Senin, 30 Maret 2009

Jangan Kau Gadaikan Pulauku

Oleh Muh Khamdan
Peneliti Paradigma Institute

BUPATI Jepara bersama jajaran telah mengusulkan upaya pencabutan status Taman Nasional atas Kepulauan Karimunjawa langsung di hadapan Gubernur Jateng, Bibit Waluyo (17/3). Sebagaimana dikemukakan Doddy Imron Cholid, ketua BPN Jateng, langkah tersebut dilakukan agar gugusan pulau yang berada di Laut Jawa tersebut mengundang investor.

Ini mengingatkan kita pada promosi penjualan pulau-pulau Karimunjawa sekitar 2004 lewat internet (Suara Pembaruan, 28/3/06). Pada saat itu, para pejabat Pemda Jepara membantah.

Namun di lapangan, sebuah perusahaan properti asing, VA Real Estate telah menguasai tujuh dari 27 pulau. Alih-alih pembelaan, perusahaan properti asing itu dianggap menyelamatkan dari kemubaziran pulau tak bertuan.

Sekitar lima tahun kasus tersebut tiada kunjung kabar. Tiba-tiba saja itu dimunculkan kembali dengan kenyataan sudah banyak penguasaan masyarakat atas pulau-pulau yang semula masih perawan, baik sebagai tempat domisili maupun kerja.

Kejadian ini bisa jadi adalah upaya sistematis untuk mengesahkan perusahaan-perusahaan properti dalam melakukan ekspansi wilayah kepulauan secara legal dengan dalih menyejahterakan masyarakat.

Persoalan kesejahteraan bukan semena-mena mesti mencabut status Taman Nasional. Mengacu pada Keppres 32/1990, wilayah kepulauan Karimunjawa dibedakan menjadi beberapa zona, yakni zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, permukiman, rehabilitasi, budi daya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Dari pembagian zona tersebut maka akan didapatkan arah pengembangan wilayah yang jelas.

Keseluruhan pulau yang ada memiliki tipe ekosistem beragam, yaitu hutan hujan, dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai, hutan mangrove, dan terumbu karang.

Dari 27 pulau, hanya lima yang memiliki keberagaman ekosistem kompleks, sedangkan yang 22 tak berpenghuni dan hanya ditumbuhi aneka tanaman serta karang. Dari sinilah kemudian diterbitkan SK Menhut Nomor 74/KPTS/III/2001 tertanggal 15 Pebruari 2001, bahwa ke-22 pulau tersebut berstatus Taman Nasional.

Dalam upaya membenahi peningkatan kesejahteraan masyarakat Karimunjawa, Pemda Jepara berpikir secara pragmatis dalam masalah yang tidak mendasar. Jika pencabutan status Taman Nasional berhasil, jangan heran jika akan terjadi ketimpangan sosial. Pertama, sebagai pulau yang dibeli atau disewa oleh perusahaan dan perseorangan, ditetapkanlah biaya bersandar bagi perahu-perahu nelayan setempat.

Lalu muncullah sentimen bahwa penduduk asli tidak memiliki hak atas pulau yang disewa itu. Kasus hak cipta ukir oleh oknum warga asing,
Christopher Harrison melalui perusahaannya Harrison & Gil sebagai kelalaian seluruh komponen masyarakat Jepara (2006), setidaknya dapat menjadi pelajaran.

Kelalaian atas ukir tersebut agar tidak melupakan tugas kita untuk menjaga kelestarian ekosistem Karimunjawa yang memiliki tanaman khas berupa dewodaru (Crystocalyx macrophyla) serta dengan kekayaan jenis terumbu karang mencapai 51 genus disertai 242 jenis ikan hias dan 40 jenis burung (Dephut online).

Kesejahteraan masyarakat Karimunjawa memang harus dibenahi supaya tidak dianggap sebagai penduduk yang diduakan. Pariwisata sebagai pintu gerbang perekonomian Karimunjawa harus ditangani dengan serius dan mendasar, tidak saja oleh Pemda tetapi juga masyarakat setempat.

Paling tidak masyarakat dan Pemda harus memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan atau sentra ekonomi di kawasan tersebut. Persoalan besar yang dihadapi masyarakat nelayan Karimunjawa atas hal itu adalah ketersediaan terminal bahan bakar solar serta pabrik es. Dengan dua komponen ini, para nelayan dapat bekerja dan menyimpan hasil tangkapan dengan baik.
Istimewa

Jepara memang kota yang dianugerahi banyak keistimewaan dibanding kota lainnya di jalur Pantura. Bentangan pesisir yang berupa pantai sepanjang 72 kilometer merupakan kekayaan yang mesti dibenahi pengelolaannya. Ini karena dalam Visit Jepara 2008 kemarin, program tersebut tidak mampu memberikan hasil yang optimal bagi dunia pariwisata Jepara.

Maklum, pelaksanaan terkesan tanpa persiapan matang dan masih diperparah dengan ’’kemandulan’’ spirit kreativitas, baik tampilan kegiatan maupun esensi muatannya.

Sekadar membuka ingatan, konsep kegiatan pariwisata yang digelar Pemda Jepara pada 15 September sampai 31 Oktober tahun kemarin, hanyalah momen-momen yang telah menjadi rutinitas.

