Sabtu, 29 Agustus 2009

Jejak Urwah, Buron Terorisme

Ponpes Al-Muttaqin: Kami Tidak Mengajarkan Kekerasan

Oleh Rosidi

Ponpes Al-Muttaqin di Sowan Kidul, Kabupaten Jepara disorot, karena salah satu buron kasus terorisme, Bagus Budi Pranoto alias Urwah, pernah nyantri di sekolah itu. Pengapus ponpes menegaskan ponpes Al Muttaqin tidak mengajarkan kekerasan.

"Kami tidak mengajarkan kekerasan," kata KH Sartono Munadi, pengasuh Ponpes Al-Muttaqin saat ditemui detikcom Selasa (25/8/2009) lalu di rumahnya yang teduh di kompleks pesantren. Ustad Sartono tampak santun dan bersahabat.

Bangunan rumah Kiai Sartono sederhana, namun cukup teduh. Rumah
bercat putih berpagar merah itu memiliki halaman samping yang cukup luas.
Sebuah mobil Suzuki Carry terparkir di halaman rumahnya. Sementara di dalam rumah, terdapat lima kursi dan sebuah meja bundar, yang di atasnya, terletak empat kitab yang cukup tebal.

Kiai Sartono menceritakan perihal pesantren yang dirintisnya sekitar 20 tahun lalu. "Kami sama dengan pesantren pada umumnya. Hanya dalam penyampaian, kami menggunakan bahasa pengantar Bahasa Arab, Inggris dan Indonesia, agar santri yang dari luar Jawa juga bisa memahami," ujar dia.

Sementara kitab-kitab yang diajarkan, antara lain Aisarut Tafaasir, Silsilah Tafsir, Fikih Sunnah dan Minhajul Muslim. "Tidak ada yang beda. Sementara untuk tauhid, kita memakai kitab Qidah Thahawiyah karya Dr. Sholeh Fauzan," terang Kiai Sartono yang sehari-hari juga berprofesi sebagai petani dan berdagang konveksi kecil-kecilan.

Terkait dengan isu terorisme saat ini yang lagi jadi perbincangan hangat, Kiai Sartono mengaku tidak pernah merasa mengajari santrinya menjadi teroris atau melakukan tindak kekerasan lain. "Kalau ada alumnus ponpes saya, mungkin karena setelah lulus, ia terbawa arus dengan teman atau ia belajar dengan siapa. Pergaulan sekarang kan kompleks," tutur dia.

Pada prinsipnya, menurut dia, pihaknya mendirikan pesantren dengan bekerja dan ikhlas, agar bisa membantu pemerintah menyiapkan generasi yang cerdas dan berkahlaq. "Kalau pemerintah mencari-cari kejelekannya saja, pasti dapat. Di manapun. Tetapi apakah pemerintah memperhatikan dan memberi apresiasi kepada pesantren sebagai lembaga pendidikan yang notabene wajah Islam Indonesia," tegas Kiai yang mengaku ponpesnya tidak ada sangkut paut atau hubungan apa pun dengan Abu Bakar Ba'asyir.

Hingga Sabtu (29/8/2009) polisi belum bisa menangkap Urwah, yang menjadi buron kasus bom Marriott dan Ritz-Carlton. Jejak terakhirnya, Urwah tinggal di sebuah rumah di RT 01 RW 04 di kampung Buntarejo, Kadokan, Grogol, Sukoharjo. Dia masih terlihat pada 7 Agustus 2009, beberapa jam sebelum polisi melakukan penggerebekan di Jatiasih da Temanggung.

Sumber: Detik.com, 29 Agustus 2009

Jumat, 28 Agustus 2009

2 Pulau di Karimunjawa Dikelola Asing

Oleh Rosidi

Di
tengah kontroversi penjualan pulau di internet, ternyata ada fakta pulau-pulau di Indonesia sudah biasa dikelola asing. Di kepulauan Karimunjawa saja, ada dua pulau yang dikelola oleh orang berkewarganegaraan asing (WNA).

Berdasarkan data dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, saat ini ada 8 pulau di Karimunjawa yang dikuasai oleh perorangan. Dua pulau yang dikelola WNA adalah Pulau Menyawakan dan Pulau Kumbang.

