Minggu, 26 Oktober 2008

Ciptakan Fun Learning

Oleh Agus Thohir

Guru SMP Negeri 31 Semarang dan Direktur Lingkar Studi Alternatif (LASTA) Semarang

PENDIDIKAN adalah bentuk dari representasi pembelajaran yang dapat berdampak pada perkembangan potensi dan skill peserta didik. Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran, guru harus terampil dan kreatif supaya pembelajaran tidak monoton.

Guru bukan sekadar mengajar secara teoretis dan menargetkan lulus dengan nilai terbaik pada eksekusi akhir (ulangan dan UN), tapi lebih dari itu, bagaimana mendesain lebih untuk bisa membentuk karakter anak didik.

Dasar pemahaman ini harus dijadikan fondasi berpikir bagi setiap guru.Sebab, mereka mempunyai peran strategis untuk mendesain dan merekayasa bentuk pembelajaran yang bermutu dan menyenangkan.

Mereka dapat memberikan sederet kemampuan. Karena itu, tanpa punya keahlian khusus dalam menyampaikannya, pembelajaran pun hanya bersifat monoton dan terlihat kaku, bahkan tidak sesuai dengan target. Jika tak ingin dianggap siswa sebagai guru yang kuper dan jadul, seharusnyalah guru pandai menyiasati semua itu dengan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan (fun learning) sehingga kelas terasa hidup, mengasyikkan, dan membekas pada diri siswa.

Tentu hal itu tidaklah mudah. Sebab, butuh keahlian dan keyakinan kuat serta semangat membaja sehingga akan mempermudah dalam penanganan dan pengelolaan kelas yang efektif.

Libatkan Siswa
Dalam perencanaan pembelajaran, tak ada salahnya guru melibatkan siswa. Pertama, siswa harus diajak untuk terlibat aktif sehingga termotivasi dalam melakukan apresiasi dan kreativitas di kelas dengan cara memberi game.

Kedua, guru harus mengerti kondisi kelas sehingga tidak bisa disamaratakan antara kelas satu dan kelas yang lain, maka dibutuhkan strategi penanganan yang berbeda pula. Ketiga, memanfaatkan fasilitas baik berupa metode, multimedia, lingkungan maupun alat pendukung lainnya yang bisa membuat siswa merasakan betah dan nyaman dalam belajar di kelas.

Apakah ini semua mungkin dan bisa tercapai? Tentu diperlukan ijtihad (keyakinan) ekstra dari para guru dan kreativitas. Dengan menanamkan paradigma holistik maka akan tercapai inovasi tiada batas dari pendidik dan siswa pun lebih bergairah serta kreatif ketika model pembelajaran menyenangkan (fun learning) dapat dijalankan.

Dampaknya, anak didik dapat memaksimalkan potensi. Dengan demikian, otomatis para guru telah menyukseskan bentuk pendidikan tanpa mengesampingkan proses untuk mencapai hasil yang maksimal. Lebih jauh lagi, bisadikatakan guru telah melakukan investasi sumber daya manusia (SDM) untuk jangka panjang. []

[Suara Guru, Suara Merdeka 20 Oktober 2008]

Sabtu, 25 Oktober 2008

Bunga dari Jepara

Cerpen LUBIS GRAFURA
www.lubisgrafura.co.cc


Europese Lagere School (ELS), Jepara, 1891

GEMERISIK daun bambu diterpa angin pagi menanggalkan beberapa helai daun keringnya. Helai-helai daun itu menikmati masa terakhir di udara sebelum jatuh ke tanah. Dan, ada sehelai daun yang tersangkut dahan sebelum luruh bukan ke atas tanah, melainkan di rambut seorang gadis yang tengah berlari.

“Letsy, tunggu!”

Seorang gadis berlari setelah ia membuang daun kering yang luruh di atas kepalanya. Jarit yang membebat tubuhnya hampir tak bisa dikatakan ia tengah berlari. Sementara temannya yang berambut pirang menunggu di depan.

“Letsy, kita duduk di sana yuk bercerita-cerita”

Keduanya memilih duduk di bawah pohon waru yang rindang. Rerantingnya berdesik. Menciptakan hawa semilir di bawahnya. Letsy mengeluarkan bukunya. Sementara dirinya memandang aneh kepada sahabatnya akrabnya itu.

“Letsy ceritakanlah sesuatu kepadaku”

Letsy membuka bukunya. Namun bukan buku cerita yang ia tunjukkan kepada gadis pribumi itu, melainkan buku pelajaran bahasa Perancis. Gadis pribumi itu masih menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

”Ni,” Kata Letsy ”Aku sekarang harus menghafal pelajaran Perancis”

“Ah, itukan dapat kau kerjakan di rumah, sebab itu bukan pekerjaan sekolah.”

“Benar katamu Ni, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Prancis baik-baik, dua tahun lagi saya belum boleh pergi ke negeri Belanda. Karena saya ingin masuk sekolah guru. Kalau kelak nanti saya tamat, barangkali saya akan ditempatkan di sini. Dan saya tidak akan duduk di dalam kelas, tetapi di depan kelas. Nah, sekarang katakan kepadaku Ni, kamu kelak ingin jadi apa?”

Sepasang mata gadis Jawa itu menatap dengan penuh rasa heran. Sebab, yang baru saja terucap dari bibir karibnya itu sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Dan hati kecilnya membenarkan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya. Ingin jadi apakah dirinya?

“Ayolah Ni katakan sekarang.”

Letsy mendesak Ni dan menggoyang tangan karibnya yang masih mematung. Gadis pribumi itu memutar otaknya, mengumpulkan seluruh tenaganya. Menyusun kata-kata untuk menjawabnya, tapi sia-sia. Ia tak kunjung mendapatkan jawabannya.

“Ayolah. Kau ingin jadi apa?”

Tanda masuk kelas sudah dibunyikan, sementara Ni belum juga menemukan jawabannya. Ni kecil sungguh tak memiliki jawaban untuk pertanyaan sesederhana itu. Dengan nada yang polos dan penuh kejujuran ia menggelengkan kepala sambil berkata pendek.

“Tidak tahu.”

***

”Tidak tahu?”

Ni bertanya pada cermin. Ia melihat wajah yang tampak begitu bodoh. Betapa tidak, otak yang bersemayam di dalam kepalanya tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana. Pertanyaan itu tak kunjung juga berlalu. Hampir setiap malam sebelum dirinya tidur, pertanyaan itu selalu dipikirkannya. Begitu pula saat sepasang matanya yang masih sayu menatap fajar, pertanyaan itu juga tak kunjung pudar.

”Hendak jadi apakah aku?”

