Rabu, 30 Juli 2008

Hotspot Muspra

Oleh Syaiful Mustaqim


Banyak strategi dilakukan sekolah guna menggaet peserta didik baru beberapa waktu lalu. Namun terkadang cara yang dilakukan itu tidak sejalan dengan realisasinya. Misal, banyak sekolah saat ini ramai-ramai mendirikan hotspot area.

Padahal belum seluruh elemen instansi terkait siap menyambutnya. Banyak siswa belum tahu akan fungsi hotspot. Tak sedikit pula yang belum mengenal fungsi internet.

Ulfa (17), siswi SMA swasta di kabupaten Jepara, mengaku dirinya tidak tahu-menahu tentang keberadaan hotspot di sekolahnya. Ada lagi Tia (18) yang baru lulus dari bangku SMA. Tia sering mendengar istilah hotspot, tetapi dia mengeluhkan pihak sekolah yang belum pernah mensosialisasikannya kepada siswa.

Begitu juga Dewi (18). Dia mengaku dirinya tidak tahu-menahu tentang hotspot, bahkan, selama 3 tahun belajar di bangku SMA, Dewi belum pernah berselancar di dunia maya. Fasilitas internet gratis yang diberikan sekolah tidak pernah dimanfaatkan karena sangat terbatas penggunaannya.

Birokrasi sekolah pun demikian, belum begitu melek internet. Pasalnya, guru serta karyawan disibukkan dengan berbagai kegiatannya sendiri. Boleh dikata tidak ada waktu senggang untuk memanfaatkan layanan internet dan hotspot dengan maksimal. Fasilitas hotspot telah disediakan, sementara guru, siswa dan karyawan jarang yang memiliki laptop pribadi.

Lalu, bagi siapa fasilitas hotspot diperuntukkan?

Mumpung belum telat, belum begitu mubazir berkepanjangan, hendaknya pihak sekolah lebih mensosialisasikan fasilitas hotspot di sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan workshop, seminar, pelatihan atau pun dalam bentuk acara yang lain.

Kedua, sekolah tidak perlu membatasi pemakaian internet. Jika sekolah memang menyediakan internet gratis, jangan pernah membatasi penggunaannya, hanya perlu diatur.

Ketiga, menggalakkan sekolah melek internet. Misalkan, guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan pekerjaan rumah yang berkaitan dengan dunia maya. Dengan demikian, mau tak mau siswa akan rajin mengakses internet. Bila para siswa telah pintar berinternet, para guru yang belum melek internet pun akan merasa malu, dan mereka akan 'terpaksa' meng-upgrade kemampuannya.

Saat ini memang sekolah-sekolah swasta di Jepara sedang berlomba-lomba mendirikan fasilitas hotspot. Apakah sekadar ajang persaingan antarsekolah, atau memang demi upaya mengurangi buta dunia maya.

Namun, ibarat nasi telah menjadi bubur, fasilitas yang telah disiapkan, sudah semestnya dimanfaatkan, agar tidak muspra alias sia-sia.

SYAIFUL MUSTAQIM, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Smart Institute Jepara

Puisi-puisi Ani Rosita*

Keresahan Jiwa

Sosokmu sangat kunantikan
Ku berlari mengejar bayangmu
Ku bersabar menanti kehadiranmu
Ku pasrah saat kau menghilang dari diriku

Semerbak angin menghiasi qalbu
Dekapan halus lembut kasih sayangmu
Butiran-butiran air mata jadi saksi
Kemesraan cinta kita

Ku berlari…sekuat tenaga untuk melangkah
Mencari sosokmu yang sesungguhnya

Ah…ini keresahan jiwa yang tiada tara
Penantian berujung kepupusan cinta
Kini cintaku telah pupus
Dimakan oleh sang waktu yang menggila


Sang Bunda


Sosokmu sangat kurindukan
Belaian lembut kasihmu kunantikan
Dekapan rasa simfonimu merasuk dalam qalbu
Getaran hangat pelukanmu kuimpikan

Bunda…
Jeritan hati berkata
Tatkala kau jauh dari pandangan
Desiran pasir senja menghiasi langkahku
Andai sosokmu dapat digantikan

Bunda…
Sang waktu berkata lain
Kicauan burung indah riang saat kau ikhlas

Bunda…
Andai sang bulan bisa bersama menemani dalam kesepian malam
Kini lamunanku tinggal kenangan

ANI ROSITA, Pegiat Smart Institute dan Pembina Jurnalistik Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul Ulum Purwogondo

Memperbarui MOS

Oleh Syaiful Mustaqim*

Bagi
siswa yang naik kelas, tentu tak jadi masalah, karena ia tak perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Yang terpenting bisa beradaptasi dengan tambahan beban mata pelajaran yang semakin sulit. Itu saja. Berbeda dengan mereka yang menyandang predikat siswa baru, yang kudu melewati masa sepekan mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS).