Pulau Menyawakan tercatat dikuasai oleh Mr Lak dan Mr Hands. Sementara Pulau Kumbang dikelola oleh nama Mr Jell. Ketiganya memperoleh izin pengelolaan pulau karena mereka menikah dengan perempuan berkewarganegaraan Indonesia.

"Pengelolaan lahan Karimunjawa oleh pihak asing hanya bersifat penanam modal di bidang pariwisata dan pembangunan resort," kata Ketua Balai Taman Nasional Karimun Jawa Hariyanto, Jumat (28/8/2009).

Hal itu juga dibenarkan oleh Bupati Jepara Hendro Martojo. Dia memastikan, meski dikelola pihak asing, pulau-pulau tersebut masih di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten Jepara.

"Pulau-pulau itu masih di bawah pengawasan kami," tandas Hendro.

Boleh jadi pulau-pulau tersebut memang tidak 'dijual', namun tokoh masyarakat di kepulauan Karimunjawa khawatir, pulau-pulau yang masih indah tersebut akan rusak karena pengelola hanya mementingkan sisi bisnis.

"Karimunjawa harus diselamatkan dari tangan orang-orang yang hendak mengeruk kekayaan alamnya tanpa peduli terhadap kelestarian lingkungannya," kata Kepala Sekolah di Madrasah Safinatul Huda, Karimunjawa, Hisyam Zamroni.

Dia pun berharap, pemerintah dapat mengawasi sehingga perusakan lingkungan di Karimunjawa tidak terjadi. "Kearifan lokal di Karimunjawa harus dijaga, jangan sampai tergerus oleh zaman dan hilang. Kearifan lokal itu kan identitas masyarakat," katanya.

Akhir-akhir ini, penjualan pulau yang berada di kawasan Indonesia ramai dibicarakan. Terbaru, tiga pulau di kepulauan Mentawai diiklankan 'for sale' di situs Private Islands Online.

Iklan itu tentu saja mengundang kontroversi. Departemen Dalam Negeri pun akan meminta klarifikasi pada Gubernur Sumatera Barat tentang hal itu.

Sumber: Detik.com, 28 Agustus 2009

Kamis, 27 Agustus 2009

Melongok Ponpes Al Muttaqin Jepara

Tak Ada Yang Perlu Dicurigai di Ponpes Urwah

Oleh Rosidi

Dulu
Ponpes Al Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Ponpes Daarussyahadah Boyolali disorot karena beberapa tersangka terorisme pernah belajar di pondok ini. Kini, setelah Bagus Budi Pranoto alias Urwah menjadi buron, Ponpes Al Muttaqin Jepara juga disorot. Urwah alumnus ponpes ini.

Bagaimana sebenarnya aktivitas di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Muttaqin? Detikcom telah berkunjung ke Pondok Pesantren ini pada Selasa (25/8/2009) lalu.

Ponpes ini terletak relatif jauh dari pusat kota Jepara, Jawa Tengah. Namun, untuk menemukan ponpes yang terletak di Desa Sowan Kidul, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara ini, tidaklah sulit. Nama Ponpes ini dikenal oleh warga di Kecamatan Kedung.

Berada di lahan sekitar 2 hektar, saat ini Ponpes tersebut memiliki sekitar 750 santri yang berasal dari kabupaten atau kota dari berbagai pelosok nusantara, termasuk NTB dan NTT. "Santri ada yang datang dari NTB, NTT, Lampung, Bekasi dan lain sebagainya," kata Abdurrohman, ustad kelahiran Kota Gudeg, Yogyakarta.

Usia pondok ini tidak setua Ponpes Ngruki. Pondok ini baru berdiri tahun 1988 dan sudah mengantongi izin secara sah sebagai lembaga pendidikan. Ponpes ini terdiri dari dua jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara SMP dan Madrasah Aliyah (MA), setara dengan SMA.

Pemantauan detikcom, suasana ponpes ini tidak berbeda dengan Ponpes lainnya. Di bagian depan, terdapat sebuah gerbang terbuat dari bambu. Di dalamnya, terdapat pos jaga, dengan lima orang yang sedang berjaga sembari membaca kitab maupun buku pelajaran.

Di depan pos jaga, ada ruang tamu terbuat dari kayu yang cukup sangat unik. Plang di depan ruangan bertuliskan 'Ruang Tamu' itulah yang menandaskan tempat merupakan tempat untuk menyambut orang luar pondok yang hendak bersilaturrahmi.

