Kamis, 25 September 2008

Sosok

ALEXANDER MONGOT JAYA
Guru NU dengan Karya Empat Buku Berbahasa Inggris

Jepara, NU Online
Di lingkungan madrasah tempat ia mengajar, ia akrab disapa Pak Mongot. Namanya, Alexander Mongot Jaya. Tapi, itu bukan nama asli, melainkan hanya nama pena. Nama aslinya, Agus Siswanto. Ia kini mengajar di Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah.

Menjadi guru swasta, pilihan kedua baginya. Sebab, mayoritas para guru menginginkan jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang layaknya bisa mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Sebaliknya, gaji guru swasta tidaklah cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Namun, hal itu bukan jadi penghalang baginya.

Menjadi guru di madrasah dengan gaji yang pas-pasan bukan menjadi penghalang, sebaliknya dia terus berkarya sesuai bidang keahliannya, yakni menulis buku-buku berbahasa Inggris.

Sejak 2005 lalu, tercatat buku bahasa Inggris telah ditulisnya: English Revolution, Genre in Use, Listening Hand Book, dan English Smart Book. Hasilnya luar biasa. Buku karya alumnus madrasah ini, pada 2001 lalu, seakan menjadi magnet bagi kalangan sekolah swasta maupun negeri di Jepara dan sekitarnya. Sehingga ketika terbit, beberapa waktu kemudian buku-bukunya laris manis bak kacang goreng.

Unik memang melihat buku-buku karya Pak Mongot, sebab mulai isi buku hingga tata letak adalah garapan tangan kreatifnya. "Buku-buku yang saya terbitkan memang aneh dan sangat berbeda dengan buku-buku yang lain," kata lelaki kelahiran Jepara, 24 April 1982 itu.

Agus Siswanto yang berprofesi sebagai guru dan interpreter ini berharap agar guru yang bernaung di Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (NU) lebih kreatif. Sehingga pandangan miring tentang lembaga tersebut bisa dkurangi. Selain itu, guru swasta jangan pernah merasa minder dengan guru negeri.

Kreatif bisa diartikan melakukan inovasi terhadap mata pelajaran yang ditekuni. Salah satunya, menulis buku yang lain daripada yang lain. Artinya, meski substansinya sama, namun harus ada hal yang menarik yang perlu ditonjolkan.

Tampaknya hasil kerja kreatif lulusan Akademi Bahasa (AKABA) 17 Semarang itu telah menuai hasil. Setidaknya, guru negeri telah menjadikan buku karya Agus sebagai referensi bagi para peserta didik.

"Jika setiap guru mata pelajaran dapat menerbitkan buku, niscaya guru Maarif NU bisa saja menjadi kiblat yang layak diperhitungkan," tegas Sekretaris Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris LP Maarif NU Jepara itu kepada kontributor NU Online, Syaiful Mustaqim, Rabu (24/09) kemarin.

Kini, Pak Mongot sedang mempersiapkan buku Genre in Use kolaborasi dengan Branti, guru SMAN 1 Jepara. Rencananya, buku itu akan diterbitkan pada semester genap mendatang. Kita berharap kerja kreatif Pak Mongot layak diteladani, sehingga para guru Maarif NU segera meniru jejak langkahnya. (rif)

[Warta NU Online 25 September 2008]

Puisi-puisi M Badri

M BADRI, lahir di sebuah dusun kecil di kaki Gunung Kelud, Kabupaten Blitar (Jawa Timur), 13 Maret 1981. Namun sejak tahun 1986 hijrah mengikuti orang tua sebagai transmigran yang ditempatkan di belantara Kuantan Singingi (Riau). Untuk mengenalnya lebih detail klik di http://badridoang.blogspot.com

RIWAYAT CINTA

setiap kali mengamati sisa airmata di pipimu
aku seperti menyelami sebuah danau yang hijau
karena aku ikan yang merayap di celah rerumputan
sambil meniupkan gelembung-gelembung ke permukaan
karena kau seekor bangau yang menunggu

hingga rintik gerimis memaksaku menjadi nelayan
yang termenung di atas sampan
melemparkan jala ke setiap penjuru
sambil berharap tersangkut di reranting perdu
karena kau setangkai bunga yang bisu

dengan luka yang sama, kumaknai isyarat angin
sampai burung-burung yang bersarang di kepalaku
mengabarkan para peri mandi di danau
aku ingin mencuri pelangi yang melilit tubuhmu
sampai lanskap senja membentuk silhuet merah jambu

akhirnya, buah kuldi yang kau lempar selepas malam
menancap di leherku. hingga suaraku terdengar parau
untuk sekadar mengucap sebuah kalimat cinta
sebab kau ingin aku kembali menjadi ikan
yang merenangi setiap danau di tubuhmu
Pekanbaru, 2008


MALAM PINANGAN

Aku ingin menanami hamparan sawah yang memanjang di hatimu
Dengan padi-padi yang tumbuh dari gairah jiwaku
Lalu kualiri dengan sungai yang memancar di lubuk rindu
Dengarlah seruling cinta itu, mengalun sampai ke padang-padang
Beriring kasidah panjang di keremangan petang

Aku ingin melingkarkan sebait puisi di jemarimu
Sampai embun pagi memutih
Menghapus kesunyian kita sepanjang pematang
Saat mengeja nama anak-anak yang tertulis di setiap bulir padi
Hingga menguning dan berwarna gading