MOS bagi siswa menjadi penting, karena konon setiap sekolah mewajibkannya, dan bila siswa berhalangan, maka harus menggantinya di tahun selanjutnya. Boleh jadi, MOS merupakan prasyarat seorang siswa resmi menjadi bagian anak didik sebuah almamater. Mudahnya, MOS adalah masa pengenalan terhadap almamater baru berkenaan dengan tata tertib, metode pembelajaran, kegiatan ekstra dan lain sebagainya.

Lumrahnya, hari pertama hingga hari ketiga diisi dengan materi yang berkenaan dengan sekolah. Selanjutnya, hari keempat sampai MOS rampung kegiatan Penerimaan Tamu Ambalan (PTA), perekrutan calon pegiat Pramuka baru.

Cara-cara yang 'standar' semacam itu menurut saya tidak adil. Karena tentu, tak semua peserta didik demen kegiatan Pramuka. Jika alasannya kedisiplinan, barangkali kegiatan selain Pramuka pun juga bisa menjadikan siswa lebih disiplin. Para siswa yang tidak suka baris-berbaris, barangkali mereka mengikuti jalannya MOS karena sekadar menggugurkan kewajiban dari sekolah bukan dari hati nurani.

Format Baru
Semestinya sekolah kini memformat ulang kegiatan MOS. Jika sebelumnya MOS laiknya yang saya uraikan di atas, maka setidaknya reformulasi sangat diperlukan. Ada poin-poin penting yang memang harus dipertahankan, namun caranya tidak mesti harus sama.

1. Pengenalan sekolah baru. Ya, itu tetap dilakukan sebab siswa harus mengetahui seluk-beluk sekolahnya yang baru plus berbagai kegiatan ekstra yang ada.

2. Penggalian potensi bakat dan minat. Artinya, seluruh kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah diformat dalam Pekan Olahraga dan Seni (Porseni). Jadi, setiap kelas berhak mendelegasikan atlitnya sesuai dengan bakat minatnya. Nantinya, para pembina ekskul yang bersangkutan tidak akan kebingungan merekrut anggota baru karena sudah diketahui sejak MOS. Sebab yang terjadi selama ini jika kegiatan ekstra tidak ada peminatnya, pihak sekolah akan mewajibkannya.

3. Ekskul Expo (Pameran kegiatan ekstra). Hal ini bisa dilakukan bebarengan dengan kegiatan Porseni yang ditangani sepenuhnya oleh pengurus OSIS dan para pegiat ekskul yang ada. Setidaknya dengan ekskul expo para pegiat kegiatan ekstra belomba-lomba menggaet anggota sebanyak-banyaknya.

Dengan memperbarui format MOS, tak akan ada lagi kasus perploncoan berdalih penegakan kedisiplinan. Kini bukan saatnya MOS menjadi ajang balas dendam senior pada juniornya. Akan tetapi, MOS merupakan momentum untuk penggalian bakat minat yang dimiliki oleh siswa, juga sebagai 'pesta' selamat datang kepada para peserta didik baru sehingga mereka bisa betah berada di sekolah baru.

*SYAIFUL MUSTAQIM
, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Smart Institute Jepara

Rabu, 23 Juli 2008

Puisi-puisi Sri Wahyuni*

Sketsa Mawar

Tampak samar senyummu memberontak
Teduh sapa ingin membahana
Nafas indrawi tak terelak
Haru jejak makin terpana
Senyum ramah tanda utama
Sorot mata menelungkup tersudut
Rebah pada kharisma biru, merah, kuning, hijau
Butiran halus selalu menimpa
dan tak terelakkan
Bahagia
Akhirnya


Tikus Mengoceh

Hari ini terulang lagi
Peristiwa ini mungkin akan terus tergulir
Baunya pun tadi siang sudah menyengatku
Entahlah, aku tak paham dengan mereka
Aku tak ingin hanya diam
Aku juga ingin berontak
Seperti mereka
Tapi aku hanya bisa terpuruk patah
Aku tak ingin di cap sebagai plagiator fakta
Sukanya niru-niru tingkah
Mana ide, ego dan superegomu?
Motivasi Alport tak lagi menaungimu
Apalagi Freud dengan libidonya
Ocehan tikus telah meluruhkan sendi abullamu

