Jumat, 23 Oktober 2009

Kali Gelis Siapa yang Punya?

Sumber: Suara Merdeka, 23 Oktober 2009

Oleh Masruri
pengamat masalah sosial, tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati


Ketika investor sulit masuk wilayah Sirahan, penambang kemudian memilih lokasi sekitar 800 meter ke arah selatan. Itulah Kali Gelis yang berbatasan antara Desa Payak, Cluwak, Pati dan Desa Damarwulan, Keling, Jepara.

Ketika penambangan di lokasi tersebut sudah berlangsung enam bulan, reaksi penolakan mulai muncul dari warga Damarwulan yang mengklaim, areal penambangan berada di wilayahnya.

Sementara, pihak penambang meyakini areal tersebut masuk Desa Payak, Cluwak, Pati.

Selain klaim wilayah, keberatan warga Damarwulan terhadap penambangan tersebut karena melibatkan alat angkut puluhan armada truk.

Dalam kalkulasi mereka, akan terjadi ketidakseimbangan antara material (batu dan pasir) yang diangkut, dengan yang datang secara alami pada musim banjir.

Karena itu, adalah wajar jika kemudian muncul kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, juga sekaligus kecemburuan sosial karena masyarakat (di mana pun) memiliki image bahwa alam terdekat adalah “milik” masyarakat setempat.

Munculnya penambangan baru yang dilengkapi alat angkut lebih besar memberikan kesan bahwa milik mereka dikeruk, dibawa (keluar), dan yang menikmati hanya segelintir orang saja.

Beberapa penambang tradisional dan petani yang memanfaatkan bantaran Kali Gelis untuk membuka lahan persawahan pun menggerutu, “Kula namung kebagian blumbang ipun,” yang artinya saya hanya kebagian lubang bekas penambangan.
Tempo Dulu Kali Gelis seperempat abad silam adalah sungai yang bening dengan debet air yang melimpah. Sungai yang dalam legenda masyarakat pernah dilewati kapal Dampo Awang saat akan menemui Sunan Muria itu, kini mulai kehilangan keindahannya.

Kali Gelis kini sudah menjadi areal persawahan dan penambangan. Saat musim kemarau, Kali Gelis berubah menjadi hamparan bebatuan dan pasir.

Hanya sedikit air yang mengalir seakan membenarkan ramalan Jayabaya bahwa sebagian dari tanda datangnya zaman akhir adalah ketika sungai mulai kehilangan kedung.

Kali Gelis yang selama ini diposisikan sebagai “milik bersama” oleh warga yang tinggal di perbatasan Kabupaten Pati dengan Jepara, kini berubah fungsi menjadi “sungai industri”. Maka, pertanyaan pun muncul, kali ini milik siapa?

Tentang klaim batas wilayah, awal tahun 80-an pernah terjadi ketika warga Damarwulan mengklaim sawah yang berlokasi di tengah-tengah Kali Gelis, tepatnya di persil 97a yang sudah bertahun-tahun digarap warga Sirahan.

Dari peta berjudul “Resident Jepara Rembang” Pati - Tajoe Regentshap Distrik Desa Bakalan - Sirahan No. 72 = 70 in een blad Schaal 1 : 5000 yang disalin petugas pengairan bernama Mustamin tertanggal 6 September 1955 itu menunjukkan tanah (sawah) di tengah Kali Gelis itu masuk wilayah Desa Bakalan-Sirahan.

Pada peta tersebut, tertera Kali Gelis yang berada di wilayah paling barat Desa Sirahan masuk wilayah Pati.

Artinya, jika saat ini muncul klaim bahwa lokasi penambangan di Kali Gelis yang berada di selatan Desa Sirahan atau di antara wilayah Payang dengan Damarwulan, logikanya juga masuk wilayah Payak, Cluwak, Pati.

Namun, keterangan Kades Damarwulan, Keling, Jepara yang meyakini areal penambangan berada di wilayahnya juga harus dihargai.

