilah nasib penulis Indonesia.”

Memang, dibanding negara tetangga, Malaysia misalnya, kita jauh berbeda tentang apresiasi terhadap penulis.

Di Malaysia, kata Badiatur, setiap ada buku baru terbit pemerintah membeli 30.000 eksemplar untuk dibagikan ke perpustakaan seluruh Malaysia.
Apabila hal ini terjadi di Indonesia, tentu sudah menyejahterakan penulis. Ini sekaligus memacu masyarakat untuk bersaing ketat mencipta karya tulis. []