Jumat, 29 Januari 2010

Mengusung Troso ke Sekolah

Suara Merdeka, 29 Januari 2010

Oleh Rhobi Shani
warga Jepara, guru SMA Sultan Agung Semarang

PESONA warna dan motif kain tenun troso telah terbukti di jagat industri tekstil di Indonesia. Selain ukiran dan mebel, tenun troso juga menjadi andalan industri dan pariwisata Jepara. Maka sangat disayangkan jika tenun troso yang ada sejak dulu ditinggalkan masyarakat pendukungnya.

Fakta sekarang toko-toko pakaian jadi di Jepara tak banyak yang menjual kemeja berbahan tenun torso. Hal ini, apakah disebabkan corak dan motif yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, atau jangan-jangan masyarakat memang enggan memakainya.

Pasalnya kemeja yang dibuat dari kain tenun torso kini identik dengan seragam. Mulai seragam kerja dinas instansi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara sampai seragam perkumpulan pengajian bapak-bapak ataupun ibu-ibu PKK di desa-desa. Nampaknya pelaku industri kain tenun troso belum membidik pasar anak-anak dan remaja.

Inisiatif Pemkab Jepara menelurkan peraturan daerah (perda) yang mewajibkan pegawai negeri ataupun swasta di instansi pemerintah harus mengenakan seragam berbahan tenun troso patut diacungi jempol.

Kebijakan memakai seragam troso diberlakukan pada hari Kamis hingga Sabtu, yaitu warna biru untuk hari Kamis dan Jumat. Sedangkan hari Sabtu warna bebas, sesuai dengan selera pemakainya.

Langkah tersebut harus kita sambut baik. Artinya, ketika kita mengenakan seragam tersebut dengan senang hati dan bangga. Tak perlu bersungut-sungut atau risi mengenakan seragam tenun dari Desa Troso Kecamatan Pecangan itu.

Minimal, kebijakan tersebut demi menjaga dan melestarikan salah satu kekayaan kesenian dan kebudayaan Jepara. Selain itu, juga meningkatkan produksi dan pasar lokal.

Sayang, kebijakan yang mengharuskan memakai seragam tenun troso tersebut memutus mata rantai pelestari, pecinta, dan pemakai kain tenun troso. Pasalnya yang dibidik hanya generasi tua. Kebijakan yang membidik anak-anak dan remaja belum dilahirkan.

Andai kebijakan mengenakan seragam troso juga diberlakukan bagi siswa sekolah tentu akan meningkatkan produksi pasar lokal. Mulai siswa pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas tak ada salahnya jika juga diwajibkan memakai seragam tenun troso.

Jadi sejak dini anak terbiasa mengenakan seragam (pakaian) berbahan dasar kain khas Jepara itu. Maka dengan sendirinya kecintaan dan kebanggaan akan tenun troso tumbuh tanpa paksaan (tuntutan peraturan). Jadi, dalam kehidupan sosial generasi muda bangga dan percaya diri memakai baju tenun troso.

Identitas Daerah Peraturan yang mewajibkan siswa memakai seragam sekolah tenun troso tak sekadar menyambung mata rantai pemakai dan pecinta tenun itu. Kewajiban itu juga bisa dijadikan identitas daerah.

Misalnya, ketika pemkab mengikutsertakan siswa terbaiknya dalam lomba-lomba di tingkat regional ataupun nasional, duta dari Bumi Kartini mengenakan seragam khasnya.
Tak hanya identitas daerah, corak, dan warna tentun troso yang ada saat ini juga dapat digunakan untuk membedakan jenis jenjang sekolah.

Misalnya dengan mengadopsi warna seragam yang sudah ada saat ini. Warna bawahan merah untuk jenjang sekolah dasar. Warna bawahan biru untuk sekolah menengah pertama, dan warna bawahan abu-abu untuk jenjang sekolah menengah atas atau kejuruan.

Jika pemkab hendak memberikan kelonggaran kepada pihak sekolah untuk menentukan warna dan motif pun masih sangat mungkin.

Pasalnya, keanekaragaman warna dan motif kainnya sangat bervariatif. Sekolah yang menentukan sendiri warna dan motif, dan dengan begitu pengawasan aktivitas siswa di luar sekolah bisa dengan mudah dilakukan.

Pengawasan pihak sekolah terhadap aktivitas siswa di luar sekolah akan sulit jika siswa mengenakan seragam baku yang sudah ada.

Sebab, untuk mengetahui siswa yang dimaksud dari sekolah mana, kita harus membaca lokasi (nama sekolah-Red) yang melekat pada lengan baju seragam bagian kanan atas.

Berbeda jika sekolah memiliki seragam identitas, maka tanpa harus membaca Lokasi, kita dapat mengetahui siswa tersebut dari sekolah tertentu.

Sekolah swasta yang memiliki identitas seragam sekolah bisa memeloporinya dengan menggunakan tenun troso untuk dijadikan seragam identitas. Selama ini warna dan motif mayoritas seragam identitas sekolah swasta ataupun negeri hampir serupa.