Semalam, aku menunggu bukit-bukit meluruhkan bunganya
Sebab di rambutmu yang gambut ingin kusemai doa-doa
Agar matamu memancarkan cahaya seperti bintang-bintang
Saat pelangi melukis warna warni rumah kita
Ketika aku menerjemahkan isyarat angin menjadi bahasa cinta

Lihatlah, menjelang malam Tuhan mengirimi bulan
Hingga puisi yang lekat di jemarimu berkilauan
Kunang-kunang pun menabuh reranting menjadi irama merdu
Burung-burung kemudian memahat kesetiaan
Dengan paruhnya yang meruncing karena rindu

Tiba di dermaga, ayah ibu kita, pasangan kekasih tua itu
Memberi sebuah sampan yang ditatahnya dari batu karang
Sebab laut akan mengiringi, dengan gelombang surut dan pasang
Sampai waktu membuktikan setiap makna
Dari kata-kata yang kita kayuh berdua
Bogor, 2008

Sajak "Malam Pinangan" ini menjadi pemenang "Karya Terpuji" Sayembara Puisi Cinta Tabloid Nyata 2008

Selasa, 23 September 2008

Ramadhan, Momentum Pertaubatan Koruptor

Oleh SEPTINA NAFIYANTI
Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus


Memasuki bulan ramadhan, orang-orang Islam di dunia sibuk menyaipkan ritual keagamannya. Begitu pula di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Prosesi tersebut dilaksanakan karena bulan ramadhan dianggap sebagai bulan penuh berkah dan ampunan.Hal ini senada dengan pemaknaan sederhana terhadap sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim yang artinya “Barang siapa menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni segala dosa yang telah lewat.”

Dengan hadis tersebut umat muslim seolah-olah dengan mudah mendapatkan remisi terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Begitu gampang memang, dengan hanya tidak makan dn minum di siang hari selama bulan ramadhan, seluruh dosa akan diampuni. Hal itu yang mungkin selama ini menjadi inspirasi para koruptor di negeri ini tidak jera melakukan korupsi, karena di bulan Rhomadlon ini akan di ampuni. Sehingga mungkin tidak salah jika Islam dianggap sebagai "agama para koruptor".

Kasus korupsi memang menjadi masalah klasik yang tak pernah usang di negeri ini. akhir-akhir ini kasus korupsi oleh para pemimpin bangsa satu persatu terkuak, bahkan yang paling mengerikan akhir-akhir ini adalah jaksa dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) juga turut terlibat dalam kasus suap.

Puasa Tak Hanya Lapar
Ironis memang, namun fenomena ini apakah benar karena Islam mengajarkan penghapusan dosa secara mudah? Jika kita amati kembali makna puasa secara etimologi, shaum dalam bahasa arab berarti al-imsak (menahan diri) dari sesuatu baik dalam bentuk perkataan, maupun perbuatan.

Oleh karena itu, konsekuensi berpuasa adalah mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh puasa itu sendiri, yakni: pengendalian diri, kejujuran,dan kesediaan berbagi dengan sesama, terutama kaum miskin. Al-Quran menegaskan: “Wahai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, kiranya kalian bisa menjadi orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Baqarah: 183). Ayat tersebut menegaskan, energi positif yang Allah SWT yang diberikan kepada orang-orang yang berpuasa bukan berupa penghapusan terhadap dosa yang telah dilakukan dan siksa di akhirat. Akan tetapi orang-orang yang bisa menjaga moralitas dan akhlak dari perbuatan keji, termasuk korupsi, suap dan lainnya.

Dengan demikian pengertain lain bertakwa adalah tidak sekedar orang-orang yang menjalankan ibadah secara formal akan tetapi orang-orang yang memiliki integritas tinggi terhadap amanah yang di berikan kepadanya. Hal ini senada dengan surat Al-Maa'uun yang artinya “Tahukah kamu (kaum) yang mendustakan agama? Itulah orang (kaum) yang mengambil hak anak yatim dan orang miskin (korupsi), dan tidak menganjurkan memberi makan (mencabut subsidi) orang miskin”

Dengan demikian, puasa tidak langsung kemuadian menjadikan manusia suci. Karena pemaknaan seperti itu hanya akan meembuat diri kita sombong. Dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari menyebutkan: “Tahukah kalian siapa si bangkrut sejati (al-muflis)? Para sahabat menjawab, “Si bangkrut adalah orang yang tidak punya uang dan tidak punya harta.” Rasullah berkata, “Bukan itu. si bangkrut sejati adalah orang yang datang di akhirat kelak dengan puasa pahala puasa, salat, haji, zakat, dan lain-lain.

Tapi, dia gemar melakukan kezhaliman terhadap orang lain, dengan mencacinya, menyakitinya, dan memakan atau mengorupsi hartanya”. Pengertiannya adalah, maka pahala salat, puasa, haji, dan amal saleh lainya diambil untuk diberikan kepada korban kezalimannya tadi. Jika masih kurang, dosa si korban kezalimannya ditimpahkan kepada orang tadi. Lalu diapun di lempar ke neraka.

Perubahan Progresif
Dengan hadis diatas, sudah jelas bahwa sholat, puasa, zakat, dan haji seseorang tidak akan mendapat apa-apa jika ia masih tetap melakukan kedzaliman dengan hak rakyat. Sudah jelas jika puasa yang sempurna bisa menghapus perbuatan keji dan dzalim termasuk korupsi dan suap, bukannya menghapus dosa korupsi. []

Pernah dipublikasikan di Jawa Pos Radar Kudus.