Ni kembali bertanya kepada cermin di depannya. Pertanyaan itu seharusnya tak menjadi mendung untuk pagi-paginya. Tapi, gadis seusianya musti menanggung pertanyaan sederhana yang hampir tak dapat ditemukan jawabnya.

Ia masih ingat kemarin, saat ia sepulang sekolah, ia segera menemui ayahnya. Nafas Ni membuat dadanya turun naik, sebab ia berlari tanpa henti dari sekolah menuju rumah. Hanya ingin mendengar jawaban dari ayahnya.

“Hendak jadi apakah aku nanti ayah?”

Dengan penuh harap cemas, Ni kecil menunggu jawaban ayahnya. Ayahnya tidak mengatakan sesuatu. Beliau hanya tersenyum dan mencubit pipi Ni. Namun, gadis Jawa itu tetap merengek-rengek meminta jawaban dari sang ayah.

“Harus jadi apakah gadis-gadis? Ya, menjadi Raden Ayu, tentu saja.”

Jawaban itu keluar begitu saja dari sepasang bibir. Tapi, itu bukan kata-kata milik ayahnya. Perkataan itu adalah milik kakaknya yang kebetulan mendengar pertanyaan Ni. Kakaknya menghampiri Ni dan mengatakan sekali lagi bahwa Ni kelak akan menjadi Raden Ayu yang memiliki budi pekerti dan nilai-nilai perempuan yang berderajat.

”Raden Ayu?,” Tanya Ni kepada cermin kembali ”Apa enaknya jadi Raden Ayu?”

“Ni, Letsy sudah menunggumu!”

Ada suara ibunya di balik pintu kamarnya. Ni segera merapikan dandannya. Ia tak mau Letsy menunggu dirinya terlalu lama. Tapi tentu saja ia tidak akan mengatakan kepada karibnya bahwa dirinya kelak akan menjadi Raden Ayu. Ni memilih menyimpannya.

***

Ni memilih menyimpan semua keinginannya dalam hati. Air matanya mengiringi mimpi-mimpinya yang baru saja dikubur. Dan harapannya tinggal nisan bertuliskan kepupusan. Ni benci menjadi dewasa, sebab dewasa hanya akan membuatnya menderita.

Hal yang membuatnya menderita adalah ketakutannya. Ketakutan akan sebuah pintu kamar menguncinya dari luar. Menjauhkannya dari buku-buku. Menjauhkan dari segala kehausan akan ilmu. Ni musti menghadapi kenyataan. Sebuah pingitan.

Ni kecil kemarin berjalan dari sekolah ke rumah untuk terakhir kalinya. Matanya menjadi basah. Hatinya piluluka. Bibirnya mengatup kering dan gemetar. Tapi apa yang dirasakan oleh gadis polos kecil itu tak dapat disembunyikan lagi. Kedua matanya terlalu muda untuk menyimpan air mata. Ia uraiakan air mata itu sebisanya. Dia sadar, bahwa dengan tertutupnya pintu sekolah, berarti segala sesuatu yang dicintainya juga telah tertutup.

Sementara, pikiran kritis yang pernah diajarkan oleh pikiran Barat telah meletup-letup bersemangat, tetapi pada kedua tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai budaya Timur. Sedangkan otot-ototnya sangat lemah. Ia belum sanggup melepaskan diri dari belenggu yang mengikat itu. Kini pintu sekolah sudah tertutup rapat di belakangnya, sedangkan pintu rumahnya terbuka lebar untuk dirinya. Ia akan berada di sana selamanya. Ruangan itu juga kelak akan menjadi dunianya, alam semestanya yang dikelilingi oleh tembok tebal. Ia musti menikmati dunianya dalam sangkar.

Hari-hari Ni adalah hari-hari yang suram dan dia harus melaluinya. Seolah pasir waktu itu tersendat dan berhenti mengalir. Baginya matahari tak pernah bersinar mengisi pagi-paginya. Namun, diantara kebosanannya melihat lingkungan yang sama, orang-orang yang sama, Ni Kecil mendapatkan sedikit hiburan ketika Letsy datang mengunjunginya. Ia merasa menjadi Ni Kecil yang dulu lagi. Menjadi masa anak-anak yang penuh dengan kegembiraan. Ia melupakan pingitan yang senantiasa membelenggu dirinya.

Tentu saja Letsy tidak akan berlama-lama disangkarnya. Titik terang itu kembali padam. Kini di matanya hanyalah kegelapan dan belenggu itu makin kuat mengikat dirinya. Hidup yang penuh dengan kebosanaan itu akan terus berlangsung dan makin sunyi. Namun, sunyi itu pula yang mengajarkan Ni tetap terus membaca. Membaca dan memetik detik kehidupan yang terus mengalir bersama surat-suratnya.

Holland, 7 Juni 1898.

…Ni, Anda adalah pelopor semangat muda wanita bangsamu. Lebih dari itu Andapun telah meretas jalan kemuliaan rakyat sini…Ya Ni, kudoakan semoga Anda bisa merealisasikan apa yang selama ini hidup sebagai buah mimpimu….

Ni melipat surat yang baru saja diterimanya. Lantas, ia melihat dunia luar lewat jendela. Ada angin yang menerpa rambut di keningnya. Ni berharap apa yang ada di surat itu benar. Sepertinya ia sudah tahu hendak jadi apakah dirinya. Ia hanya ingin menjadi wanita yang dihargai. Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih. []

Terinspirasi dari Surat Abendanon, 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Asah Keterampilan Bahasa Inggris, Siswa MA Walisongo “On Air” di Double-E

Jepara, NU Online
English Conversation Club (ECC), salah satu kegiatan ekstrakulikuler siswa di Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, mulai Rabu (22/10) kemarin on air (mengudara) di Radio Double E pada gelombang 98.7 FM. Program ini dimaksudkan untuk mengasah ketrampilan speaking (berbicara) bahasa Inggris para anggota.

Untuk kelancaran program baru ECC di madrasah yang berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU Jepara ini, dalam setiap siaran yang dilaksanakan setiap Rabu siang hanya dijatah lima orang anggota untuk mengudara.

Ulfatun Nikmah, ketua ECC menyatakan siaran yang dilaksan akan setiap hari Rabu setelah pulang sekolah ini merupakan wahana untuk melatih anggota agar lebih berani mengekspresikan "cuap-cuap" dalam bahasa Inggris.

"Saya berharap agar temen-temen pegiat ECC, lebih enjoy tatkala mengudara di Radio Double E", kata Ulfatun, siswi kelas XI jurusan Bahasa, ditemui kontributor NU Online Syaiful Mustaqim di MA Walisongo, Jepara, Rabu (22/20).