Di samping ruang tamu, ada masjid yang cukup bersih. Beberapa santri nampak membaca al-Qur'an. Maklum, di bulan puasa ini, mereka diminta oleh ustadnya untuk memperbanyak amal sholeh, baik dengan membaca al-Qur'an maupun berdzikir.

Pada Ramadan ini, kegiatan mengaji, selain kegiatan rutin, ditambah. "Setiap sore ada kegiatan mengaji kitab dan al-Qur'an. Sementara habis shubuh, diadakan kuliah pagi yang diisi oleh santri secara bergantian," terang Abdurrohman, alumnus Ponpes Al-Muttaqin yang sudah tiga tahun ikut membantu mengajar.

Secara kasat mata, tidak ada yang perlu dicurigai terhadap ponpes ini. Namun, menurut sumber detikcom di kepolisian, karena salah satu alumnusnya, Bagus alias Urwah, menjadi tersangka kasus bom JW Marriott Jakarta dan The Ritz-Carlton, maka ponpes ini pun dipantau aparat.

Tapi seperti sorotan terhadap Ponpes Ngruki dan Daarussyahadah sebelumnya, biasanya para tersangka terorisme itu tak melibatkan lembaga pendidikan tempat dia belajar. Demikian pula yang terjadi pada Ponpes Al Muttaqin. Apalagi, para pelaku terorisme sudah lama meninggalkan ponpes dan bergumul dengan komunitas, jamaah, organisasi, kelompok, atau jaringan-jaringan tertentu.

Sumber: Detik.com, 27 Agustus 2009

Rabu, 19 Agustus 2009

PLTN Muria Dan Problem Keseimbangan

(KOMPAS, 19 AGUSTUS 2009)

Oleh M Abdullah Badri

Lama tak tersiar kabar, bukan berarti rencana Pembangunan Listrik Tenaga Nuklir Balong, Semenanjung Muria Jepara, berhenti. Proyek yang dimotori Badan Tenaga Atom Nasional itu, pada tahun 2007 sempat menjadi isu nasional, bahkan internasional. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Cabang Jepara bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap rencana tersebut. Alasannya, mudarat yang ditimbulkan lebih terang daripada manfaat yang bisa diambil.

Meski rencana tersebut menurut pemerintah dimaksudkan sebagai langkah mengatasi krisis energi yang akan terjadi pada 2025, toh demikian reaksi warga terhadap rencana pembangunannya, ketika itu, masih tegas menolak. Bahkan, ketika penulis berkunjung ke sana, terpampang banyak spanduk di jalan-jalan setapak kampung yang menyatakan penolakan keras. ”Hidup Mati Warga Balong Tolak PLTN,” demikian salah satu bunyi spanduk itu. Apakah penolakan itu masih terdengar nyaring?

Setelah tidak diekspos media secara besar-besaran selama kurang lebih dua tahun, penolakan rencana seperti ditelan bumi. Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa tak ada perubahan dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Megaproyek yang mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bahkan ditargetkan beroperasi pada 2016.

Informasi tersebut berbeda dengan kabar yang saya terima dari seorang sarjana nuklir dari Jepara. Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah mendengar penolakan PLTN dari warga Balong, yang berbuntut pada keluarnya fatwa haram PLTN dari LBM NU Cabang Jepara, presiden memutuskan untuk menunda keputusan jalan dan tidaknya PLTN Muria hingga 2015.

Secara ideal, PLTN adalah perwujudan dari mimpi untuk membangun bangsa. Kita yakin pemerintah mencanangkan program itu untuk kepentingan rakyat banyak. Sumber energi yang diprediksi menelan biaya hingga Rp12 triliun itu rencananya dibangun dengan kekuatan hingga 6.000 mega watt (MW). Siapa pun akan mendukung rencana mulia itu.

Namun, dalam praktik, untuk mendapatkan dukungan itu harus melewati negosiasi agar tercapai apa yang disebut kesetimbangan sosial dan kultural. Terjadinya penolakan tegas dari warga Balong karena belum adanya kesetimbangan kepentingan bersama.