*SRI WAHYUNI, Mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra [FBS] jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang [UNNES]

Sabtu, 12 Juli 2008

Bedah Cerpen

Mengharap kehadiran pegiat Smart Institute sekaligus peserta sayembara penulisan cerpen dalam bedah karya, pada:
Hari/ tanggal : Jum'at, 25 Juli 2008
Waktu : 14.00 wib - selasai
Tempat : Griya Smart Institute
Bersama : Ismatul Lutfiyah (LPM Paradigma STAIN Kudus)
Karena pentingnya acara, dimohon untuk hadir tepat waktu.
Matur nuwun.

Sayembara Penulisan Cerpen 2008

Dalam rangka memperingati HUT RI ke-63 SPK Smart Institute menyelenggarakan lomba penulisan cerpen untuk kalangan sendiri, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pegiat dan alumni Smart Institute
2. Tema : Merdeka di mata Remaja
3. Panjang : 5000 karakter (2 halaman folio), margin atas:4 kiri:4 kanan:3 kiri:3 cm
4. Tulisan tangan rapi
5. Deadline 25 Juli 2008

Rabu, 09 Juli 2008

Setelah Penutupan Lokalisasi Pereng

Oleh M Abdullah Badri
Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo, Aktif di Replica.com Semarang dan Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)

LOKALISASI memang tak kenal ruang dan waktu. Dimanapun dan kapanpun, prostitusi selalu menjadi problem sosial. Begitu juga lokalisasi di desa Pereng, yang terletak di kecamatan kota Jepara. Sejak dulu, nama Pereng memang terkenal dengan sebutan sebagai kampung remang-remang. Kendati rumah yang dijadikan pelacuran disana terbilang sedikit, hanya ada 14 penginapan.

Namun citra negatif Pereng kian membuat warga setempat gerah. Setelah berjalan berpuluh-puluh tahun disana, kini bisnis esek-esek itu mulai mendapat gugatan serius dari warga. Setelah membangun kesepakatan dengan unsur pemerintahan desa, RT, RW, BPD dan tokoh masyarakat sekitar, warga setempat mendesak kepada para penghuni lokalisasi untuk segera keluar dari wilayah yang terletak di RT I-RW IV, Dukuh Bugel, Desa Mulyoharjo itu.

Alasan yang dilontarkan adalah masalah citra dan moral. Para sesepuh desa memprihatinkan lokalisasi Pereng yang kian tumbuh subur akibat apatisme warga. Akhirnya, citra Pereng sebagai “tempat peristirahatan surgawi” para lelaki hidung belang belum hilang hingga kini. Bahkan semakin menemukan eksistensinya.

Dulu, di Desa Semat, kecamatan Tahunan, ada tempat lokalisasi, namun kini sudah tidak ada lagi. Begitu juga mucikari Kasbola, kini suaranya tak begitu nyaring terdengar di telinga masyarakat Jepara. Dukuh Krapyak RW 16 juga sempat dikenal sebagai kawasan kupu-kupu malam, namun kini telah “dibersihkan”.

Keberhasilan menutup lokalisasi di beberapa tempat di Jepara tersebut itulah yang ingin ditiru dan diulang kembali oleh warga Pereng. Pada mulanya, warga memberikan kesempatan kepada para penghuni lokalisasi yang kebanyakan berasal dari penduduk luar Pereng, untuk keluar dari tempat tersebut sebelum tanggal 1 Juni 2008. Namun warga memberikan toleransi hingga tanggal 1 Juli 2008, sebelum menutup paksa (Suara Merdeka, 25/06).

Masa Depan Pekerja Pereng
Warga Desa Mulyoharjo ingin membersihkan secara total nama desa dari bisnis haram itu. Tuntutan mereka hanya satu, menutup rapat pintu prostitusi. Mereka tidak mau tahu dengan nasib para tuna susila yang “bekerja” disana. Sehingga, mereka tidak bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjaan para wanita malam pasca penutupan. Inilah yang menjadi Problem.

Disatu sisi, penutupan lokalisasi memang upaya positif yang perlu didukung bersama. Namun disisi lain, jika penutupan itu tanpa dibarengi dengan upaya-upaya membangun kondisi yang berkeadilan terhadap “para pekerja”, tentu kebijakan amar ma’ruf nahi munkar itu akan timpang. Bahkan berpotensi menimbulkan problem susulan.

