Minggu, 31 Agustus 2008

Pendidikan Ala Mall

Oleh Mukodi


Layaknya jamur dimusim hujan, perkembangan mall dipelbagai kota di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tampilan-tampilan fisik bangunan mall pun didisain sedemikian rupa, agar tampak anggun, elegan dan memikat hati para konsumen. Pelbagai aneka kebutuan masyarakat disajikan di sana, mulai dari kebutuhan primer, skunder bahkan tersier. Sehingga apa pun yang dibutuhkan masyarakat, di berbagai mall pasti akan mudah didapati. Hal ini seolah menjadi pembenar bahwa wujudnya mall adalah untuk memanjakan kehidupan manusia. Ungkapan semacam ini bukanlah tanpa alasan, sebab tingginya antusias masyarakat yang memadati mall-mall diberbagai kota menjadi bukti, betapa masyarakat kita sangat menikmati kehadiran mall.

Di sisi yang sama, lembaga pendidikan pun layaknya mall, berusaha menggait pelanggan (para wali murid dan peserta didik) agar bisa terpikat dan terperdaya olehnya. Alih kata, lembaga pendidikan pun identik dengan mall. Kemiripan dan keidentikan keduanya terletak pada cara menggait pelanggan. Tak disangkal, pelbagai trik dan jurus memikat pelanggan dikeluarkan oleh pihak lembaga pendidikan. Mulai dari memasang baliho besar-besaran, iklan, promosi lewat media elektronik, pemberian "diskon", beasiswa bahkan melakukan promosi door to door ke instansi terkait. Apalagi memasuki tahun ajaran baru, intensitas dan ritme promosi lembaga pendidikan semakin menggila.

Menuju Pendidikan ala Mall
Terinspirasi dari antusias dan respon positif masyarakat terhadap kehadiran mall, tidak ada salahnya para praktisi pendidikan perlu menggagas berdirinya pendidikan ala mall. Maksudya pendidikan yang mengadopsi etos kerja dan sistem pelayanan ala mall. Eksistensi mall dan pendidikan adalah dua entitas yang berbeda, di satu pihak mall menyajikan hedonisme, konsumerisme, dan pernak-pernik kemewahan duniawi. Sedangakan pendidikan yang lazim disebut "sekolah" di pihak lainnya, mengusung pemberdayaan manusia, pencerahan pola pikir, liberasi pemikiran, dan sifat lain sejenisnya.

Paradoksal memang kesan keduanya, antara mall dan pendidikan. Bagaikan membandingkan air dengan minyak, bumi dengan langit, atau matahari dengan bulan. Namun demiikian, jangan terburu-buru menarik konklusi akan keunggulan pendidikan dibanding mall. Mengapa demikian? Sebab terlepas dari efek negatif yang ditimbulkan mall bagi masyarakat, setidaknya ada empat pelajaran positif dari mall dibanding lembaga pendidikan.

Pertama, disain tata letak ruang mall yang elegan, cantik dan menyenangkan. Disain mall semacam ini, yang membuat mall lebih disukai ketimbang disain ruang sekolah. Mall disukai, baik dari kalangan masyarakat papan bawah, menengah maupun atas, dipuja oleh kaum anak-anak, dewasa sampai manula. Sungguh penataan ruang mall yang fotogenik dan enjoyment tersebut, berbalik arah dengan tata ruang di lembaga pendidikan. Acapakali dijumpai diberbagai lembaga pendidikan kita, tata ruangnya serba "semerawut" tak karuan ujung pangkalnya--kalau tidak dikatakan--penataannya "asal-asalan." Minimnya sumber dana tidaklah bijak untuk dijadikan kambing hitam, akan buruknya tata ruang pendidikan. Bukankah sense of art adalah bagian dari proses pembelajaran yang mestinya diajarkan dan dipraktikkan?

