Senin, 28 September 2009

Makna Simbolik Syawalan

Sumber: Suara Merdeka, 28 September 2009

Oleh Prof Dr Mudjahirin Thohir
antropolog Undip

Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian
kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.

Orang Jawa mengenal tiga ’’hari raya’’, yaitu Bada Besar, Bada Gedhe, dan Bada Kupat. Bada Besar. Kadang disebut juga Hari Raya Haji, menunjuk pada Idhul Adha (10 Dzulhijjah). Bada Gedhe, atau terkadang disebut Hari Raya Lebaran, adalah istilah lain dari Idul Fitri. Sementara Bada Kupat disebut juga Bada Syawal adalah hari raya yang merujuk pada tanggal 8 Syawal. Seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.

Kata ’’bada’’ sinonim dengan kata ’’lebar’’. Bada adalah pelafalan lidah Jawa atas kata ”bakda” (bhs. Arab). Namun demikian, istilah ’’lebaran’’ hanya diacukan pada Idul Fitri. Mengapa? Karena orang Islam secara massif berlebaran atau menyudahi atau ’’selesai dari’’ menjalankan puasa Ramadan selama sebulan.

Dalam praktiknya, istilah bakda (baca: bada) menunjuk pada waktu yang besar atau yang dibesarkan yang perlu diperingati terutama oleh orang Islam. Karena itu, secara sosiologis, istilah itu diduga muncul pertama kalinya dari komunitas santri.

Pada komunitas santri, terdapat tiga sel yang saling menghidupi, yaitu santri dalam arti pelajar di pesantren; kiai (guru di pesantren); dan pranata keagamaan yang disosialisasikan dalam dunia pesantren. Di komunitas pesantren itulah kiai men-sunnahmuaqqod-kan para santri untuk melakukan tambihus-syiam, yaitu puasa syawal.

Kalau puasa Syawal itu dikerjakan, maka kepadanya dijanjikan ampunan atas kesalahan (dosa) yang dilakukan setahun lalu. Ampunan Tuhan adalah urusan hablum minallah. Urusan sesamanya, yang disebut hablum minan-nas, juga harus diselesaikan. Jika keduanya dapat dijangkau dengan sempurna, maka ungkapkan kata: ’’Minal a’idin wal faidzin’’.

Kata ’’sempurna’’ atau ’’penyempurnaan’’ dalam bahasa Arab disebut kaffaat atau kaffatan. Dalam lidah Jawa, kata itu dilafalkan ’’kupat’’ atau ’’kupatan’’. Ini adalah dugaan awal mengapa pada tanggal 8 Syawal disebut Bada Kupat.

Kerabat dan Guru

Pada pada saat Bada Kupat ini, mereka baru bersilaturrahim kepada kerabat dan gurunya. Dari ujung ke ujung atau berkunjung sehingga kegiatan bersillaturahim ini diberi istilah ’’ujung’’.

Ada dua tujuan inti dari Ujung. Yang pertama, meminta maaf atau berharap untuk bisa saling memaafkan. Yang kedua, memohon (ngalap berkah) terutama dari guru atau kiai dan dari kerabat yang dituakan.

Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.

Dalam konteks ini, kupat-lepet sebagai ungkapan mengaku lepat atau luput. Pengakuan demikian penting karena itu kata kupat jika ditarik ke ranah filosofi Jawa bisa bermakna ’’nyukupke kang papat’’ (melengkapi empat hal), atau ’’laku kang papat’’ (melakukan empat hal). Keempat hal itu ialah (1) puasa Ramadan selama sebulan, (2) membayar zakat fitri, (3) shalat Id, dan (4) puasa enam hari pada bulan syawal.

Alur kognitif seperti itu dilakukan pada tanggal 8 Syawal sehingga untuk menandai semua hajat simbolik demikian disebut Syawalan. Di berbagai daerah, terutama di Jawa Pesisiran Utara, terdapat dua model bagaimana mengekspresikan ’’hari kemenangan’’ Syawalan.

Pertama, dalam bentuk pesta yang tidak terkait dengan napas keagamaan seperti pesta lomban di laut sebagaimana yang ditradisikan di Demak, Jepara, dan Rembang.

Dan yang kedua justru dinapasi oleh aura keagamaan, dengan melakukan berkunjung (baca: ziarah) ke makam leluhur seperti ke makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, atau ke makam Kiai Asy’ari (dikenal Kiai Guru) di Kaliwungu Kendal.

Ziarah ke makam penyiar Islam seperti itu, tidak didasarkan atas kesamaan waktu haul (ulang tahun kematian) tokoh yang bersangkutan, melainkan secara antropologis lebih didasarkan pada kewajiban etis santri berkunjung kepada Sang Guru usai menjalankan puasa tambahan (puasa Syawal).

Kewajiban berziarah seperti itu bertolak pada konsep guru di kalangan santri itu sendiri. Di kalangan santri, istilah guru, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, tetap ditempatkan sebagai ’’gurunya’’. Karena itu pula, di kalangan santri, tidak ada dan tidak dikenal istilah ’’mantan’’ guru.

Para santri yang kemudian membangun pesantren di daerah asal, yang berarti pula yang bersangkutan kemudian menjadi kiai sekaligus tokoh agama, memiliki santri dan umat seputarnya. Mereka, mengajak santri-santrinya untuk berziarah ke makam guru atau kiainya dalam waktu yang bersamaan, yaitu pada sekitar tanggal 8 Syawal.