Coba saja lihat Pesta Lomban, wisata bahari, pekan syawalan, prosesi pelarungan kerbau, festival kupat lepet, gebyar kain Troso, dan pameran pembangunan, semua terasa garing dari kreativitas.

Sebagaimana pendapat Heindrich Gossen yang menyebutkan bahwa jika pemuas terhadap suatu benda berlangsung terus menerus, maka kenikmatan akan mencapai titik nol atau ketidaksukaan. Dan inilah yang terjadi dengan masyarakat Jepara dalam menghadapi kemandegan pariwisata daerah.

Penataan wisata pesisir Jepara dapat dilakukan dengan mengintegralkan antara pasar pameran kerajinan tangan masyarakat di tengah lokasi wisata.

Selama ini, barang-barang kerajinan yang dijajakan di Pantai Kartini atau Gelanggang Tirta Samudra adalah hasil kerajinan dari bahan baku kerang, karang, ikan hias, kura-kura, dan aneka tongkat kayu yang didatangkan dari Karimunjawa. Mestinya, disepanjang jalan pantai dibuatlah pasar kesenian rakyat berupa miniatur kayu berukir, monel, sampai kain tenun.

Wisata pesisir yang digabungkan dengan konsep wisata bahari dapat diterapkan guna menambah variasi kegiatan wisata. Langkah tersebut semisal dengan pembuatan trayek perahu wisata antara Pulau Panjang dan Pantai Kartini. Desain ulang arena permainan anak dan wahan santai juga menjadi salah satu prasyarat pengunjung selalu rindu.

Pada dasarnya, kebaharian merupakan sejarah tersendiri bagi Jepara karena pernah menjadi pelabuhan ternama era Kerajaan Demak. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita menyerahkan wilayah kepada asing walau hanya satu pulau. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 30 Maret 2009

Selasa, 24 Maret 2009

(Jangan) Panggil Aku Susi

Cerpen Iffah Nafi'ah
Penggiat Smart Institute Jepara
ini lahir di Jepara, 09 November 1991. Pernah studi di MA Tasywiqul Banat Robayan hingga kelas XI, setelah itu drop out karena terbentur masalah ekonomi. Masih mukim di Brantak Sekarjati RT. 04 RW. 01 Welahan Jepara Jawa Tengah.

BUKAN asing lagi buatku. Di perempatan jalan, aku dan teman-teman mengais uang. Muda-mudi berjubel memadati taman, tentunya mereka berpasang-pasangan. Apalagi ini malam minggu. Mereka bermadu kasih dibawah siraman lampu-lampu gemerlap kota metropolitan. Mobil dan sepeda motor parkir tak jauh dari pemiliknya berada.

Aku dan keempat teman seperjuanganku: Bunga, Wita, Rossa, dan Lia masih duduk-duduk di tepian taman. Semua nama mereka hanyalah nama samaran. Sedangkan aku (Susi): tentu saja penyamaran ini hanya berlaku tatkala malam menjelang.

Satu persatu diantara kami pergi. Itu artinya dapat rejeki. Tapi, sial bagiku belum juga laku. Pelangganku belum datang menjemput. Sedang koran bekas yang kubeli sebagai tikar nanti, kini sudah kumal. Sebal! Kupukul-pukulkan gulungan kertas itu ke telapak tangan kiriku. Samar-samar, telingaku mendengar suara mesin mobil berhenti. Seorang lelaki gagah turun dan melangkah ke arahku.

"Maaf ya, telat,” rayunya meraih dagu lancipku. Aku berpura-pura marah. Tuli mendengar suaranya, buta melihat kehadirannya. Pura-pura. Tapi dalam hati, aku bahagia. Bukan bahagia karena bertemu orang layaknya pacar. Melainkan, karena besok bisa makan.

"Sayang, kamu marah ya?” Dia memelukku. Perlahan, aku tersenyum menahan geli akibat ulahnya.

“Ah, tidak. Kok, lama banget sih?” balasku manja.

Mahasiswa itu hanya tersenyum, “Biasa, ada urusan sebentar.” Setelah itu, kami memilih area yang kosong. Kebetulan di dekat kolam sepi.

Aku dan lelaki itu duduk berdekatan di kursi panjang. Malam itu, bulan susut. Mega-mega hitam menutupi wajahnya. Sinar bintang mulai meredup.

Tangan kekar itu membelai rambutku. Aku cemas. Membayangkan jika nanti rambut palsuku lepas. Syukurlah, cuma sebentar. Wajah tampannya mendekat dengan wajahku, yang tersapu make up. Semakin dekat, mendekat, dan …

Ciuman yang lama di bibir tipisku. Nafas bersatu. Tangannya meraba seluruh tubuhku. Mulai dari dagu, leher, berhenti sejenek. Ke dada, meremasnya. Aku tak menggelinjang, bahkan sakitpun tidak. Lalu perut rampingku, semakin ke bawah, dan …

"Auw…belutku…,” rintihku menggelinjang.

“Sayang, apa ini?” tangannya masih menggenggam belut itu. Punyaku. Ia menarik rambutku, “Ikut aku ke kantor polisi!” dan dibuangnya benda itu. Diseretnya aku menuju mobil kijang berwarna silver. Semua orang melihatku. Betapa malunya. Apa dia sengaja mempertontonkanku di hadapan semua orang? Hingga akhirnya mereka menghinaku, mengutukku, menertawai caraku menyambung hidup, atau justru kasihan padaku? Aku tak peduli!