Realitas menyedihkan lainnya adalah masih minimnya sekolah di negeri ini yang mempunyai fasilitas sanitasi seperti jamban, alias WC dan kamar mandi. Kasus tidak adanya fasilitas sanitasi ini dapat dengan mudah ditemukan dipelbagai sekolah dilingkungan sekitar. Terlebih di sekolah-sekolah dipelosok pedesaan, mungkin kasusnya menjadi lebih sangat menyedihkan. Padahal adanya fasilitas tersebut mutlak dibutuhkan oleh sekolah. Parahnya lagi, keterbatasan sarana pra sarana sekolah terkadang tidak diimbangi dengan indahnya disain tata letak ruang kelas yang menyenangkan. Sehingga peserta didik pun menjadi bosan dan tak nyaman harus berlama-lama berdiam di sekolah.

Kedua, ramah dan luwesnya tenaga kerja mall dalam melayani konsumen. Tak disangkal, para pelayan di mall-mall sangatlah ramah dan profesional dalam bekerja. Tutur sapa yang santun dipulas dengan senyum simpul dalam menyapa dan melayani konsumen. Akhirnya membuat para konsumen menjadi sangat nyaman, dan mereka pun mallas untuk pulang. Apalagi berbagai kebutuhan konsumen disuguhkan dengan menu spesial dan servis yang memuaskan.

Keramahan dan keluwesan para pelayan di mall-mall tersebut, ternyata sangat sulit diperankan oleh para staf pendidik di lembaga pendidikan. Terbukti munculnya julukan "guru killer, dosen otoriter" hanya dialamatkan kepada oknum guru dan dosen semata. Dan belum pernah terdengar adanya sebutan "pelayan killer" dan "otoriter". Kasus-kasus seperti ini, mungkin imbas dari minimnya gaji dan besarnya tanggung jawab para guru, sehingga terkadang membuat mereka khilaf dan tak profesional. Namun demikian, hendaknya sifat ramah, dan luwes haruslah melekat kepada semua orang dalam kondisi dan situasi apapun, tak terkecuali para guru.

Ketiga, di pelbagai mall selalu ada sistem garansi bagi produk-produk tertentu yang disajikan. Adanya garansi ini tentunya membuat para pelanggan tidak "gamang" atau kawatir dalam berbelanja. Sebab untuk barang-barang tertentu, jika barang cacat dapat direturn (dikembalikan). Sistem garansi atas produk penjualan ini hendaknya bisa dijadikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Pertanyaannya kemudian, beranikah sekolah memberi garansi bagi para wali murid dan peserta didik? Beranikah pihak sekolah mengembalikan sejumlah materi, jika kompetensi peserta didik hasilnya kurang memuaskan? Siapkah sekolah memberi jaminan mutu bagi para lulusannya? Jika pertanyaan-pertanyaan semacam ini terselesaikan, niscaya masyarakat akan respek terhadap lembaga pendidikan. Dan tidak menutup kemungkinan, masyarakatlah yang akan mencari sekolah bukan sekolah yang mencari peserta didik.

Keempat, mall selalu melakukan perubahan-perubahan secara masif dalam merespon kebutuhan masyarakat. Disinilah letak keistimewaan dari mall yang sulit diikuti oleh lembaga pendidikan. Diakui atau tidak, dalam dataran konseptual teoritis lembaga pendidikan lebih mumpuni dalam memahami perubahan, tetapi secara praksis ia selalu terlambat merespon perubahan. Kalau pola kerja semacam ini dipertahankan terus-menerus, tak mustahil suatu saat masyarakat tak akan lagi mempercayai terhadap institusi pendidikan.

Pelbagai nilai positif mall di atas, tentunya dapat dijadikan inspirasi dalam membangun citra positif pendidikan. Melalui pencitraan positiflah institusi pendidikan akan memikat hati para pelanggannya. Dan tak ada salahnya, jika lembaga pendidikan berani mencontoh strategi mall. Bukankah institusi pendidikan harus selalu adaktif dan selektif menerima perubahan? Pendidikan semestinya layaknya mall yang selalu meng-update dan melakukan enovasi setiap saat dalam menerjemahkan perubahan? Semoga pendidikan kita mampu melaksanakan tugas yang maha berat tersebut.[]

MUKODI, pemerhati pendidikan, sekaligus kordinator divisi diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pernah dipublikasikan di Banjarmasin Post.