Tiga kesetimbangan
Warga yang daerahnya dijadikan lokasi proyek merasa khawatir akan bahaya PLTN sebagaimana kecelakaan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, 25 April 1986, yang menewaskan ratusan korban. Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa PLTN yang akan dibangun itu berbeda dengan yang dulu ada di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Jelas tidak akan terjadi kesetimbangan sosial, manakala mekanisme yang ditempuh adalah petak umpet, sembunyi-sembunyi.

Ketika penulis berkunjung ke Balong, banyak warga yang pada awalnya mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTN, padahal bangunan untuk melakukan kegiatan penelitian proyek tersebut sudah berdiri kokoh. Mereka mengetahui rencana tersebut setelah ada wartawan asing yang datang meliput ke desa. Jika cara ini yang ditempuh, jelas tidak akan menemukan kesetimbangan sosial, justru keriuhan.

Barangkali pemerintah merasa perlu membangun PLTN untuk memenuhi keseimbangan energi di masa depan. Sebuah harapan yang optimistis. Secara filosofis, Tuhan memang menciptakan alam ini dengan kesetimbangan ekologis yang pasti. Dunia dan alam ini adalah titipan Tuhan yang diberikan sepenuhnya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.

Jika manusia memanfaatkannya dengan baik, kebutuhan manusia akan tercukupi. Tidak akan ada kekurangan energi. Yang membuat bumi rusak adalah kerakusan. Mahatma Gandhi pernah berkata: bumi ini bisa menampung segala apa yang ada di atasnya, kecuali kerakusan dan keserakahan manusia. Apakah pembangunan PLTN berangkat dari kerakusan atau kesadaran mengelola amanat Tuhan, tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang yang berkepentingan.

Tiadanya kesetimbangan etis dalam pengelolaan PLTN pascapembangunan juga menyisakan problem. Banyak orang yang menyangsikan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk mengelola megaproyek yang akan menyedot biaya besar tersebut.

Mental masyarakat kita masih belum bisa dianggap mandiri, bersih dari korupsi, dan kecurangan politik. Banyak unsur human error yang dijadikan alasan beberapa pihak menolak ambisi pemerintah itu. Ada kekhawatiran, bila PLTN Muria benar-benar direalisasikan, bukan kesetimbangan energi dalam negeri yang tercipta, melainkan pengangkutan energi ke luar negeri.

Tiga problem kesetimbangan tersebut, yakni kesetimbangan sosial, ekologis, dan etis perlu diselesaikan pemerintah bila ingin memuluskan rencana tersebut. Pemerintah, yang terutama diwakili Pemerintah Kabupaten Jepara, harus berani menghadapi masyarakat yang menolak. Jangan sampai masyarakat terus dirundung kekhawatiran.

Selain itu, media juga harus memantau secara simultan perkembangan proses menuju kesetimbangan itu, agar berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku serta ketentuan-ketentuan hukum yang telah distandardisasi dunia internasional. Ini terutama berkaitan dengan proses negosiasi antara pemerintah dan warga.

Pernyataan Menneg Ristek yang terus melanjutkan rencana pembangunan PLTN Muria akan menemukan kebenarannya jika bisa menyelesaikan ketiga problem kesetimbangan tersebut. Pendekatan politik an sich, tanpa ada upaya-upaya mencapai kesetimbangan secara kultural hanya akan melahirkan ketidakpuasan massa di mana-mana.

Meratapi Pers Sekolah Jepara

Oleh M Saifuddin Alia
Konsultan di Smart Institute Jepara dan Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Wilayah Jawa Tengah


Harus diakui perkembangan pers sekolah di Jepara masih jauh dari keinginan. Berbeda dari pers sekolah di Kudus yang meningkat cukup tajam. Saat ini mayoritas sekolah atau madrasah di Kota Keretek itu telah memiliki majalah ataupun buletin.

Sebut saja Madrasah Aliyah (MA) Banat dengan El-Banat, SMA Al-Ma’ruf dengan majalah Suara Al-Ma’ruf, MA Qudsiyyah Menara dengan El-Qudsy, MA TBS Kudus dengan At-Thullab dan sebagainya.

Untuk itu, mengingat pers sekolah kian hari semakin urgen, maka mau tidak mau mulai sekarang pers sekolah di Jepara harus kita tata, bangun dan kembangkan bersama-sama. Memang untuk merintis dan membangun pers sekolah di Jepara tidaklah mudah, namun bila ada kesadaran seluruh komponen, niscaya membangun pers sekolah bukanlah pekerjaan yang sulit.