Tubuhku terhempas di jok mobilnya. Mobil mulai berjalan. Pelan.

"Kau kira aku bodoh, mbak Susi?” Ia masih memegang setir. "Sialan, ternyata dia seorang polisi yang mengaku mahasiswa," hujatku dalam hati.

"Sekilas kau memang cantik. Body langsing, putih, mulus, dan tidak buruk”. Aku hanya diam. “Tapi, ketika aku memegang payudaramu, Eit…lebih tepatnya spon. Apalagi, ketika kau juga punya belut seperti aku. Aku semakin yakin kalau kau…”

"Seorang waria!” selaku. Dia tersenyum kecut. Aku pun sama. Menggigit bibir menahan kegetiran hidup. ”Semua orang pasti menghina profesiku. Termasuk kau!” mataku tertimbun berkaca-kaca, hampir tak bisa melihat.

"Tangkap saja aku. Lebih baik aku hidup dalam bui. Daripada harus menggeluti pekerjaan ini,” nadaku lirih.

"Asal kau tahu, aku juga jijik dengan diriku. Aku terpaksa melakukannya karena dunia semakin angkuh. Untuk makan saja susah. Apalagi, biaya kuliah.” Benar-benar pilu. Dia hanya melirikku sebentar. Pura-pura acuh. Tapi aku yakin, dia ingin mendengarkan kalimatku selanjutnya.

"Kau beruntung, bisa makan enak, mengenyam pendidikan, sering jalan-jalan. Dan semua itu, kau hanya bisa menghabiskan harta orang tuamu. Sedangkan aku? Aku tak bisa sepertimu. Orang tuaku saja tak tahu, kalau anaknya seperti ini. Lalu, harus bagaimana lagi aku menghidupi diriku sendiri dan keluargaku di desa?” seperti aku memakinya. Matanya tetap lurus ke depan.

“Kenapa kau bicara seperti itu padaku? Aku hanya seorang oknum yang diberi amanat untuk menangkap orang-orang sepertimu.”

“Hanya seorang oknum? Apa untungnya kau bekerja hanya seorang oknum?” Aku menirukan katanya.

Kami hanya terdiam. Lama.

“Dari pada kita hanya bisu, kau mau mendengar cerita hidupku?” tawarku seraya membersihkan make up dengan tissue. Dia masih diam. Tapi aku tahu, dia ingin mendengar ceritaku.

Aku mulai berkisah, “Sebenarnya, aku merasa jijik atas diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya mengikuti takdir Illahi. Sudah setahun aku tenggelam dalam dunia ini. Itu berawal, ketika temanku, Ali, sudah dua tahun nyemplung menjadi waria. Dia menyamar dengan nama, Lia. Alasannya, agar tak jauh beda dengan nama aslinya. Aku tertawa. Menertawai kekerdilanku.

“Aku kasihan dengan keluargaku. Aku menafkahi mereka dengan uang hasil penjualan martabatku. Aku berdosa. Tapi kenapa Tuhan menakdirkanku seperti ini? Apa ini sebuah dosa? Kenyataannya aku memang seperti ini. Sungguh aku masih lelaki sejati. Aku punya pacar, cantik. Dia tidak tahu diriku seperti apa. Yang dia tahu, aku seorang mahasiswa jurusan sastra, tampan, dan berwibawa. Sengaja aku menyembunyikan realita hidup darinya. Aku terlalu mencintainya. Sekali lagi, ini terpaksa,” air mata begitu kekal di pelupuk. Sesekali, aku menyisipkan seulas senyum.

“Pacarmu kuliah juga sepertimu?” tanya oknum yang bernama Dentri itu. Aku sempat tak percaya mencengar pertanyaannya, yang menurutku sangat bersahabat. Rupanya, dia menyimak pembicaraanku.

“Tidak. Dia gadis desa. Berjilbab, lembut, dan seorang santri," balasku.

“Kau bilang, pacarmu itu seorang santri. Lalu kenapa kau seperti ini? Seharusnya kau malu padanya, karena dia wanita suci yang pandai mengaji,” seperti ia memarahi ketololanku.

“Hei, kau tak dengar alasanku, kenapa aku menjadi manusia terkutuk?” aku sedikit geram.

“Iya, iya. Aku mendengarnya. Bung, kau mau menjadi temanku?” ia mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya.

Kemudian, aku menceritakan hobiku yang tak bisa lepas dari nafasku. Menulis di media massa. Ternyata, Dentri adalah salah satu penyuka buah karyaku. Katanya, aku berbakat dalam bidang jurnalistik.

“Menulis itu, tidak harus mengandalkan bakat,” tukasku menanggapi komentarnya tentang menulis.

“Bung susi, eh, maaf maksudku, Susilo. Aku mempunyai teman, dia pemilik penerbitan terkenal. Sekarang, dia sedang mencari seorang jurnalis profesional dan handal. Sepertinya kau cocok. Kalau kau mau, aku bisa memasukkanmu disana. Bagaimana?” mobil mulai sedikit berjalan.

“Benarkah? kau tak jadi menangkapku?” Dia mengangguk. Mataku berbinar. Aku membayangkan, jika nantinya aku tak harus menjadi seorang waria. Menjadi lelaki sejati. Joko Susilo.
** *

Hampir genap satu tahun aku berkecimpung di penerbitan ini. Gajiku lumayan besar. Bahkan, lebih untuk kuliah dan menghidupi keluargaku di desa.