Sabtu, 20 September 2008

Ritus Puasa, Memenggal Korupsi

Oleh ZAKKI AMALI

Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus

Ritus puasa bukan hal baru bagi umat manusia. Hampir semua (untuk tidak menyebut keseluruhan) agama melakukan ritus ini. Orang-orang Kristen, Yahudi, Konfusianisme, Hindu, Tao, Jainisme, serta agama lama. Menurut Jalaluddin Rahmat (Bermain Politik Di Bulan Puasa: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer, 1998), tujuan ritus ini untuk bertaubat atau menyucikan diri.

Orang-orang Babylonia dan Asyyiria melakukan puasa sebagai salah satu bentuk pertaubatan. Orang-orang India Amarika dan Inca di Peru berpuasa untuk menolak bencana akibat dosa-dosa mereka. Orang Yahudi berpuasa sebagai pertaubatan dan penyucian diri pada tangal 10 Tishri, bulan ke tujuh dari tahun eklesiatik Yahudi jatuh pada September atau Oktober. Mereka menyebut hari puasa itu Yom Kapur (bahasa Ibrani yom hakkipurin, hari bertaubat) (hlm.116).

Ritus Ramadhan ini pun demikian, muaranya sama : pertaubatan. Untuk mencapai derajat ketaqwaan, seperti disiratkan dalam QS. Al Baqarah : 182, salah satunya, seorang muslim harus melalui pintu pertaubatan. Dengan menjalankan taubat berarti seorang muslim telah berjalan beberapa jengkal untuk mendekap derajat ketaqwaan.

Taubat di sini berarti totalitas meninggalkan segala perilaku dosa, perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah. Bukan Taubat Sambel, taubat yang diiringi perbuatan dosa. Model taubat tersebut, sesungguhnya hanya akan mengaburkan makna taubat itu sendiri. Karena simbol kesucian diri dalam taubat terkotori oleh perilaku dosa.

Korupsi
Praktik korupsi tergolong dosa. Karena praktik tersebut merampas hak liyan. Dalam wejangan Islam, seorang mukmin dilarang keras merampas sesuatu yang bukan haknya. Uang negara, misalnya, haram dikorupsi karena itu bukan hak milik angota dewan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.

Kita lupa bahwa korupsi dapat dilakukan siapa saja, meminjam istilah Sosiolog Clifford Geertz, mulai dari Abangan sampai Priyayi, yang bermuara pada kesengsaraan rakyat. Sebuah Puisi mbeling mengambarkannya : "Pejabat korupsi kuasa/ Pengusaha korupsi harta/ Ilmuan korupsi data/ Dosen korupsi angka/ Mahasiswa korupsi unjuk rasa/ Wartawan korupsi berita/ Ulama korupsi fatwa/ Lantas apa yang tersisa? Rakyat yang sengasara".

Mencermati puisi di atas, korupsi ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat, yang akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akan tetapi oleh semua orang, terlebih mempunyai kesempatan untuk melakukannya.

Barangkali korupsi yang dilakukan anggota dewan lebih berbahaya dari pada lainnya. Karena perumusan kebijakan pada bidang-bidang lain mengikuti alur yang dibuat pejabat. Jika pejabat memerhatikan rakyat, maka kebijakannya tidak berbau korupsi. Artinya rakyat akan sejahtera. Sehingga energi pemerintah memberantas korupsi tertumpu di sana. Meskipun demikian, korupsi yang dilakukan pihak lain akan tetap merugikan orang lain.

Terapi Moral
Salah satu fungsi puasa sebagai pertaubatan inilah, yang menjadikannya terapi moral untuk memenggal korupsi dari dalam. Jika upaya dari luar, berupa ancaman hukuman belum mampu membendung sikap korup, maka jalan inilah alternatifnya.

Sikap korupsi adalah permasalahan mental yang selalu berada dibalik raga, oleh sebab itu penanganannya haruslah dari dalam atau jiwa. Ini sejalan dengan pesan lagu Indonesia Raya yang menitahkan rakyat Indonesia untuk membangun bangsa dari dalam (jiwa) terlebih dahulu, setelah itu raga. "Bangunlah jiwanya bangunlah badannya/Untuk Indonesia Raya".

Sadar atau tidak umat Islam sedang menjalani terapi moral sebulan penuh. Idealnya puasa selama 29/30 hari mampu menundukkan sikap korup. Namun, sampai saat ini, tak satupun ritus puasa membekas. Buktinya korupusi masih merajalela. Telah berapa puluh kali kita menjalani terapi moral ini? Adakah yang salah dengan puasa ini ataukah kita yang lalai mewiridkan bulan Ramadhan di bulan selainnya?

Barangkali jawabannya terletak pada paradigma kita memandang puasa sebagai perintah saja. Kita tidak memosisikannya sebagai ajang peeampaan mental. Kita hanya menjadi fiil (objek), bukan fail (subjek). Meskipun sebagai perintah, puasa sesungguhnya merupakan terapi moral yang harus kita hayati fungsinya untuk mengobati sikap korup yang kita derita. Dengan cara sungguh-sungguh menjalankan perintah Allah di bulan puasa dan mendawamkannya hingga berjumpa bulan Ramadhan berikutnya. Semoga! []

[Jawa Pos Radar Kudus 7 September 2008]

Rabu, 17 September 2008

Ketika Orang Miskin Jadi Dermawan

Oleh KAWE SHAMUDRA

Anggota Komunitas Pena Batang

PENCAIRAN dana bantuan langsung tunai (BLT) yang diperuntukkan bagi warga miskin sebagai hadiah dari pemerintah pusat (setelah sukses menaikkan harga BBM) ternyata sanggup menghadirkan fenomena unik dan menggelitik. Tiba-tiba banyak orang miskin di berbagai daerah yang jadi “dermawan”. Mereka rela menyumbangkan sebagian uangnya untuk kepentingan sosial. Nilainya tidak tanggung-tanggung, mencapai 30%. Dari dana yang diterima dari kantor pos sebesar Rp. 300 ribu, yang dikantongi sendiri cuma Rp. 200 ribu, sedangkan yang Rp100 ribu diserahkan kepada warga lain yang tidak mendapatkan jatah BLT.

