Kamis, 26 November 2009

Kurban dan Komunikasi

Sumber: Suara Merdeka, 26 November 2009

Oleh Akhmad Efendi SPdI
guru di Madrasah Aliyah Wahid Hasyim Bangsri Jepara

BEGITU
banyak pesan yang terkandung dalam peristiwa kurban. Makna yang sering muncul dalam momentum peringatan Idul Adha adalah agar setiap manusia berusaha menghilangkan ego dan membunuh sifat-sifat kebinatangannya. Sifat-sifat negatif itu lantas diganti dengan keinginan untuk mendekat diri kepada Allah.

Dalam tulisan ini, saya mencoba memberi makna lain dalam peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim atas perintah Allah terhadap putranya, Nabi Ismail, yang kemudian diganti dengan domba dari surga.
Nilai penting yang juga terkandung dalam kisah itu adalah ajakan yang sangat jelas untuk mengedepankan proses komunikasi.

Ibrahim yang berposisi sebagai seorang bapak tidak bertindak otoriter dalam memberi instruksi terhadap anaknya Ismail meski mendapat perintah dari Allah. Ibrahim justru mengajak diskusi Ismail dalam artian meminta pendapat tentang mimpi yang dialaminya.

Proses komunikasi harmonis yang terjalin dalam hubungan bapak-anak itu sejatinya juga menjadi pesan yang tidak kalah penting. Dalam peristiwa itu, yang dikedepankan adalah sikap saling legawa untuk menerima peran masing-masing.

Di tengah gonjang-ganjing nasional mulai dari peristiwa bencana, kecelakaan, hingga kasus korupsi, masyarakat kita semestinya tetap menjaga jalinan komunikasi agar bangsa ini tidak makin terpuruk. Saling bertukar pendapat agar sikap apatis terhadap bangsa tidak semakin parah.

Terlebih dalam dunia pendidikan yang juga sedang dilanda banyak isu. Rencana pengubahan format pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang digulirkan Mendiknas Muhammad Nuh jelas sangat memerlukan sosialisasi dan komunikasi dengan banyak pihak.

Rasional
Berkaca pada kisah Ibrahim, meski mendapat banyak kritikan, Mendiknas harus bisa membangun komunikasi dengan penjelasan yang rasional terkait rencana-rencana pembenahan pedidikan nasional. Hal itu diperlukan sebagai rangkaian proses tesis, antitesis, dan sintesis.

Di ranah praksis, masih bermunculan kasus-kasus kekerasan oknum guru terhadap murid dalam proses belajar mengajar. Hal itu terjadi dikarenakan buntunya komunikasi antara guru dengan murid. Hasilnya, relasi yang terbangun tidak untuk bekerja sama meraih hasil belajar yang baik, tetapi keinginan saling menaklukkan.

Hal ini perlu diperhatikan para guru agar tidak menjadikannya sebagai cara berpikir. Perlu diingat kembali proses belajar mengajar adalah sebuah sistem yang termasuk di dalamnya adalah guru, murid, dan metode yang membutuhkan kerja sama harmonis.

Semoga dalam momentum peringatan Idul Adha ini, seluruh elemen bangsa semakin cerdas dalam berkomunikasi. Sehingga kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi semakin mengecil. (45)

Senin, 09 November 2009

Guru Profesional, Bukan Tawaran

Sumber: Suara Merdeka, 09 November 2009

Oleh M Saifuddin Alia
guru MTs Negeri Wirosari Grobogan dan Madrasah Aliyah Ismailiyyah Jepara


TULISAN
Agus Wibowo, ”Menjadi Guru Profesional” (Suara Merdeka, 12/10) menarik dikajirenungkan. Khususnya, bagi guru yang telah menerima tunjangan profesi. Apalagi pemberlakuan PP Nomor 41 Tahun 2009 berupa realisasi tunjangan guru ke depan selalu melekat pada gaji setiap bulan (Suara Merdeka, 21/10). Jadi sepantasnyalah bila mereka tergugah oleh tulisan Agus Wibowo tersebut.