ECC lahir sejak 2002 silam dan kegiatan ini dikhususkan bagi siswa jurusan Bahasa. Awal mulanya merupakan rintisan Drs Rohmadi AF, wali kelas jurusan Bahasa saat itu merekomendasikan kepada Alexander Mongot Jaya (Mr Mongot), salah seorang lulusan madrasah ini yang kemudian kuliah di AKABA 17 Semarang untuk menularkan ilmu kepada adik kelasnya.

Dengan kehadiran Mr Mongot, banyak siswa yang antusias untuk mengikuti kegiatan ini, sehingga ECC eksis hingga sekarang. Tahun berganti tahun akhirnya, pada tahun ajaran baru 2008 kemarin ECC berubah menjadi kegiatan ekstrakulikuler di MA Walisongo.

Selain itu, tidak hanya untuk siswa jurusan bahasa saja, akan tetapi semua jurusan baik IPA, IPS boleh mengikutinya. Hal ini merupakan antisipasi agar tidak mengalami penurunan jumlah anggota.

Pembina ECC, Irbab Aulia Amri mengutarakan kegiatan ECC saat ini dilaksanakan rutin setiap hari Sabtu siang. Sedangkan kegiatan tambahan setiap hari Rabu merupakan kerjasama ECC dengan Radio Double E yang berada di desa Troso, Pecangaan Jepara.

Lebih lanjut lulusan Universitas Muria Kudus menambahkan setiap Rabu akan dibahas topik tertentu sehingga pendengar radio bisa mengirimkan opini atau hanya sekadar mengirim SMS kepada kawan-kawan selain itu juga bisa request lagu favorit.

Respon dari pendengar cukup baik, terbukti program perdana yang baru digelar siang kemarin banyak pendengar radio yang mengirimkan pesan singkat (SMS) baik berupa opini atau sekedar kirim salam kepada teman.

"Mudah-mudahan ini menjadikan awal yang baik agar ECC semakin eksis dan makin di kenal oleh khalayak", kata Irbab. (nam)

[Warta, NU Online 23 Oktober 2008]

Minggu, 19 Oktober 2008

Puisi-puisi Sri Wahyuni

SRI WAHYUNI, Lulusan Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan

Mengapa Berbeda

Senja merona di ufuk petang
Mengapa engkau selalu mengalahkan siang?
Malam ini sepintas tampak suram
Bintang tersipu menatap enggan
Mengapa ada orang yang menantang enggan?
Alangkah bijak ketika perbedaan itu menjadi penerang dan sisi gelap bagi seseorang


Alam itu Romantis

Sadarkah bahwa alam mengajarkan banyak hal
Serbuk sari dan putik selalu menjadi pelengkap bunga untuk merekah
Akar dan batang selalu menjadi kekuatan pohon untuk bertumbuh kembang
Kupukupu betina dan jantan saling bergandengan dan berhimpitan
Bukit dan lembah selalu setia pada gunung-gunung yang menjulang
Mendung selalu takluk dengan getaran halilintar
Sadarkah kita bahwa alam itu indah dan berkah


Minggu, 12 Oktober 2008

Polesan Film Laskar Pelangi

Oleh Heri Priyatmoko

Peneliti di Kabut Institut, Solo

Daun kalender menunjuk angka 25 September 2008. Di bioskop terlihat berderet antrean panjang pengunjung di depan loket bak antrean BBM di SPBU menjelang kenaikan harga. Karcis laris manis bagai kacang goreng. Kursi bioskop terisi penuh. Sudah diprediksi, pemutaran perdana film Laskar Pelangi (LP) bakal meledak. Ternyata benar, ratusan orang tidak mau melewatkan film yang dibesut oleh Riri Reza dan Mira Lesmana tersebut. Apresiasi publik cukup menggembirakan.

Sepintas, film LP terlihat seperti film anak-anak. Tapi di sana, disuguhkan tema-tema kemiskinan, kemelaratan, pendidikan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Film yang terlebih dahulu terdongkrak oleh larisnya novel LP garapan Andrea Hirata itu, mampu menampilkan cerita tragik tentang orang-orang dari struktur masyarakat yang dikalahkan. Atau, mereka yang tidak diperhitungkan dan tidak cerah masa depannya.

Sentuhan Riri sebagai sutradara muda yang andal terbukti melalui film yang menelan ongkos 8 miliar ini. Banyak polesan elok dari aspek bahasa gambar maupun tampilan bermacam detil yang “tertulis” menjadi terucap. Idealisme Riri di film yang berdurasi 120 menit itu tampak jelas tak ingin menyajikan LP yang dalam memoar karya pegawai Telkom Bandung ini berkisah tentang kenakalan dan kejeniusan anak-anak sekolah Muhammadiyah semata. Riri sebisa mungkin memberikan solekan baru, bahkan memperkaya dengan latar sosial dan budaya.

Sutradara berambut keriwil itu sedikit menggesar fokus cerita lebih kepada perjuangan anak-anak LP menghadapi hidupnya yang tak karuan susahnya, baik secara ekonomi maupun kelas sosial di Belitong. Sebuah tanah kaya akan tambang timah, tapi penduduknya justru terjerembab dalam lingkaran kemiskinan akibat warisan kolonial Belanda. Peristiwa dan tokoh yang tak terdapat di novel bermunculan. Riri melukiskan dalam layar perak suatu adegan baru. Contoh, sebuah lemari kaca bekas yang dikirim ke sekolah untuk menaruh piala hasil lomba karnaval yang diraih berkat kepiawaian Mahar (Verrys Yamarno) dalam seni. Lemari itu tiada kancingnya, terbuka terus sehingga mengganggu Ibu Muslimah (Cut Mini). Lalu, Lintang (Ferdian) mengganjalkan kertas agar pintu tertutup. Begitu memukau polesan Riri. Sebab, ini menggambarkan adegan humor di sela-sela kemiskinan yang didera penghuni sekolah yang malamnya untuk kandang kambing ini.

Namun, tak sedikit pemirsa yang sebelumnya sudah menamatkan membaca novel, dibuat bingung sutradara. Pasalnya, ada tiga tokoh baru yang menghidupkan alur cerita film. Tokoh tambahan ada Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) yang menjadi pejabat PN Timah yang menaruh simpati keberadaan sekolah yang bermurid sepuluh orang itu. Lalu Pak Bakri (Rifnu T Winaka), seorang guru SD Muhammadiyah yang kepincut pindah ke SD lain di Bangka karena perhitungan materi tentunya. Kemudian, Pak Mahmud (Tora Sudiro), guru SD PN yang gandrung pada Ibu Muslimah.

