Selasa, 30 Juni 2009

kata

Puisi Fachrin Azka

matahari berkata pada dunia
apa ada air di padang sahara
selain dari telaga cinta
yang penuh dengan duka
bumi berkata pada jiwa
apa arti sang pujangga
jika dia tak bisa lagi merangkai kata
karena perginya sang dewi ke nirwana
laut berkata pada samudera
saat senja tiba
sejuta pesona tercipta
pelipur, derita, duka
bulan berkata pada gerhana
tak ada yang menakutkan
daripada derita cinta
yang menghadirkan beribu rindu dan lara

Jumat, 05 Juni 2009

Cinta Tak Berujung

Cerpen Azzah

19 November,
Ry, hujan lebat mengguyur bumi, angin berhembus menggoyangkan tirai jendela, menambah dingin suasana malam, sebatang lilin menyala redup, kembang kempis terbuai sepoi nyanyian malam. Dingin, sunyi, menikam kalbu. Luapan tangis terus mengalir, sedihku tak kunjung padam, bak hujan malam ini yang tak kunjung reda.

5 Desember,
Aku belum bisa membuka mulut, aku tetap diam seribu bahasa, aku sadar, bila semua ini menyiksa sekelilingku, bahkan diriku sendiri. Aku bak patung batu di tengah musim penghujan. Gurauan, hiburan, canda tawa teman-teman mencoba melunakkan hatiku yang beku, melemahkan tubuh nan kaku, namun...aku tetap tak bergeming...

1 Februari,
Seberkas asa menyelinap pelan, seulas senyum tersungging di sudut bibirku yang telah lama kaku, mentari menyapaku dengan benderang, seterang hatiku saat ini.

Ry, kesedihanku berangsur luntur, entah kena sihir apa... Apa malaikat telah mengirimnya tuk menyeka air mataku? Kebahagiaan baru, peristiwa bersejarah dalam hidupku, pertemuanku dengan Lidya...

9 Februari,
Ry, hari-hariku penuh warna, kutemukan kembali pengganti bungaku yang telah menghilang. Ry, jantungku terus berdetak kencang bila mengingat parasnya, Lidya... begitu anggun menawan, buatku tergila-gila, Lidya...ingin aku mengenalnya lebih jauh...

14 Februari,
Sebelum malam terlalu kelam
Izinkan aku mengucap salam
Salam dari hati terdalam
Teruntuk bunga yang buatku tenggelam
Lidya...
Keelokanmu bak batu pualam
Tak kuasa aku tuk menyelam
Lidya...
Happy Valentine Day
Salam....

Kuberanikan diri melayangkan sepucuk surat merah jambu teruntuk pujaan hatiku, Lidya.... Bingung, ragu, cemas merundung perasaanku. Tubuh lemas, hati berdebar, harap-harap cemas. Ry, apa bungaku juga merasakan hal ini? Aku memang penakut, aku benar-benar tak punya kekuatan tuk bertatap muka dengannya, apalagi mengucapkan sepatah kata. Kupikir dan berharap, melalui surat ini mampu mewakili diriku....


21 Februari,
Tuhan...dia begitu indah.... Ry, dia tersenyum padaku, bayangan itu melekat di pelupuk mataku, hatiku terlalu hanyut bersama kegilaanku padanya, walau suratku belum terbalas, seulas senyumnya cukup menenangkan hatiku...

7 Maret,
Ry, apa aku terlalu pecundang? Aku masih belum kuasa tuk menatap matanya, melihatnya dari kejauhan saja, gemetar tubuhku begitu hebat.... Surat kedua, kembali kutitipkan pada Eka, sahabat karib Lidya.
Lidya...
Hatiku terpasung
Oleh harapan yang menggantung
Lidya...
Sudikah kau buka sedikit celah
Dalam relung hatimu...
Tuk menyambut lambaian tanganku
Adakah tempat untukku
Tuk singgah
Dalam tahta kalbumu?
Lidya...
Pesonamu begitu menawan...
Salam...

15 April
Sebulan berlalu, Lidya tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku semakin gila dibuatnya. Melamun, merenung, menangis, mondar-mandir, kesana-kemari, layaknya agen pelacak, itulah aktivitasku sehari-hari. Mengingat senyumnya, semangatku begitu membara, terpikir akan keberadaannya.... Aku semakin gelisah, rinduku membuncah, air mataku meleleh.