Menurutnya, sebelum banjir bandang yang meluluhlantakkan areal persawahan di bantaran Kali Gelis tahun 2000, posisi alur Kali Gelis berada di sebelah timur areal penambangan.

Karena banjir bandang itu menyebabkan alur sungai bergeser ke arah barat. Artinya, lokasi yang saat ini ditambang disinyalir bekas sawah yang dulu digarap warga Damarwulan.

Keyakinan lain bahwa areal penambangan itu masuk wilayah Damarwulan karena di sebelah timur Kali Gelis - posisi saat ini - ada beberapa petak tanah (sawah) berleter C atas nama warga Damarwulan.

Negatifnya, petani yang menggarap lahan sawah di bawah lokasi penambangan mengkhawatirkan aktivitas penambangan mengakibatkan makin rendahnya posisi dasar sungai sehingga air tidak bisa naik mengairi sawah mereka.

Kompromi dengan latar belakang ekonomi biasanya lebih rasional dan sangat mungkin terjadi.

Namun jika aktivitas penambangan itu tidak memerhatikan kelestarian alam, hingga menyebabkan terganggunya kebutuhan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari menambang atau kemungkinan matinya jalur irigasi, maka warga tentu sepakat mengatakan: “Kalau air sudah tidak ada, manusia tidak bisa makan uang.’’ (80)

Senin, 19 Oktober 2009

Pengembangan Usaha Mikro

Sumber: Suara Merdeka, 19 Oktober 2009

Oleh Siti Rohmah
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang

Selama ini, usaha mikro hanya bergerak tanpa pendampingan dari pemerintah. Akibatnya, problem-problem yang ada di kalangan pengusaha mikro ini tidak bisa dideteksi. Contohnya adalah usaha batu bata di kawasan Demak, Semarang, Kudus, dan Jepara.

Kajian ini akan memperlihatkan secara deskriptif problem di Demak. Desa Karangsono yang terletak di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak terkenal dengan batu bata Penggaron, di sini terdapat 300 pengrajin batu bata.

Hampir setiap pengrajin memiliki beberapa karyawan yang dipekerjakan untuk membuat batu bata, sehingga hal ini sangat membantu perekonomian warga.

Nama Penggaron diambil dari nama salah satu kecamatan di Kota Semarang, tepatnya di daerah perbatasan Semarang-Demak. Itu diambil karena mengikuti pasaran walaupun tidak dibuat di Penggaron tapi karakteristiknya sama seperti batu bata di Penggaron. Selain batu bata penggaron ada juga jenis batu bata lain, yaitu batu bata Welahan dan Kudus.

Menyewa Tempat Namun ternyata masih banyak dari pengrajin batu bata yang masih menyewa tempat untuk proses pembuatan batu bata, tempat disewa selama beberapa tahun, setelah waktu penyewaan telah habis maka pengrajin batu bata harus mencari tempat penyewaan lain.

Meskipun hal ini sama-sama menguntungkan bagi pemilik tanah dan pengrajin batu bata, namun apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, maka akan menimbulkan masalah bagi pengrajin batu bata yang tidak mempunyai lahan. Harga sewa tanah semakin tahun akan terus naik.

Yang dituntut oleh para pengrajin batu bata adalah penyediaan bahan baku sebagai bagian dari mekanisme produksi dan tentang kesinambungan usaha terkait dengan status pengrajin batu bata.

Batu bata Penggaron terkenal kuat, tidak mudah patah, posturnya kasar dan pori-porinya yang banyak sedangkan batu bata Welahan dan kudus hampir sama. Kelebihannya batu batanya lebih halus, tidak kasar dan pori-porinya sedikit.

Cara pembuatan batu bata Penggaron memakai bahan dari tanah liat, brambut (kulit padi) dan kawul (limbah industri kayu yang kecil-kecil yang didapat dari industri pabrik kayu). Sedangkan batu bata Welahan dan Kudus memakai tanah liat dan brambut saja.