Penonton wajar kecewa takkala menunggu cerita Tripani yang berakhir dramatis, menderita mother complex, yang malah tak dihadirkan di film. Atau kisah Mahar yang seperti dukun yang mengobati Ikal (Yulfany) yang merana akibat ditinggal cinta pertamanya, A Ling (Levina). Mungkin pertimbangan Riri lebih mengutamakan kisah yang kental nafas sosialnya. Demi terkena sasaran pada aspek kultur Melayu, tak sungkan Riri mengganti lagu Tennesee Waltz yang dinyanyikan Mahar dengan lagu Bunga Seroja. Bahkan, untuk pemain cilik LP, Riri tak mau kirim dari Jakarta, ia mencomot anak Belitong karena butuh dialek setempat dan tahu persis kehidupan sosio-kultural kota yang sempat “terbelah” ini dengan dua masyarakat yang timpang dan dibatasi papan “Dilarang Masuk buat orang jang tida punja hak”.

Budaya Popoler
Sepotong cuplikan yang paling menyayat hati penonton ketika Lintang pamitan pada teman-temannya dan Ibu Muslimah karena harus meninggalkan sekolah selamanya. Ayahnya meninggal dunia, dan dia mesti menggantikan peran ayahnya sebagai kepala rumah tangga agar dapur tetap terkepul. Di situ, Ikal mengejar Lintang dengan berurai air mata. Tapi, si jenius yang telah menyelamatkan sekolah dalam lomba cerdas cermat itu, kian jauh tak terkejar. Tak mungkin lagi ada cerita Lintang yang dihadang buaya tempo hari dan naik onthel berjarak 40 kilometer untuk sampai di sekolah. Suntikan Riri dalam adegan ini meski tidak ada dialog apa-apa hanya gambar yang sederhana, tapi bagaikan setrum sebab memberi letupan yang amat menyentuh jiwa.

Sangat tepat manakala Ibu Muslimah dalam film diposisikan lebih dominan. Apa yang dilakukan Ibu Muslimah saat mengajar penuh keikhlasan dan beliau tetap bersemangat menunaikan tugasnya sebagai guru walau gajinya harus diutang dua bulan. Ini sungguh sentilan bagi ratusan sampai ribuan guru GTT di Indonesia yang berdemo ngotot minta dijadikan sebagai pegawai negeri sipil. Ibu Muslimah sempat galau dan berhenti mengajar setelah Pak Harfan (Ikranagara) wafat. Namun, tiba-tiba Pak Zulkarnaen datang memberi pencerahan bahwa mengajar itu adalah berangkat dari rasa bukan materi seutuhnya. Akhirnya, Ibu Muslimah kembali mengayuh sepeda menemui anak didiknya seperti biasa. Sungguh gambaran yang mengharukan.

Karena itulah, mengangkat novel LP ke layar lebar dan Andrea memberikan kepercayaan itu kepada Riri dan Mira, bukanlah hal yang keliru. Pasalnya, Andrea meniupkan semangat untuk bangkit lewat novel, tersalurkan pula secara visual. Memang jauh sebelum Ayat-ayat Cinta dan LP sohor, cerita novel yang difilmkan sudah banyak. Sebut saja film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I’m In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet. Boleh saja dikatakan melalui sinetronisasi karya sastra (pemilik stasiun televisi) hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan sebagai mesin kapitalisme untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Orientasi yang lebih mulia ialah dengan mengampanyekan lewat film akan nilai-nilai agama, secercah semangat, dan percikan-percikan inspirasi yang bertaburan di dalam buku LP, diharapkan menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia yang terpuruk karena kemiskinan, merasa termarjinalkan, mereka yang keok sebelum bertarung, dan sekaligus mengkritik para pembuat kebijakan yang memandang sebelah mata pendidikan di daerah pedalaman. Dengan demikian, sepantasnya kita tak keberatan angkat topi kepada pembuat novel dan film LP. []

[Opini, Joglosemar, 27 September 2008]

Refleksi Kemerdekaan

Oleh Awaludin Marwan, S.H
Pegiat Dewandaru Jepara Society

Patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan kemerdekaan Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis. Kemerdekaan pada intinya harapan dan cita tentang kesejahteraan manusia. Kemerdekaan absurd hanya mengalih fungsikan penggantian penindasan lama dengan penindasan baru.

Suasana mencekam bukan berakibat dari kobaran perang, namun karena masyarakat yang terhimpit kemiskinan dan keterbelakangan. Kemerdekaan harusnya menjadi solusi bagi kesengsaraan masyarakat pascakolonial yang membebaskan dan membahagiakan. Justru dengan kemerdekaan ini, kondisi diperkeruh dengan maraknya praktek korupsi dan suap oleh politisi di menara gading sana yang seharusnya sebagai negarawan yang memperdulikan nasib rakyatnya.

Kemerdekaan pascakolonial bisa diartikan membebaskan kelas konglomerat dan politisi busuk, mencengkeram kuat upaya penyejahteraan masyarakat kelas rendah. Kebijakan yang di buat pemerintah Indonesia beserta politisi di Senayan yang cenderung lebih berpihak pada kaum neo-liberalisme, membuat rakyat dipaksa mengikuti skenario pemerintah yang tak rasional. Kenaikkan harga BBM, pencabutan subsidi, privatisasi, dan ratifikasi konvenan internasional yang sama sekali tidak menguntung masyarakat Indonesia menjadi warna yang kental bagaimana elit negara mengisi kemerdekaan ini.

Perkembangan refleksi kemerdekaan kini kian jauh dari makna yang sesungguhnya. Tidak hanya semangat kemerdekaan yang sama sekali tidak pernah dipakai elit Negara dalam menyusun kebijakannya. Namun refleksi kemerdekaan mengalami pergeseran pada ranah yang lebih luas. Kemerdekaan yang harusnya memiliki esensi keprihatinan, maraknya aksi hedonis yang dilancarkan oleh tiap sudut kota negeri dalam memperingati hari kemerdekaan membuat kekecewaan menjadi teramat sangat. Aksi hedonis, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Epikuras dan Aristippos, berarti kata tentang kenikmatan (hedone). Kenikmatan badaniah yang sifatnya sementara dipandang lebih menyenangkan ketimbang kenikmatan rohaniah.

Unsur penghambur-hamburan harta begitu lekat dengan perayaan kemerdekaan di sudut kota negeri ini. Suasana lomba, pawai, hiburan dan bentuk kegiatan yang sesungguhnya membuat kita lena pada makna kemerdekaan subtansial, sekarang, menjadi tradisi absolute. Seolah-olah perayaan kemerdekaan berarti penghiasan aksesoris tempat-tempat, perlombaan, karnaval, dan kegiatan lain yang tak jelas.