Puisi Iffah Nafiah

Bunga Hitam

Kami kirimkan sebuket bunga
Hanya untukmu SBY-Kalla
Kami tak sedikitpun percaya
Selama ini kau memperistri Indonesia
Indonesia beranakpinak bencana
Kemiskinan rakyat yang semakin jelata
Itukah hasil perkawinanmu dengan nusantara?
Biarkan dulu negeri ini menjanda
Kami selalu menderita ketika kau berkuasa
Indonesia beranakpinak tikus-tikus yang tumbuh dewasa
Bayangkan sekali lagi, bertambahnya derita menyiksa?
Sedangkan, hutang-hutang menumpuk di negara
Harusnya kau yang menanggungnya
Kenapa bayi-bayi tak berdosa turut menanggungnya?
Belum puaskah kalian membuatnya menderita
Ketika susu menjadi kebutuhan mereka
Tetapi mereka hanya dapat cipratan ludahmu semata
Harusnya kau mencerdaskan generasi bangsa
Bukan tikus-tikus itu yang kau piara
Warna hitam itu bunga
Kami rancang sebagaimana kebijaksanaan petuah belaka
Lewat itu sebagai tanda
Kami dan kami merasa kecewa

IFFAH NAFIAH, Kontributor Smart Institute siswi MA Tasywiqul Banat Robayan Kalinyamatan.

Baratan; Serpihan Budaya Jepara

Oleh Zakki Amali*


Berbagai daerah di Jawa mempunyai tradisi unik menjelang Ramadhan yakni nyadran atau ruwahan, salah satunya Baratan. Tepatnya tanggal 15 Syakban, merujuk astronomi Jawa gubahan Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, Raja Mataram Islam, di Kecamatan Kalinyamatan Jepara diadakan festival Baratan.

Belum ada sumber (buku atau penelitian) mengupas masalah Baratan. Setidaknya kita dapat menengok kebelakang melalui folklor, tradisi (cerita) lisan, yang berkelindan di masyarakat Jepara. Dari sana tergurat dua versi cerita.

Pertama, berawal dari kisah kedatangan Sultan Hadirin, dulunya bernama Raden Thoyyib. Oleh Karena kehadirannya di Bumi Kartini, dia berjuluk Sultan Hadlirin (Arab: hadlara: hadir, tiba). Dia meninggalkan Tiongkok dan pergi mengembara. Dalam pengembaraannya dia sampai di Jepara.

Begitu mempersunting Retno Kencono, dia langsung mendampingi Sang Ratu sebagai Adipati Jepara. Sudah menjadi kebiasaan zaman dulu, pengembara, apalagi suami seorang punggawa, Sultan Hadirin menunggang kuda dengan diiringi para pengawal dalam sebuah perjalanan peperangan.

Suatu ketika tibalah dia di Desa Purwogondo (sekarang berada di pusat Kecamatan Kalinyamatan). Tiba-tiba kuda yang ditumpanginya lari kencang menghilang, sehingga para pengawalnya pun kehilangan jejak tuannya. Kemudian dia dicari warga desa menggunakan lampu Impes (lampion), sejenis lampu tradisional seperti lampu teplok dengan bahan bakar minyak. Meskipun malam hari, waktu itu angin malam sangat bersahabat, bahkan nyaris tak ada angin yang biasanya berhembus kencang dari barat. Sultan Hadlirin akhirnya dapat ditemukan hanya dengan menggunakan lampu tradisional tersebut.

Kejadian itu lantas dilestarikan menjadi acara adat bernama Baratan, dari kata barat (maksudnya tak ada angin dari barat saat mencari Sultan Hadirin).

Versi Kedua, menurut para ulama acara adat Baratan tersebut merupakan bagian dari cara para ulama dahulu dalam mengisi keutamaan bulan Syakban.