Bulan depan, aku akan melangsungkan pernikahanku dengan Laili, gadis pujaanku. Aku mengundang Dentri untuk menghadiri pesta yang akan diselenggarakan di kampung halamanku. Tapi sayang, sekarang dia pindah tugas di luar kota . Tak apalah, yang penting dia sudah merestuiku, meski dengan nada berat. Aku tak tahu mengapa.

***

Pesta pernikahan berlangsung meriah. Semeriah apapun, rasanya hambar tanpa kehadiran Dentri. Entah mengapa aku merindukannya.

Para tamu undangan silih berganti, pergi.

Malam semakin pekat. Aku dan istriku duduk di bibir balai pengantin. Aku mencumbunya. Ia rebahkan tubuhnya di atas kasur yang bertabur bunga-bunga. Pakaian tipis transparan membalut tubuh moleknya. Perlahan, aku menindihnya. Ia menggigit bibirnya, perih katanya. Baguslah kalau begitu, berarti ia masih perawan, pikirku.

Bicara soal perawan membuatku teringat pada Dentri dan kehidupanku dulu. Aku pernah bertanya padanya, “Apa aku masih bisa disebut jejaka?” Dia malah terkekeh.

"Apa kau pernah melakukan ini dengan perempuan? Tidakkan.”

Selama aku bersamanya, kami selalu bertemu. Pergi berdua, keluar malam, dan melakukan misi utama. Adalah hubungan badani. Mungkin kami memang benar-benar sudah tak waras.

Entah mengapa aku begitu rindu. Aku membayangkan, kalau seakan-akan yang kini di bawahku adalah dia. "Dentri…," desahku pelan.

"Ada apa, mas?” ternyata Laili mendengarnya.

Aku segera membalas, “Tidak. Tak ada apa-apa.” Dia hanya percaya dan tersenyum manja padaku. Kasihan Laili, desisku dalam hati.

Seandainya suatu waktu dia tahu, bahwa aku sudah tak jejaka. Sudah tak ting-ting lagi. Apa dia akan memarahiku, meminta cerai, merasa jijik, dan akhirnya pergi meninggalkanku? Kurasa dia tidak akan pernah tahu.

Yang penting, aku bisa membikin anak.

Kamis, 19 Maret 2009

Cinta Itu Menggerakkanku

Cerpen Zakki Amali

Menjelang
Rahmat, adikku, dikhitan, sepenggal pesan singkat datang dari Ais. “Al, bisa ngak kamu jemput aku di Kediri?.” Sebentar ku baca, terbersit pikiran itu hanya gurauan. Ku biarkan saja lewat. Ais dan aku telah bersahabat lama. Persahabatan itu terbit di saat kelas tiga Aliyah. Persahabatan itu terawat dan erat terjaga. Saling cerita dan tukar pengalaman mengiringi langkah kami. Bukan hal aneh jika ia meminta bantuanku pada sebuah masalah yang terkadang menyulitkan. Tetapi, pesan itu diulanginya sampai tiga kali dengan susunan kata yang berbeda namun intinya satu, minta tolong dijemput di Kediri. Pesan itu menohok kesadaranku akan sebuah tempat yang belum pernah ku tapaki.

Tidak berapa lama hp ku berdenting, terlihat di layar nama Ais memanggil. “Assalamual’aikum, bagaimana al, mau jemput ku di Kediri,” tanyanya sendu. “Di sana ngak ada yang ngantar to?,” jawabku mengelak halus. “Omku kakinya sakit, maunya sih dianter pake mobil, tapi gimana,” “Ya, dah nanti ku jemput,” jawabku spontan. Ku baru merasa jawaban itu penuh resiko, setelah merenung sejenak selepas sms—an. Sejujurnya keputusan itu ku ambil dengan berat hati. Ku hanya mempunyai sedikit uang untuk biaya transportasi ke sana, hanya lima puluh ribu rupiah. Ku perkirakan uang itu hanya dapat membawaku berangkat. Biaya pulangnya, entah ku tak tahu. Ku juga tak tahu kenapa kata itu meluncur tanpa ku pertimbangkan dengan matang. Ada apa ini semua! Sepertinya Tuhan telah menggariskan kata itu untuknya.

Lima hari lagi adikku dikhitan. Aku sebagai kakak lelaki satu-satunya mau tidak mau harus membantu. Ya benar, ada keluarga lain berdatangan membantu. Namun, sebagai seorang anak pertama yang telah dewasa alangkah tidak sepantasnya ku tinggalkan acara penting itu, minimal hari-hari menjelang acara. Tradisi di daerah Jawa memang seperti itu. Ketika ada gawe, anggota keluarga bahu-membahu menyukseskan acara. Bahkan keluarga yang berada di lain daerah pun datang, gotong royong. Pikiranku galau tak mampu menangkap sesuatu yang menggerakkanku. Aku tak tahu. Seperti ada yang mendorongku, kuat sekali. Jasadku kelu menolak permintaannya. Ku putuskan untuk menjemputnya.

Keberangkatan dari Kudus ke Kediri kupersiapkan matang. Alamat rumah Pak Amir Faruq di Kediri, Om Ais, ku minta sedetail mungkin kepada Ais. Mulai dari bus yang harus ku naiki dari Kudus ke Kediri, sampai bertanya ke teman-teman yang pernah berdomisili di sana. Sungguh perjalanan yang mendebarkan.