Sederhana Cara pengolahan batu bata Penggaron sederhana. Tanah biasa dicangkul dan dicacah kemudian disiram dengan air sampai hancur, setelah itu diberi brambut dan kawul. Campuran itu kemudian dicangkul dan diinjak-injak sampai homogen (menjadi satu). Hal itu diulang-ulang terus sampai tiga kali.

Setelah menjadi satu bahan siap dicetak menggunakan cetakan kayu, setelah batu bata aga kering batu bata ditata sigir (miring). Setelah kering batu bata dibawa ke Linggan (tempat pembakaran).

Biasanya kalau sudah terkumpul minimal 50.000 biji batu bata baru dibakar menggunakan kayu bakar, kayu bekas potongan gergaji atau kayu lebihan yang tidak dipakai. Limbah kayu dibeli di pabrik-pabrik kayu dengan harga Rp 1.800.000 pertruk. Proses pembakaran lebih memakan waktu sekitar 24-30 jam.

Setelah selesai dibakar batu bata dibongkar dan ditata dengan rapi sedangkan batu bata Welahan dan Kudus prosesnya hampir sama dengan batu bata Penggaron.

Bedanya dalam proses pembakaran hanya menggunakan brambut. Biasanya brambut dibeli dengan harga Rp 500.000 - Rp 600.000 per truk. Banyaknya batu bata yang dibakar minimal 10.000 biji.

Dari segi pemasaran antara batu bata Penggaron, Welahan dan Kudus hampir sama yaitu pembeli langsung datang atau menghubungi pengrajin batu bata.

Setelah itu batu bata akan dikirim ke tempat tujuan. Kalau dari segi harga batu bata Penggaron lebih murah dibanding dengan batu bata Welahan dan Kudus. Untuk saat ini harga batu bata penggaron Rp 270 per biji, batu bata Welahan Rp 300 per biji, batu bata Kudus 400 per biji.

Kendala yang dihadapi oleh pengrajin batu bata, kalau musim kemarau sering kekurangan air, padahal untuk proses pembuatan air adalah komponen yang sangat penting, namun hal itu dapat diatasi oleh pengrajin dengan membuat sumur di sawah yang dekat dengan lokasi pembuatan batu bata. Kalau air tidak mau keluar maka sumur dibor sampai keluar.

Kalau musim penghujan kendalanya adalah batu bata tidak bisa kering dalam waktu cepat sehingga mengakibatkan kenaikan harga di pasaran karena kekurangan stock.

Selama ini dapat diatasi dengan cara menyimpan persediaan stock untuk musim penghujan sehingga di saat musim penghujan tidak akan kekurangan stock bagi konsumen.

Rekomendasi yang diharapkan oleh pengrajin batu bata adalah tindak lanjut dari pemerintah secara intensif dalam bentuk modal yang berupa kredit lunak. Ini diambil dari subsidi nonenergi sekitar 83 trilyun untuk kemajuan ekonomi mikro dan industri dalam skala kecil.

Perlu pula pendampingan dalam usaha informal sehingga para pengrajin batu bata mampu mengembangkan usahanya secara mandiri dan tidak tergantung pada penyewaan lahan. (80)

Kamis, 15 Oktober 2009

Mudahnya Dapat Sarjana di Jepara

Sumber: Suara Merdeka, 15 Oktober 2009

Oleh Rhobi Shani, S.Pd
alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, tinggal di Tahunan Jepara

Di Jepara banyak beredar sarjana karbitan, terutama sarjana pendidikan (SPd). Pasalnya, proses kuliah memperoleh gelar tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 60/1999. Selain itu, diduga menyalahi surat edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti Nomor 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007.

Surat yang ditandatangani Satryo Soemantri Brodjonegoro melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu. Surat yang ditujukan kepada Rektor Institut/ Universitas Negeri, Ketua Sekolah Tinggi Negeri, dan Koordi-nator Kopertis Wilayah I-XII tersebut menetapkan bahwa ijazah kuliah kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.

Surat edaran tersebut pun sudah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabu-paten Jepara. Surat edaran keluaran Pemkab Jepara yang ditujukan kepada pimpinan instansi sekolah dan dinas. Isinya serupa dengan surat edaran Dirjen Dikti, yaitu mengintruksikan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karier/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.