Pola seperti itu, lambat laun berjalan secara massal, dan diikuti oleh puluhan ribu orang sebagaimana yang terjadi pada acara Syawalan di Kaliwungu Kendal. Inilah awal dari tradisi berziarah dan ziarah yang ditradisikan.

Efek seperti itu, tentu saja mengundang berbagai pihak (seperti para pedagang musiman dan penjaja permainan dengan segala hiruk-pikuknya). Syawalan menjadi semacam ’’pasar akbar’’ ketika masing-masing orang melakukan sejumlah transaksi, baik transaksi ekonomi, transaksi sosial, transaksi budaya, dan keberagamaan. (80)

Kamis, 10 September 2009

Lebaran Ke Pantai Teluk Awur Jepara, Duh Asyiknya!

Sumber: Suara Merdeka, 10 September 2009

Oleh
Fatkhul Muin

Salah satu pantai di kabupaten Jepara yang cukup indah dan menarik untuk di kunjungi adalah Pantai Teluk Awur. Disebut Teluk memang kondisi lautnya yang menjorok ke daratan, sehingga panjang pantai kalau dilihat tidak lurus memanjang namun mendekati bentuk setengah elips.

Dalam situs pemerintah kabupaten Jepara pantai Teluk Awur ini belum masuk pada daerah tujuan wisata kabupaten Jepara, namun demikian jika dilihat pantai ini tidak kalah menariknya dengan pantai Kartini Jepara ataupun pantai Tirto Samudra Bandengan.

Jika hari Minggu atau libur pantai ini cukup ramai dikunjungi oleh pelancong baik dari sekitar Jepara sendiri, ada pula warga luar kota Jepara yang juga mampir mencoba melihat keindahan pantai yang masih alami ini. Dikatakan alami pantai ini sama sekali belum terpoles oleh unsur pariwisata, tidak ada tempat parkir. Karcis tanda masuk maupun rumah-rumahan tempat untuk berteduh. Namun demikian pengunjung tidak akan kepanasan karena sepanjang pantai ini penuh dengan tanaman hijau yang dapat digunakan untuk berteduh. Wisatawan yang datang cukup dengan menggelar tikar dibawah rimbunnya tanaman sembari menikmati semilirnya angin pantai , indahnya ombak yang bergulung tak lupa menikmati bekal dari rumah sungguh nikmat rasanya.

Bukan itu saja sebagian pantai ini juga rimbun dengan tanaman mangrove yang ditanam oleh kamunitas pecinta alam dan pantai sebagai pilot proyek penanggulangan abrasi pantai yang saat ini telah menggerus pantai di Jepara khususnya bagian selatan. Mangrove ini tumbuh cukup rimbun sehingga cukup nyaman untuk tempat berteduh, Namun sayang saking rimbunnya kadang-kadang tempat ini digunakan pacaran para muda-mudi yang sedang dimabuk cinta.

Berenang sepuasnya
Untuk fasilitas pendukung meskipun cukup sederhana warga sekitar telah menyediakannya untuk kenyamanan para pengunjung. Tempat parkir misalnya untuk mobil tidak masalah disana tenpatnya cukup luas tinggal memilih ditempat mana kita mau parkir, untuk kendaraan roda dua bisa langsung diparkir di bibir pantai sehingga jika ramai Sepeda motor kelihatan berjajar rapi.

Untuk yang mempunyai hobi berenang Pantai Teluk awur kondisi airnya cukup bersih karena jauh dari lalu lalangnya perahu dan kapal, sehingga aman jika digunakan untuk mandi dan berenang. Bagi yang tidak bisa berenang warga sekitar telah menyediakan ban-ban mobil yang besar sehingga bisa digunakan untuk berenang dipinggir pantai, biaya sewanyapun relatif murah sekali pakai Rp 1.000-Rp 2.000. Begitu pula tempat mandi bilas, warga sekitar juga telah menyediakannya meskipun kondisinya sederhana namun bisa digunakan untuk membersihkan badan dari asinnya air laut.

Sehingga sayang jika kita telah sampai di pantai ini tidak nyebur ke laut, jadi bila pembaca mencoba datang jangan lupa membawa baju renang dan peralatan untuk mandi bila tidak ingin menyesal jika pulang.

Yang mempunyai hobi memancing pengunjung juga bisa menuntaskan kesenangannya di pantai ini. Selain ikannya cukup lumayan, juga kita bisa menyewa perahu jika ingin ke tengah laut.

Soal makanan, bagi pengunjung yang tidak membawa bekal warga menyediakan berbagai macam menu yang bisa dipilih, dari makanan kecil, minuman ringan sampai dengan nasi beserta lauk pauknya. Harganyapun relatif murah, sehingga bagi wisatawan yang kantongnya pas-pasan tidak ada halangan untuk mengunjungi pantai ini.

Khusus untuk Liburan hari lebaran, tempat ini juga menyediakan hiburan yang menarik misalnya pentas music atau kesenian lainnya. Oleh karenanya untuk liburan lebaran nanti tidak ada ruginya bila Anda menyempatkan mengunjungi obyek wisata pantai yang murah meriah ini. Selamat mencoba.