Sabtu pukul 8 pagi, empat hari sebelum adikku dikhitan, ku berangkat dari Kudus menuju Kediri. Terminal pertama yang kusinggahi adalah terminal Induk Kudus. Sesuai petunjuk aku harus naik bus jurusan Tuban Jawa Timur. Setelah itu naik bus jurusan Jombang, berhenti di terminal Jombang, dan terakhir naik bus jurusan Kediri, lalu turun di Papar Pancasila, begitu arahan yang ku terima dari Ais.

Uch… Siang itu udara terasa panas sekali, bus menitik lamat roda demi roda di jalur Pantura. Kebetulan bus yang ku naiki tidak ber-ac. Terkadang rasa muntah menyembul seketika. Guncangan bus membuat perutku mual. Ditambah dengan aroma asin laut yang menyengat. Puncaknya, ketika melewati bibir laut di daerah Rembang, isi diperutku meluncur naik. Ku tahan pelan, dan weaaakkk…, cairan mirip bubur itu tumpah ruah di dalam plastik hitam yang telah ku siapkan. Cairan itu kugeletakkan di bawah tempat duduk. ”Biasanya kernet akan membersihkan bus, termasuk cairan tadi,” pikirku.

Delapan jam ku duduk di bus. Kenyang rasanya ku duduk, terkadang tidur dan termangu, atau memerhatikan pemberhentian berikutnya dengan teliti. Panas dan pengap ku lahap, hingga sampai di Papar Pancasila, entah tepatnya kabupaten apa aku tak tahu, yang ku ingat hanya pesan Ais untuk turun di situ, lalu mencari sungai Brantas dan menyebrang.

Perjalananku akhirnya menerbitkan kelegaan. Delapan jam ku terombang ambing, di atas bus, pindah dari terminal satu ke terminal lain, cemas, was-was mengiringi di sana. Apakah ku dapat sampai di sana? Janji tlah ku lafalkan dan Ais pasti menunggu. Yang paling ku khawatirkan adalah keluarga di rumah. Bapak yang menata rumah sendirian siang malam. Karena hanya beliau yang paham penempatan kain yang berserakan dan yang berada dikarung. Pekerjaan keluargaku adalah konveksi. Wajar bila banyak kain, benang, mesin jahir, bordir, berada di dalam rumahku. Sementara Ibu usianya telah lanjut, tidak mampu mengangkat sesuatu yang berar. Hatiku berkecamuk membayangkannya. Ada tarikan untuk kembali dan meneruskan langkahku ke Kediri. Ketika ku ingat orang tua, ingin segera kembali, membantunya dan memersiapkan acara itu. Tetapi aku selalu tak berdaya untuk membalikkan langkahku. Seperti boneka. Itulah yang kurasakan. Ku merasa bersalah pada mereka semua. Dengan berat hati ku tetap melaju menjemputnya. Mungkin ku berdoa saja agar mereka dimudahkan Allah dalam semua urusan dan mengampuni dosa-dosanya. Semoga doaku itu menjadi penebus kesalahanku itu. Amin.

Pukul empat sore ku sampai di rumah Pak Amir. Lengkap dengan Ais dan adik sepupunya, Diana, menjemputku di pinggir sungai. Terpancar kekagetan dari wajah Ais, melihat ku datang. Ku terka, ia hendak berkata tak percaya melihatku sampai di Kediri. Agak malu ia menyambutku. Kita berjalan beriringan sembari bercakap dan berkenalan dengan sepupunya. Rumah Pak Amir ternyata tak jauh dari sungai, sekitar 100 M.

Tak percaya! Kata itu membaur di setiap gerakku di rumah Pak Amir. Dan memang tak hanya aku yang merasa begitu. Fraira, teman sekelasku ketika Aliyah pun demikian. Ia mengirim sms kepadaku dan Ais. Fraira terperangah mengetahui keberadaanku di Kediri. Tak hanya itu, aku yang telah mejemput seorang teman sampai di Kediri, tak pernah dipercayai teman-temanku. Sungguh tak pernah percaya. Fraira dan teman-temanku hanya percaya, bahwa Ais adalah pacarku. Ia menilai ku susah payah ke Kediri menjemput seorang kekasih, bukan teman.

***
Senin Pagi, setelah dua hari di sana, ku dan Ais beranjak pulang. Percakapan semalam dengan Pak Amir, benar-benar membuatku gelisah. Ia mencecarku dengan pertanyaan tajam dan mendalam, layaknya seorang tersangka. “Awakmu ke sini ada keperluan apa,” tanya Pak Amir terasa menguji. Ku kira hanya basa-basi, “Bade silaturrahim,” jawabku. Ternyata ia tidak menyukai sikapku yang berbasa-basi ala orang Jawa. “Ogak salah mas, jujur saja awakmu ke sini karena Ais kan?” Pertanyaan itu membangunkan kesadaranku dan merenungi apa tujuanku ke sini. Pertanyaan itu bak sebuah hakikat. Menyikap makna dibalik realitas. Pertanyaan itu tak pernah ku duga meluncur di hadapanku dan Ais. Yang ku rasakan, hanya berazam menjemput Ais, tidak berlebih dan kurang. Tapi kenapa Pak Amir berkata demikian.