Sayang, surat edaran itu tak dikaji dan ditindaklanjuti jajaran Pemkab Jepara. Misalnya, dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2008 banyak pelamar yang menggunakan ijazah hasil kuliah jarak jauh. Seperti yang diberitakan Suara Merdeka (28/9).

Ijazah dua calon CPNS guru bahasa Jawa formasi 2008 yang diragukan oleh Badan Kepegawaian Nasional adalah ijazah hasil perkuliahan Jarak Jauh di Universitas Veteran (Univet) Sukoharjo yang diselengarakan di Jepara.

Salah satu mahasiswa berinisial MS menceritakan proses perkuliahan yang menyalahi aturan itu. Mahasiswa angkatan 2005 itu sebelumnya bekerja di Pabrik Karung Pecangaan menceritakan, perkuliahan dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu Jumat dan Minggu.

Sumber lain menceritakan, ada tenaga pengajarnya tidak dosen, melainkan guru SMP yang mengajar Bahasa Jawa. Dari proses perkulihan ini sudah tampak jelas telah menyalahi surat edran Dirjen Dikti.

Dalam pemebritaan media ini (28/9) proses kuliah tersebut dilaksanakan di gedung milik SMP N 1 Mlonggo. Kemudian, proses perkuliahan dipindahkan ke Desa Kedungcino.

Tak salah jika ijazah yang diperoleh dari kelas jauh dan Sabtu-Minggu ini dianggap tidak sah karena ada kesengajaan dari pihak perguruan tinggi mempermudah proses mendapatkan gelar sarjana.

Pada proses perkuliahan kelas jauh yang diselenggarakan Univet Sukohar-jo di Jepara tampak tak serius. Ini terjadi pada masa Praktik Profesi Lapangan (PPL) yang dilakukan mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang melaksanakan PPL tidak mengajar sesuai bidang studi jurusan kuliah yang diambil.

Seorang guru tersebut menceritakan bahwa dalam perangkat pembelajaran, misalnya Rancangan Proses Pembelajaran (RPP) tidak tercantum nama mata pelajaran. Padahal, dalam perangkat pembelajaran nama mata pelajaran adalah hal pokok yang harus dicantumkan.

Melihat peluang menjadi PNS guru bahasa Jawa cukup besar, banyak masyarakat Jepara mengikuti perkuliahan jarak jauh yang diselenggarakan Univet.

Mayoritas mahasiswa kelas jauh Univet adalah mereka yang sudah bekerja. Di antaranya telah menjadi guru tidak tetap SD dengan menggunakan ijazah DII.

Salah seorang dosen Jurusan Bahasa Jawa Univet Sukoharjo, Masukardi, mengakui instansinya memang menyelenggarakan kuliah Jarak Jauh.

Namun, baginya itu tak menjadi soal, sebab perkuliahan dilakukan dengan tatap muka. Berbeda dengan UT yang tak melaklukan perkulihan tatap muka. Dia menambahkan, kualifikasi tenaga pengajar di UT tidak bisa menjadi jaminan.

Apa yang disampaikan dosen tersebut jelas, pihak Univet menyalahi atauran Dirjen Dikti, yaitu memaksakan diri melaksanakan perkuliahan jarak jauh.

Sebetulnya, pelaksanaan perkuliahan jarak jauh boleh-boleh saja asalkan perkuliahan yang diselenggarakan UT. Sebab hanya UT diperbolehkan. Selain itu, bagi mahasiswa kelas jauh atau Sabtu-Minggu yang sudah bekerja harus ada surat izin kuliah dari pimpinan instansi tempat bekerja.

Persoalan ini saya kembalikan kepada pemerintah Kabupaten Jepara. Apakah akan mempekerjakan orang-orang yang memperoleh gelar sarjana dengan cara seperti itu. Atau berani mengambil sikap tegas menolak sarjana-sarjana karbitan tersebut. Sebagai guru saya prihatin akan kondisi ini. (80)

Kamis, 01 Oktober 2009

Dari yang Lirih Sampai yang Lantang

Sumber: Annida, 01 September 2009


Cerpen Adi Zam Zam


Apakah kalian pernah mendengar nama Negeri Kegelapan?