Baratan berasal dari kata bahasa Arab baraatan (terbebas) dari dosa. Mereka memperingatinya dengan cara berkumpul bersama, mengadakan selamatan dengan menyajikan puli, makanan dari ketan. Kata puli konon berasal dari bahasa Arab 'afwu lii (maafkan aku). Karena acara tersebut dimaksudkan untuk memohon ampunan dari Allah SWT agar terbebas dari dosa.

Festival Baratan dimeriahkan pawai oleh anak-anak, maupun orang dewasa dengan membawa mobil-mobilan, terbuat dari bambu dan papan, disampuli dengan kertas warna-warni. Selain itu, Impes tidak ketinggalan menghiasi jalan-jalan pedesaaan.

Pada atap mobil-mobilan, dibuatkan lubang, fungsinya untuk memberikan jalan asap dari lilin yang dipasang di dalamnya agar tidak membakar kertas yang menghiasinya. Tradisi ini dilaksanakan di malan 15 Syakban dengan rute mengelilingi desa.

Biasanya penjual mobil-mobilan sudah ada kira-kira seminggu sebelum acara. Harga yang dipatok penjual relatif terjangkau mulai dari 5000-15.000 untuk ukuran kecil dan sedang. Bentuknya pun bervariasi, menyerupai bus, mobil sedan, dan kapal, dan lain-lainnya.

Bagi yang berkocek tebal, pembuat menerima pesanan, harganya mengikuti model yang dipesan. Ini mempunyai kelebihan, bentuknya lebih bagus dan mendetail. Harganya bisa mencapai ratusan ribu, tergantung tingkat kesulitannya. Penjaja ube rampe baratan ini dapat dijumpai di pasar, seperti pasar Mayong, Kalinyamatan, dan Pecangaan.

Solikul Huda warga Desa Branang Kecamatan Mayong Jepara menuturkan, kekhawatirannya akan antusiasme masyarakat yang menurun. Menurutnya dari tahun ke tahun ghirah (semangat) warga berpartisipasi menurun. Ini dilihat dari sisa mobil-mobilan yang dijualnya beberapa tahun lalu. Jika demikian, ia rela memberikan barang dagangannya kepada orang lain. "Kalau pada sore harinya masih sisa mending dikasihkan, dari pada nganggur di rumah ".

Terancam Punah
Baratan adalah sebuah tradisi yang tidak dipunyai oleh daerah lain. Tradisi yang mempunyai dimensi relegius sekaligus ekonomi. Sangat disayangkan jika perkembangan Baratan mengalami kemandekan. Festival baratan lalu (16/08/08) di Kalinyamatan terkesan "kering". Agenda pelestariannya biasa-biasa saja. Hanya terlihat arak-arakan ala kadarnya dengan peserta yang sedikit.

Seiring perputaran zaman, festival Baratan akan kehilangan "obor", jika tidak digarap serius. Perlu diadakan agenda khusus sehingga baratan bukan hanya sebuah tontonan namun juga menjadi sebuah tuntunan.

Baratan termasuk gugusan khazanah budaya Jepara yang tinggal meregang nyawa, menyusul budaya jawa lainnya yang telah termakan zaman. Sayangnya, hidup atau mati budaya itu kita yang menentukan dan mengusahakannya, mustahil budaya itu hidup sendiri mencari bapak asuh. Kecuali ada "dermawan" yang mengadopsinya. []

ZAKKI AMALI, peneliti di Lembaga Studi Sosial Budaya Sumur Tolak Kudus

Sabtu, 23 Agustus 2008

Puisi-puisi Nanik Kurniawati*

Sakit

hati gundah

pikiran gelisah
tubuh rasa payah


Aku Ingin Pulang

rindu rasa hati

ingin aku menginjakkan kaki di bumiku sendiri
aroma masakan ibuku
suara khas ayahku
jeritan tawa adikku
kini menggema dalam kalbu

raga di sini namun jiwa di sana
jauh di mata dekat di hati
bayangan yang sangat kurindukan
bayangan mereka yang telah tertanam

aku ingin pulang
melepas segala kepenatan
memenuhi rasa rindu yang lama terpendam
aku akan datang