Hingga Sulton, temanku yang akrab dengan dunia mistis menjelaskannya. Dia seorang yang sangat ku percaya. Solusi yang diberikannya selalu membuatku lega. Dunia pesantren telah menjadikannya mengetahui banyak hal tentang hal tentang dunia sufi. ”Aku yakin kamu sebenarnya cinta sama Ais, tetapi kamu mengabaikan rasa itu. Kamu suka tetapi tidak sadar. Seseorang pasti akan menuju sekuat tenaga sesuatu yang dicintainya.”

Pak Amir dan Sulton seakan berkata bahwa aku mencintai Ais. Tapi, aku mengelak. Ia hanya teman. Belum saatnya memandang ia sebagai pendamping hidup . Mimpi-mimpiku belum terkejar. Entah kenapa hatiku merasa itu benar. Ku belum ingin melihat rona merah cinta Ais. Tapi rasa itu kian kuat. Apakah itu yang menggerakkanku sampai di Kediri. Semakin ku mejauhinya, ia semakin kuat menguasai hatiku, menggerakkanku. Aku tak tahu. Apa ini Tuhan!

Kudus, 27 Oktober 2008

[diunduh dari http://sastraparadigma.blogspot.com]

Selasa, 17 Maret 2009

Wisata Religi: Mengembangkan Potensi Mantingan

Oleh Syaiful Mustaqim
Warga Kauman, Kalinyamatan, Jepara

Mantingan adalah salah satu desa di Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Desa yang terletak empat kilometer arah selatan pendopo Kabupaten Jepara itu memiliki Masjid Mantingan. Masjid yang dibangun 1481 tahun Saka atau 1559 Masehi oleh Sultan Hadlirin ini menjadi spektrum kuat bagi kebesaran Islam di pesisir tanah Jawa dan merupakan masjid tertua kedua (setelah Masjid Agung Demak).

Selain bangunan masjid, di Mantingan juga ada makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin. Terdapat pula makam waliullah Mbah Abdul Jalil (nama lain dari Syekh Siti Jenar)

Dari sisi pendirian, Masjid Mantingan berarsitektur sangat unik. Terbukti dari relief-relief bangunan masjid. Percampuran kultur Hindu sangat kental mewarnai perkembangan budaya masyarakat saat itu, yang terlihat dari motif-motif ornamen hiasan masjid.

Banyaknya ornamen relief itu menunjukkan hasil karya seni berkualitas tinggi. Misalnya, motif kijang, gajah, dan kera terukir sangat halus pada batuan sejenis kapur yang keras. Ada juga relief Ramayana, dengan tokoh Hanoman, Rama, dan Shinta. Pengaruh budaya Hindu lain adalah gapura yang bernama candi bentar.

Gapura itu semula melintang di jalan antara Mantingan-Sukodono, hingga menembus Pasar Ngabul, Kecamatan Tahunan. Pesatnya industri mebel ukir menjadikan jalan desa itu menjadi jalan raya kabupaten yang juga dilalui kendaraan besar, termasuk truk-truk pengangkut kayu bahan baku industri mebel.

Masjid peninggalan Raden Toyib (nama dari Sultan Hadlirin) itu pernah dipugar Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala Jawa Tengah. Saat itu ditemukan ornamen pada dinding bagian dalam masjid. Ornamen berjumlah banyak itu beberapa di antaranya dipasang di tembok serambi masjid. Sisanya, disimpan di gudang masjid, di Museum Kartini Jepara, dan di Museum Ronggowarsito Semarang.

Masjid dan makam Mantingan itu dapat menjadi tujuan wisata religi di Jepara. Namun, masjid hanya ramai setiap malam Jumat Wage, Ramadhan, dan saat ritual Ganti Luwur (kelambu) pada 17 Rabiulawal, sehari sebelum peringatan HUT Jepara.

Perlu kerja sama berbagai pihak mulai pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten agar Mantingan menjadi bangunan bersejarah yang senantiasa ramai pengunjung setiap hari. Semoga.

Sumber: Kompas

Sabtu, 07 Maret 2009

Memopulerkan Makanan Khas Jepara

Oleh Syaiful Mustaqim
Direktur Smart Institute Jepara

DALAM
wikipedia (situs yang dipopulerkan oleh Jimmy Wales dan Larry Sanger pada 2001) terdapat beraneka ragam makanan khas Jepara. Diantaranya: adon-adon coro, es gempol, es pleret, dawet Jepara, rondo royal, klenyem, kenyol, nogosari, moto belong, poci, kuluban, pecel ikan laut panggang, horok-horok, bontosan, sate udang, terasi Jepara, durian petruk, gereh iwak teri, latuh/ lato, blenyik, dan sutet (susu telor tegangan tinggi).


Adalah adon-adon coro, minuman jahe dengan campuran santan yang dilengkapi irisan kelapa bakar, yang disajikan hangat. Moto Belong merupakan makanan dari ketela, dibungkus dengan daun pisang dan tengahnya diisi buah pisang masak. Makanan yang disajikan dengan dipotong-potong agak miring ini menyerupai bola mata dan dimakan dengan kelapa yang diparut dicampur sedikit gula.

Horok-horok, makanan yang terbuat dari sagu, berbentuk laiknya busa sterofom yang kenyal dengan rasa sedikit asin. Biasanya dimakan sebagai campuran bakso, gado-gado dan pecel.