Lidya...
Dimanapun engkau berada
Cintaku padamu tetap ada
Kapanpun engkau kembali
Cintaku padamu tak kan pernah basi
Lidya...
Tahukah kau...
Aku benar-benar gila!!!!

09 Mei,
Sepasang pengantin berpose mesra, kamera terus mengintai, tak rela kehilangan sedetikpun, dekorasi bernuansa putih menambah kesan natural, taburan mawar merah menghujani dua sejoli diatas tahta. Rentetan acara berjalan sakral, merci merah marun berhiaskan bunga siap mengantar sang mempelai ke istana impian.
Ry, aku tak kuasa menghadapi realita, kegilaanku makin menjadi. Inikah suratan takdir illahi yang tertulis dalam catatan jalan hidupku? Kedua kalinya aku lewati jalan terjal dalam pencarianku...

Tuhan...
Inikah jalanku?
Cintaku tak pernah berlabuh...
Cintaku tak pernah berujung...

Kamis, 04 Juni 2009

Mengurai Kendala Bisnis Ukir Jepara

Oleh M Abdullah Badri
Warga Jepara

KABUPATEN Jepara terkenal dengan sebutan sebagai kota ukir. Bukan hanya di tingkat lokal, sebutan itu juga meluas hingga di tingkat nasional, bahkan internasional.

Bisa dikata, ukiran Jepara memiliki kekhususan dan menjadi ikon. Ketika menyebutkan kota ukir, orang akan menyebut Jepara.

Karena dikenal hingga mancanegara, banyak investor beramai-ramai ”menyerbu” kota petilasan kerajaan Ratu Shima tersebut. Anda akan mudah menemukan ”orang-orang kompeni” yang mendirikan gudang-gudang atau pabrik-pabrik besar di sana, terutama di Kecamatan Tahunan yang menjadi pusat bisnis kayu.

Banyak penduduk sekitar yang kemudian mendapatkan penghasilan hidup dari bisnis kayu. Bagi pemilik modal cukup, ia bisa membuka bisnis jual kayu dan mebel.

Bagi masyarakat ekonomi bawah, ia bisa menjadi buruh di gudang-gudang produksi kayu, menggunakan otot. Bagi buruh laki-laki, biasanya bekerja angkat-junjung, sedangkan bagi buruh perempuan biasanya menjadi tenaga ”pengamplas”, yakni menghaluskan hasil produksi kayu setengah jadi dengan amplas.

Walhasil, banyak orang Jepara bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bisnis yang berkaitan dengan kayu. Bahkan, ada yang mendadak menjadi kaya dari bisnis itu.

Kini Anda akan menemukan sedikit orang Jepara yang berhasil menjalankan bisnis kayu tersebut. Setelah tahun 2000, banyak pengusaha kayu di Jepara, pribumi maupun asing, yang gagal alias gulung tikar. Bahkan ketika dulu sempat menjadi milyarder, kini nasibnya berada di titik nadir.

Aset yang dimiliki ludes untuk menutup kerugian bisnis yang pernah ia bangun. Hal itu terjadi karena ukiran kini bukan lagi menjadi bisnis yang menjanjikan.

Apa pasal? Para pengusaha mebel yang memproduksi perabot rumah tangga semisal kursi, meja dan almari kini jarang menggunakan ukiran sebagai motif khusus untuk memperindah hasil produksinya.

Akibatnya, banyak pengukir (pengrajin ukiran kayu) yang kehilangan lahan penghasilan. Selain itu, harga jual ukiran pun turun secara drastis.

Kalau dulu seseorang dapat membeli tanah sepetak hanya dengan membuat satu-dua buah kayu ukiran.

Biasanya bermotif ular naga, burung garuda atau motif bunga khas Jepara. Kini untuk dapat melakukan itu harus membuat hingga sepuluh kali lipat karena harga ukiran semakin merosot.

Kini, Anda akan jarang menjumpai pengrajin ukir Jepara yang digolongkan mampu secara ekonomi sebagaimana pernah terjadi pada era tahun 1980-an.