Sebaiknya, penutupan itu diimbangi dengan jaminan masa depan ekonomi para mantan pekerja disana, bukan membiarkan tanpa arah. Memang, dalam pandangan masyarakat luas, mereka dianggap sampah, namun mereka juga bagian dari saudara kita yang membutuhkan kehidupan yang layak. Mereka melakukan itu termasuk salah satu faktornya adalah untuk memenuhi hajat hidup, kendati dalam pandangan orang lain, pekerjaan yang mereka lakukan keluar dari pakem moral.

Bukan berarti saya menolak aksi penutupan lokalisasi, namun hanya ingin mengatakan bahwa sejarah hidup para pekerja pasca penutupan, perlu kita perhatikan bersama.

Sebelum penutupan tersebut, ada baiknya para sesepuh mendekati para pekerja disana. Perlu ada penyuluhan tentang pentingnya nilai-nilai moral ketimuran yang kita junjung. Meskipun tindakan yang mereka lakukan itu adalah sebuah pilihan hidup, namun kita harus menyadarkan bahwa masih banyak pilihan lain yang dapat ditempuh. Para tokoh agama juga diharapkan ikut andil dalam upaya membangun kesadaran religius mereka.

Saya belum mengetahui apakah desakan penutupan lokalisasi Pereng sudah didahului dengan sebuah penelitian atau belum. Namun, bagi saya, sebuah kebijakan itu mesti harus diadakan penelitian terlebih dahulu.

Kalau memang terindikasi merugikan masyarakat, baik dalam tataran nilai atau struktur sosial, maka menolak penutupan bukan langkah yang bijak. Misal, jika para pekerja disana terbukti banyak mengidap virus HIV/AIDS, maka langkah penutupan adalah sebuah keharusan.

Contoh lain adalah jika para pekerja itu terbukti menimbulkan citra negatif akut terhadap kehormatan masyarakat desa, sehingga para warga Pereng terganggu akses sosialnya, misalnya ada penolakan total lamaran pekerjaan oleh sebuah perusahaan tertentu kepada warga yang ber-KTP Pereng.

Jika memang temuan penelitian demikian, maka penutupan tersebut menjadi sebuah keharusan, karena telah membawa kerugian kepada warga setempat yang sebenarnya hanya menjadi korban pencitraan.

Penelitian diperlukan untuk mengetahui akar masalah dan bagaimana cara mengatasinya di kemudian hari. Tidak terbatas pada prospek para pekerja, tapi juga penduduk sekitar.

Saya khawatir, jika rencana positif warga Mulyoharjo tidak disertai dengan upaya memikirkan masa depan ekonomi para pekerja Pereng, justru akan menimbulkan gesekan negatif yang lebih besar. Karena mantan pekerja itu tidak segera mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, bisa jadi mereka akan menjajakan diri, lari ke luar kota.

Akhirnya, -seperti yang saya temukan pada sebuah kawasan remang-remang di Kota Semarang-, orang Jepara ada yang menjadi pelaku bisnis “privat room” itu. Bahkan salah seorang warga sekitar mengatakan bahwa para pekerja wanita disana banyak yang berasal dari Jepara. Nah!

Sebenarnya, para pekerja tuna susila itu adalah aset, yang jika dimanfaatkan dan diarahkan dengan baik akan berkontribusi besar terhadap pembangunan sosial. Kita bisa meniru apa yang dilakukan seorang tokoh ulama Jepara: mendiang KH. Mawardi, Bugel, Kedung, yang menyadarkan banyak kupu-kupu malam di daerah Jepara. Mbah Mawar –sapaan akrab Kyai Mawardi- menutup pintu prostitusi bukan dengan mengusir para pekerjanya, namun dengan mendekati dan membimbingnya. Sehingga, mereka tidak putus harapan. Lalu bagaimana dengan Pereng? Apa yang akan terjadi setelah penutupan lokalisasi disana? []

Selasa, 08 Juli 2008

Bekerja Untuk Keabadian

Oleh Syaiful Mustaqim*


Raden Ajeng Kartini, Ahmad Wahid, dan Soe Hok Gie merupakan tiga tokoh yang jelas berbeda dan hidup pada zaman yang berbeda pula. RA Kartini, misalnya, hidup pada masa kolonialisme Belanda saat sedang berjaya di bumi Nusantara. Kartini adalah pejuang kaum perempuan dalam menghadapi dominasi feodalisme patriarki, sehingga setiap 21 April diperingati hari Kartini, hari emansipasi bagi kaum hawa.