Apalagi bila ada kesadaran dan dukungan dari kepala sekolah, guru dan wali murid secara total. Niscaya tidak lama lagi pers sekolah di Jepara dari aspek kuantitas dan kualitas akan mampu bersaing dengan pers sekolah di Kudus.
Dukungan Pertama, dukungan kepala sekolah. Dukungan kepala sekolah se-Kabupaten Jepara sangatlah penting mengingat peranan kepala sekolah dalam konteks ini nyaris tidak ada bandingannya. Karena sesungguhnya pers sekolah ada maupun tidak ada di suatu sekolah atau madrasah sepenuhnya tergantung kepalanya.

Bila kepala sekolah menyetujui dan mendukung keberadaannya, maka terwujudlah pers sekolah. Tapi sebaliknya bila kepala sekolah tidak mengizini bahkan melarang, maka mustahil pers sekolah dapat terwujud.

Mengingat begitu besarnya peranan kepala sekolah dalam menentukan ada dan tidak ada pers sekolah, maka setiap kepala sekolah di Jepara dituntut memiliki pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pers sekolah. Dengan tercipta kesadaran ini, diharapkan ke depan seluruh kepala sekolah di Jepara mendukung secara total keberadaan dan kemajuan pers sekolah.

Bahkan lebih dari itu, setiap kepala sekolah juga diharapkan lebih bangga bila sekolahnya memunyai pers sekolah. Apalagi sampai mampu mengelola dan menerbitkan mading, buletin, tabloid, ataupun majalah secara konsisten.

Kedua, dukungan guru. Dukungan guru dalam hal ini tidak kalah urgen, sebab pada hakikatnya peranan guru dalam membangun pers sekolah sangatlah menentukan. Sebab bila kepala sekolah telah memberi izin atas keberadaan pers sekolah, maka eksistensi selanjutnya sepenuhnya tergantung pada guru.

Apakah pers sekolah dalam perjalanannya produktif atau tidak, bermutu atau tidak, maju atau stagnan, semua tergantung pada peranan guru. Maka guru dituntut untuk selalu proaktif dan konsisten dalam ikut membangun dan membesarkan pers sekolah.

Permasalahannya adalah saat ini baru sedikit guru yang mengerti, paham dan menguasai jurlistik serta mau dengan serius membimbing siswa. Inilah problem krusial bagi sekolah. Kebanyakan sekolah di Jepara tidak memunyai guru yang menguasai jurnalistik.

Untuk itu wajar bila sering pihak sekolah dan siswa justru kebingungan dalam mengelola pers sekolah, karena sama sekali tidak memiliki guru yang mampu mendampingi.

Nah, bila keadaannya memang seperti itu, kepala sekolah harus sigap dengan menugasi salah seorang guru, terutama guru bahasa Indonesia segera belajar jurnalistik. Bila dengan cara yang demikian dinilai kurang tepat, maka kepala sekolah bisa mencari tenaga (baca: orang) yang benar-benar mempunyai kemampuan jurnalistik untuk membimbing mereka.

Saya kira sekarang sudah banyak tersedia orang yang kemampuan jurnalistik. Utamanya para aktivis pers mahasiswa, baik yang telah memperoleh gelar sarjana maupun yang masih aktif kuliah. Mereka dapat dimintai bantuan membangun pers sekolah secara profesional.

Ketiga, dukungan wali murid. Dukungan wali murid dalam hal ini sangatlah menentukan. Sebab se-usia tingkat SMP dan SMA umunya masih patuh pada orang tuanya.

Mengingat begitu penting peranannya, segenap wali murid diharapkan dapat memberi nasihat pada anak-anaknya untuk masuk menjadi anggota pers sekolah. Hal seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh para wali murid di Jepara secara konsisten dan totalitas.

Akhirnya, itulah strategi untuk membangun pers sekolah. Bila hal tersebut mendapat dukungan totalitas dari Pemda dan seluruh perusahaan di Jepara serta dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, niscaya pers sekolah di Jepara akan tumbuh dengan subur, berkualitas dan dapat memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi siswa. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 19 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009

Lusuhnya Sang Sakaku

Cerpen Nur Halimah

Dikamar yang sempit dan pengap itu, Rano mengobrak-abrik seluruh isi lemari ibunya. Semua pakaian yang sudah tertata rapi pun kini berserakan dilantai rumah yang beralaskan tanah itu.