Itulah sisi lain dari realisasi program BLT yang terjadi di berbagai daerah. Aksi menyumbang massal itu dikoordinir oleh perangkat desa setempat dengan alasan pemerataan dan keamanan. Makna pemerataan dan keamanan di sini adalah agar warga miskin yang tidak mendapat kartu BLT bisa ikut mencicipi dana hibah itu sehingga suasana menjadi aman dan tidak menimbulkan kecemburuan. Kita tahu, ketika program BLT pertama kali digulirkan, di berbagai daerah terjadi kekisruhan yang berujung pada tindakan anarkhi. Aparat desa menjadi sasaran demo warga.

Inisiatif pemotongan dana BLT sebenarnya datang dari pihak perangkat desa sendiri setelah melihat kenyataan bahwa tidak semua warga miskin di wilayah kerjanya mendapat dana BLT. Karena mereka protes dan minta jatah, maka diambillah jalan tengah. Warga penerima BLT dikumpulkan dan diajak musyawarah. Setelah diberi penjelasan (pengertian), maka terjadilah kesepakatan pemotongan itu dan ditanda-tangani beramai-ramai. Orang-orang miskin diajak untuk bersikap realistis agar mau berbagi kepada sesama.

Rakyat miskin kini memang sedang menjadi lahan proyek bagi-bagi uang. Mereka didata, diberi kriteria, dicatut namanya, dan diberi hadiah. Pemerintah pusat menyerahkan dana BLT lewat kantor pos. Warga miskin menerima dana BLT secara utuh, tetapi pihak perangkat desa merasa perlu untuk menghimbau agar warga penerima BLT tidak menelan seluruh bantuan yang diterima, tetapi sebagian harus diberikan pada warga miskin lain agar tidak terjadi diskriminasi yang berujung pada pertikaian.

Himbauan tersebut diamini warga dan mereka -- entah dengan terpaksa atau tidak -- mau menyerahkan sebagian dana BLT kepada perangkat desa setempat melalui ketua RT, lantas dibagikan kepada warga lain yang mengaku miskin tetapi tidak mendapat kartu BLT.

Tunduk
Salah satu karakteristik umum warga masyarakat, khususnya di pedesaan, adalah sikap patuh pada pemimpin (sang pamong). Mereka gampang diajak kompromi untuk tujuan-tujuan tertentu. Karakter penurut ini sudah mengakar begitu kuat secara turun temurun dan merupakan bagian dari tradisi gotong-royong. Dalam kondisi sesulit apapun, mereka mau berkorban, apalagi sekadar mengurangi jatah sumbangan hibah yang bisa diperoleh tanpa harus peras keringat.

Cara berpikir linear semacam itu tidak lepas dari kondisi warga miskin yang serba lemah dan nyaris tanpa bargaining. Mereka tidak berani menolak hasil kesepakatan karena takut dikucilkan. Mereka pun rela untuk mencuil sebagian hak pribadinya untuk kepentingan sesama. Nurani orang miskin ternyata lebih gampang tersentuh untuk mendermakan sebagian rejekinya. Dana sebesar Rp. 300 ribu begitu penting bagi warga miskin yang sedang dihimpit kesulitan, tetapi mereka mau mengorbankan Rp 100 ribu untuk menyumbang yang lain.

Inilah sebuah pesan moral yang pantas didengar semua pihak. Dalam kondisi susah dan terjepit, ternyata warga miskin masih sanggup mengikis egoisme dan mau membagi-bagikan kebahagiaan bagi orang lain. Pengorbanannya begitu besar untuk sebuah solidaritas sosial.

Mereka tidak berpikir untung-rugi. Lihatlah mereka rela antre dan berpanas-panasan di halaman kantor pos penuh leleran keringat saat menunggu giliran mendapatkan dana BLT. Wajah-wajah mereka yang memelas dipertontonkan di muka umum. Setelah uang diterima, sebagian disumbangkan untuk yang lain.

Kedermawanan merupakan sebuah sikap mental yang dapat diukur lewat kesadaran batin untuk memberikan sesuatu yang dimiliki dan dicintai, bisa dalam wujud harta, tenaga, maupun pikiran. Tetapi persoalannya jadi aneh ketika orang-orang miskin justru berderma dengan uang, harta satu-satunya yang sangat dibutuhkan untuk menyambung hidup. Ini sama artinya mengurangi sesuatu yang sudah minus.

Tetapi itulah fakta. Sesuatu yang tidak bisa dicegah meskipun di belakang layar harus ada pihak yang menggerutu dan menganggapnya tidak adil. Memang terkesan aneh dan tidak wajar, orang miskin yang hidupnya sudah susah masih dihimbau untuk berderma.

Coba bandingkan dengan sikap orang-orang kaya di negeri ini yang memiliki aset pribadi milyaran rupiah, apakah yang sudah mereka perbuat untuk masyarakat? Mampukah mereka menandingi kedermawanan orang-orang miskin?