Negeri itu adalah tempat di mana kalian yang mengaku berani membela kebenaran dan keadilan diculik dan lalu disiksa hingga kelian menyerah. Apakah kalian benar-benar teguh pendirian, ataukah sekedar pandai memulas bibir dengan segala kalimat megah akan segera terlihat nanti. Jarang ada yang bisa melepaskan diri dari sana. Andai kau sanggup melepaskan diri dari mereka, kau pun tak kan bisa menikmati kehidupan normalmu dengan tenang dan nyaman. Hidupmu akan rusak dan bahkan mungkin kau akan bunuh diri jika imanmu tidak benar-benar karang.

Kalian ingin tahu di mana letak Negeri Kegelapan?

Jangan tanya aku. Sebenarnya aku hanya tahu sedikit dari cerita mereka yang berhasil meloloskan diridari Negeri Kegelapan. Aku dan teman-temanku bahkan sedang memburu letak tempat itu, karena ayahku adalah salah seorang yang disekap oleh mereka, dan hingga detik ini beliau telah benar-benar lenyap dari kehidupan ini. Bahkan kuburnya pun.


***


"Aku ndak bisa, Bu."
"Ndak bisa bagaimana? Pantang bagi seorang gadis menolak lamaran seseorang..." suara di ujung telepon meninggi.
"Pantang?" potongku.
"Maksud Ibu, kau tak boleh menolak jodoh yang diberikan Tuhan, Nduk. Teddy itu pemuda baik-baik, sudah mapan, anaknya juga kelihatannya bakti sama orang tua."
"Ibu tahu dari mana?"
"Pokoknya Ibu sudah mencari tahu semuanya. Menyesal kalau kamu sampai menolaknya."
"Aku lebih menyesal kalau sampai putus kuliah, Bu."
"Siapa bilang kamu akan samapai putus kuliah. Ini cuma pertunangan dulu, baru kemudian..."
"Berarti dia sanggup menunggu tiga tahun lagi? Lima tahun?"
"Lin!" suara diseberang naik beberapa oktaf. Marah besar kelihatannya.
"Sampai aku menyelesaikan sebuah buku sejarah."
"Buku sejarah?" Pasti beliau melongo.

Aku tersenyum mendengar reakasi Ibu. "Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Ayah". Ayah adalah bagian yang tak terpisahkan dari masa lalu dan masa depanku. Aku tahu, jika kalimatku sudah sampai subjek Ayah, pasti kemudian Ibu akan melunak.
"Apakah menikah bagimu adalah hambatan?" Pelan tapi bermaksud menohok.
"Untuk minggu-minggu ini Lina ndak bisa, Bu."
"Kalau begitu kapan kmau bisanya?"
"Kenapa Ibu sampai mati-matian begitu sih?"
Terdengar tarikan nafas. "Kalau kamu punya dua atau tiga anak perempuan, nanti kau akan tahu bagaimana pikiran Ibumu saat ini."

Entah perlakuan macam apa yang telah diperolehnya hingga keadaannya menjadi mengenaskan begitu. Ia hanya menggambar, menggambar, dan menggambar seolah-olah ratusan kertas belum cukup. Ia seperti tak mau mengingat dan tak mau diingatkan tentang sebulan keberadaannya yang entah. "Saat itu dia hanya pamit ingin ke warnet," jawab ibunya saat pertama kami bertamu sesudah kabar kepulangannya kembali. Perempuan itu seumuran Ibuku. Sama-sama seorang janda pula, yang harus tegar untuk menghidupi anak-anaknya seorang diri. Padanya beliau punya tanggungan yang mungkin lebih berat. Ada lima perut yang masih setia meminta belas kasih dari jerih payahnya sebagai seorang pedagang pakaian. Sedang Ibuku hanya punya tiga tanggungan.