Perayaan kemerdekaan bukan lagi merekontruksikan gagasan tentang cita bangsa. Terus bertanya tentang hasil evaluasi pelaksanaan humanisasi, keadilan sosial, moral, dan etika bangsa dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa ini.

Lunturnya Nasionalisme
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) dalam dimensi yang di baca oleh Benedict Anderson (1983) Imagined Comunities merupakan konsep antropologi yang semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Pada konsepsi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined”. Artinya, orang-orang mendefinisikan dirinya sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah mengenal, bertemu atau bahkan mendengar. Namun dalam benak mereka, hidup imagined mengenai kesatuan bersama. Itulah setiap warga bangsa sepatutnya mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan Negara.

Di dalam domain ini, jiwa patriotisme dan etika mengutamakan kepentingan bangsa sebuah keharusan yang di lakukan warga bangsa. Namun kenyataannya prinsip ini hanya sebuah slogan dalam kehidupan berbangsa belaka. Prinsip ini lepas dari laku dan disiplin kehidupan bermasyarakat. Masyarakat kita lebih mengutamakan hak milik pribadi ketimbang kepentingan bersama.

Kebiasaan oligarkisme dan individualisme lebih dominan ketimbang prinsip komunal-sosial. Sebagai contoh, partai beserta elitnya saling melakukan black campaign dan negative campaign di ranah politik mendekati masa pemilu, para intelektual saling mencemooh karena dugaan praktek permainan kepetingan di balik pemikiran, aksi kekerasaan pelanggaran hak asasi layim terjadi akibat perbedaan keyakinan kepercayaan dan banyak kasus lain. Sederetan kasuistis ini menandakan lemahnya nilai-nilai kebangsaan dan tumbuh suburnya oligarkisme dan individualisme.

Oligarkisme dan individualism adalah motor penggerak lunturnya nasionalisme. Dia menyeret kita pada kondisi ketidak pekaan sosial, disorientasi nilai dan tujuan bangsa untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia hanya menginginkan kesejahteraan dan kecerdasan bagi kaum bahkan pribadinya sendiri.

Gesernya Jeparaisme
Nasionalisme dipandang sebagai konsepsi yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut dengan ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos dan simbolisme. Ketika unsur ini di bicarakan , maka Jepara sebagai sebuah lokalitas memiliki semua unsur ini.

Pada abad ke-7 Jepara diperintah oleh ratu yang arif, bijaksana, keras, dan tegas dalam menegakkan disiplin serta penuh tangggung jawab dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ia bertahta dikerajaan Kalingga, bergelar Ratu Shima. Pada masa pemerintahan Demak, di Jepara hadar tokoh putri lainnya yaitu ratu kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa.

Belajar dari uraian diatas, maka masyarakat Jepara sebenarnya sudah bisa bangkit dan lahir kembali dengan atribut kultural yang otonom. Menciptakan paham Jeparaisme, menempatkan warga Jepara dengan gagasan, jiwa, dan raga untuk kemajuan Jepara seutuhnya. Meskipun mungkin kita harus berhenti sejenak menyaksikan ketimpangan budaya masyarakat Jepara.

Budaya yang menghinggapi masyarakat Jepara antara lain, plutokrasi dan hedonisasi. Plutokrasi yang pernah subur di Sparta Yunani zaman itu memperlihatkan keterbudakan orang-orang pada harta sebagai tolok ukur derajat manusia. Pengusaha lebih merasa bahwa kekayaannya selama ini hanya didapat atas kerja kerasnya sendiri, tanpa memperdulikan lingkungan sekitar yang miskin, bahkan melupakan penggabdiannya pada masyarakat, Negara dan bangsanya, apalagi daerahnya.

Sedangkan hedonisasi, nampaknya bersatu dalam jiwa generasi muda Jepara. Anak-anak muda lebih mengutamakan gengsi pergaulan, kompetisi meniru gaya model artis, dan terperangkap pada kehidupan glamour. Pada titik ini, sangat tidak mungkin bisa memberikan ruang kontemplasi bagi mereka untuk mencurahkan keprihatinannya, membangun daerahnya kedepan.

Dengan generasi muda seperti ini, harapan untuk kemajuan Jepara hampir mencapai puncak kepupusan. Padahal ketauladanan telah dicerminkan tokol lokal yang sekaligus menjadi tokoh nasional Jepara, RA Kartini. Di samping pemikirannya tentang emansipasi perempuan, beliau berpikir keras tentang kesejahteraan masyarakat Jepara saat itu. Sumbangsihnya sangat berpengaruh pada perkembangan kerajinan mebel ukir Jepara yang hingga saat ini masih menjadi komoditas unggulan masyarakat Jepara.

Kerajinan ukir mengalami perkembangan lebih lanjut secara pesat setelah kemunculan RA Kartini yaitu putri keempat dari R.M.AA Sosroningrat Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880-1905. Pada masa RA Kartini yang mampu memberikan kontribusi yang luar biasa karena jaman dahulu ukiran itu hanya dibuat untuk kepentingan bangsawan sehingga rakyat biasa belum memiliki penghasilan atas ukiran tersebut. Atas dasar pemikiran Kartini kemudian, dia berharap agar ukiran bisa diproduksi secara massal dan semua rakyat bisa membuatnya. Akibatnya, perajin atau rakyat biasa mampu meningkatkan penghasilan keluarganya (Gustami, 2000: 205).

Karena usaha keras RA Kartini inilah memperkenalkan kerajinan ukir Jepara ke Eropa Barat, pada akhirnya kerajinan ini memiliki pangsa pasar yang bisa di nikmati oleh kebanyakkan masyarakat Jepara hingga saat ini. RA Kartini salah satu putri terbaik Jepara, bagaimanapun kita masih berharap akan lahirnya RA Kartini- RA Kartini baru di zaman ini dengan gagasan-gagasannya yang dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat masyarakat Jepara ke depan. []

Sabtu, 11 Oktober 2008

Mengapa (Malas) Menulis?

Oleh Siswanto

Mantan reporter SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang

DI
samping menjadi pembaca dan mendapat inspirasi dari tulisan orang lain, sebaiknya kita juga berkontribusi memberi bacaan dan inspirasi kepada yang lain. Rasanya naif apabila kita banyak membaca namun tidak menelurkan tulisan dari otak kita.

Padahal bukan hal yang sulit jika seorang berbekal banyak bacaan untuk beranjak menjadi penulis. Namun, banyak alasan yang mencoba mengganjal penulis pemula.

Menurut hemat saya, ada empat alasan mengapa kita malas menulis yang harus segera “disingkirkan”. Pertama, kita tidak menganggap diri kita bakat menulis. Alasan ini sering terdengar bagi mereka yang sampai saat ini belum mau mencoba menulis. Padahal menulis adalah kebiasaan.

