Senin, 27 April 2009

Pelajaran dari Kura-kura Jepara

Oleh Muh Khamdan
peneliti di Paradigma Institute dan mantan Ketua IPNU Nalumsari Jepara


SEKITAR 3000-an orang memenuhi pelataran patung kura-kura raksasa yang berada di Pantai Kartini. Mereka berkumpul untuk acara berdoa bersama yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Anshor NU Jepara dan Majlis Zikir Wa Syifa (SM, 23/4).

Acara yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jepara, secara tersirat merupakan respons kekhawatiran atas ramalan Mama Lauren yang menjadi ‘’buah bibir’’ masyarakat. Kendati berdalih tasyakuran atas pemilu, momentum dan tempat pelaksanaan jelas mempertontonkan kalangan agamawan Jepara terbawa persepsi bencana tsunami.

Tsunami memang sebuah bencana yang telah merusak wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dengan wilayah patahan gempa sekitar 600 km (26/12/04).

Tsunami juga telah menerjang wilayah Pangandaran yang didukung adanya gempa berskala 6,8 Skala Richter yang dirasakan sampai Jakarta, serta melanda pesisir pantai selatan Jawa, seperti Ciamis, Kebumen, Bantul, dan Ponorogo (Walhi, 18/7/06). Tak heran banyak masyarakat pesisir lain merasa ketakutan dengan isu tsunami, termasuk Jepara.


Berdasarkan katalog gempa (1629-2002) di Indonesia pernah terjadi tsunami sebanyak 109 kali, yakni satu kali akibat longsoran (landslide), sembilan kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa tektonik. Khusus di wilayah Jepara, setidaknya kestabilan dari gempa telah menjadi alasan kuat akan dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Hal ini karena letaknya jauh dari zona subduksi lempeng Sunda dan Australia di lepas pantai selatan Jawa. Belum lagi adan massa Pegunungan Kendeng di sisi Selatan dan massa batuan granit yang melandasi Kepulauan Karimunjawa di utara. Keduanya dikenal massif meredam pengaruh getaran gempa (Migas Indonesia online).

Seberapa tingkat kebenaran ramalan dan kajian geologi tersebut, masyarakat mesti diberi pemahaman. Kenyataannya isu tsunami telah menjadi dasar kegiatan organisasi keagamaan seperti GP Anshor dan MUI, yang pada akhirnya justru melegitimasi ramalan Mama Lauren. Sebab, tidak ada relevansi antara doa bersama dengan bertempat di bawah patung kura-kura raksasa.

Sekadar membuka memori masa lalu, pada pertengahan 2002 bersamaan dengan dimulai proyek pembangunan patung kura-kura raksasa oleh Pemda Jepara, muncul isu selendang penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul hilang.

Masyarakat memanipulasi ketakutan dengan menghias depan rumah melalui pemasangan air berwarna-warni yang dibungkus plastik. Hampir sebulan langkah tersebut dilakukan dengan keyakinan dan harapan sang Ratu tidak marah.

Jika dicermati, terdapat hubungan keyakinan mistik masyarakat dengan proses pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang diperankan oleh kalangan akademis dan agamawan.

Auguste Comte melalui Cours de Philosophi Positive menjelaskan, perkembangan nalar manusia melalui tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Dinamika perkembangan pemikiran ini tergantung intensitas manusia berinteraksi satu sama lain (DW Hamlyn, 1990). Dan kalangan akademis serta agamawan menjadi bagian di dalamnya.

Pada tahap teologis manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.

Kesadaran demikian menimbulkan pemikiran tentang animisme (benda berjiwa), politeisme (kekuatan dewa-dewa sebagai penggerak), dan monoteisme (keesaan pengatur).

Tahap metafisika merupakan keberlanjutan dari tahap teologis yang mengganti kekuatan-kekuatan secara abstrak berupa perpaduan serta kesatuan benda-benda saling terkait yang disebut alam. Jadi, kekuatan benda dapat terjadi jika di dukung keberadaan benda lain.

Pada tahap positif manusia tidak lagi memedulikan kekuatan di balik benda, melainkan mencari hukum-hukum benda berdasarkan fakta-fakta yang tersaji, yaitu melalui pengamatan dan kebenaran akal. Dengan demikian, positivisme membatasi pemikiran pada hal-hal yang bias dilihat, diukur, dianalisa, dan bisa dibuktikan kebenarannya.

Menurut Immanuel Kant, sebagai usaha pemerolehan pengetahuan yang bersifat positif, manusia mesti mengumpulkan pengalaman inderawi dan teknik pengolahan sebab dan akibat (G Nuchelmans, 1984).