“Bu, benderanya dimana?” teriak Rano, sambil terus mencarinya diantara tumpukan pakaian yang masih tersisa dalam lemari.

Ibu yang mendengar teriakan Rano langsung beranjak dari duduknya dan menghentikan mengiris bawangnya. “Bendera apa Rano?” menyusul Rano yang ada dikamar.

“Ya ampun! Kamu ini apa-apaan?” tanya ibu heran dan melayangkan pandangannya kesemua sudut kamar. Ia sangat kaget dengan keadaan kamarnya yang berantakan. Ia belum sampai masuk kedalam kamar dan hanya berdiri didepan pintu kamarnya.

Rano hanya menoleh dan sama sekali tidak menggubris pertanyaan ibunya barusan. Ia masih sibuk mencari benderanya, “Benderanya mana bu? Bendera yang buat tujuh belasan,” ucapnya dengan wajah yang sangat kebingungan.

“Kamu cari dilemari yang paling bawah sana. Seingat ibu, dulu dia menaruhnya disitu,” lalu masuk dan memunguti semua pakaian yang berserakan ditanah.

Rano langsung jongkok dan mencari dibagian bawah lemari itu. Cukup lama sudah ia mengobrak-abrik seluruh lemari milik ibunya dan akhirnya setelah lama mencari ia bisa mendapatkan apa yang ia cari yaitu bendera.

Ternyata barang itu terselip diantara pakaian-pakaian yang sudah tidak layak pakai dan jelek.

“Ya! Ketemu bu benderanya!” teriak Rano kegirangan. Ia melompat-lompat diatas tempat tidur dan mengibar-ngibarkan benderanya.

Ibu yang melihat anaknya itu pun hanya bisa tersenyum sekaligus heran. Ia tak tahu kenapa anaknya itu tiba-tiba mencari-cari bendera merah putihnya, dan begitu senang ketika menemukannya.

Sejenak ia berpikir. Ia baru ingat kalau sekarang adalah bulan Agustus dan empat hari lagi adalah tanggal 17 Agustus yang artinya adalah hari kemerdekaan Indonesia. Setiap menjelang tanggal 17 itu, ada kebiasaan di desanya untuk memasang bendera di depan rumah sebagai tanda penghormatan pada para pahlawan.

Tiba-tiba Rano terdiam dan kembali duduk diatas tempat tidur, ia terlihat sedang memperhatikan benderanya dengan seksama. “Bu, benderanya kok bolong?” tanya Rano kecewa, ia menunjukkan bagian yang berlubang itu pada ibunya.

Lubangnya memang cukup besar untuk seukuran bendera milik Rano. Kondisinya juga kalau dilihat-lihat memang sudah sangat tidak layak pakai. Warnanya sudah pudar, bukannya merah dan putih lagi tapi sudah orange dan coklat. Selain itu juga ada banyak lubang-lubang kecil dibeberapa bagian.

Ibu meminta bendera yang sedang dipegang Rano itu, “Ya sudah, nanti ibu tambal yang bolong ini,” ucap ibu menenangkan Rano.

Tapi Rano masih belum bisa tenang dengan janji ibu barusan. Ia berlari dan keluar dari kamar ibunya dengan wajah yang murung. Ia pergi menuju kamarnya. Dikamar yang juga sangat sederhana dan berlantaikan tanah itu pula, Rano mengambil celengan semar kecil miliknya yang ia taruh didalam lemarinya. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, rasanya ringan sekali. Ia kemudian duduk diatas tempat tidurnya dan memangku celengan semarnya itu.

“Apa aku beli bendera yang baru saja ya? Pakai uang ini,” Rano bingung.

Ia sangat ingin sekali memasang bendera yang besar dan bagus didepan rumahnya, tapi bendera miliknya sudah tidak layak pakai. Tapi kalau ia membeli bendera dengan uang itu, ia harus merelakan uang tabungan yang seharusnya ia pakai untuk persiapan masuk SMA dua tahun lagi itu habis. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia berdiri dan BRAK!. Suara bantingan benda yang jatuh dan sangat keras.