NANIK KURNIAWATI, aktif di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat IAIN Walisongo, Semarang

Sabtu, 16 Agustus 2008

Menjadi Selebritis Abadi



"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"
-- Pramoedya Ananta Toer

Oleh Amin Fauzi*

Ingin menjadi orang yang terkenal atau selebritis, tak harus menjadi artis sinetron atau artis layar lebar yang tiap hari nongol di televisi, atau kemana-kemana dikejar-kejar oleh wartawan hiburan.

Banyak cara untuk menjadi selebritis, salah satunya dengan menulis. Entah itu menulis cerpen,novel, puisi, artikel, ataupun buku-buku ilmiah.

Banyak penulis-penulis terkenal yang popolaritasnya meleibihi artis-artis layar kaca. Sebut saja Muhammad Hatta, Soekarno, Armin Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Ahamad Tohari atau penulis-penulis sekarang seperti Habiburahman El-Shirazy melalui novel Ayat-Ayat Cinta yang lagi booming melalui filmnya, dan banyak lagi penulis-penulis lain yang popular karena karya-karyanya.

Sutan Takdir Alisjahbana misalnya. Melalui karyanya Layar Terkembang, karya fenomenalnya masih banyak di baca dan bahkan menjadi buku wajib bagi para pelajar dan mahasiswa hingga sekarang.

Pramoedya Ananta Toer juga salah seorang penulis besar yang mengharumkan bangsa di pentas internasional. Karena tidak sedikit karyanya yang diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa di seluruh dunia.

Penulis lain adalah Ahmad Tohari, ia tidak tinggal di pusat kota, tapi hanya tinggal di pelosok desa Tinggarjaya, Jatilawang Banyumas Jawa Tengah, namun dari sana banyak monorehkan karya-karya sastra yang mempesona bagi pembacanya. Karya-karyanya telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda Jerman dan Inggris.

Mereka adalah selebritis yang melewati jalurnya dengan cara menjadi penulis. Tidak spontan dan tak mudah hilang popularitasnya sampai kapanpun selagi karyanya masih ada. Meskipun orangnya sudah meninggal berpuluh-puluh tahun yang lalu, tetapi dengan karyanya ia senantiasa hidup untuk dibaca dan dikenal oleh pembacanya. Seperti dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Ya. Dengan menulis, orang tidak selesai pada penyampaian ide. Tetapi di dalamnya terdapat goresan sejarah dirinya yang kelak akan dikenang dan dinikmati oleh pembacanya.

Gelar selebritisnya tidak semu, yang mungkin hilang dalam sekejap dimakan waktu seperti selebritis-selebritis biasanya. Karya seorang penulis mampu meruang dan mewaktu untuk siapa saja dan kapan saja. []

AMIN FAUZI, aktif di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang

Selasa, 12 Agustus 2008

Selamat Datang di Kampus Baru

Kepada segenap pegiat :
1. Ainun Nadhifah, Mahasiswi Fakultas Sain dan Teknologi jurusan Pendidikan Kimia Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Ani Rosita, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara
3. Damalia Afiyani, Mahasiswi Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi Universitas Negeri Semarang (UNNES)
4. Dewi Ratnasari, Mahasiswi jurusan Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nahdlatul Ulama (STIENU) Jepara
5. M Hisyam Maliki, peserta kursus 6 bulan Basic English Course (BEC) Pare, Jawa Timur
6. Murwanti Larosa, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara

Disampaikan oleh keluarga besar Smart Institute Jepara.