Kedua, kita (merasa) sibuk dan tidak sempat menulis. Ini lucu karena menulis tidak harus membutuhkan waktu lama. Jika ada kejadian yang kita lihat dan menarik, langsung saja corat-coret di kertas, dua menit sampai lima menit cukup untuk menggambarkan kejadian tersebut.

Atau, ketika di pikiran kita ada sesuatu, baik yang menyedihkan maupun menyenangkan dapat juga kita tulis dalam buku harian.

Ketiga, kita kurang sadar bahwa tulisan memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan diri kita, yang tidak lekang waktu. Setiap tulisan yang kita hasilkan baik berupa artikel atau buku pasti mendapatkan pembacanya sendiri. Sejauh yang kita tulis adalah hal kebajikan, pasti akan membawa keberkahan bersama.

Keempat, sekaligus yang menjadi masalah krusial bagi penulis (pemula) Indonesia adalah penghargaan bagi penulis sangat minim. Alasan ini sering keluar dari penulis pemula bahkan seorang doktor.

”Menjadi penulis di Indonesia jangan berharap menjadi kaya, maka saya malas menulis,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Badiatur Roziqin, penulis muda Semarang yang sudah menetaskan puluhan buku. ”Penulis kok susah kaya ya, beginilah nasib penulis Indonesia.”

Memang, dibanding negara tetangga, Malaysia misalnya, kita jauh berbeda tentang apresiasi terhadap penulis.

Di Malaysia, kata Badiatur, setiap ada buku baru terbit pemerintah membeli 30.000 eksemplar untuk dibagikan ke perpustakaan seluruh Malaysia.
Apabila hal ini terjadi di Indonesia, tentu sudah menyejahterakan penulis. Ini sekaligus memacu masyarakat untuk bersaing ketat mencipta karya tulis. []

Kamis, 09 Oktober 2008

Dewandaru Jepara Society Dinobatkan Sebagai Komunitas Penulis Jepara

Jepara, NU Online
Ada yang menarik dari halalbihalal yang digelar Smart Institute Jepara pada Senin (06/10) lalu. Silaturrahim penulis yang dipusatkan di griya Smart Institute, Jalan Kauman II Nomor 45 itu, berjalan dengan lancar dan sukses.

Direktur Smart Institute, Syaiful Mustaqim, menyatakan pertemuan yang digelar, masih dalam suasana Idul Fitri itu merupakan agenda pemetaan kerja pasca-Lebaran.

"18 Oktober mendatang Smart Institute secara kontinyu akan menggembleng siswa MA atau sederajat untuk menjadi calon tutor jurnalistik andal," kata Mustaqim.

Mustaqim menambahkan, penggemblengan tutor jurnalistik itu merupakan permintaan berbagai madrasah dan sekolah yang berada di Jepara. Sedangkan kondisi tutor jurnalistik andal masih sangat sedikit. Kalau pun ada, harus impor dari daerah lain.

"Inilah momentum yang pas untuk menggembleng siswa madrasah, sehingga saat ada permintaan fasilitator jurnalistik tidak susah-susah mengundang pembicara dari daerah lain," jelas pembina ekstra Jurnalistik MA Walisongo dan pegiat IPNU itu.

Di kesempatan lain, konsultan Smart Institute, M. Saifuddin Alia juga angkat bicara. Menurutnya, Smart Institute merupakan wadah bagi siswa madrasah yang ingin mendalami ilmu jurnalistik secara intens.

"Saya berharap Smart Institute menjadi kiblat siswa yang akan belajar jurnalistik secara intens," tutur mantan aktivis PMII dan IPNU Jateng itu.

Lebih lanjut, ia menambahkan blog smart yang bisa diakses di http://smartjepara.blogspot.com merupakan wadah untuk belajar menulis. Selain itu, tidak menutup kemungkinan penulis daerah lain untuk berpartisipasi di blog yang baru diluncurkan pada Juni lalu.

6 Oktober bertepatan dengan 6 Syawal, Dewandaru Jepara Society resmi dinobatkan sebagai Komunitas Penulis Jepara. M. Abdullah Badri menyatakan keberadaan Komuntias Penulis di Jepara saat ini sangat dibutuhkan. Ia menilai, kondisi penulis di Jepara sendiri sedang kritis.

Hal senada juga disampaikan Awaludin Marwan yang mengaku prihatin. Ia menyontohkan keberadaan komunitas penulis di daerah lain sudah mengalami perkembangan pesat, misal, di Pati, Kudus, Batang, Solo, Yogyakarta, dan sebagainya.

"Semoga Dewandaru Jepara Society, sebagai Komunitas Penulis Jepara layak diperhitungkan di kancah regional dan nasional," harapnya kepada kontributor NU Online. (ful)

[Warta, NU Online, 09 Oktober 2008]

Rabu, 08 Oktober 2008

Idul Fitri dan Harapan Menghapus Kemiskinan

Oleh Munawir Aziz

Sekretaris Pengurus Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Pati, Jawa Tengah

Hari Raya Idul Fitri kembali menyapa bangsa. Momentum bahagia yang paling ditunggu ini hadir dalam denyut nadi masyarakat. Setelah selama sebulan penuh berpuasa menahan lapar dan pahitnya dahaga serta godaan hawa nafsu, Idul Fitri menjadi pentahbisan atas ujian Tuhan. Idul Fitri bukanlah momen anti-klimaks untuk melepaskan nafsu setelah sebulan dikekang dan dikendalikan.

Idul Fitri merupakan puncak kemenangan rohani bagi mereka yang telah berjuang di bulan Ramadhan. Menurut Komaruddin Hidayat, Idul Fitri merupakan "hari wisuda" bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi dalam mencucikan nurani dan memurnikan jiwa.

Hakikatnya, Idul Fitri merupakan momentum meraih kebahagiaan di tengah suasana kemenangan. Tetapi, di negeri ini, kemenangan dan kebahagiaan hanya mampu diraih segelintir orang. Suka cita yang membahana hanya milik pejabat, pengusaha dan orang kaya lainnya yang mempunyai simpanan harta berlimpah.

Sedangkan rakyat kecil yang terbelenggu kemiskinan merayakan Lebaran penuh tangisan. Lebaran kali ini dirasakan dengan perut lapar dan kebahagiaan semu, sebab tak ada uang untuk membeli pakaian dan makanan untuk anak-istri. Rakyat kecil ber-Lebaran dengan kebahagiaan batin yang tercabik kejamnya kemiskinan.

Hari kemenangan ini diwarnai beragam bencana kemanusiaan yang menghantui bangsa. Rakyat kecil belum menemukan ruang kebebasan sebenarnya akibat terperosok pada jurang kemiskinan yang parah.