"Ternyata setelah pagi itu dia tak pulang-pulang," beliau meneruskan kalimatnya.
Kami bisa memahami perasaan beliau sama seperti memahami perasaan kami sendiri. Ti"ga-empat hari sekali bolak balik ke kantor polisi untuk menanyakan kabar pencarian mereka. Kesana-kemari bertanya ke "orang-orang pintar" itu juga bisa kami setarakan dengan jerih payah kami menghubungi berbagai LSM ke pelosok Kabupaten. Dan aku yakin, setiap malam pun beliau pasti terserang insomnia karena doa-doanya. Secara pribadi aku bahkan merasa berdosa kepada beliau karena akulah yang awal mula menyeret putra sulungnya itu ke ranah paling berbahaya ini.

Aku tahu dari setiap curhat anaknya kepadaku bahwa sang Ibu itu melarang keras anaknya untuk terjun di kancah peperangan ini. Saat ku pamerkan cerita bahwa Ayahku adalah salah seorang pejuang pembebas hak-hak orang tertindas. Tama langsung menyatakan kesediaannya meneyrahkan segala keberanian masa mudanya untuk bergabung dengan gerbong sepak terjangku. Aku yakin, saat itu si Ibu mengalah sejenak karena semangat Tama yang sulit dipadamkan. Dan sekarang pradugaku terbukti.

Si Ibu itu terkadang memperlihatkan raut masam saat kami berkali-kali bertamu. Meski aku tahu segala pransangka layaknya tak patut dipelihara, namun jika keadaan terus menerus semakin tak membaik, apakah harus diabaikan semua kekeliruan kecil itu? Tentu saja tidak. Maka kemudian kami beri pengertian kepada si Ibu bahwa segala tindakan kami sebenarnya memiliki tujuan mulia. Jika para orang tua kami selalu menanamkan benih-benih kemuliaan, bukankah pohonnya kelak akan berbuah kemuliaan pula?

Akhirnya kami ceritakan kepada si Ibu itu sampai sedetil-detilnya. Tentang bagaimana cara kami menggalang suara dan kekuatan. Tentang pergerakan-pergerakan bawah tanah yang kami rintis untuk sebuah masa depan yang sesuai dalam mimpi kami bersama. Juga tentang segala resiko karena kami telah nekat memilih dunia itu. Hingga si Ibu yang malang itu mulai memahami.

"Dia diantar seorang warga yang menemukannya tergeletak di teras rumahnya. Untung orang itu melihat foto Tama di koran. Kondisinya sangat menyedihkan," si Ibu itu terdiam sejenak untuk mengatur emosi. "Ada banyak bercak darah di pakaiannya. Bahkan saat itu dia tidak bisa bicara sepatah kata pun untuk minta tolong," suara si Ibu mengecil, menggiriskan siapa pun yang mendengar apalagi melihatnya. Air matanya telah menganak sungai.
"Apa dia cerita mengenai siapa orang-orang itu, Bu?" tanyaku.
"Aku malah ingin dia melupakan semuanya...," si Ibu mengusap air matanya.


***
Sebenarnya yang kami harapkan bukanlah kesembuhan fisiknya semata. Tapi kenangan dalam setiap mili memorinya adalah sangat penting untuk kami, karena Tegor dan Rusli juga hilang terkurung dalam ingatan itu. Jika ia tak berani mengingat, maka ke mana lagi kami harus mengendus jejak? "Kau harus mengingatnya, Tam. Kau harus bisa! Nasib Tegor dan Rusli ada di tanganmu!"

"Kau harus sabar, Jo!" sergah Ratna.
"Bersabar? Bahkan nyawa kita pun mungkin sekrang sedang terancam!" Pemuda asal Semarang itu terlihat setengah putus asa. Bolak-balik kesana-kemari seolah ruang kamar ini cukup luas untuk langkah gelisahnya.

Setiap kami paksa Tama untuk mengingat, maka tubuh yang seperti kehilangan ruh itu tiba-tiba saja marah. Mengamuk. Semua buku gambarnya ia sobek-sobek. Semua benda yang teraih dibanting. Menangis, meraung. Memukul-mukul kepalanya. Dan membuat kami harus berurusan dengan si Ibu lagi.