Senin, 11 Agustus 2008

Mustaqim, Pewarta Terbaik Juli 2008

Kali ini, predikat pewarta warga terbaik tersandang kepada seorang mahasiswa. Syaiful Mustaqim, mahasiswa semester akhir IAIN Walisongo ini tergolong rajin mengirimkan tulisannya ke Suara Warga. Salah satu tulisannya, Mesum Area, bahkan telah 'merajai' blog ini selama hampir satu bulan.


Semua butuh proses, prinsip Mustaqim, sehingga tidak masalah baginya bila hingga kini ia belum juga lulus dari kuliahnya. "Lulus berlama-lama di kampus, bukanlah menjadi kendala," ujarnya. "Saya memiliki banyak obsesi!"

Bagi Mustaqim, sebagian obsesinya ternyata sudah terealisasi. Satu di antaranya, berwirausaha. Kini mahasiswa fakultas Tarbiyah angkatan 2003 ini mengelola Asa Computer (biro pengetikan) secara pribadi di dekat kampusnya. Meski hasilnya belum seberapa, namun baginya itu tak menjadi masalah.

Obsesi yang lain, menjajal kemampuan di dunia penulisan. Sejak awal 2008, Mustaqim telah menekuni dunia penulisan secara otodidak.

Tak beberapa lama, beberapa tulisannya telah mewarnai berbagai media. Tabloid Yunior, Suara Merdeka, Wawasan, Kompas, memuat karyanya.

Meski terhitung cepat, ternyata tidak semudah itu usahanya menembus media. Tulisannya tidak serta merta langsung dimuat dan mendapatkan honor dari redaksi, namun dia mengawali dengan menulis SMS Pembaca. Setelah beberapa SMS Pembacanya dimuat, dia berpindah menulis Surat Pembaca. "Kedua hal itulah yang memberikan spirit, dan akhirnya beberapa tulisan saya kini benar-benar mewarnai berbagai media," akunya.

Di sesela kesibukannya kuliah, menulis, dan mengelola usahanya, mahasiswa yang mengambil prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) ini menyempatkan diri mendampingi jurnalis pelajar di kota kelahirannya, Jepara, sejak dua tahun lalu. Dan kini, dia dipercaya sebagai pembina program ekstra kulikuler jurnalistik di almamaternya, MA Walisongo Jepara. Setiap pekan, mantan sekretaris umum Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) ini harus bolak-balik Jepara-Semarang.

Meski memiliki banyak obsesi, pegiat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di kampungnya ini tidak mematok target. "Yang terpenting adalah saya mampu mengelola bisnis, memberikan upah bulanan kepada karyawan. Berlatih bagaimana menjalankan bisnis yang benar."

Secuil asa darinya, profesi menulis tetap akan dia geluti, meski nantinya bisnis rental, sablon dan pengetikannya bertambah besar. "Dan terakhir, semoga saya cepat menjadi sarjana!" Lho, bukannya tadi kamu bilang tidak masalah lama-lama di kampus?

[Suara Warga Suara Merdeka 10 Agustus 2008]

Puisi Septina Nafiyanti

Pelukan Dusta

Dalam pelukan dusta
Kukerah semua nada,
mengucur dari kedua bibir
Meletupkan suara tak bernyawa

Tergopoh, jujurku luntur
jiwaku hancur,
nadiku mendengkur,
keyakinanku soak tertempa mozaik dusta
Mengukir sejarah penghianatan

Nafas yang masih rekat dengan raga ini,
terus mecabik-cabik rasa yang timbul tenggelam,
mengitari hati
Meruntuhkan segala yang nyata

Kudus, 31 Juli ‘08

SEPTINA NAFIYANTI, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma STAIN Kudus

Kamis, 07 Agustus 2008

Puisi Fachrin Azka

Rapuh

Akhirnya mawar itu mati
Tanpa hujan membasahi
Karena takut mentari
Malam demi malam terlewati
Hampa tanpa arti
Langkah mulai tak terkendali
Ketika mawar hidup kembali
Dari tanah erosi
Embunpun mulai membasahi
Daun-daun hati
Dalam ikatan janji
Yang dengan mudah terobati