Dapat dipastikan, pasti bermotif lambang sekolah. Jika memang lambang sekolah dirasa suatu hal yang sakral sebagai penanda identitas sekolah, tidak ada salahnya jika kain tenun troso bermotif lambang sekolah.

Lantas, apabila pemkab memberikan keluwesan kepada pihak sekolah untuk mengkreasi sendiri model seragam sekolah itu juga lebih bijak.

Dengan begitu, masing-masing sekolah tentu akan berpacu menciptakan model seragam sekolah yang modis, kreatif, tetapi tetap memegang nilai dan tatanan berpakaian. Sebab, warna, corak, dan motif sangat memungkinkan untuk dikreasi menjadi beraneka ragam bentuk mode.

Kini kelangsungan dan eksistensi keberadaan tenun troso juga tak bisa terlepas dari kebijakan pemerintah kabupaten. Peraturan daerah yang strategis turut ambil bagian demi keberadaan tenun itu pada masyarakat pemakainya.

Selain itu, pemakainya harus bangga dan merasa percaya diri mengenakan hasil kerajinan daerah sendiri. Rasa memiliki dan kecintaan kita yang akan terus menghidupi keberadaan tenun troso. (10)

Senin, 25 Januari 2010

Pelatihan Jurnalistik SMA dan Santri se-Jepara*

Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) Cabang IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Smart Institute Jepara menyelenggarakan Pelatihan Jurnalistik SMA dan Santri se-Jepara 2010 yang akan dilaksanakan pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 06 Februari 2010
Waktu : 08.00 wib - selesai
Tempat : Aula SMAN 1 Jepara
Pembicara: Arif Darmawan (Majalah Pena, Inkom Jepara)
Muhammadun Sanomae (Kabiro Suara Muria)
M Saifuddin Alia (konsultan Smart Institute Jepara)

*) Setiap peserta mendapatkan majalah Pena, Inkom Jepara secara cuma-cuma.

INFO LANJUT:
085226200477 (Muhammad Shoim| ketua KMJS IAIN Walisongo)
085640033625 (Syaiful Mustaqim| direktur Smart Institute Jepara)

Senin, 18 Januari 2010

Meracik Pop Religi dan Dangdut Jepara

Suara Merdeka, 18 Januari 2010

Oleh Fathurozi
Ketua Komunitas Mahasiswa Kreatif (KMK), mahasiswa IAIN Walisongo Semarang

TULISAN M Abdullah Badri berjudul Tren Baru Pop Religi Jepara (SM, 26/12/2009) mengambarkan pergeseran dangdut ke maulidan (perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW).

Pergeseran ini terjadi, waktu acara maulidan menghadirkan Habib Syekh bin Abdul Qodir, saat itu pengunjung beragam, dari kalangan tua, muda, anak-anak, pedagang asongan, petani, santri, sampai abangan.

Mereka merasa menemukan idola baru, bahkan mereka mengikuti di manapun sang idola manggung. Pengagum fanatik musik apapun akan selalu menyempatkan waktu, menyaksikan sang idola tampil.

Badri melihat fenomena ini baru dari salah satu sudut pandang yakni ketika melihat orkesan dangdut dan maulidan diadakan bersamaan oleh dua orang bertetangga dalam satu desa. Namun, jumlah penikmat dangdut tidak bisa melebihi hadirin pangajian maulidan.

Kejadian semacam ini, bukan dialami masyarakat Jepara saja melainkan seluruh masyarakat Nusantara karena mengikuti maulidan bagi kalangan pengikut Nabi Muhammad SAW adalah sunah hukumnya.

Dalam menyambut perayaan kelahiran Nabi atau bahasa modernnya ulang tahun, seluruh pengikutnya mengadakan maulidan di mushala dan masjid.

Maulidan berisi pembacaan barzanji selama 12 hari dan puncaknya syukuran atas lahirnya pemimpin reformasi, yang membebaskan umat manusia dari belenggu kaum jahiliyah.

Beraneka ragam acara dipersiapkan seperti pengajian akbar, lomba tilawah, rebana, azan, sepeda santai, pasar murah, dan khitanan massal. Kegiatan ini sudah jadi tradisi masyarakat Jepara dan umat Islam di belahan dunia.

Jepara yang terkenal dengan sebutan Kota Ukir, masyarakatnya gemar musik dangdut. Kelompok dangdut asal Jepara tidak asing lagi di kalangan masyarakat pantura timur Jawa Tengah.

Sejak tahun l970-an, puluhan grup musik melayu (dangdut) bermunculan, tapi ada salah satu grup yang dikenal masyarakat, bahkan merajai Jawa Tengah, yakni Bintang Pagi.

Namun pada era 1990-an, grup dangdut tuan rumah mulai tersaingi oleh pendatang baru dari Demak yakni Arista.