"Ada apa ini? Kalian sudah janji tak akan menyakitinya lagi kan?" Dan sialnya hanya si Ibu yang sanggup menenangkan pemuda yang kembali bocah itu.
"Huh! Percuma berkawan dengan pengecut yang takut siksaan!"
"Apa maksudmu?" Ratna menghadang Tarjo di pintu.
"Maksudku dia itu pengecut!" Tarjo menuding ke arah Tama.
Plakk!
"Jangan bertengkar di rumahku!"
"Apa berani kau menggantikannya menerima siksaan itu? Ini hanya soal keberuntungan saja bahwa bukan kau yang diambil!" Ratna meradang.
"Terserah! Tapi kenyataannya memang begitu kan?!" Tarjo menepis tangan Ratna yang mengahdang di pintu.

"Kalau tahu begini, tak akan kuijinkan kalian ke sini. Tak akan ku beritahu kalian tentang kepulangannya. Kalian semua memang anak-anak nakal...," hati si Ibu itu kembali pecah berkeping. Semenatar Tama seperti bocah yang tangisnya berdengung dalam dekapan induknya.
Aku rasa keegoisan memang selalu akan melukai.


***


Semula aku juga sangat egois seperti Tarjo, memaksa Tama untuk menggambar apa saja tentang ingatannya yang masih tersisa. Tapi kemudian aku tersadar saat aku menengok diriku sendiri. Saat semua kenangan indahku bersama Ayah kadang berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan, aku mulai memahami kondisi Tama. Air mata selalu tak terkendali jika Ayah tiba-tiba tersenyum dalam khayalanku.

"Dia mengatakan sesuatu, Lin! Tama ingin mengatakan sesuatu!" Ratna seperti baru menang undian. Tapi saat kulihat Tama yang masih seperti kehilangan selera memandang kehidupan, hatiku kecut.

"Lihatlah apa yang digambarnya," tangan Ratna memanggilku dari buku-buku koleksi Tama.
Ah, masih tak ada kemajuan. Masih hanya coretan tak beraturan. Tapi emmang sudah ada yang hampir membentuk gambar. Manusia-manusia kurus? Siapa yang bisa menangkap isyaratnya?
"Apa? Ayo katakan. Jangan takut kepada kami, katakanlah." Ratna mendekatkan telinganya.
"Lari..." suara itu seperti hembusan angin.
"Lari?" aku turut mendekat. Selama beberapa detik aku bisa melihat cahaya di kedua matanya. Ruhnya telah kembalikah?
"Rusli...Tagor..." hembusan itu semakin jelas.
"Iya, Rusli dan Tagor. Di mana?" Ratna menggenggam tangan itu.
"Tembak..."
"Ditembak?" tanya Ratna.
Tapi percuma. Mata itu kembali kehilangan cahaya. Tubuhnya kembali berguncang. Tangisnya sulit ditenangkan.
"Sebaliknya kita tidak terlalu memaksanya," ujarku.
"Tapi tadi..."
"Biarkan dia yang menemukan caranya sendiri."


***
"Apa kau yang mengatur semuanya, Lin?" suara di seberang terdengar begitu sinis. "Mengatur apa, Rat?
"Jangan munafik! Kenapa kau tega berbuat demikian? Kau tahu apa akibatnya jika para wartawan sampai tahu musibah yang menimpa Tama kan? Apa kau lupa pesan Ibunya Tama bahwa dia tidak boleh diusik lagi oleh siapapun? Kau egois!"
"Itu ulah Tarjo."
"Tapi kau mengetahuinya kan?!" suara itu marah.
"Dia bilang ke aku sesudah dia menyebarkan cerita itu di millis, Rat."
"Kalau kau tak menyetujuinya, kenapa kau biarkan aku tak tahu apa-apa?! Kau kejam sekali, tega memanfaatkan teman demi..."
"Ketidakadilan harus dilawan, Rat!"
Hanya terdengar suara isak di seberang.