Maka, ketika muncul isu akan terjadi tsunami di Jepara, masyarakat mesti mengetahui sebab dan akibat terjadinya tsunami, bukan sekadar menerima.

Berpijak di atas data dan fakta itu, kita berharap isu tsunami justru menjadikan pemerintah lebih proaktif mengenalkan ilmu-ilmu terapan yang bersumber dari kelautan.

Selama ini masyarakat hanya disuguhi objek wisata pantai sebagai tempat hiburan, belum menyentuh pada aspek pengembangan teknologi kebaharian.

Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Gellwyn Yusuf, mengakui, riset energi dan pemberdayaan bahan pangan dari sektor kelautan masih minim (Kompas, 13/4).

Kenyataan ini dapat dimanfaatkan Pemda Jepara sebagai peluang pengembangan daerah setelah mebel ukir terpuruk. Apalagi isu terjadi tsunami di Jepara bersamaan dengan akan diselenggarakan Konferensi Kelautan Dunia pertama di Manado, Sulawei Utara (11-15/5).

Biarlah isu tsunami menjadi pelajaran bagi semua elemen masyarakat Jepara untuk tidak terlalu gampang percaya terhadap ramalan, tetapi memunculkan semangat kekritisan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat gejala alam itu terjadi. Secara geologi, Jepara memang dinyatakan bebas dari getaran gempa, tetapi tidak lantas menawarkan diri sebagai tempat pembangunan PLTN.

Terlebih di dalam Konferensi Kelautan mendatang, wacana pemanfaatan energi dari kandungan air laut, perbedaan suhu, dan salinitas serta energi gelombang dan arus akan menjadi bahasan utama. Ini tinggal menunggu kearifan semua pihak. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 27 April 2009

Kamis, 23 April 2009

Kacamata Perempuan (Jepara)

Puisi Iffah Nafi'ah

Ada wajah terpenjara dalam potret
Mengungkungnya dalam bingkai
Diamlah ...
Jiwanya memberontak pada ketidakadilan
Terkuburlah hidup-hidup mimpinya
Kalbu lembut itu selaksa tersayat belati
Menghunus meninggalkan luka menganga
Menangislah ...
Kerapuhan itu tersirat mata sayu
"Aku ingin bergumul dengan buku-buku!"
Begitu ia meluahkan doa pada sang Rama
Pun Sang rama bertitah bahwa ia hanya seorang wanita
Tak ada guna mengaji ilmu
Wanita simbol kebodohan
Bukan!
Wanita simbol pelecehan
Sudah kubilang, bukan!
Kau bilang, berpendidikan
Tapi, mengapa kau ditawar laiknya barang?
Apa karena dirimu yang binal
Andai saja aku punya jarit putri Kartini
Segera kuselimuti tubuh sintalmu
Agar kau berpunya reputasi (kembali)
Sia-sia ...
Tersematlah nama Jepara
Bukan Kartini, melainkan ratu Shima

Rabu, 22 April 2009

Ma'af...Kartini

Puisi Iffah Nafi'ah

Bela kaum hawa bercampur derita
Menekan pada relung jiwa
Mana hak wanita?
Tatkala aku masih balita
Aku tak mengerti jasanya
Aku tak mengerti sejarah bercerita
Aku telah dewasa
Aku menangis membaca pengabdianmu,
perjuanganmu...
Ma'af... aku wanita

Selasa, 21 April 2009

Nur Janah

Iffah Nafi'ah

Ella Izzatin Nada

Atina Rizanatul Fahriyah

Selamat dan Sukses

Atina Rizanatul Fahriyah, Ella Izzatin Nada, Iffah Nafi’ah dan Nur Janah sebagai nominator 30 besar dari 73 peserta Lomba Tulis dan Baca Puisi Kartini 2009 yang diselenggarakan Radio Idola FM Jepara.

Teruslah berkarya untuk mengharumkan Smart Institute Jepara!


Jumat, 17 April 2009

Menata Lagi Bahari Jepara

Oleh Muh Khamdan
peneliti Paradigma Institute

JEPARA adalah kota kecil di wilayah pantai utara (pantura). Lahir berdasarkan tanggal pelantikan Ratu Retna Kencana yang bergelar Nimas Ratu Kalinyamat, 10 April 1549. Penetapan hari tersebut dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Tingkat II Jepara Nomor 6 Tahun 1988.

Heroisme sang Ratu dalam usaha melawan campur tangan asing kiranya menjadi rujukan pemilihan hari ulang tahun untuk mengonstruksi sejarah perjuangan.