Barangkali kedermawanan warga miskin yang tampak saat ini merupakan sebuah sindiran dari Tuhan agar orang-orang kaya di negeri ini merasa risih dan malu karena sudah kalah dengan kedermawanan orang-orang miskin. []

[FORUM, Kompas Jateng 13 September 2008]

Sabtu, 13 September 2008

Pendidikan Nilai Ekologi

Oleh LUKNI MAULANA

Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Semarang

PENANAMAN
nilai-nilai sangat perlu dalam pendidikan untuk membangun kesadaran anak didik. Jadi, mereka mengetahui siapa diri dan lingkungan hidup mereka. Pendidikan nilai menekankan keseluruhan aspek sebagai pengajaran agar anak didik menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, termasuk penanaman nilai lingkungan.

Pendidikan lingkungan jadi jalan pengenalan dan menumbuhkan kesadaran soal lingkungan. Aspek etika dan moral tak semata-mata untuk berinteraksi, tetapi juga menanamkan nilai lingkungan hidup.
Kini, pencemaran lingkungan banyak disorot.

Faktor utama perusakan adalah penggunaan besar-besaran produk teknologi modern. Aktivitas industrial dengan membakar hutan menghasilkan semburan miliaran ton partikel, gas karbondioksida, dan klorofluorokarbon.

Emisi karbon muncul dari pembakaran bahan bakar fosil yang tak dapat diperbarui, seperti batu bara, gas, dan minyak bumi. Kerusakan hutan, khususnya di Indonesia yang jadi paru-paru dunia, punya andil cukup besar sebagai pemicu perubahan iklim dan pemanasan global akibat penipisan lapisan ozon.

Perusakan hutan dan penyulapan lahan petanian jadi area industri dan perumahan menimbulkan dampak negarif, antara lain kekeringan. Indonesia sangat merasakan dampak kerusakan sistem cuaca.

Kerusakan sistem cuaca menimbulkan anomali iklim berupa kenaikan suhu 1-1,5 derajat Celcius di Afrika, sehingga masa udara kering dari Australia bergerak ke hutan Afrika. Terjadilah kekeringan di kawasan ekuator, termasuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatera.

Perubahan iklim mempersulit negara berkembang seperti Indonesia mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan dan tujuan pembangunan milenium. Perubahan iklim mengancam ketersediaan sumber daya alam serta menciptakan persoalan baru dan membuat pencarian solusi makin sulit dan mahal.

Perlu rekonstruksi bidang pendidikan untuk menghadapi tantangan zaman global. Format pendidikan yang sesuai perlu strategi dengan penerapan pendidikan nilai ekologi berbasis agama sebagai sumber penanaman jiwa untuk mengenali arti kehidupan.

Pendidikan nilai lingkungan merupakan proses pembelajaran yang menghasilkan perubahan tingkah laku dan sikap untuk menghargai lingkungan hidup dari mikrokosmos hingga makrokosmos. Bukan cuma penyampaian pesan berupa pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai untuk mengenali diri sendiri dan lingkungan.

Diharapkan siswa mampu mempraktikkan, melestarikan, dan memanfaatkan lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Siswa mampu mengetahui peran dan tanggung jawab dalam hubungan tiga dimensi antara Tuhan, alam, dan manusia.

[Suara Guru Suara Merdeka, 01 September 2008]

Kamis, 11 September 2008

Menyoal Dosa Warisan Masyarakat

Oleh M Abdullah Badri


STIGMA yang melekat pada masyarakat Jepara, dan hingga kini belum sirna dalam kesadaran kolektif dari masyarakat luar kabupaten tersebut, adalah karakter materialisme dan hedonisme. Stigma tersebut begitu mengakar sehingga membawa dampak negatif dalam relasi sosial masyarakat Jepara dengan masyarakat kota sekitarnya.

Generalisasi stigma itu bahkan dikaitkan dengan mitologi tentang Ratu Kalinyamat yang pernah bertapa dengan telanjang, tanpa penutup apa pun. Cerita yang belum tentu benar tersebut disinyalir sebagai awal mula terjadinya dosa turunan. Karakter perempuan Jepara yang konon sithik isine serta matrealistik, kemudian dianggap sebagai sifat warisan Ratu Kalinyamat. Kalinyamat merupakan leluhur masyarakat Jepara yang kaya. Benarkah ada dosa turunan?

Stigma dalam bahasa lain merupakan bagian dari tindak kekerasan. Dalam istilah Gramsci, stigma disebut dengan kekerasan simbolik. Kekerasan dengan menggunakan simbol dan pencitraan, lebih nyata akibatnya daripada kekerasan dalam bentuk fisik.

Betul nyatanya, stigma matrealistik yang dilekatkan kepada warga Jepara benar-benar membawa dampak yang sangat besar. Saya sendiri, yang lahir di Jepara, ketika bertemu ataupun bertandang keluar kota, merasakan hal itu.

Asumsi di luar menyatakan, orang Jepara itu matrealistik dan adhi-adhi (banyak menuntut). Saya juga disebut demikian, dan menjadi korban kekerasan simbolik itu. Bahkan, ada sebagian orang yang menyatakan tidak akan menikah dengan orang Jepara, laki-laki maupun perempuan. Kekhawatiran mereka tidak lain karena karakter yang terkenal matre tersebut. Padahal tidak semuanya demikian.