"Dan itu tidak cukup jika hanya pulau Jawa saja. Seluruhpelosok tanah air kita ini harus melawan, Rat. Mereka punya kekuasaan, kita juga punya kekuatan. Ini sudah resiko, Rat." Tanpa sadar aku terbius kalimat Tarjo.
"Dapat upah berpaa kamu dari stasiun televisi itu?"
"Apa?"
"Dibayar berapa kamu oleh reporter yang kemarin datang ke rumah Tama?!"
Telepon itu ditutup seketika. Menyisakan sesak yang datang tiba-tiba.


***

Jika kalian telah tahu atau pernah mendengar penyiksaan macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Negeri Kegelapan, masih beranikah kalian bersuara meski lirih demi sebuah keyakinan? Seharusnnya jika kalian telah bulat memilih menjadi malaikat, aklaian harus berani berkata "ya" untuk tiada lelah apalagi gentar menantang mereka yang telah memilih menjadi setan.

Saat itu pukul satu dinihari tepat saat Ratna tersedu-sedu di ujung telepon.
"Tama telah pergi, Lin. Tama telah pergi. Ibunya baru saja meneleponku. Katakan ke Tarjo, buat yang lebih besar lagi, Lin. Gerakkan semua teman-teman kita agar mereka tak berani meremehkan kita lagi. Luka Tama harus kita balas, Lin. Luka Tama harus dibayar..."
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Jam berapa, Rat? Kapan jenazahnya dimakamkan?"


***

Wajah lelah perempuan paruh baya itu semakin kentara saat dengan khidmatnya meneguk the hangat yang ku suguhkan. "Kenapa Ibu tak mengajak Nita dan Fida?"
"Mereka juga sama sibuknya seperti kamu, jadi biarlah. Oh ya, kemarin Nita menonton wawancara eksklusif kalian."

Tak ada yang bisa aku komentari tentang hal itu. Pada akhirnya kami telah melantangkan suara untuk menentang. Kami tahu semuanya pasti belum berakhir hanya sampai di sini.

"Kamu dan teman-temanmu harus berhati-hati, Lin."
"Ibu mau mie?" Aku coba rileks.
"Ayahmu dulu juga begitu, selalu tak kehabisan cara untuk melantangkan suara. Sampai-sampai kuliahnya terbengkalai. Apa kamu kira Ayahmu sudah sarjana? Dari kenal Ibu sampai beranak-pinak ternyata ayahmu tak pernah bisa menamatkan studinya. Dan begitulah kahirnya. Majalah yang dipimpinnya dibreidel, buku-bukunya diharamkan, bahkan ia dibungkam untuk selama-lamanya. Butuh kecerdasan sendiri untuk mengatur langkah, Lin."

"Pasti ada masalah penting sampai-sampai Ibu datang ke sini langsung." Kubawakan puding sisa praktek teman-temanku tadi malam.
"Iya, memang ada kabar penting untukmu." Perempuan itu menatapku lekat.
"Tentang...?"
"Teddy, dia tidak jadi melamarmu."
Gantian wajah itu yang kuamati lekat-lekat. Lalu aku memeluknya erat.

"Aku tidak apa-apa, Lin. Ibu pikir itu malah bagus kalau akhirnya dia mundur. Mungkin dia tidak setuju dengan sepak terjangmu. Ibu juga tak ingin kau mendapatkan pendamping yang tak bisa seia-sekata mendukungmu, mengayomimu. Jadi..."

Maafkan anakmu ini, Bu. Aku sungguh tak bermaksud mengecewakanmu. Aku tahu resiko jalan yang ku tempuh. Dari yang lirih dari hati nurani hingga menjadi yang lantang dan membahayakan, aku tahu ada harga yang mersti dibayar. Dan itu tak cukup hanya dengan air mata.

"...jadi jangan tajut berbuat kebaikan karena Ibu akan selalu berada disampingmu."
Kedua mataku menghangat.


***

Kalinyamatan-Jepara, 90780