Sejarah tentang Ratu Kalinyamat mengalir deras dalam cerita masyarakat Jepara. Sekian lama beliau dikisahkan bahkan selalu disendratarikan dalam peringatan hari jadi Jepara di pendapa kabupaten.

Bahkan, sejarah patriotismenya dalam pengiriman armada laut membantu Raja Alaudin (1551) dan Sultan Mansyur Syah (1574) mengusir Portugis dari Malaka, mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) Jepara mengusulkan adanya gelar pahlawan.

Sebagaimana negara-negara maju, sejarah masa lalu adalah legitimasi klaim kemajuan peradabannya. Untuk itulah orang Yunani memiliki prinsip ”Historia Vitae Magistra” yang bermakna bahwa sejarah adalah guru kehidupan, seperti ditulis Heni Purwono ”Menyelematkan Kesempurnaan Sejarah Kita” (6/4). Bila Jepara sudah mengetahui sejarahnya sendiri, ini adalah pelajaran yang baik bagi perkembangan daerah dan pembangunan kultur budaya masyarakat.

Seperti kisah perlawanan Ratu Kalinyamat terhadap Portugis sampai mendapatkan gelar Senora de Rica dengan 300 kapal perang yang dikirim ke Malaka, menunjukkan bahwa Jepara adalah pelabuhan besar di Jawa masa kepemimpinan istri Sultan Hadirin tersebut.

Sultan Hadirin sendiri adalah salah satu keturunan dari kerajaan Aceh yang pernah migrasi ke China dan bersahabat dengan pemahat China bernama Ci Wi Gwan atau dikenal dengan Patih Badar Duwung. Dari sinilah muncul identitas lokal bagi Jepara berupa ukiran dan kelautan.

Selain ukiran yang telah melalangbuana di dunia, Jepara tergolong kota bahari dengan adanya deretan pantai pesisir sepanjang 72 kilometer, terhampar pasir putih yang menawan seperti di Kuta Bali. Tidak kurang 27 pulau sebagai gugusan kepulauan karimunjawa terdapat koloni-koloni terumbu karang, beragam spesies ikan tropis, serta tanaman mangrove.

Heroisme
Kisah heroisme Ratu Kalinyamat perlu digali dan disosialisasikan. Fakta bahwa Jepara adalah kota yang memiliki laut, tak ada yang memungkiri. Namun, keberadaan pelabuhan yang sempat mengirimkan armada laut yang tangguh dan bervisi strategik mesti dipertanyakan.

Jika penyematan nama maritim atau bahari hanya berdasarkan ada tidaknya laut, ini bukanlah visi pengembangan daerah yang baik. Hilangnya pamor pelabuhan Jepara yang sudah terjadi dapat dimungkinkan terjadi pada ukiran juga, jika tidak siap mengantisipasinya.

Bagi Pemda Jepara, terdapat kemungkinan yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kembali pelabuhan laut yang pernah jaya pada masa silam.

Pertama, penyediaan kapal yang melayani penyeberangan daratan Jepara dengan kepulauan Karimunjawa secara lebih cepat dan murah. Selama ini, untuk mencapai Karimunjawa masyarakat hanya diberikan dua jadwal saja sehingga belum optimal mendukung pariwisata Karimunjawa.

Kedua, penyediaan perahu-perahu wisata guna memberikan pelayanan masyarakat untuk berkeliling di laut atau menyusuri pesisir Jeoara. Dalam hal ini, perlu dibuatkan regulasi khusus tentang perahu wisata sebagaimana meniru di Kabupaten Kudus dengan beroperasinya becak dan andong wisata religi Makam Sunan Kudus. Ketiga, format pelabuhan transit kebutuhan masyarakat guna mengurangi beban kemacetan jalan raya.

Tentu saja skenario di atas membutuhkan dana besar, maka kemungkinan yang paling dapat direalisasikan adalah penyediaan perahu-perahu wisata yang terorganisasi dengan baik.

Selain membuka lapangan kerja baru, hal yang sangat penting adalah berkembangnya wisata bahari sebagai upaya optimalisasi pantai-pantai di Jepara yang belum terurus, seperti Pantai Bondo dan Pantai Teluk Awur.

Hal ini tidak perlu membutuhkan banyak modal karena dalam wisata bahari daya tarik bagi wisatawan adalah pesona alam yang masih alami.

Rangkaian penataan wisata bahari tersebut dapat terhambat mengingat wacana polemik yang tiba-tiba mengemuka beriringan dengan hari jadi Jepara ke-460.

Upaya menghadirkan Badan Atom Dunia atau International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk melegitimasi keabsahan pembangunan PLTN melalui penelitian, secara sporadis akan menghadirkan konflik di masyarakat. Mengingat ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jepara telah merumuskan keharamannya lewat Bahtsul Masa’il pada 1-2 September 2007.