Kemapanan Ekonomi
Jika mau jujur, sebenarnya karakter materialistik bisa ditemukan kapan dan di mana pun, serta bisa muncul dari siapa pun. Faktor paling utama membentuk karakter yang serbainstan dan selalu berorientasi kepada kebendaan itu adalah kemapanan ekonomi. Ya, kemampuan meme-nuhi kebutuhan dasar akan melahirkan budaya konsumeristik.

Pada zaman Jahiliyyah Arab, materialisme telah menjadi karakter umum mayarakat. Sebab, perdagangan ketika itu telah membawa kemajuan pada sektor ekonomi. Akhirnya, semuanya diukur dengan uang dan keuntungan.

Paradigma yang dipakai adalah empirisme dan rasionalisme. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan idealisme dan humanisme dikesampingkan.

Itulah, mengapa Nabi Muhammad saw di utus untuk mengembalikan nilai-nilai lama yang hancur karena budaya materialisme yang menjangkiti peradaban Arab ketika itu. Liutammima makarimal akhlaq (menyempurnakan akhlak-akhlak mulia), demikian bahasa hadis.

Dalam kesempatan lain, kita juga bisa menemukan karakter materialisme dalam peradaban Barat. Semua mengakui, Barat sangat materialistik dalam melihat realitas dunia. Apa Sebab? Kamajuan ekonomi mereka telah tercapai.

Lalu bagaimana dengan Jepara? Apakah pembangunan ekonominya telah mapan, sehingga melahirkan budaya materialistik?

Setiap orang Jepara, dalam pandangan masyarakat luar, dianggap kaya. Salah satu sebabnya adalah karena Jepara identik dengan kota ukir dan bisnis mebel yang dalam kacamata banyak orang "pasti" banyak duit.

Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, dan juga tidak selamanya salah. Memang, di daerah tertentu bisnis mebel melahirkan bangunan-bangunan bertingkat, seperti di Kecamatan Tahunan, Bangsri, dan Batealit. Namun di daerah lain, seperti Kecamatan Kedung, Keling, dan Kelet, kehidupan masyarakatnya masih banyak di bawah garis kemiskinan. Anda akan kesulitan menemukan gaya hidup materialisme di kecamatan-kecamatan tersebut, karena mata pencaharian masyarakat sekitar rata-rata adalah petani, buruh, dan nelayan.

Benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa masyarakat Jepara tidak seluruhnya materialistik. Hanya kalangan tertentu saja yang demikian, yaitu yang mapan secara ekonomi (kebanyakan). Hal itu bisa ditemukan dalam setiap waktu dan tempat.

Bila dibandingkan, standar hidup penduduk Kota Semarang jauh lebih mapan daripada warga Jepara. Artinya, budaya komsumerisme berkembang lebih luas daripada Jepara.

Masalahnya, stigma materialisme yang jelas-jelas berdampak negatif terhadap relasi sosial itu, kadang dipertahankan oleh warga Jepara sendiri. Ketika orang lain mengatakan bahwa wong njeporo itu sugih dan matre, justru anggapan tersebut dibenarkan dengan perilakunya. Seakan-akan dia membenarkan asumsi tersebut, terutama para kaum "kartini"-nya. Karakter ngadhi-adhi dengan nyata ditampakkan kepada orang lain. Wajar bilamana stigma tersebut terus melekat.

Ada dua tokoh wanita dari Jepara yang sangat tersohor, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini. Sang Ratu adalah penguasa, sedangkan Kartini adalah korban budaya patriarki. Kalinyamat hedonis, sedangkan Kartini sosialis.

Lalu, mengapa karakter Kalinyamat lebih melekat daripada Kartini? Yang jelas, wong njeporo sendiri yang lebih tahu. Stigma materialis akan sirna jika warga Jepara mau berupaya menghilangkannya sendiri, bukan melegitimasi dengan sikap dan tindakannya sendiri. Sepertinya, hanya kaum miskin Jepara saja yang mampu melakukan. Semoga asumsi saya salah!

M ABDULLAH BADRI, Sekred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, anggota Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)

[Wacana Lokal, Suara Merdeka, 22 Mei 2008]

Rabu, 10 September 2008

Kalangan Muda NU Jepara Kembangkan Tradisi Menulis lewat Blog

Jepara, NU Online
Masyarakat Jepara, Jawa Tengah, selama ini dikenal dengan kemampuannya dalam seni ukir. Tapi, untuk urusan tradisi tulis-menulis, masyarakat di kota kelahiran tokoh emansipasi perempuan Indonesia, RA Kartini, ini bisa dibilang kurang.
Salah satu sebabnya adalah belum adanya sebuah komunitas yang memprakarsai gerakan menulis serta mengorganisasi keberadaan penulis yang ada.

Atas dasar itulah, sejumlah anak muda Nahdlatul Ulama (NU) kreatif di kota itu memprakarsai sebuah gerakan menulis. Target awalnya adalah membudayakan masyarakat setempat, utamanya kalangan pelajar, untuk menulis di media massa.

Langkah awalnya, anak muda NU yang tergabung dalam Smart Institute Jepara itu menerbitkan media online, yakni blog (website/laman pribadi). Blog yang dapat diakses melalui domain: http://smartjepara.blogspot.com itu memuat banyak tulisan dari berbagai topik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.

Meski baru diluncurkan pada Juni lalu, media online itu sudah mendapat sambutan positif dari banyak kalangan, di antaranya pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Buktinya, banyak kiriman tulisan yang masuk ke redaksi.