Tragedi pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur, yang mengakibatkan 21 orang tewas, merupakan pukulan telak di tengah ritual puasa dan agenda menyambut Idul Fitri. Targedi ini merupakan potret betapa kemiskinan negeri ini sangat memprihatinkan. Nyawa melayang hanya untuk mengejar uang zakat senilai Rp 20.000. Inilah tragedi yang semakin menyesakkan dada. Pemerintah, pengusaha, ulama dan organisasi keagamaan perlu merancang ulang konsep penyejahteraan umat.

Selain wajah kemiskinan, wabah kekeringan, pemarjinalan, meroketnya harga sembako dan beragam permasalahan pelik masih menghantui kehidupan kaum miskin.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di negeri ini sangat besar. Memang, jumlah warga miskin memang mengalami penurunan, dari 39,30 juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Barangkali, angka 1 persen cukup kecil. Namun, jika dilihat secara absolut, penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2,13 juta orang dalam satu tahun adalah angka besar, bahkan fantastik. Angka ini adalah dua kali lipat jumlah pengurangan penduduk miskin 2003-2005, yang rata-rata 1,1 juta orang (BPS, 2007).

Tahun ini, jumlah warga miskin tak berkisar jauh dari data sebelumnya. Tetapi, data yang ada menjadi hal yang paradoks, kebenaran yang ada menjadi semu. Di ruang nyata, kemiskinan justru semakin meluas. Petani kecil, pedagang kaki lima di pinggiran kota, pedagang asongan, buruh swasta yang terancam pemecatan dan beragam rakyat miskin lain yang menjadi denyut ekonomi kaum bawah semakin sesak didera kemiskinan.

Badai Bencana
Lalu, bagaimana seharusnya merayakan Idul Fitri dalam konteks ke-Indonesia-an yang sedang dilanda kemelaratan ini? Di panggung kesedihan, perayaan kemenangan akan kehilangan maknanya. Dalam konteks ini, Abdul Ghani al-Nabulsi dalam Ta'thir al-Anam fi Tafsir al-Ahlam, menjelaskan, barangsiapa sedang merayakan Idul Fitri, sebenarnya ia sedang keluar dari kesedihan menuju kesenangan dan kemudahan. Dengan demikian, merayakan Idul Fitri di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, penggusuran pemukiman, sulitnya mencari pekerjaan dan korupsi yang menggurita menjadi kehilangan esensinya.

Di negeri ini, memang upaya untuk memerangi kemiskinan sering kali terdengar. Kebijakan pemerintah untuk memerangi kemiskinan juga digelorakan di berbagai daerah. Tetapi, semuanya hanya menjadi slogan dan kampanye tanpa makna. Penguasa masih membiarkan koruptor masih merajalela, importir ilegal semakin menyeruak dan pembalakan liar semakin ramai menghabisi hutan-hutan di negeri ini. Bahkan, tak sedikit oknum yang mengambil keuntungan di balik kondisi buruk bangsa ini.

Berulangkali, pinjaman lunak diberikan untuk mengentaskan kemiskinan. Tetapi, yang menangguk untung hanyalah pengusaha besar yang mempunyai usaha menggurita. Sebaliknya, rakyat miskin dengan usaha kecil tak tersentuh. Hal ini relevan dengan yang diungkapkan William Easterly (2005), upaya mengakhiri kemiskinan lewat pemberian pinjaman adalah utopia. Masalah yang terjadi di negara-negara miskin acap kali berakar pada institusi di negara mereka sendiri di mana pasar tidak bekerja, dan politisi maupun pelayan publik tidak bertanggung jawab.

Keberhasilan pengentasan kemiskinan di Indonesia tergantung pada pemerintah sendiri. Apakah pemerintah mau bersikap jujur, berani, bersungguh-sungguh, dan disiplin? Dalam hal ini, pemerintah lamban dalam menangkap pihak yang tak bertanggung jawab dan merugikan negara. Upaya mengejar koruptor juga sulit dilaksanakan, karena terbentur sistem hukum internasional dan kesungguhan penegak hukum negeri ini.

Menjemput Esensi Kemanusiaan
Di tengah kepungan kemelaratan ini, harus ada semangat baru yang membawa pencerahan bagi semua pihak. Hakikat yang sebenarnya, Idul Fitri sebagai hari kemenangan mendesak diimplementasikan. Spirit pencerahan itu akan membawa manusia menuju kemanusiaan yang fitri. Nurani menjadi suci dari segala bentuk kemungkaran sosial dan keserakahan. Pesan kesucian ini terekam dalam Surat al-Rum (30) ayat 30 yang bermakna, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Spirit kesucian manusia yang tergambar dalam ayat ini menjadi pesan penting untuk merayakan Idul Fitri.

Untuk mengimplementasikan kesucian dan hakikat kemerdekaan kemanusiaan dalam Idul Fitri, ada dua pihak yang bertanggung jawab. Pertama, pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat dan penanggung jawab penyelenggaraan negara. Pemerintah seharusnya menjadi pelindung dan pembawa kedamaian bagi rakyat. Hari Raya Idul Fitri seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk menebar kebahagiaan kepada rakyat.

Kedua, pemuka agama harus mampu menampilkan pesan yang semestinya tentang peran agama dalam ranah sosial. Tokoh agama harus berfungsi sebagai panutan yang memberikan pencerahan kepada warga dan memberikan solusi terhadap masalah kemanusiaan yang membelenggu. Merayakan Idul Fitri akan lebih bermakna apabila diiringi solidaritas kebangsaan yang utuh. Semangat solidaritas akan memberikan energi berlipat yang membebaskan bangsa dari penderitaan.

Hal itu sesuai dengan pernyataan Prof Buya Hamka, "Distribuskan kebahagiaan itu pada mereka yang memerlukan, santunilah yang tidak mampu, tolonglah yang lemah dan bebaskan yang menderita." Tanggung jawab pemerintah, peran sosial pemuka agama dan spirit solidaritas yang utuh akan memberi makna Idul Fitri yang sebenarnya.

Selamat merayakan Idul Fitri 1429 H. Semoga bangsa ini merdeka dari belenggu krisis dan kemiskinan yang memasung kemajuan peradaban. []

[Kolom, NU Online 29 September 2008]

Membumikan Pesan Toleransi Idul Fitri

Oleh M Saifuddin Alia
Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Jateng, Peneliti di CES Jawa Tengah


SATU bulan sudah kita ditempa dengan berbagai macam ujian dan cobaan, melewati ujian dan cobaan sebagai proses penyucian serta pematangan mental spiritual kitan sehingga dapat menambah kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan inilah yang harus dijadikan modal utama untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang dijiwai oleh semangat toleransi. Mengingat puasa bukan saja merupakan karitas individual, tetapi juga dapat menunjuk pada transformasi sosial. Transformasi, mengutip definisi dari Dr Moeslim Abdurrahman (1955), merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukannya pemaksaan.