Benar pemerintah daerah telah memberikan perhatian pada objek wisata kelautan, namun itu belum menunjukkan keterpaduan. Apalagi kalau proses pengelolaan hanya ditujukan pada Pantai Kartini dan Tirta Samudra Bandengan. Masyarakat memerlukan perluasan objek pantai, sebuah pilihan yang mampu mengurangi potensi penghilangan pasir putih secara ilegal.

Sekaranglah pada usia yang semakin dewasa, menjadi momentum yang relevan bagi pemda untuk lebih memikirkan pengembangan wisata bahari yang telah menjadi kebanggaan sejak Ratu Kalinyamat berkuasa sampai sekarang, daripada mengambil kebijakan tidak populis apalagi menciderai ekosistem dan demokrasi berupa pembangunan PLTN. (35)

Sumber : Suara Merdeka, 17 April 2009

Kamis, 16 April 2009

KSMW Gelar Lomba Penulisan Artikel Ilmiah

Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW), salah satu unit kegiatan mahasiswa di kampus IAIN Walisongo Semarang menggelar Lomba Penulisan Artikel Ilmiah tingkat MA/SMA atau sederajat Se-Jawa Tengah. Kegiatan ini diadakan dalam rangka peringatan HUT KSMW ke-23.

M Royani, ketua panitia menyatakan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis di kalangan pelajar khususnya di Jawa Tengah.

"Pelajar di Jawa Tengah perlu menumbuhkan kultur membaca dan menulis, salah satunya dengan partisipasi aktif dalam lomba penulisan artikel ilmiah," katanya.

Adapun tema lomba, kata Royani meliputi Hedonisme dan Remaja, Seni Yes Narkoba No, Internet bagi Pelajar, Membangkitkan Jiwa Nasionalisme, dan Menjadi Pelajar Kreatif.

Dia menambahkan, ketentuan lomba yang harus diperhatikan: 1) tulisan karya asli, belum pernah dipublikasikan di media massa ataupun buku. 2) panjang tulisan 8-17 halaman (A4, spasi: 1,5) menggunakan font Garamond. 3) tulisan ilmiah: menggunakan bahasa Indonesia baik dan benar, terdapat referensi dan kutipan (foot note atau end note) disertai analisis kritis, obyektif dan aktual: bukan normatif-deskriptif.

4) karya dikirim dalam bentuk print out dan soft file ke Sekretariat KSMW: Jl. Prof. Dr. Hamka Km 02 Gedung PKM, Lantai II, Kampus III, IAIN Walisongo, Ngaliyan Semarang 50185 dan via email: ksmwali9@gmail.com. Paling lambat 3 Juni 2009, pukul 16.00 wib. Sedangkan pengumuman pemenang: 10 Juni 2009 mendatang. 5) identitas penulis (nama lengkap, asal sekolah, kelas, jurusan, alamat surat, telepon dan email) hendaknya ditulis terpisah dengan naskah tulisan yang dikirim.

6) peserta boleh mengirim lebih dari satu naskah, dengan tema yang sama ataupun tidak. 7) keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat. 8) naskah yang masuk dan tidak masuk nominasi, akan mendapatkan penilaian dan komentar balik dari panitia via email. 8) pengirim masih berstatus pelajar, terhitung sejak pengiriman, dibuktikan dengan cetak scan Kartu Tanda Siswa (KTS) madrasah/ sekolah yang bersangkutan. 9) yang tidak memenuhi kriteria, akan didiskualifikasi.

Lomba ini memperebutkan hadiah senilai Rp. 500.000,- untuk juara pertama, Rp. 350.000,- bagi juara dua, Rp. 250.000,- untuk juara ketiga, sedangkan
Tujuh juara harapan lain akan mendapatkan setifikat dan uang pembinaan dari panitia penyelenggara.

"Sepuluh finalis terbaik akan dihubungi panitia, diundang untuk mepresentasikan karyanya di hadapan dewan juri dan panitia. 60 persen penilaian diambil dari kualitas karya tulis, sementara 40 persen lebihnya dari presentasi" tambahnya.

Untuk informasi lengkap mengenai lomba ini bisa menghubungi M Abdullah Badri (085 226 228 507) dan M Royani (085 223 526 953).

Rabu, 15 April 2009

"Aku Mau" Kartini Saja

Oleh Eros Rosidi

Berbicara
tentang feminisme atau perjuangan kesetaraan gender di Indonesia, kita tidak akan bisa lepas dari sosok fenomenal dan sangat menarik: RA Kartini. Bukan lantaran setiap tanggal 21 April ada peringatan Hari Kartini, melainkan karena pemikirannya yang jauh melampaui batas-batas teritorial dan sudah sangat modern untuk ukuran zamannya.