Sayangnya kesemua makanan yang penulis uraikan, hanya ditemukan di Jepara saja dan belum membumi di kota atau daerah lain. Menyebut jenang, yang terbersit di hati adalah kota kudus. Begitu juga saat mengatakan soto, maka soto kudus sudah begitu populer di di Kudus maupun daerah lain.

Yogyakarta selain sebagai kota pelajar, sebutan kota gudeg pun telah mendarah daging, sehingga tak salah jika para wisatawan yang berkunjung tidak akan melupakan untuk sekadar mencicipi makanan yang berbahan dari lontong dan sayur lodeh tersebut.

Maka dalam rangka menegaskan makanan khas kota ukir diperlukan kerjasama berbagai pihak. Menjadi pekerjaan rumah besar (PR) besar bagi pemerintah kabupaten untuk memopulerkan makanan khasnya. Minimal dalam setiap tahun pemerintah menggelar even festival makanan khas. Selain itu perlu didirikannnya pusat jajan khas Jepara. Sehingga para wisatawan saat akan pulang membawa oleh-oleh makanan khas.

Pemerintah kabupaten juga berkewajiban memberikan bantuan modal bagi penjual dan perajin. Sehingga mereka yang kekurangan dana akan tetap bertahan dengan pekerjaannya.

Bagi para penjual dan perajin, selain membuka warung di kota kelahiran, tidak ada salahnya jika membuka cabang di daerah lain. Hal ini dilakukan dalam rangka membumikan makanan khas di daerah atau di kota lain. Yang terpenting, dengan menyebut nama "Jepara" sebagai identitas bahwa makanan tersebut memang berasal dari daerah yang bersangkutan.

Peranan media juga sangat diperlukan. Peran media cetak dan elektronik dibutuhkan dalam rangka menyosialisasikan makanan khas Jepara di kancah regional maupun nasional.

Tidak ada kata terlambat untuk memopulerkan makanan khas Jepara. Sehingga kerjasama berbagai pihak sangat diharapkan agar gagasan ini segera tercapai. Nantinya saat menyebut nama Jepara bukan hanya populer dengan banyak jenis kerajinannya, akan tetapi lebih dari itu Jepara juga terkenal dengan beraneka ragam makanan khas. Semoga!

Jumat, 06 Maret 2009

Cerita Seorang Anak kepada Ibunya

Puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Ibu, tak perlu kau mendongeng seperti dulu
atau kau nyanyikan sebuah lagu
sebab kutahu bola matamu sayu
terlalu lelah menatap tungku
perlahan-lahan mulai berdebu

Ibu, kemarin ayah pulang
kulihat beliau meradang
menggenggam amplop berisi uang
bukankah kita harusnya senang
mengapa pintu keras ditendang

Ibu, malam ini aku tak tidur
tak akan kau dengar lagi aku mendengkur
entah karena nasib tak lagi mujur
sebait mimpi pun enggan datang menghibur
ataukah lapar telah membunuhnya

Surakarta, 5 Mei 2008
[Harian SOLOPOS, 1 Juni 2008]

Selasa, 03 Maret 2009

Pudarnya Pesona Ukir Jepara

Oleh M Abdullah Badri
Pimred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Anggota Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)

SEBAGAI sentra kerajinan ukir Jawa Tengah, Kabupaten Jepara terkenal dengan sebutan sebagai kota ukir. Bukan hanya di tingkat lokal, sebutan itu juga meluas hingga di tingkat nasional, bahkan internasional. Bisa dikata, ukiran Jepara yang memiliki khas khusus menjadi ikon tersendiri bagi Jepara. Ketika menyebutkan kota ukir, orang akan menyebut Jepara sebagai pusatnya.

Karena dikenal hingga manca negara, banyak investor yang kemudian beramai-ramai “menyerbu” kota petilasan kerajaan Ratu Shima tersebut. Anda akan mudah menemukan “orang-orang kompeni” yang mendirikan gudang-gudang atau pabrik-pabrik besar disana, terutama di kecamatan Tahunan yang menjadi pusat bisnis kayu Jepara.

Banyak penduduk sekitar yang kemudian mendapatkan penghasilan hidup dari bisnis kayu disana. Bagi yang memiliki modal cukup, ia bisa membuka bisnis jual kayu dan meubel. Bagi masyarakat ekonomi bawah, ia bisa menjadi buruh di gudang-gudang produksi kayu, menggunakan otot. Bagi buruh laki-laki, biasanya bekerja angkat-junjung, sedangkan bagi buruh perempuan biasanya menjadi tenaga “pengamplas”, yakni menghaluskan hasil produksi kayu setengah jadi dengan menggunakan amplas atau ambreil.

Walhasil, banyak orang Jepara yang bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bisnis yang berkaitan dengan kayu. Bahkan, ada yang mendadak menjadi kaya dari bisnis itu. Orang menyebutnya dengan Orang Baru Kaya. Itu dulu. Sekarang?

Kini anda akan menemukan sedikit orang Jepara yang berhasil dalam menjalankan bisnis kayu tersebut. Pasca tahun 2000, banyak pengusaha kayu di Jepara, pribumi maupun asing, yang gagal, gulung tikar. Bahkan ada yang dulu sempat menjadi milyarder, kini nasibnya berada pada titik nadir. Aset yang dimiliki ludes untuk menutup kerugian bisnis yang pernah ia bangun.