Inti tulisan itu, secara keseluruhan, menuntut para guru yang telah menerima peningkatan kesejahteraan berupa berbagai tunjangan, terutama tunjangan profesi, bisa berlaku secara profesional. Itu berarti mereka mampu menjadi pendidik profesional. Nah, pertanyaannya sekarang, sudahkah mereka menjadi guru profesional?

Bila jawabannya sudah, mereka wajib mempertahankan dan meningkatkan. Namun bila jawabannya belum, mereka sepaturnya berjuang untuk secepatnya menjadi guru profesional. Mengingat, menjadi guru profesional saat ini bukanlah tawaran, melainkan suatu keniscayaan atau kewajiban bagi setiap pendidik.

Memang, menurut pendapat Langeveld, guru hanyalah salah satu dari lima komponen penting dalam pendidikan. Namun jika dilihat dari realitas saat ini, guru mempunyai posisi paling vital di antara komponen-komponen lain dalam pendidikan.

Sebab, guru merupakan penentu pola dan warna komponen lain. Maka tak berlebihan jika dalam budaya masyarakat Jawa dikenal istilah guru kuwi sumur kang lumaku tinimba.

Bagaimanapun harapan masyarakat sekarang terhadap guru masih sangat tinggi.

Karena, masyarakat yakin hanya di tangan gurulah, harapan untuk membangun generasi penerus yang lebih berkualitas dapat terwujud.

Harapan masyarakat terhadap guru itu tidaklah berlebihan, mengingat guru hakikatnya adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan anak didik.

Nah, mengingat tugas, tanggung jawab, serta peran guru begitu besar, setiap guru dituntut selalu profesional dalam melaksanakan tugas kependidikan.

Dan, untuk dapat dikatakan profesional, setidak-tidaknya seorang guru harus memiliki kemampuan dasar yang sering disebut kompetensi.

Pertama, guru mesti mampu menguasai landasan kependidikan. Kedua, menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan menguasai bahan pendalaman bidang studi. Ketiga, mampu memanfaatkan sumber dan media belajar. Keempat, mampu mengorganisasikan materi dan program belajar.

Kelima, menguasai serta mampu memilih dan melaksanakan metode pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran tertentu. Keenam, mampu mengelola kelas dan interaksi belajar-mengajar. Ketujuh, mampu mengetahui dan menggunakan assessment siswa. Kedelapan, mampu mengenal fungsi program bimbingan konseling.

Kesembilan, mampu mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah dengan baik. Kesepuluh, mampu memahami hasil-hasil penelitian pendidikan untuk keperluan pengajaran.

Akhirnya, itulah minimal kompetensi profesional yang harus dimiliki setiap guru. Bila seluruh guru di Tanah Air, terutama guru yang telah memperoleh tunjangan profesi, mempunyai kompetensi tersebut, niscaya mutu pendidikan ke depan akan makin baik. (53)

Senin, 02 November 2009

Penyelamatan Pulau Panjang Jepara

Sumber: Suara Merdeka, 02 Nopember 2009

Oleh Muh Khamdan
pemerhati kajian pembangunan dan fungsional widyaiswara di BPSDM Depkumham RI

Pengakuan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Jepara Achid Setiawan mengenai kerusakan pesisir pantai Jepara dan beberapa pulau sungguh memprihatinkan.

Hal demikian setidaknya memiliki korelasi dengan hasil penelitian Sri Puryono Karto Soedomo bahwa hampir keseluruhan hutan mangrove di pantura dalam kondisi rusak; sekitar 96,95 persen yang tentunya meliputi wilayah Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, sampai pada Rembang.

Rusaknya pesona kealamian hutan mangrove seiring dengan krisis lingkungan secara global yang meningkatkan kualitas pemanasan global menjadi dentum ancaman menyusutnya luas daratan secara keseluruhan.

Terlebih melemahnya kualitas lingkungan pesisir Jepara yang ditandai ancaman abrasi telah menghapus beberapa wilayah daratan Desa Bulak.

Kerusakan yang terjadi dulu dan sekarang ini memang tidak disebabkan oleh satu faktor berupa alih fungsi lahan, begitu banyak faktor yang membuat proses abrasi semakin akut, yaitu hilang atau ketiadaan hutan mangrove sebagai vegetasi hijau asli pesisir.