RADEN Ajeng (RA) Kartini, meski seorang bangsawan, tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Dia hanya sekolah di ELS (Europese Lagere Schools) di Jepara, dan sudah meninggalkan bangku sekolah ketika berumur 12 tahun.
Vissia Ita Yulianto (2004) mencatat, Kartini adalah salah satu bukti sejarah yang menunjukkannya sebagai manusia kritis dan pribadi yang peka terhadap kondisi sosial waktu itu.

Sementara Goenawan Mohamad (2004) menulis, Kartini adalah epik dan tragis sekaligus. Dalam berbagai segi, Kartini adalah perempuan rupawan, cerdas, perspektif, pemberontak, sekaligus anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian, tapi juga lemah hati.

Terlepas dari berbagai penilaian yang muncul, Kartini tetaplah seorang tokoh yang sangat brillian: perempuan yang mula-mula mengembuskan perjuangan feminisme di Indonesia.

Dalam bahasa sederhana, Goenawan Mohamad mengatakan, ’’Bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis’’.

Dengan keterbatasannya, pemikiran-pemikiran Kartini tentang feminisme dan perjuangannya agar perempuan Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya mendapatkan pendidikan layak, merupakan hal terbesar yang tak boleh dilupakan bangsa ini.

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati perjuangan para pahlawannya?

’’Aku Mau’’
Lalu, spirit apakah yang menggerakkan Kartini dalam berjuang? Nukilan surat yang dikirimnya kepada Stella Zeehandelaar, sahabat penanya di Eropa, pada 13 Januari 1900 barangkali bisa menjadi cermin bagi kita tentang motto hidup yang menjadi spirit Kartini dan menggerakkannya dalam berpikir dan berjuang.

’’Kamu mau tahu motto hidupku? ’Aku mau!’ Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan.

Aku tidak mampu menyerah. ’Aku mau’ mendaki gunung itu. Aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat. Stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan dia padam. Buatlah aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas’’.

Kartini meninggal dunia dengan mimpi-mimpinya tentang perubahan paradigma masyarakat. Ia ingin melihat kaum dan bangsanya maju.

Para feminis modern di Tanah Air memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan cita-citanya tersebut.

Para aktivis feminisme di Indonesia saat ini memang telah melakukan upaya-upaya yang signifikan bagi terwujudnya kesetaraan harkat dan martabat perempuan.

Antara lain ditandai dengan lahirnya UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan yang saat ini lagi gencar dan menjadi pembicaraan hangat adalah pelarangan nikah siri.

Pendidikan
Namun, hal lain yang tidak boleh dilupakan untuk selalu diperjuangkan adalah masalah pendidikan. Pendidikan, terutama bagi perempuan, adalah salah satu hal yang menjadi perhatian Kartini. Menurut dia, perempuan yang kelak pasti menjadi ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anaknya. Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak memiliki kesempatan dan peran paling besar untuk ini.

Bisa dipahami, sesungguhnya kesetaraan yang didengungkan Kartini bukanlah agar perempuan bersaing dengan laki-laki, tetapi agar saling mengisi dan saling berbagi.
Isyarat ini bisa ditangkap dari fakta bahwa perempuanlah yang pertama kali mendidik anak-anaknya.

Ini berarti tanggung jawab kaum hawa dalam mengurus rumah tangga tidak harus dilupakan, meski ia seorang feminis.

Menjadi seorang feminis adalah hal luar biasa yang harus dihargai. Tetapi hal itu selayaknya tidak menjadikan anak-anaknya telantar dan kurang mendapatkan kasih sayang.

Untuk itu, pengetahuan dan pemahaman terhadap feminisme juga tak boleh dipahami setengah-setengah. Feminis bukan perempuan yang hanya ingin sama dengan laki-laki, melainkan orang yang menjadi motor kesetaraan tanpa meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam keluarga dan masyarakat.

Semangat ’’aku mau’’ yang merupakan motto hidup Kartini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, untuk menjadi seorang feminis di abad modern dengan baik dan benar. Bukan yang sok feminis. (32)

Sumber: Suara Merdeka, 15 April 2009

Selasa, 14 April 2009

Sekuntum Edelweiss, Setangkai Mimosa pudica

Cerpen Mezzalena

“Terima kasih ya,” akhirnya klausa ini yang aku pilih untuk memulai pembicaraan kita.

“Buat?” Kau pura-pura tidak tahu.

