Senin, 22 Desember 2008

Menulis, Terapi yang Menyembuhkan

Oleh Munawir Aziz
peneliti di Cepdes Jakarta

Menulis
pada hakikatnya merupakan aktivitas yang menggerakkan energi imajinatif nan mencerahkan. Akitivitas menulis tak hanya membuat sehat fisik dan mengukuhkan kekuatan jasmaniah, tetapi juga mencemerlangkan kehidupan. Menulis juga menjadi kekuatan untuk bertahan dari gempuran penyakit yang telah berakar dalam tubuh. Maka, dapat kita lacak dalam lanskap aras dunia kepenulisan termaktub nama-nama penulis yang berkarib dengan penyakit, namun tetap bugar.

Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.

Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.

Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.

Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.

Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.

Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.

Menghalau Kabut

Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.

Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.

Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.

Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)

[Jawa Pos, 14 Desember 2008]

Logika Kapital Tradisi Nyumbang

Oleh M Abdullah Badri

Peneliti di Idea Studies Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Bergiat di Dewandaru Jepara Society

Beberapa waktu lalu, ketika bertemu dengan kawan lama di sebuah acara, ia meminta saya untuk mendoakan agar acara pernikahannya yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi dihadiri banyak tamu. Selain itu, ia juga meminta pertimbangan saya untuk menentukan kapan waktu yang tepat melangsungkan pernikahan. Bak paranormal, saya menjawab sekenanya, ia pun mantap dengan jawaban saya.

Ketika saya tanya apa perlunya menyesuaikan tanggal nikah? Ia menjawab supaya tamu yang datang juga banyak. Lho kok? Pernikahan adalah upacara sakral yang harus disertai dengan ikhlas menjalankan sunnah nabi. Namun sayang, kini kerap kali ketika orang akan melangsungkan upacara pernikahan (resepsi) justru dimanfaatkan sebagai momen mengumpulkan kekayaan dengan mengundang sebanyak- banyaknya tamu.

Logikanya, lebih banyak tamu, lebih banyak pula pemasukan. Apa pun akan dilakukan agar tamu yang datang dari segala arah, termasuk dengan mencari tanggal yang tepat. Dari sini, logika kapital mulai berjalan. Sebenarnya tidak ada masalah untuk mencari hari yang cocok dengan kemaslahatan hari esokkarena itu merupakan kearifan lokal yang sudah berlaku berabad-abad dalam masyarakat Jawa.

Namun, ketika niat tersebut dibelokkan untuk mencari keuntungan materi, yang timbul kemudian adalah terkikisnya nuansa sakral yang seharusnya ada. Tradisi, dan bahkan agama, yang mulanya menyimpan kearifan lokal, hilang terganti oleh logika kapital. Untuk mencapai target tamu yang datang, undangan banyak disebar. Ke mana pun. Bukan hanya kepada sanak kerabat, handai tolan dan relasi, tetapi kepada orang yang belum pernah dikenal nan jauh berada di sana. Beberapa kali saya pribadi menjumpai hal demikian.

Para pejabat setempat, bahkan mungkin juga tidak luput dari sasaran undangan pernikahan gelap yang entah. Sebab, ia adalah publik figur, barangkali. Khusus untuk para nama-nama yang dianggap penting, dalam beberapa kasus, sebagaimana yang saya jumpai, ternyata mereka menjadi sasaran penting undangan, terutama kepada mereka yang sedang membangun citra atau sedang dalam masa kampanye.

Yang mengherankan lagi, meski nama-nama penting itu merasa tidak kenal, toh sebagian dari mereka sudi datang. Hanya untuk memenuhi hasrat pribadinya. Dengan datang ke lokasi undangan, paling tidak mereka mendapatkan keuntungan berupa kepopuleran. Upacara pernikahansaya pikir juga acara seremonial lainnyakini disesaki dengan orang-orang yang penuh hasrat kapital.

Yang satu memperoleh keuntungan materi, satunya lagi popularitas. Sinyal negatif Lalu, apa soal memperbincangkan hal demikian? Dalam paradigma positivisme, gejala tersebut tidak akan dipermasalahkan, selama tidak mengganggu kemaslahatan umum. Namun, jika dilihat dalam konstruk pemikiran budaya, hal semacam itu jelas menunjukkan sinyal yang negatif.