Pertanyaan sekarang apa yang harus dilakukan? Tidak bisa lain pemerintah daerah (Pemda) dalam lintasan jalur Pantai Utara, termasuk Kabupaten Jepara harus membuat gerakan bersama berupa Mangrove Center. Sebuah gerakan lintas sektoral yang berfungsi untuk membudidayakan ragam jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi pesisir yang berbeda-beda.

Selain itu, Mangrove Center juga memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil secara holistik.

Artinya, menjaga agar kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan.

Langkah demikian karena memahami bahwa terjadi siklus alam yang saling berpengaruh. Vegetasi pesisir berupa mangrove dalam aspek biologinya merupakan tempat berpijahnya udang, ikan, dan kepiting. Adapun untuk aspek kimiawinya mampu menyerap polutan.

Untuk itu, jika mangrove gundul maka polutan dari udara maupun daerah hulu tidak bisa lagi dinetralisasi karena ketiadaan fungsi hutan yang menghasilkan oksigen dan menyerap CO2 serta polutan-polutan lain.

Terlebih hutan mangrove adalah tameng untuk memecah sekaligus penahan gelombang laut yang besar karena selama ini infrastruktur fisik seperti breakwater dari beton yang menelan dana ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah tidak mampu menekan laju abrasi kawasan pesisir.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut adalah mengintegrasikan ekonomi ke dalam lingkungan. Untuk menjamin pembangunan berwawasan lingkungan tersebut, terdapat tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan.

Pertama, dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi.

Kedua, dimensi politik yang mencakup proses politik yang menentukan penampilan pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan.

Ketiga, dimensi sosial budaya yang mengaitkan antara tradisi atau sejarah dengan dominasi teknologi, pola pemikiran, dan agama.

Salah satu masalah besar dalam orientasi pembangunan yang berlangsung selama ini adalah adanya kebiasan terhadap kota.

Masyarakat-masyarakat pesisir tersingkir dengan lingkungan huniannya sendiri karena adanya perumahan atau hotel di kawasan pantai dengan slogan ’’kota di desa’’.

Bahkan ada semacam kesengajaan dengan berdirinya kawasan industri atau pabrik olahan di sepanjang pantai.

Daerah pantai harus diperuntukkan bagi ruang publik berupa rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata agar tidak tereksploitasi secara massif.

Karena setelah diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah justru terjadi percepatan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan.

Jackson melalui bukunya Crabgrass Frontier (1985) memaparkan adanya tren masyarakat modern melakukan perpindahan dari pusat kota menuju pinggir kota.

Maka pernyataan Jackson yang lebih dari dua puluh tahun tersebut menjadi pembenaran ketika sekarang usaha properti bangkit dengan menawarkan surga hunian secara besar-besaran melalui ekspansi daerah pinggiran kota.

Ironisnya itu menjorok menuju kawasan pesisir pantai karena keindahan. Argumentasi penghematan lahan perkotaan yang kian menyempit serta mengurangi masalah psikologis masyarakat perkotaan dan gaya hidup back to village justru mengancam kawasan vegetasi alam pesisir berupa hutan mangrove.

Pergumulan dari perebutan wacana tersebut adalah amanat eksplisit bahwa lingkungan menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, pasal 28 Bab XA UUD 1945 tentang HAM.

Sebagaimana lingkaran tematis Peter L Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.

Untuk kepentingan pembangunan hunian atau industri dan objek lainnya, hutan mangrove yang berkaitan dengan ekosisitem pesisir mengalami kerusakan. Imbasnya, penangkapan secara berlebihan (over fishing) yang mengancam pasokan ikan di Laut Jawa tidak mampu diimbangi adanya klaster perikanan lain seperti udang yang sangat tergantung keberadaan hutan mangrove.

Dengan demikian, lebih cepat lebih baik terwujudnya Mangrove Center sebagai polisi atas vegetasi hijau dan lingkungan pesisir seiring dengan keberadaan Perda Pesisir untuk kesejahteraan masyarakat pesisir kembali. (80)