Zakki Amali, kontributor Smart Institute, mengakui fenomena sedikitnya para penulis di kota kelahirannya. “Masyarakat Jepara memang membaca surat kabar setiap harinya. Namun, penulis Jepara memang jarang ditemui, berbeda dengan daerah-daerah lain,” terangnya.

Smart Institute, katanya, bisa menjadi wahana silaturrahmi penulis asli Jepara dari berbagai kalangan sekaligus penulis luar daerah.

Hal senada diungkapkan Mukodi, juga salah satu kontributor Smart Institute. Menurutnya, orang Jepara masih saja ‘jago kandang’, menulis hanya di media lokal Jepara, belum berani menulis di media luar.

"Sudah saatnya penulis Jepara go national, agar tidak ketinggalan dengan daerah lain," ucap alumnus Program Pascasarjana Univeritas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu kepada kontributor NU Online, Syaiful Mustaqim, di Jepara, Selasa (9/9).

M. Saifuddin Alia, konsultan Smart Institute Jepara, mengaku optimistis akan keberadaan para penulis di kotanya. Ia bertekat akan selalu menyemangati para penulis muda.

Mantan redaktur pelaksana majalah Maarif Pengurus Wilayah NU Jateng itu yakin bahwa Smart Institute nantinya bakal mencetak penulis-penulis yang andal. "Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit, bukankah filosofinya demikian?" ungkap aktivis Ikatan Pelajar NU Jateng itu.

Rencananya, setelah Hari Raya Idul Fitri nanti, Smart Institute akan menggelar pertemuan para penulis di Jepara. Kegiatan itu sekaligus sebagai wahana tukar pengalaman antarpenulis. (rif)
[Warta NU Online, 09 September 2008]

Habiburrahman Menginspirasi Pelajar untuk “Bersastra”

Jepara, NU Online

Dunia sastra masih dianggap tabu oleh sebagian kawula muda khususnya pelajar. Namun setelah munculnya novel Ayat-Ayat Cinta, semua kalangan termasuk pelajar berbondong-bondong membaca, mengkaji, dan menkritisi novel karya karya Habiburrahman El-Shirazy itu.

Karenanya Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) MA Walisongo, lembaga di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Jepara, beberapa hari lalu menggelar acara bertajuk Bincang-Bincang Sastra dan Belajar Menulis bersama Kang Abik (panggilan akrab Habiburrahman El-Shirazy).

"Diskusi dan belajar menulis ini dihadiri oleh siswa dan siswi MTs/SMP, MA/SMA dan pemerhati sastra di Jepara dan Kudus," ungkap Ainun Najib, S Ag, wakil kepala bagian kesiswaan kepada kontributor NU Online, Syaiful Mustaqim.

Rabu (27/8) lalu, pukul 10.00 tepat acara dimulai. Kang Abik yang juga mantan ketua Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) ini bercerita tentang perjalanan panjang menjadi seorang penulis.

Menurut penjelasannya, novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) bukanlah karyanya yang pertama sebab dia menulis sejak di bangku MAPK Surakarta. Bisa dikatakan AAC adalah karya yang sudah ke sekian kali.

Lebih lanjut, pengasuh pesantren Basmala ini bercerita tentang suka dan duka menjadi penulis. Katanya, menjadi seorang penulis membutuhkan proses proses panjang yang harus dilalui, meski nyawa taruhannya.

Hal itulah yang dialami Kang Abik saat mengalami kecelakaan kakinya patah saat hendak pulang perjalanan Yogyakarta-Semarang. Sejak saat itu ia bertekad dan yakin akan menjadi orang besar. Maka, muncullah AAC yang kini booming menjadi karya sastra yang digemari oleh semua kalangan.

Siang harinya, acara dilanjutkan dengan belajar menulis. Ratusan siswa dan siswi secara khidmat mendengarkan materi yang sampaikan oleh Kang Abik.

Disampaikannya, menulis membutuhkan waktu dan target khusus. "Luangkan waktu untuk kontinyu dalam menulis dan harus ada target dalam menyelesaikan tulisan itu," kata Kang Abik menanggapi pertanyaan Enny Fadhilah, salah seorang peserta. (nam)

[Warta NU Online, 2 September 2008]

Senin, 01 September 2008

Keshalehan Sosial di Pesantren Kilat

Oleh Mukodi, S.Pd.I


Ramadhan bagi siswa identik dengan pesantren kilat. Sebab dewasa ini, pesantren kilat seringkali dijadikan alternatif program sekolah untuk mengisi hari libur dibulan ramadhan. Tak heran, jika di bulan penuh berkah ini anak-anak ramai-ramai nyantri di sekolah. Tak hanya di sekolah Islam, sekolah umum pun melakukan rutinitas selama ramadhan, berupa kursus singkat pendalaman keagamaan. Kegiatannya pun dibuat untuk lebih mendorong anak didik mempelajari ajaran agama dan mengamalkannya.

Sehingga pelbagai lembaga sekolah pun melaksanakan kegiatan tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Ada sekolah yang menyiapkan waktu khusus untuk kegiatan keagamaan di luar hari efektif belajar, ada sekolah yang membagi antara kegiatan akademik dengan kegiatan keagamanaan di hari yang sama. Ada pula sekolah yang memadukan materi pelajaran dengan kegiatan keagamaan.

Penamaan yang diberikan dalam kegiatan pendidikan selama dibulan ramadhan juga berbeda-beda. Ada sekolah yang menyebutnya dengan Pesantren Ramadhan, tapi ada pula yang menamakannya dengan Pesantren Kilat. Meski ada perbedaan penamaan, tapi pada hakekatnya arah yang dituju tak jauh berbeda, yaitu membimbing dan mengarahkan anak-anak untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam.