Tranformasi, dengan demikian, merupakan gerakan kultural yang didasarkan atas tiga syarat profetis sebagaimana diniscayakan Kuntowijoyo dengan me-refer surat Ali- Imran ayat 110, yaitu humanisasi atau emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar) dan transendensi (tu’minuuna billah). Itulah cita-cita profetis yang diidealkan Islam, yaitu upaya mendesain peradaban manusia ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris (Burhanuddin, 1999).

Apalagi secara konsepsial Alquran yang selalu kita baca selama bulan Ramadan ini telah membangun pondasi awal yang berpijak pada tiga pilar utama untuk membangun masyarakat yang plural, toleran, dan beradap; (1) persamaan manusia, (2) martabat manusia, dan (3) kebebasan manusia.

Khusus mengenai kebebasan manusia, Muhammad Tahir Azhari, menggarisbawahi lima hal, yaitu (1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, (3) kebebasan memiliki harta benda, (4) kebebasan berusaha dan memilih pekerjaan dan (5) kebebasan memilih tempat tinggal.

Bersifat universal
Itulah sesungguhnya pesan subtansial bersifat universal yang bisa kita ambil setelah menjalankan ritual puasa Ramadan yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari- hari lintas agama, suku, etnis, golongan, status sosial dan lain sebagainya.

Hal ini sangatlah penting untuk kita renungkan dan laksanakan mengingat sikap toleransi dalam berbangsa dan bernegara kita, kian hari semakin memprihatinkan. Sehingga acapkali masih terjadi adanya gesekan antarumat beragama bahkan tidak jarang seagama yang dapat mengganggu proses pembangunan nasional serta bisa membahayakan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Makanya, sebagai konsekwensi logisnya, umat Islam ke depan dalam memperjuangkan dan mendakwahkan ajaran Islam harus menggunakan cara bil hikmah wal mauidhatul hasanah. Jelasnya, dengan penuh kasih sayang, tutur kata yang lembut dan santun, sejuk, damai serta semangat toleransi yang tinggi, sebagaimana dicontohkan Nabi Agung Muhammad SAW. Bukannya berdakwah dengan cara kekerasan— seperti masih seringkali dipraktikkan oleh sebagian kecil umat Islam di Indonesia— yang justru nyata-nyata telah merugikan umat dan agama Islam itu sendiri.

Momentum Idul Fitri
Untuk itu, dalam momentum Idul Fitri, penulis mengajak seluruh umat Islam Indonesia, khususnya yang berdomisili di Jawa Tengah untuk senantiasa meneladani cara Nabi Muhammad SAW dalam mendakwahkan ajaran Islam. Di mana Muhammad SAW sebagai seorang rasul dan sekaligus menjadi pemimpin negara Madinah pada waktu itu, selalu bersikap lemah lembut, bijak, toleran dan selalu mengakomodasi semua kepentingan masyarakat tanpa mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan sedikitpun. Justru dengan cara seperti itulah menjadikan kepemimpinannya —baik kepemimpinan agama maupun negara— terhitung sukses.

Cara dan strategi seperti itulah yang diikuti dan dilaksanakan dengan konsisten oleh para penyebar Islam di tanah Jawa, Walisongo. Seperti yang tergambar jelas dalam berbagai literatur, metode dakwah Walisongo adalah bil hikmah wal mauidhatul hasanah yang sarat dengan akhlaqul karimah dan toleransi. Jauh dari praktik kekerasan, kebrutalan, caci maki dan teror, yang masih seringkali ditunjukkan oleh sebagian kecil umat Islam di tanah Jawa itu sendiri, justru dengan metode dakwah seperti itu Islam dapat diterima dengan baik serta bisa berkembang pesat di tanah Jawa, dan bahkan berhasil menjadi agama mayoritas di tanah air.

Inti ajaran Alquran
Yang harus kita catat dan renungkan, bahwa berdakwah dengan mengedepankan sikap akomodasi, humanisasi dan toleransi itu merupakan inti dari ajaran Alquran yang termaktub dalam Surat Al A’raf; ’’Sesungguhnya Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk berkenal-kenalan”. Ayat ini, sungguh memberi wawasan pada kita bahwa keragaman, kemajemukan, dan pluralisme hidup manusia adalah realitas kehidupan di bumi.

Adapun pada aspek lainnya, ayat itu juga memiliki tujuan untuk menciptakan kesadaran kognitif manusia agar saling mengenal satu sama lain dalam suatu proses dan dialektika hidup bersama. Karena hanya dengan modal pluralitas dan kesadaran manusia itulah roda kehidupan dengan dinamika, dialektika dan perbedaannya dapat berjalan terus.

Namun sayang, seringkali kita (baca: umat Islam) sebagai warga Indonesia yang majemuk belum mampu menangkap pesan ilahiyah tentang toleransi dan pluralitas itu. Kita belum mampu menangkap dan menjadikannya sebagai potensi untuk memajukan peradaban umat manusia secara utuh. Malah kadang yang terjadi sebaliknya, toleransi dan pluralisme kita respon dengan sikap negatif serta tidak proporsional.

Tragisnya lagi, respon negatif atas toleransi dan pluralisme itu, seringkali diwarnai dengan perdebatan teologis antar atau sesama pemeluk agama. Hal ini tidak saja akan membawa perbedaan paham, pemikiran, dan penghayatan terhadap apa yang diyakininya, tetapi terkadang malah justru berakibat lebih fatal, yaitu pecahnya konflik fisik.

Padahal dalam Islam sendiri tidak mengenal adanya paksaan dalam beragama. Agama Islam lahir justru membawa perdamaian dan kemaslahatan umat. ’’Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya jalan hidup yang benar telah jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat. Maka berangsiapa ingkar kepada tirani dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q. S. Al- Baqarah;: 256).

Jadi, jelaslah sudah bahwa missi mengajak umat manusia pada jalan kebenaran hendaknya didasari oleh semangat toleransi, seperti yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dan Walisongo di Jawa.

Alhasil, di Hari Raya Idul Fitri ini, kita dituntut mampu menemukan serta merealisasikan makna dan pesan universal yang terkandung di dalamnya. Terutama pesan toleransi dan pluralismenya sebagai modal utama hidup berbangsa di negara yang majemuk ini. Selamat Idul Fitri. []

[Opini, Wawasan 06 Oktober 2008]