Sebab, fenomena tersebut jelas telah menggeser nilai luhur budaya, berupa terjalinnya rasa persaudaraan saling membantu, bukan saling menguntungkan dalam arti positivistik. Jika relasi yang terbangun dalam budaya adalah hierarki persaudaraan-sosial-spiritual, maka relasi dalam nuansa kapital adalah hierarki keuntungan-pribadi- politik. Budaya kemudian tidak dimengerti dalam ikatan spiritual, tetapi lebih sebagai hubungan ekonomi.

Kita tidak menyalahkan secara mutlak apa yang diperbuat oleh saudara kita dalam kasus di atas. Sebab, mereka melaksanakan hal demikian juga dalam rangka memenuhi kemaslahatan hidup mereka, agar upacara yang diadakan tidak merugikan diri sendiri. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika ia, dalam suatu waktu, tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman yang pernah diberikan oleh para tamu undangan yang dulu pernah diundang, ketika ada upacara balasan. Hakikatnya, tradisi nyumbang adalah untuk membantu mengurangi beban biaya saat ada upacara keluarga digelar. Namun, nilai luhur semacam itu kini terganti oleh logika kapitalistik. Kini, orang menyumbang karena dua alasan.

Pertama, bangun jasa. Yaitu menyumbang dengan maksud agar yang disumbangkan itu menjadi tanggungan, yang kelak akan dikembalikan, kendati tidak ada akad. Kedua, balas jasa. Ini terjadi ketika sumbangan yang dimaksudkan itu dalam rangka timbal balik karena mungkin dulu pernah menyumbangnya. Ada kejadian yang ironis, ketika seseorang usai melaksanakan upacara pernikahan dengan sangat mewah dan dihadiri banyak tamu undangan, baik dari masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, selang beberapa minggu kemudian, pasangan pengantin yang telah mendapatkan sumbangan begitu banyak itu tiba-tiba pindah ke daerah lain, ke luar kampung.

Kontan, karena logika kapital sudah mengakar dalam tradisi nyumbang, masyarakat sekitar merasa dikibuli. Harapan mereka agar sumbangan yang telah diberikan kepada pasangan itu kelak dikembalikan pupus akibat kepergiannya. Tentu hal ini meresahkan masyarakat. Inilah buah dari logika kapital yang telah menghilangkan nilai persaudaraan dalam upacara-upacara pernikahan dan sejenisnya. Kita sambut baik ketika ada fatwa ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang menyatakan bahwa nyumbang bukan utang.

Ia adalah amal. Jadi, tidak ada kewajiban untuk mengembalikan barang sumbangan, kecuali tercatat dalam nota kesepakatan. Itu adalah salah satu upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan keikhlasan yang kian luntur dari karakter masyarakat kita. Sulit memang mengubah orientasi masyarakat yang kadung kapitalistik dan individualistik. Jika menunggu campur tangan pemerintah untuk mengatur mekanisme nalar semacam itu, jelas akan menghabiskan energi, sebab ini adalah wilayah budaya, bukan wilayah politik, apalagi politik budaya.

Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah dengan memulai dari diri sendiri, memahami relasi positif yang seharusnya dijadikan pijakan dalam setiap kehidupan kita. Saya kemudian menjelaskan kepada kawan lama saya di atas tentang pentingnya nilai budaya sedikit banyak mengembalikan apa yang selama ini telah hilang dari budaya kita. Karena ia akhirnya memahami. []

[Forum, Kompas 13 Desember 2008]

Jumat, 12 Desember 2008

Merindukan pendidikan berkarakter

Oleh Agus Mutohar
Pengamat pendidikan, alumnus University of South Carolina

Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Ratusan mahasiswa Universitas 45 Makassar terlibat tawuran dengan aksi lempar batu sesama mahasiswa pada Senin 3 November. Kemudian terjadi bentrok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar pada 17 November kemarin.

Sepertinya bukan hanya kelompok preman yang tergolong dalam kaum anarkis. Pelajar dan mahasiswa kini juga banyak yang anarkis karena memanfaatkan cara-cara kekerasan untuk melampiaskan emosi dan ide-idenya.

Mahasiswa yang terlibat bentrokan tersebut tak ubahnya seperti anak-anak. Bentrokan yang dilakukan merupakan cerminan belum adanya sikap dewasa dalam diri pelaku.