Apalagi para pengrajin ukiran khas Jepara, semakin sulit menemukan orangnya. Mereka banyak yang beralih kepada sektor lain, semisal menjadi pedagang, penyedia jasa umum dan pekerjaan lain yang tidak membutuhkan modal banyak. Hal itu terjadi karena ukiran kini bukan lagi menjadi bisnis yang menjanjikan.

Apa pasal? Para pengusaha meubel yang memproduksi perabot rumah tangga semisal kursi, meja dan almari kini jarang yang menggunakan ukiran sebagai motif khusus untuk memperindah hasil produksinya. Akibatnya, banyak pengukir (pengrajin ukiran kayu) yang kehilangan lahan penghasilan, menganggur. Selain itu, harga jual ukiran pun turun secara drastis.
Kalau dulu seseorang dapat membeli tanah sepetak hanya dengan membuat satu-dua buah kayu ukiran –biasanya bermotif ular naga, burung garuda atau motif bunga khas Jepara-, maka kini untuk dapat melakukan itu harus membuat hingga sepuluh kali lipat, karena harga ukiran yang semakin rendah. Kini, Anda akan jarang menjumpai pengrajin ukir Jepara yang digolongkan mampu secara ekonomi, sebagaimana pernah terjadi pada era tahun 1980-an.

Masa Depan Ukir Jepara
Setelah banyak para pengukir Jepara yang beralih profesi, masa depan ukiran Jepara yang dulu diminati banyak orang luar kian memudar. Ikon yang pernah dijadikan tanda pengenal Jepara kini tak nampak lagi dalam kehidupan ekonomi Jepara. Orang Jepara sendiri akhirnya tidak begitu mempedulikan, melestarikan hasil karya nenek moyangnya yang konon dulunya belajar ukir dari Bangsa Cina. Apatisme semacam itu mengakibatkan kekayaan intelektual Jepara dicuri oleh bangsa lain. Australia dengan angkuhnya kemudian mendaku sebagai pemilik “sah” hak intelektual ukiran itu. Harga diri dipertaruhkan. Ini tentu menjadi pengalaman berharga yang tak akan pernah dilupakan.

Kalau mau jujur, “pencurian” yang dilakukan oleh negara kanguru itu sebenarnya juga disebabkan oleh kelalaian masyarakat Jepara sendiri yang enggan mengoptimalkan pengembangan karya ukirnya.

Pemerintah juga ikut bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Salama ini, iklim investasi yang diciptakan pemerintah Jepara terkesan lebih memihak kepada “para kompeni” daripada warga pribumi. Seharusnya, pemerintah bisa mengembangkan sektor ekonomi riil kelas bawah yang menjadi tumpuan hidup banyak orang.

Andaikata pemerintah Jepara membuat mekanisme bisnis meubel yang mewajibkan kepada setiap pengusaha untuk selalu menyertakan motif ukiran Jepara dalam hasil-hasil produksinya, tentu para pengrajin ukir tidak akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sehingga, dengan sendirinya ukiran Jepara akan selalu terpelihara. Tidak akan dicuri oleh lain. Bahkan, pesona ukir Jepara akan tetap bersinar.

Selain itu, standarisasi ukiran Jepara perlu dibuat juga, baik dalam hal kualitas maupun harga. Tujuannya, agar upaya pengembangan ukiran Jepara tidak mengalami apa yang dinamakan dengan developing gap (pembangunan yang timpang). Para investor asing juga tidak akan seenaknya membuat kebijakan perusahaan yang merugikan bisnis penduduk lokal.

Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah masalah kelangkaan persediaan kayu. Kayu yang tidak mencukupi kebutuhan membuat harganya semakin langka. Lagi-lagi, para pengusaha lokal banyak yang tercekik, pengrajin ukiran juga terkena imbasnya. Karenanya, sistem distribusi kayu juga perlu mendapatkan perbaikan. Sebab, persediaan kayu di Indoensia hingga saat ini masih melimpah. Logikanya, jika terjadi kalangkaan berarti ada kesalahan dalam sistem distribusi. Semoga menjadi perhatian pemerintah. []

Senin, 02 Maret 2009

Berkelana di Negeri Tak Berwarna

Puisi Septina Nafiyanti

Beringsut menerka, setiap jejak sejarah
Talutan nada dari hidung yang kian panjang adalah tanda,
hayat masih kudekap

Saat konfoi ketajaman zaman,
bukanlagi isyarat kekuatan negeri
Hanya ada tuntutan yang jauh dari tuntunan
Mungkin ini pertautan oleh zaman

Merah, kuning, hijau yang semua berubah menjadi tak berwarna,
karena ketiadaan ikhlas dan kejujuran

Inilah awal robohnya bangunan yang kian tua,
Indonesia...

2 Juli 2008

Minggu, 01 Maret 2009

Binasa

Puisi Septina Nafiyanti

Senyap melonglong ruang kosong
Sejenak nafas tertarik dalm himpitan
lapar, dahaga, marah...
Meluluh sujudku yang tinggal menghitung detik

Terkoyak seluruh niat,
bukti kekerdilan iman terkatup zaman
Diantara rongga kemewahan,
dan bualan menguntungkan

Celah pun terisi hitam yang membahagiaan,
meski bertabur nista yang kasab mata