“Buat sekuntum Edelweiss kemarin,” kataku. Hendak bertanya, apa maksudmu? Tapi aku tahan. Harusnya aku sudah tahu.

“Suka?” tanyamu pendek. Pasti kau berharap aku mengangguk. Tapi, apakah aku belum pernah bercerita padamu kalau aku tidak begitu suka bunga? Lantas, kalo aku memilih tersenyum untuk menjawab pertanyaanmu itu, apakah akan menyinggungmu?

“Kok senyum aja sih?” tanyamu lagi.

“Jangan bertanya aku suka atau tidak, aku sangat senang menerimanya,” lega rasanya menemukan kalimat ini.

“Makasih ya,” ucapmu.

“Hey, kamu yang memberi kok bilang terima kasih?”

“Iya, terima kasih sudah menerimanya,” ucapmu lalu tertawa, begitu juga tawaku meyusul, kita tertawa bersama.

“Za?” panggilmu tiba-tiba. Seperti serius.

“Hmm,” jawabku pendek. Aku menoleh ke arahmu. Mencari-cari maksud dari wajahmu.

“Apa?” tanyaku akhirnya ketika tidak menemukan jawaban dari rautmu.

“Engga,“ kamu melengos, menghindar dari tebakanku. “Hanya ingin memanggilmu,” lanjutmu lagi, mengerling.

Aku diam, pura-pura tidak peduli. Padahal, aku bahkan sangat tahu, iya aku juga merasakannya. Sudah sangat lama, tak ada pertemuan seperti ini. Duduk-duduk tanpa acara. Bicara ke sana ke mari tanpa tema. Tanpa menyesali waktu yang ternyata berlalu searah, irreversible. Seringkali aku memang sengaja, tak melihat jam karena tak mau waktu mengambil jeda. Tapi, kita memang tak pernah bisa memungkiri, bahwa perpisahan adalah syarat pasti dari pertemuan. Iya, iya aku tahu, sangat tahu. Ada kata yang tertahan, dari hatimu. Tentang rasa yang sama-sama kita sembunyikan.

“Mmm,” desismu perlahan.

“Apa?” hanya pura-pura bertanya. Aku tahu kau sedang kebingungan mencairkan suasana. Mencari-cari cerita apa yang bisa mewakili hatimu. Lalu aku tersenyum.

“Kamu ga suka bunga ya?” tanyamu hati-hati kemudian, Aku tersenyum.

“Seperti yang kamu lihat dari penampilanku yang tak pernah anggun. Aku hanya cemburu sama bunga-bunga yang anggun dan cantik. Itu makanya aku ga suka bunga. Aku iri,” jawabku beserta alasan lengkap.

“Halah, bilang aja kamu ga telaten merawat bunga, pake ngeles cemburu-cemburu segala,” candamu sambil tertawa kecil.

“Tumben tebakanmu benar,” lalu tawaku ikut pecah.

“Jadi benar kamu ga suka bunga?” Ih, kenapa sih kau suka mendesakku dengan pertanyaan yang menurutku sudah cukup aku jawab.

“Dari pada bunga aku lebih suka pada rumput liar,” jawabku.

“Mereka bisa tumbuh di mana saja tanpa manja. Mencari kehidupannya sendiri dengan menanamkan akarnya kuat-kuat dalam tanah. Walaupun kemarau seperti membunuhnya, tapi nyatanya itu hanya hibernasi sesaat,” lanjutku panjang.

“Terus?” tanyamu.

“Iya gitu, saya lebih menyukai rumput dari pada bunga,” jawabku.

“Itu makanya kamu sedikit liar,” kelakarmu. Aku tersenyum kecut. Aku tahu kau sedang bercanda. Aku tak marah, karena aku tahu yang kau maksud liar bukanlah sinonim dari amoral yang mirip dengan asusila atau tuna susila. Juga, kau tak pernah meninggalkanku meski kau tahu aku tak sempurna. Jadi aku tak perlu marah walaupun menurutku kau bercanda kelewatan.

“Maaf-maaf, aku cuma becanda,” maafmu menangkap air mukaku yang berubah kecut tadi.

“iya gpp, lupakan. Mmm, kamu tahu ga rumput apa yang paling aku suka?” tanyaku kembali ke topik awal, hanya tak hendak memperpanjang pekara yang sensitif.

“Rumput itu macem-macem ya? dan bernama juga?” tanyamu.

“Ya iya lah, karena manusia berkepentingan terhadap nama-nama itu untuk membedakan jenis-jenis rumput, jadilah rumput itu bernama,” selintas terpikir tentang ujaran masyhur, apalah arti sebuah nama.