Sikap kekanak-kanakan yang dimiliki pelaku menjadikan para pelaku tidak mengedepankan hati nurani serta akal jernih. Emosi mudah sekali meledak hanya karena ejekan atau provokasi yang tidak ada gunanya.

Sayangnya para pelaku membawa identitas mahasiswa yang notabenenya merupakan kaum intelek, kaum terpelajar. Kaum yang mengenyam pendidikan hingga tingkatan tinggi dalam strata pendidikan formal.

Nilai luhur pendidikan akan menjadikan seseorang yang dididik memiliki akhlak yang baik, kemandirian, dan kedewasaan tampaknya kini menjadi jargon belaka. Ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan Indonesia masih gagal membentuk pelajar dan mahasiswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Serentetan fakta akhir-akhir ini cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati betul permasalahan ini.

Evaluasi dan tindakan cepat harus segera dilakukan untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa. Bagaimana mungkin Indonesia akan mencapai visinya pada tahun 2020 yakni ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang bersatu jika pada saat ini mahasiswa dan pelajarnya saja masih tawuran.

Pendidikan karakter
Sekolah dan kampus merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan keilmuan saja, tetapi juga bertugas dalam pembentukan kapasitas moralitas anak didik.

Tahun 1990-an bangsa Amerika mengalami kegagalan dalam pengelolaan moral anak didik yang ditandai dengan demoralisasi yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang mencetuskan adanya pendidikan karakter (character education). Semenjak itu diberlakukan pendidikan karakter sebagai solusi terhadap penyakit masyarakat Amerika.

Di Indonesia, pendidikan agama telah di ajarkan di sekolah-sekolah, namun pendidikan moral masih berjalan di tempat dibuktikan dengan adanya konflik horizontal yang semakin meningkat.

Dilihat dari penerapannya pendidikan agama tampaknya masih bermuara pada dasar-dasar agama sehingga mengabaikan kandungan nilai-nilai dan akhlak.

Pendekatan yang dipakai dalam pendidikan agama pun masih berpusat pada ranah kognitif dan banyak menekankan hafalan, penguasaan materi tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nurani peserta didik.

Berkaca pada permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan, kita harus memberi perhatian lebih pada pendidikan karakter.

Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

Orang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.

Paradigma pendidikan karakter ini sebaiknya diadopsi di Indonesia. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.

Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi orang lain.

Mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki beragam alternatif bahasa untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang dianggap musuh.

Sebaliknya, mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya punya satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa membedakan musuh.

Mahasiswa dan pelajar akhir-akhir ini menjadikan tolok ukur seseorang dianggap kawan atau musuh adalah komunitas dan seragamnya. Siapapun dia, asalnya dari mana, jika berasal dari komunitas lain maka harus dimusuhi.

Bagaimanapun juga karakter para mahasiswa dan pelajar sangat menentukan karakter bangsa yang merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) yang merupakan buah dari pendidikan karekter lebih menentukan hasil pendidikan dari pada kemampuan intelektual.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah dan kuliah.

Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan membimbing mahasiswa dan pelajar dalam mengatasi konflik kepribadian sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial kelak.

Semoga saja tawaran solusi itu bisa untuk mengurangi tawuran di dunia pendidikan sekaligus mengembalikan citra pendidikan Indonesia menjadi tempat memanusiakan manusia (humanizing human being). []

[Opini, Wawasan 03 Desember 2008]

Selasa, 09 Desember 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Ladang Gersang

apa kau tahu apa yang lebih bahagia
bagi ladang-ladang gersang
selain ingin yang menggandeng gerimis
menghapus rasa dahaga
dan menyaksikan rerumputan berebut salam
kepadanya

karena salam adalah senandung rindu
yang mengalir tulus dari lubuk kalbu
mengantar dalam ziarah waktu
hilanglah semua kelu kalam lalu

Surakarta, 24 April 2007.
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Kutanya Cahaya, Air, dan Api

Kutanya cahaya
Mengapa dunia nian gelap?
Dia menjawab:
Dunia tidaklah gelap
Yang gelap, hati manusia

Kutanya air
Mengapa dunia kering?
Apa jawabnya?
Dunia tidaklah kering
Yang kering, jiwa manusia