FACHRIN AZKA, Pegiat Smart Institute tinggal di Robayan Kalinyamatan

Selasa, 05 Agustus 2008

Mengembalikan Kejayaan Sreni Indah

Oleh M Saifuddin Alia*


Pada era ’90-an, Sreni Indah merupakan salah satu obyek wisata idola bagi masyarakat seputar Gunung Muria, terutama mereka yang berdomisili di Jepara, Kudus, Pati, dan Demak. Setiap hari Sreni Indah selalu dibanjiri pengunjung. Apalagi setiap hari libur, wisatawan pasti membeludak. Sampai-sampai keramaiannya tidak kalah dengan obyek wisata lain di sekitar Gunung Muria yang keberadaannya jauh lebih tua, seperti tempat wisata Air Terjun di Colo Kudus, Pantai Kartini dan Bandengan di Kabupaten Jepara.

Keberhasilan Sreni Indah dalam meraih kejayaannya dulu karena didukung dua faktor. Pertama, faktor lokasi. Lokasi Sreni Indah sangat strategis dan ideal. Hanya berjarak 8 kilometer dari pusat Kecamatan Nalumsari Jepara. Adapun Nalumsari dapat ditempuh hanya setengah jam dari pusat kota Kabupaten Kudus. Alhasil, bagi masyarakat Kudus saat berwisata tidak harus meluangkan waktunya seharian penuh. Cukup setengah hari sudah bisa menikmati indahnya Sreni Indah.

Menariknya, untuk mencapai Sreni Indah tidak harus menggunakan mobil dan sepeda motor,tetapi memakai sepeda ontel pun bisa. Hal itu karena lokasinya tidak terlalu tinggi, seperti tempat wisata Colo Kudus. Di samping itu, sepanjang jalan menuju ke Sreni Indah pun sangat bagus. Di kanan dan kiri jalan penuh pepohonan rindang hingga tercipta kesejukan, keasrian, dan kenyamanan dalam perjalanan.

Kedua, faktor keindahan. Keindahan serta panorama alam Sreni Indah waktu itu luar biasa cantik. Pohon pinus tertata begitu rapi. Kerapian dan kerindangannya membuat suasana Sreni Indah menjadi sejuk, asri, dan romantis. Apalagi guguran daunnya yang menumpuk sangat nyaman untuk alas duduk, bersantai, dan berbaring. Ditambah lagi sejauh mata memandang selalu tersaji keindahan panorama alam lereng Gunung Muria.

Namun sayang seribu sayang, Serni Indah kini kondisinya sangat memprihatinkan. Pasalnya, terjadi praktik penggundulan besar-besaran terhadap pohon pinus pada era 1997-1999.

Walau saat itu di kawasan Sreni Indah telah ditanami pohon kembali, kondisinya belum pulih seperti semula. Sreni Indah terasa gersang, tandus, dan tidak menarik lagi untuk tujuan berlibur.

Belum lagi sikap Pemkab Jepara yang masih sangat lemah dan kurang perhatian terhadap Sreni Indah. Nyaris tidak ada program unggulan, brilian, dan cerdas untuk membangun dan mempromosikan kembali Sreni Indah. Sikap Pemkab Jepara itu berbeda jauh dibanding sikap terhadap obyek wisata di Kepulauan Karimunjawa, Pantai Kartini, dan Bandengan yang selalu memperoleh perlakuan atau kebijakan istimewa.

Penulis mengajak kepada semua pihak, terutama Pemkab Jepara dan masyarakat sekitar obyek wisata agar serius membangun, menangani, dan mengambil langkah-langkah riil serta strategis mengembalikan kejayaan obyek wisata Sreni Indah. Dulu Sreni Indah dapat memberi manfaat bagi perekonomian masyarakat sekitar, pendapatan daerah, dan kemajuan daerah. Mengapa tidak sekarang?

*M SAIFUDDIN ALIA, Konsultan Smart Institute, guru MA Ismailiyyah Nalumsari Jepara dan MTsN Purwodadi Grobogan