Masa Depan Setelah banyak para pengukir Jepara yang beralih profesi, masa depan ukiran Jepara kian memudar. Ikon yang pernah dijadikan tanda pengenal Jepara kini tak tampak lagi dalam kehidupan ekonomi Jepara. Orang Jepara sendiri akhirnya tidak begitu memedulikan, melestarikan hasil karya nenek moyang yang konon belajar ukir dari China.

Apatisme semacam itu mengakibatkan kekayaan intelektual Jepara dicuri oleh bangsa lain. Australia dengan angkuhnya kemudian mendaku sebagai pemilik ”sah” hak intelektual ukiran itu. Harga diri dipertaruhkan. Ini tentu menjadi pengalaman berharga yang tak akan pernah dilupakan.

Kalau mau jujur, ”pencurian” yang dilakukan oleh negara Kanguru itu sebenarnya juga disebabkan oleh kelalaian masyarakat Jepara sendiri. Mereka enggan mengoptimalkan pengembangan karya ukirnya.
Pemerintah juga ikut bertanggungjawab atas peristiwa tersebut.

Salama ini, iklim investasi yang diciptakan pemerintah Jepara terkesan lebih memihak kepada ”para kompeni” daripada warga pribumi. Seharusnya, pemerintah bisa mengembangkan sektor ekonomi riil kelas bawah yang menjadi tumpuan hidup banyak orang.

Andaikata Pemerintah Jepara membuat mekanisme bisnis mebel yang mewajibkan kepada setiap pengusaha untuk selalu menyertakan motif ukiran Jepara dalam hasil-hasil produksinya, tentu para pengrajin ukir tidak akan kehilangan lapangan pekerjaan.

Dengan sendirinya ukiran Jepara akan selalu terpelihara. Tidak akan dicuri oleh lain. Bahkan, pesona ukir Jepara akan tetap bersinar.

Perlu standardisasi ukiran Jepara, baik dalam hal kualitas maupun harga. Tujuannya, ukiran Jepara tidak mengalami apa yang dinamakan dengan gap developing (pembangunan yang timpang). Para investor asing juga tidak akan seenaknya membuat kebijakan perusahaan yang merugikan bisnis penduduk lokal.

Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah masalah kelangkaan persediaan kayu. Kayu yang tidak cukup membuat harganya semakin naik. Lagi-lagi, para pengusaha lokal banyak yang tercekik.

Pengrajin ukiran juga terkena imbas. Karenanya, sistem distribusi kayu juga perlu mendapatkan perbaikan. (80)

Sumber: Suara Merdeka, 04 Juni 2009

Senin, 01 Juni 2009

Pembangkitan Olahraga Bahari

Oleh Muh Khamdan
Peneliti Paradigma Institute dan bekerja di BPSDM Depkumham RI

POTRET Kota Jepara dalam olahraga nasional sementara baru tampak dari cabang olahraga sepak bola setelah Persijap saat ini ikut bertengger dalam Indonesia Super League (ISL) serta Copa Indonesia. Sangat mengejutkan karena secara realitas meninggalkan kota-kota sekitar yang baru merebut divisi utama atau divisi di bawahnya.

Namun betapa akan lebih memberi implikasi baik jika segmen olahraga bahari juga dibangkitkan dan menjadi target pemberdayaan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara.

Bayangkan saja, Jepara daratan memiliki 72 km bentangan pantai berpasir putih, belum termasuk gugusan 27 pulau dari Kepulauan Karimun Jawa yang memiliki karakteristik beragam. Hal demikian membuat Jepara berpotensi menjadikan olahraga bahari sebagai salah satu industri olahraga raksasa di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa.

Penetapan olahraga bahari sebagai salah satu industri olahraga raksasa bukan tidak mungkin terwujud. Tidak perlu ada pembangunan stadion yang mewah sebagaimana stadion Gelora Bumi Kartini (GBK), tetapi model olahraga bahari justru menghubungkan antara kealamian lingkungan dengan nilai-nilai sportivitas.

Bagi penikmat olahraga bahari, salah satu kebutuhan pertandingan adalah kebutuhan kepuasan batin dengan panorama kebaharian, baik terkait daratan laut seperti pantai atau angin laut maupun perairan berupa ombak, flora, dan fauna laut.