Kutanya api
Mengapa dunia kian nian panas?
Dia menjawab:
Dunia tidaklah panas
Yang panas, nafsu manusia

Jepara, 23 Februari 2005.
[Harian Suara Merdeka, 20 Maret 2005]

Senin, 01 Desember 2008

Mengembangkan Potensi Kerajinan Jepara

Oleh Muhammad Rohani
Kontributor LPM Idea Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang aktif di forum kajian Dewandaru Jepara Society


BERBICARA
tentang Kabupaten Jepara, tidak afdol jika tidak dikaitkan dengan sebutannya sebagai "Kota Ukir". Julukan inilah yang selama ini kita kenal untuk kabupaten yang terletak di bagian timur Pantai Utara Jawa itu. Tentu saja ini bukan asal-asalan, melainkan didasarkan atas fakta riil yang ada di lapangan. Ya, daerah ini memang menjadi sentra industri mebel ukir dan barang-barang furnitur.

Konon, industri mebel di Jepara telah ada sejak Ratu Shima berkuasa pada abad ke 7. Kemudian pada masa pemerintahan Nimas Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan utama di Pulau Jawa yang melayani ekspor-impor. Selain itu, juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.

Dalam perkembangannya, industri ini maju pesat dan menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara. Bahkan pada tahun 1999-2000, industri ini mengalami masa keemasan. Pada waktu itu nilai ekspornya mencapai 169.251.410 dollar AS. Jumlah pelaku usaha mencapai 3.965 unit dengan nilai investasi Rp 124,6 miliar, dan pemasaran merambah ke 64 negara. Industri ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 58.210 jiwa. (Kompas, 16 Juli 2007).

Di sisi lain, di balik nama besar Jepara sebagai kota ukir, terdapat pula potensi dan keunikan lain yang dimiliki oleh daerah yang juga kaya dengan obyek wisata ini. Itulah yang penulis maksudkan dengan industri kerajinan berupa tenun ikat, produk berbahan rotan, aksesori monel (stainless steel), dan keramik-gerabah.

Kerajinan tenun ikat berpusat di Troso, Pecangaan. Industri ini melibatkan 191 unit usaha dan menyerap sekitar 1.800 tenaga kerja. Tiap tahun volume produksinya mencapai 3,1 juta meter dengan nilai produksi Rp 54,5 miliar.

Sedangkan kerajinan berbahan rotan terkonsentrasi di Jepara bagian selatan, yaitu Kecamatan Welahan. Di sana terdapat 346 unit usaha berbahan rotan yang melibatkan lebih dari 2.000 tenaga terampil. Nilai produksinya mencapai rata-rata Rp 2 miliar pertahun.

Kerajinan monel berpusat di Kecamatan Kalinyamatan. Ratusan tenaga kerja terserap, dan tiap tahunnya memproduksi belasan ribu jenis aksesoris. Selain itu, ada juga kerajinan gerabah yang berpusat di Kecamatan Mayong. Pangsa pasarnya 262 unit usaha, dan telah merambah ke luar Jawa. (Suara Merdeka, 16 Juli 2007).

Maka, tidak berlebihan jika beberapa waktu yang lalu Jepara dicanangkan sebagai The World Carving Center, Pusat Kerajinan Ukir Dunia. Ini tentu karena potensinya yang sangat besar dalam bidang kerajinan mebel ukir, dan semakin diperkuat dengan industri-industri kerajinan yang lain.

Kerajinan sebagai Industri Kreatif
Kerajinan merupakan salah satu dari 14 subsektor ekonomi kreatif yang diunggulkan oleh pemerintah. Ekonomi kreatif adalah berbagai aktivitas berbasis kreativitas, keterampilan, dan bakat, yang memiliki potensi ekonomi dan peluang kerja baru melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan intelektual.

Secara nasional, industri kreatif menyumbang 6,28 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, 28 persen di antaranya disumbangkan oleh industri kerajinan. Ini merupakan urutan kedua. Sedangkan peringkat pertama ditempati oleh produk mode yang menyumbang angka 44 persen. (Jurnal Koperasi dan UMKM, edisi IV/September 2008).