Persoalannya kemudian adalah terkadang pihak sekolah masih terjebak pada rutinitas pelaksanaan pesantren kilat, belum beranjak pada tingkat pengamalan ''pesan'' pesantren kilat itu sendiri. Alih kata, kebanyakan sekolah masih mengajarkan materi-materi tentang keshalehan individual, berupa teks-teks keagamaan belum menyentuh materi tentang keshalehan sosial, berupa pengamalan praksis di lapangan.

Padahal, salah satu esensi dari puasa adalah mencoba merasakan rasa lapar, dahaga, menguji kesabaran dan memahami realitas sosial di lingkungan sekitar. Sehingga akan sangat bijaksana apabila lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam kurikulum pesantren kilatnya mulai beranjak kepada materi keshalehan sosial. Mengapa demikian? Materi-materi keshalehan individual, berupa pemahaman teks-teks keagamaan yang selama ini diajarkan di hari-hari biasa, hendaknya untuk sementara harus dianggap cukup. Dan di bulan ramadhan, merupakan momentum yang sangat tepat untuk melatih anak didik dengan materi-materi keshalehan sosial. Misalnya, mengajak anak-anak bersiraturrahmi ke tempat-tempat pantai asuhan, membawa mereka berkunjung ke rumah singah anak-anak jalanan, melatih anak didik berinfaq dan shodaqah dan lain sejenisnya.

Dengan begitu, anak-anak pun bisa berinteraksi secara langsung dengan kawan-kawan mereka ''yang kurang beruntung'' tersebut. Sehingga dalam diri anak akan terbina sikap asih, asa, dan asuh. Tumbuhnya sikap yang demikian, diharapkan anak-anak mampu memahami realitas di luar sekolah dengan baik. Secara akademik, kegiatan semacam ini akan berdampak positif pula terhadap prestasi anak, dengan sendirinya mereka akan terpacu untuk senatiasa belajar dan belajar. Sebab mereka telah menyadari bahwa mereka adalah bagian dari ''anak-anak yang beruntung'' dari pada kawan-kawan mereka yang tidak mempunyai kesempatan bersekolah seperti mereka.

Akhirnya, melalui momentum pesantren kilat di bulan yang penuh berkah ini, mari kita tingkatkan keshalehan sosial pada setiap individu, tak terkecuali pada anak didik. Bukankah hakikat puasa adalah kepedulian atas sesama? Sudah semestinya anak-anak dilatih untuk peduli atas sesama, memanusiakan manusia dan pedului dengan lingkungan sekitar? Inilah sesungguhnya makna dari pesantren kilat itu.[]

MUKODI, S.Pd.I, praktisi pendidikan, studi lanjut di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pernah dipublikasikan di Koran Kedaulatan Rakyat

Museum Kartini, Riwayatmu Kini

Oleh Syaiful Mustaqim


Sosok
RA Kartini bagi wong Jepara merupakan ibu dari sebuah daerah (kabupaten). Dalam lingkup luas dia adalah pahlawan emansipasi. Kartini berjuang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dia mendongkrak kultur feodalistik dan paternalistik, serta mengilhami perempuan melawan diskriminasi terhadap kaum hawa.

Untuk mengenang jasa-jasanya, dibangun sebuah museum. Museum Kartini namanya. Museum ini berada di pusat kota (sebelah utara) Alun-alun Jepara. Museum ini secara resmi dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara.

Museum Kartini berdiri pada 30 Maret 1975, pada masa pemerintahan Bupati Soewarno Djojomardowo. Peresmian museum oleh Bupati Soedikto pada 21 April 1977.

Museum yang berdiri di atas tanah seluas 5.210 meter persegi dengan luas bangunan 890 meter persegi ini terdiri atas beberapa gedung. Di situ tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kartini dan kakaknya, Sosrokartono, serta benda-benda kuno dan budaya hasil temuan dari Kabupaten Jepara.

Museum terbagi dalam empat ruangan. Pertama, ruangan berisi koleksi peninggalan RA Kartini berupa meja, kursi, radio, piring, gerobak dan koleksi foto-fotonya semasa hidupnya. Kedua, ruang untuk benda-benda peninggalan sang kakak, RM Panji Sosrokartono.

Ketiga, ruangan berisi koleksi benda-benda bernilai sejarah seperti tulang ikan raksasa Joko Tuwo (temuan April 1989) yang panjangnya sekitar 16 meter, berat 6 ton, lebar 4 meter, tinggi 2 meter, dan berumur 220-an tahun. Keempat, ruangan koleksi kerajinan Jepara, yakni ukir-ukiran, keramik, anyaman bambu, dan rotan, serta alat transportasi zaman dahulu.

Sayangnya, museum itu sepi pengunjung. Museum Kartini hanya ramai pengunjung setiap April. Selain April, museum hanya menjadi bangunan tua dan kosong yang tanpa sentuhan manusia. Sungguh ironis. Jadi, tidak ada salahnya Pemkab Jepara atau dinas yang menanganinya lebih getol mempromosikan keberadaan museum ini.

Museum bukan hanya milik pencinta sejarah. Bagaimanapun, di museum itu pengunjung dapat mempelajari perjuangan seorang perempuan untuk lepas dari kungkungan. []

SYAIFUL MUSTAQIM Direktur Smart Institute, Jepara, Jawa Tengah

[Kota Kita Kompas Jateng, 26 Agustus 2008]