Ibu yang mendengar suara benda yang jatuh dan pecah itu langsung berlari dari kamarnya dan menuju asal suara yang didengarnya, yaitu kamar Rano. “Ada apa Rano?” tanya ibu bingung sekaligus panik dan berdiri didepan pintu.

Rano menoleh dan mengarahkan pandangan matanya kelantai, ibu mengikuti arah mata Rano yang hanya terdiam. Dan betapa kagetnya ibu ketika melihat serpihan-serpihan celengan semar milik anaknya itu dilantai. Disitu juga berserakan pula uang recehan dan beberapa lembar uang kertas.

“Buat apa kamu pecahkan celengan itu nak? Itukan satu-satunya uang tabungan yang kamu punya?” tanya ibu kecewa.

Sambil memunguti uangnya yang berserakan ditanah, dan suara yang sedikit ketakutan serta menunduk Rano menjawab “Buat beli bendera bu.”

“Ibu kan sudah bilang akan memperbaiki bendera itu, kenapa kamu korbankan si semar,” menyusul Rano kedalam kamar dan duduk diatas tempat tidur.

“Tapi benderanya sudah jelek bu, Rano kan malu,” jawab Rano yang duduk disamping ibunya.

“Malu sama siapa?” tanya ibu heran.

“Malu sama para pahlawan kemerdakaan bu. Rano malu dengan beliau-beliau itu,” ucap Rano berapi-api Ia sudah lupa dengan ketakutannya tadi dan kini ia tiba-tiba menjadi sangat bersemangat menjawab pertanyaan ibunya barusan.

“Mereka sudah mengorbankan seluruh tumpah darah mereka dengan kemerdekaan kita bu, demi terbebasnya Indonesia dari para penjajah, masak kita nggak mau menghargai jasa-jasa dan segala pengorbanan mereka itu bu?” sejenak Rano berhenti.
“Apalah arti sebuah uang kalau dengan Rano memasang bendera yang layak dan indah dilihat itu, kalau para pahlawan yang berada disurga itu bisa bahagia, mereka akan merasa dihargai dengan itu bu,” ucap Rano berapi-api dan berdiri didepan ibunya.

Ibu yang mendengar seluruh orasi anaknya itupun kagum sekaligus bangga dengan sikap anaknya yang sangat menghargai para pahlawannya itu. Ia sama sekali tak menyangka kalau anaknya yang biasanya cengengesan dan tak peduli dengan sekitar itu bisa sangat dewasa kali ini.

“Memangnya uangmu sudah cukup nak?” tanya ibu.

Rano lalu menghitung uang yang ada ditangannya, terlihat ada uang recehan lima ratusan dan beberapa lembar uang kertas ditangannya. “Ada tiga belas ribu dua ratus rupiah bu,” Rano menunjukkannya pada ibunya. “Kira-kira cukup apa nggak ya bu?” lanjutnya.

“Ibu juga tidak tahu Ran, tapi kalau yang ukuran kecil mungkin sudah bisa terbeli,” ucap ibu sambil berpikir.

“Yang kecil ya bu?” tanya Rano kecewa.

Ibu mengangguk, lalu tak lama kemudian Rano pamit pada ibu untuk pergi kepasar yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya.

Rano menyusuri jalan dibawah teriknya matahari, ia sama sekali tak mempedulikannya.

Walaupun panas sangat menyengat dan menembus kulit, ia tetap bersemangat. Belum sampai Rano dipasar, ia sudah menemukan penjual bendera yang sedang berderet rapi di trotoar.

Ia menghentikan langkahnya didepan seorang penjual laki-laki yang sudah cukup tua usianya. Diantara pohon-pohon peneduh jalan diberinya tali untuk menaruh dan menggantung bendera-bendera yang dia jual.

Rano jongkok dan sibuk memilih-milih bendera merah putih yang ingin dia beli.

“Duh…yang mana ya yang harganya murah?” Rano bingung.

“Yang murah nak? Ini yang murah, sepuluh ribu sudah dapat,” ucap pak penjual tua itu memberi saran dan menunjukkan benderanya.

“Kok kecil ya mbah?” Rano kembali memilih dan mencari bendera yang berukuran besar.

Tak lama ia pun berhasil menemukannya. “Kalau yang ini berapa mbah?” menunjukkan bendera yang dipilihnya. Ukurannya sangat besar, kalau anda pernah melihat acara pengibaran bendera di Istana Merdeka, hampir sebesar itu ukurannya.