Gagasan pemberdayaan olahraga bahari ini juga telah menjadi program pemberdayaan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sebagaimana dikemukakan MB Zubakhrum Tjenreng, Deputi Pengembangan Industri Olahraga, bahwa sport fishing akan dikampanyekan sebagai industri kreatif di bidang olahraga bahari (MI, 22/5).
Pemberdayaan Ekonomi
Dalam keterikatan aspek olahraga ini, sport fishing yang identik dengan memancing akan mampu mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir karena terkait pada penyediaan perahu atau kapal sewaan sekaligus pemandu daerah pembiakan ikan, sehingga membuka lapangan kerja baru.

Kemiskinan yang masih diidentikkan pada masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir secara umum sangat terkait dengan kualitas pengelolaan sumber daya kelautan.

Dalam paparan Riza Damanik, Sekjend Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dalam hari nelayan (Kompas, 6/4), kebijakan perikanan dan kelautan belum menempatkan nelayan sebagai elemen penting perekonomian nasional sehingga terkesan membiarkan nelayan mencari penghidupannya sendiri.

Selama ini masyarakat pesisir lebih terfokus pada pencarian sumber daya ikan sebagai konsumsi, padahal pada masa tertentu justru tidak bisa melaut yang berakibat pada munculnya masa paceklik dan menempatkan 90 persen nelayan tetap hidup miskin. Kualitas pengelolaan itu mesti diubah.

Tentu saja untuk keperluan tersebut, diperlukan adanya perencanaan terpadu atas tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan demikian mesti memperhatikan pemahaman potensi wilayah sehingga dapat dilanjutkan pada tahapan kegiatan konstruksi karena ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mudah berubah secara sporadis karena alam dan perbuatan manusia.
Ada tiga potensi pembangunan bahari yang nantinya dapat dirancang secara berkesinambungan.

Pertama, sumber daya dapat pulih (renewable resource) yang terkait flora dan fauna serta unsur pendukung.

Kedua, sumber daya tidak dapat pulih (non-renewable resource) yang terdiri atas unsur-unsur bahan mineral, seperti pasir bijih besi termasuk pasir putih. Ketiga, jasa lingkungan (environmental services) yang mengedepankan kreativitas pengelolaan sehingga tidak berhenti pada konsumsi ‘’mentah’’ dari laut.

Salah satu substansi yang menjadi konsiderans Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai hasil dari 75 negara yang hadir di World Ocean Conference (WOC) pada 11-15 Mei, adalah agar terjadi partisipasi untuk tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap laut.

Maka, pemberdayaan olahraga bahari menjadi keniscayaan karena ramah lingkungan dan justru mampu memberikan hasil optimal dalam pengelolaannya. Karena itu perlu ada pendekatan interdisiplin ilmu melibatkan berbagai bidang ilmu, seperti ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, antropologi, dan lainnya.

Dalam kampanye sport fishing yang dilakukan oleh Kemenpora, tercatat pada 2009 ini akan dilaksanakan kegiatan lomba memancing di berbagai daerah, dari Makasar (Sulawesi Selatan), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan Manado (Sulawesi Utara).

Untuk mengimbangi pelaksanaan kegiatan tersebut, tentu bukan suatu hal yang sulit dilaksanakan di Jepara karena memancing hampir sudah menjadi budaya masyarakat, terutama menyangkut promosi Kepulauan Karimunjawa.

Sementara dari aspek olahraga fisik, Pantai Bondo yang juga dikenal sebagai Pantai Ombak Mati layak dikembangkan sebagai gelanggang olahraga bahari Jepara. Bukan rahasia lagi, pasir putih yang dimiliki dengan hamparan daratan yang cukup datar secara luas mendukung keterwujudan lapangan voli pantai dan cabang-cabang olahraga yang lain.

Kekuatan bahari sebagai potensi yang besar di Jepara mesti diberdayagunakan agar bermunculan atlet-atlet daerah yang bisa berkontribusi dalam mengembalikan supremasi olahraga Indonesia.

Efek sampingan dengan adanya gelanggang olahraga bahari di Jepara tentu menjadikan kota ini diperhitungkan. Alangkah majunya jika Pemkab Jepara mampu mengembangkan sektor olahraga bahari guna menyambut kampanye Kemenpora tentang sport fishing, terlebih dengan telah dilaksanakannya Festival Internasional Pemuda dan Olahraga bahari (FIPOB). Sebelum terlambat mari berbenah bersama. (35)

Sumber : Suara Merdeka, 01 Juni 2009