Sedangkan Soe Hok Gie hidup pada masa peralihan yakni masa kemunduran Soekarno menuju ke era Soeharto. Sosok Gie memang dikenal sebagai intelektual muda yang anti rezim Soekarno.

Sementara itu Wahib, hadir di zaman awal pemerintahan Orba, saat itu umat Islam mengalami kondisi marginal dan stagnan. Ahmad Wahib populer dengan gagasan pembaruan Islamnya. Ia juga merupakan salah satu penggerak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ya, melalui tulisan mereka giat dan kontinyu berjuang untuk terciptanya perubahan. Dengan menulis Kartini cancut taliwanda dan menggerakkan bendera perubahan dalam revolusi lewat surat-suratnya. Seyogianya, kita tidak akan pernah tahu sosok Kartini jika ia tidak menulis surat-suratnya itu dan kemudian dikumpulkan oleh J.H Abendanon.

Soe Hok Gie dan Wahib pun demikian. Gie maupun Wahib telah membuka mata hati dan pikiran kita melalui catatan (buku) harian. Barangkali kita tidak akan pernah mengenalnya jika Soe Hok Gie dan Wahib tidak menulis catatan harian, yang kemudian dipublikasikan.

Meminjam istilah Ben Okri, novelis asal Afrika, yang menyebut penulis atau pengarang sebagai “resi-resi sejarah”. Penulis atau pengarang merupakan the town-criers (barometer zaman). Siapa pun tak bisa memungkiri, perkembangan peradaban manusia dipengaruhi oleh jasa penulis atau pengarang.

Kehadiran penulis bukanlah tanpa sebab, melainkan upaya melakukan pemberontakan terhadap sebuah penantian. Tentunya mereka akan berceritera tentang berbagai hal. Misalnya, ketidakadilan, kemanusiaan, kejahatan, tragedi, cinta kasih, dan lain sebagainya.

Zaman globalisasi pun akan terbentuk dan menjadi seperti saat ini, juga tidak lepas dari pergulatan penulis dengan karya-karyanya. Penulis merupakan sosok yang bergerak di tengah wacana dan suasana hiruk pikuk masyarakat.

Tak hanya itu, maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari tradisi menulis masyarakat. Bangsa yang mempunyai tradisi menulislah yang akan menjadi pendongkrak kemajuan. Sebab, tradisi menulis dapat mengantarkan manusia pada kearifan untuk mengungkapkan sebuah gagasan.

Kartini, Wahib dan Soe Hok Gie memang patut dijadikan teladan karena mereka memiliki semangat yang luar biasa dan konsisten dalam menulis. Dengan usia yang lumayan muda mereka telah menghasilkan karya-karya berbobot.

Mereka tidak pernah menyangka, hanya dengan hasil goresan pena akhirnya menjadi sebuah wacana yang masih diperdebatkan hingga kini. Selain itu, mereka justru semakin populer tatkala mereka telah tiada. Maka, tak salah apabila gagasan-gagasannya senantiasa dibaca, dikaji, dikritisi, dan dikenang sepanjang masa.

Nah, inilah yang dalam perspektif Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai bekerja untuk keabadian. Pram menjelaskan dengan menulis niscaya kita akan senantiasa abadi, dikenang oleh sejarah dan peradaban. Karena dengan menulis mereka telah bekerja untuk keabadian, mengabdi pada sejarah serta peradaban.

Ya, siapa dan apapun profesi anda? Entah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, karyawan, dan segala macam bentuk profesi maka menulislah dari sekarang. Sebab sesuai apa yang dituturkan Pramoedya jika anda tidak menulis sama artinya ingin hilang dari peredaran masyarakat luas dan tak akan dikenang oleh sejarah. Maka, menulislah!
* Direktur Smart Institute, Jepara

Rabu, 02 Juli 2008

Penerimaan Anggota Baru

Sekolah Penulis Kreatif (SPK) Smart Institute, menerima penerimaan anggota baru. Dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pelajar SMA atau sederajat, Mahasiswa, dan orang biasa yang ingin belajar menulis.
2. Bersedia menaati seluruh peraturan yang ada di SPK Smart Institute.
3. Calon anggota wajib datang sendiri.
Informasi lebih lanjut, hubungi: smart_jpr@yahoo.co.id
Matur nuwun.

SYAIFUL MUSTAQIM
Direktur