Industri kreatif ini berperan penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan citra dan identitas bangsa –di tengah gempuran hebat arus globalisasi--, serta peningkatan ekspor. Sebagai gambaran, nilai ekspor industri ini pada tahun 2007 mencapai 642 juta USD. Jumlah ini meningkat 20 persen dari ekspor tahun sebelumnya yang bernilai 534 juta USD.

Pengembangan Sektor Kerajinan
Melihat besarnya potensi industri kerajinan yang dimiliki oleh Kabupaten Jepara, serta peluang yang ditawarkan oleh industri ini, perlu kiranya pemkab Jepara mengembangkan sektor ini. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain adalah: pertama, memberikan dan mempermudah akses permodalan kepada pengusaha yang membutuhkannya, terutama bagi pengusaha kelas menengah ke bawah yang biasanya kesulitan permodalan. Selain itu, pemkab juga hendaknya menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Ciptakan birokrasi dan mekanisme perijinan yang tidak berbelit-belit, bebas pungli, dan tidak memakan waktu yang lama.

Ke-dua, meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk kerajinan melalui pendidikan, pelatihan, maupun workshop. Ini sangat urgen dan menduduki posisi yang sangat strategis. Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa kewirausahaan, manajemen bisnis kerajinan, maupun skill teknis masing-masing bidang kerajinan. Bagaimanapun juga, industri kerajinan merupakan industri kreatif yang sangat menekankan dan bertumpu pada sumber daya manusia. Maka, kualitas SDM ini harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan agar dapat terus eksis dan bisa bersaing dengan industri serupa dari daerah maupun negara lain.

Ke-tiga, mengadakan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat luar, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ini dapat dilakukan dengan mengiklankan produk-produk kerajinan di media massa, mengadakan pameran-pameran, membuka showroom di tempat-tempat yang strategis, maupun membuat situs di internet.

Satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh pemerintah –terkait dengan pengembangan industri kerajinan ini— adalah menumbuh-kembangkan minat kaum muda Jepara terhadap produk-produk kerajinan khas Jepara tersebut. Ini sangat penting untuk menjaga eksistensi dan kelestarian industri ini di masa-masa mendatang.

Peran Lembaga Pendukung
Menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan pengembangan industri kerajinan tersebut, di Jepara telah terdapat beberapa lembaga yang konsen dengan industri kerajinan berikut pengembangannya. Lembaga-lembaga itu adalah Sekolah Ukir yang terletak di Tahunan, SMKN 2 Jepara yang berada di Kecamatan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain (STTD-NU) di Tahunan, dan Pusat Promosi dan Pasar Lelang Furnitur (PPLF) yang berlokasi di Rengging, Pecangaan.

Tiga lembaga yang disebut pertama berkonsentrasi pada pencetakan tangan-tangan terampil dan tenaga ahli di bidang kerajinan. STTD-NU misalnya, lembaga pendidikan tinggi yang dahulunya bernama Akademi Teknologi dan Industri Kayu (ATIKA) ini berkonsentrasi pada studi tentang teknologi perkayuan dan desain mebel.

Demikian juga SMKN 2 Jepara, atau yang lebih dikenal dengan SMIK Jepara, sekolah ini mempunyai fokus pada program studi tentang kerajinan kayu, tekstil, logam, keramik-gerabah, dan tata busana. Lembaga-lembaga itu cukup representatif dan memadai sebagai penyedia tangan-tangan terampil maupun tenaga ahli dalam bidang kerajinan.

Sedangkan PPLF berfungsi sebagai pusat promosi, pusat desain mebel, klinik HAKI, dan pusat informasi potensi daerah dan pariwisata.

Lengkap sudah lembaga yang diperlukan untuk pengembangan industri kerajinan yang ada di Jepara. Hanya saja, lembaga-lembaga tersebut hendaknya bisa berusaha secara maksimal untuk mendukung, mengembangkan, dan melestarikan industri kerajinan ini sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Jangan sampai –di tengah perjalanan nanti— mereka kehabisan energi dalam mengembangkan industri kerajinan. Sehingga fungsi dan perannya pun pudar, selanjutnya lambat-laun akan mati. (Semoga ini tidak terjadi). Apa yang menimpa Pasar Kerajinan Margoyoso cukuplah menjadi pelajaran bagi pemerintah kabupaten maupun insan kerajinan Jepara lainnya. Belajarlah dari kegagalannya. []