“Kalau yang itu ya lima puluh ribu nak, mbah tidak ambil untung. Buat kamu mbah sudah kasih diskon itu,” ucapnya dengan logat jawa yang medok.

Rano berpikir, dari mana ia bisa membeli bendera itu sedangkan uangnya hanya ada tiga belas ribu. “Ini nggak boleh ditawar mbah?” tanya Rano meyakinkan.

Lelaki itu menggeleng, lalu Rano kembali meneruskan memilih benderanya. Tak lama, tiba-tiba lelaki tua itu berkata pada Rano, “Titip dagangan kakek sebentar ya nak, mbah mau kencing kebelakang sana sebentar,” ucap si kakek lalu berdiri dan meninggalkan dagangannya.

Setelah agak lama kakek itu pergi meninggalkan dagangannya. Rano mulai memiliki pikiran yang jelek.

“Hei Rano, kamu ambil saja bendera yang kau inginkan,” entah dari mana ada suara itu, tiba-tiba saja terngiang ditelinganya.

Rano bingung, ia menoleh kekanan dan kekiri namun tak ada seorang pun yang berada disampingnya.

“Jangan Rano, itu tidak boleh. apa kamu mau mengecewakan para pahlawanmu itu?” terdengar suara yang serupa namun menyerukan hal yang berbeda.

Berulang kali ucapan serupa menghampiri Rano, ia sangat bingung dan juga bimbang.

Apakah ia akan mengikuti suara pertama ataukah suara yang kedua.

Tiba-tiba ditengah kebingungannya, ada seorang pria setengah baya yang menghampiri dan menepuk bahu kanannya. Rano menoleh, ia kaget karena ternyata yang menyapanya adalah pak Anton, ketua RT di daerah tempat tinggal Rano.

“Kamu mau ngapain Ran?” tanya pak Anton memulai pembicaraan.

“Ini pak, mau beli bendera.”

“Penjualnya mana?”

Tak berapa lama Rano dan pak Anton bercakap-cakap, datanglah kakek penjual bendera itu. Rano kemudian kembali menawar harga bendera yang ia inginkan itu, tapi kakek itu menolak harga yang diajukan Rano.

Mendengar perdebatan antara Rano dan penjual itu, pak Anton menjadi kasihan dan iba dengan keinginan Rano yang begitu menggebu-gebu untuk memiliki bendera yang dipilihnya.

Akhirnya Rano putus asa, ia berniat untuk pergi dan pindah pada penjual yang lain. Tapi tiba-tiba pak Anton mencegahnya. Rano tak jadi pergi dan ia kembali berdiri disamping pak Anton.

“Kamu benar-benar menginginkan bendera itu Rano?” tanya pak Anton.

Rano mengangguk, ia memang benar-benar menginginkan bendera itu. Dan tak begitu lama, ternyata pak Anton menyodorkan selembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya pada kakek penjual itu.

Betapa senangnya Rano ketika pak Anton menyerahkan bungkusan plastik hitam yang berisikan bendera yang dipilihnya. Ia tak henti-hentinya berucap terima kasih pada pak Anton, sang penolongnya.

Setelah pamit, ia langsung berlari pulang. Sesampainya ia dirumah, ia langsung menuju belakang rumah dan mengambil sebuah bambu panjang untuk mengibarkan benderanya. Ia langsung memasang bendera itu dengan segera. Setelah terpasang, ia memperhatikan dan tersenyum bangga melihatnya.

Ibu yang melihat dari dalam rumah, heran dengan bendera yang begitu besar berkibar didepan rumahnya. Ia menyusul Rano yang masih berdiri dibawah tiang bendera bambunya. Ibu tak bertanya dari mana Rano bisa membeli bendera yang begitu besarnya. Ia hanya menoleh dan terseyum bangga melihat bendera yang berkibar dengan anggunnya didepan rumahnya.

“Akhirnya Rano benar-benar bisa membuat para pejuang itu tersenyum bangga bu,” ucap Rano tanpa menoleh pada ibu dan tetap memperhatikan benderanya.
Ibu yang mendengar perkataan anaknya pun ikut tersenyum.

*Cerpenis muda asal Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan Jepara