“Rumput apa yang paling kamu suka? Aku tidak pernah kenalan sama rumput-rumput, jadi ga tahu,” tanyamu. Jika aku penggemar Ebiet G Ade, maka aku akan menjawab “silahkan bertanya pada rumput yang bergoyang”.

“Mimosa pudica,” jawabku singkat.

“Apa itu? saya pernah dengar deh, apa sih? emang ada gitu nama rumput yang cantik?” tanyamu.

“Kalau kamu pernah lulus SMP pasti tahu, dulu di pelajaran biologi kita mempelajari tentang binomial nomenclature kan?,” tampak kau sedang berpikir.

“Apa sih? aku hanya ingat Oryza sativa,” serahmu.

“Si kejut,” jawabku.

“What? Putri Malu? apanya yang kamu sukai?” tanggapmu.

Aku tak menjawab. Aku tahu, kau tahu bahwa aku tak sempurna. Ketika kau menginginkan aku seanggun Edelweiss, tetap tangguh, abadi dan mempesona di mana pun berada. Kenyataannya aku hanyalah sebatang Putri Malu. Iya, hanya rumput liar yang sesekali terjebak pada kemarau. Hibernasi yang seperti mati. Bahkan pada rangsang-rangsang yang halus, aku pun kalap. Menutup diri. Tapi sebagaimana kau tahu, Putri Malu yang liar itu juga ingin berbunga, begitu pun aku. Kau juga tahu, tak ada Putri Malu yang bisa berevolusi jadi Edelweiss. Apakah kau keberatan?

Tak terasa Ta, matahari telah maghrib. Langit menggelap. Jeda lagi. Berpisah lagi. Sampai jumpa, aku pasti merindukan hari ini lagi. Sayang, tak akan pernah ada lagi, jadi ijinkan aku menuliskannya.

---diunduh dari http://mezzalena.wordpress.com

Sabtu, 11 April 2009

Deritaku

Puisi Sri Wahyuni

aku terkatup
lamatlamat ku tatap wajah itu
tampak aku kenal
namun perasaan takut menderaku

perlahan aku dekati wajah itu
terbias luka
luka dari masa lalu yang mungkin mengerikan
ku pegang matanya
terasa merah berair
ku sentuh air mata itu terasa lembut dan hangat
sesaat
darah segar mengucur dijariku
aku seperti tak percaya wajah itu berlumuran darah

hampir berapa menit lamanya darah itu tak berhenti mengucur
penghianat
diriku tak lebih hanya sebagai korbanmu
kapan kalian akan melindungiku?
aku menunggu…

Langon, 11 Maret 2009

Jumat, 10 April 2009

Bercerminlah

Puisi Sri Wahyuni

apakah kita pernah menanyakan suatu hal
betapa munafiknya kita
entahlah terjawab

apakah kita pernah menanyakan
betapa bungkamnya kita akan kesalahan
entahlah terjawab

apakah pernah terbersit sebuah dosa?
hanya hati nurani setelah usai

apakah pernah merasa resah?
hanya pikiran otak yang mengurai
napas kegelisahan hati tak nampak
nasihat titik nadir kian tak layak
hampa dalam kegetiran bias tak pelak
semua retak dan tak terpetakpetak

bercerminlah atas otak yang tak lagi bisa diajak untuk bergerak

Langon, 12 Maret 2009

Kamis, 09 April 2009

Dalam Sebuah Sajak

Puisi Fachrin Azka
Lahir di Jepara 21 April 1990. Masih bergiat di Smart Institute Jepara

Semua telah pergi
Ketika aku ingin kembali
Pada masa yang penuh memori
Semua telah terjadi
Ketika aku tak peduli
Dengan apa yang ku alami
Semua terlanjur terlewati
Dan tak mungkin kembali
Walau hanya dalam mimpi
Kini tinggal pilu dan sepi
Karena bodohnya nurani
Dalam menjalani hidup ini

Kamis, 02 April 2009

Berwisata Pendidikan ke Museum Kartini

Oleh Syaiful Mustaqim
direktur Smart Institute Jepara, Jawa Tengah

MUSEUM Kartini merupakan peninggalan bersejarah RA Kartini yang terletak di sebelah utara alun-alun Kota Jepara. Museum yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara ini didirikan pada 30 Maret 1975, masa pemerintahan Bupati Soewarno Djojomardowo. Adapun peresmiannya dilakukan oleh Bupati Soedikto pada 21 April 1977.

Museum Kartini berdiri di atas tanah seluas 5.210 meter persegi dengan luas bangunan 890 meter persegi. Di dalamnya terdapat penyimpanan benda-benda peninggalan Kartini dan kakaknya, Sosrokartono serta benda-benda kuno dan hasil budaya temuan Kabupaten Jepara.

Museum ini terbagi menjadi empat ruangan: 1) ruangan yang berisi koleksi peninggalan Kartini, 2) ruangan untuk benda-benda peninggalan Sosrokar- tono, kakaknya, 3) ruang berisi koleksi benda-benda yang bernilai sejarah dan 4) ruangan yang berisi kerajinan Jepara: ukir-ukiran, keramik, anyaman bambu dan rotan serta alat transportasi pada zaman dahulu.

Museum Kartini yang berdiri kokoh di pusat kota, ternyata belum menarik minat masyarakat. Keengganan masyarakat berkunjung ditengarai pemerintah kabupaten (pemkab) minim menyosialisasi dan mempromosikannya.

Museum hanya dikunjungi oleh masyarakat saat banyak orang mengenang hari lahir Kartini dan hari libur saja. Pada hari dan bulan lain kondisinya sepi.

Wisata Pendidikan
Keberadaan museum ini semestinya dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata. Popularitas museum ini masih ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan pamor Kepulauan Karimunjawa, Pantai kartini, Pantai Bandengan maupun Benteng Portugis.

Bisa jadi, meski sudah sering disosialisasikan namun hasilnya masih nihil. Barangkali sosialisasi tersebut belum memberikan stimulus bagi masyarakat yang akan berwisata dan menjadikan Museum Kartini sebagai tujuan utama. Karena itu, menyikapi hal ini perlu digagas Wisata Pendidikan.

Wisata pendidikan merupakan proses kegiatan belajar yang dilakukan didalam ruangan peninggalan sejarah. Misalnya belajar sejarah dari peninggalan Kartini dan kakaknya RM Panji Sosrokartono, mengamati tulang ikan raksasa Joko Tuwo (ditemukan April 1989) yang panjangnya sekitar 16 meter, tinggi 2 meter dan berumur 220 tahunan. Juga bisa belajar dari peninggalan bersejarah lain yang berkaitan dengan Kabupaten Jepara.

Dengan wisata pendidikan ini diharapkan kaum terdidik (Pelajar dan mahasiswa) di Jepara maupun masyarakat secara tertarik menyambangi. Wisata pendidikan merupakan paket wisata yang memang ditujukan bagi masyarakat terdidik dengan memberikan buku panduan disertai guide (pemandu) khusus yang menjelaskan keberadaan Museum Kartini.

Setelah menerima buku panduan dan pemaparan dari pemandu peserta wisata pendidikan bisa berdiskusi ataupun bertanya pada pemandu. Pada tahap ini nanti akan kita didapatkan temuan-temuan brilian kaum terpelajar baik berupa karya tulis (laporan hasil berwisata) dan karya ilmiah (analisis) sehingga karya-karya tersebut dapat dijadikan referensi akademik.

Bukan Sekadar Gagasan
Wisata pendidikan bukan hanya sekadar gagasan yang dibiarkan begitu saja. Akan tetapi dibutuhkan kerja sama semua pihak. Pemerintah kabupaten dalam hal ini perlu bekerja sama dengan peneliti sejarah untuk menerbitkan buku panduan mengenai Museum Kartini.

Selain itu pemkab juga memberikan akses kepada pelajar untuk mengunjungi wisata tersebut. Boleh dikata, jika selama ini materi pelajaran sejarah nasional hanya diterima di bangku sekolah, sudah saatnya mereka melakukan observasi langsung ke tempat bersejarah, sehingga pelajaran sejarah nasional tidak terkesan membosankan.

Mudahnya, pemerintah bekerja sama dengan lembaga pendidikan menyelenggarakan paket wisata pendidikan yang bertujuan menarik minat pelajar untuk lebih mencintai sejarah.

Selain itu pemerintah juga lebih getol melakukan promosi. Promosi bisa dilakukan khusus bagi masyarakat Jepara terlebih bagi masyarakat secara luas. Ini akan membuat Museum Kartini populer di hadapan khalayak.

Gagasan wisata pendidikan di Museum Kartini tentu diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah melulu yang dituntut memberikan fasilitas yang memadai akan tetapi masyarakat pun juga perlu sadar akan pentingnya menghargai warisan sejarah.

Dengan menghargainya secara tidak langsung akan belajar dari manuskrip masa silam yang tak lekang dimakan oleh waktu.

Kelak dengan memopulerkan Museum Kartini sebagai wisata pendidikan akan Jepara selain dikenal sebagai kota ukir juga dianggap menghargai warisan sejarah masa silam. (35)

Sumber : Suara Merdeka, 02 April 2009