Picu Semangat Keeksisan Arista, memicu semangat musisi Jepara melahirkan grup baru seperti Birawa, Rush, Rolysta, Relaxa, Tepos, Star Band, dan banyak lagi. Di Jepara ada sedikitnya 100 grup, besar-kecil, yang siap memanjakan pengemarnya. Grup dangdut meracik-racik musik, mengikuti tren yang berkembang di masyarakat.

Seiring waktu, penyanyi asal Jepara meramaikan blantika musik Indonesia. Sebut saja kehadiran Jamal Mirdad, putra Kota Ukir, yang sukses mengusung dangdut, selain berkiprah di jalur pop dan kini sinetron.

Dangdut sebagai hiburan rakyat ini, jangan dipandang sebelah mata karena layak dijual di pasaran. Meskipun penontonnya dikenai tiket masuk, penikmatnya sedikit pun tak berkurang, bahkan cendurung meningkat.

Dangdut sering diindetikkan dengan musik pinggiran atau masyarakat menengah ke bawah, tapi sekarang penikmatnya merambah ke masyarakat modern dan instansi pemerintah.

Pengusaha besar pun sering memakai jasa dangdut untuk meramaikan acaranya. Band yang beraliran pop di Jepara, kurang bisa menandingi membeludaknya jumlah penonton dangdut, dan satu per satu band vakum bahkan di ambang runtuh.

Warna musik dangdut Jepara, selalu mempunyai kreasi baru, antara lain mengaransemen ulang lagu pop ke dangdut atau dangdut koplo. Hal itu jadi ciri khas tersendiri, dan penikmatnya pun enggan bergeser dari musik asli Indonesia tersebut.

Jika kita lihat realita di dunia entertainment, band pop mencoba merebut hati penikmat dangdut, seperti Band Ungu atau Dewa 19 yang sukarela memberikan lagunya dinyanyikan versi Trio Macan.

Jadi, kejayaan produk budaya Indonesia masih mempunyai tempat di hati masyarakat secara luas. Apabila yang diungkapkan Badri itu benar adanya hal itu merupakan langkah positif.

Tapi jika hanya sebagai pemenuhan spiritual sesaat maka setelah mualidan selesai mereka berbalik ke warna semula yakni menjadi pengagum dangdut.

Menurut penulis, kemungkinan sangat kecil, penggemar dangdut beralih ke pop religi, karena kedua musik tersebut, mempunyai fans yang berbeda.

Bisa dikatakan fans dangdut adalah kalangan biasa, dan fans pop religi hampir dipastikan orang agamis, termasuk kalangan pondok pesantren.

Suatu ketika penulis bertanya ke beberapa teman asal Jepara, rata-rata dari mereka masih meragukan penikmat dangdut berpaling ke idola baru itu.

Mereka berpendapat dangdut sudah jadi bagian hidup masyarakat setempat, semisal orang melaksanakan hajatan, jika tidak ada hiburan dangdut rasanya kurang lengkap.

Beralihnya fans dangdut ke pop religi (maulid) kemungkinan musiman (tahunan) saja yakni pada bulan Maulid. Saat bulan itu tiba, mereka ramai-ramai merayakan, karena sudah jadi tradisi turun-temurun, penggemar fanatik dangdut tetap fanatik dengan aliran musik itu. (10)

Kamis, 14 Januari 2010

Potensi Desa Wisata Durian di Jepara

Kompas Jateng, 14 Januari 2010

Oleh SEPTINA NAFIYANTI
Petani dan Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus, tinggal di Jepara

Sejak dulu, Jepara terkenal dengan durian bervarietas tinggi. Sebut saja durian petruk yang terkenal manis dan legit, serta daging buahnya yang sangat tebal. Terakhir, tiga varietas baru yaitu sutriman, subandi, dan sukarman juga diakui secara nasional melalui lomba durian oleh Kementerian Pertanian.

Melihat potensi Jepara dengan varietas unggul buah durian itu, saya jadi mengingat kebun apel Kusuma Agrowisata di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Rasa-rasanya tidak salah jika pemerintah kabupaten mau membuat konsep desa wisata durian di Jepara. Terlebih, area untuk pengembangan desa wisata durian sudah ada. Di Kecamatan Pakis Aji ada lahan seluas 50 hektar yang ditanami durian petruk dan mulai dikembangkan sejak lima tahun lalu.

Konsep desa wisata durian otomatis bisa semakin mengenalkan keunggulan durian-durian asal Jepara. Varietas-varietas durian unggul asal Jepara juga akan semakin dikenal, bukan hanya durian petruk.

Konsep desa wisata durian juga bisa merangsang perekonomian di Jepara. Petani di sekitar desa pariwisata bisa diarahkan untuk budidaya tanaman durian. Masyarakat sekitar juga bakal terkena imbasnya dengan menciptakan iklim pariwisata. Sebab, setiap tempat wisata tentu memberikan peluang usaha untuk masyarakat sekitar, seperti berdagang, parkir.

Dengan desa wisata durian, masyarakat dari berbagai kota bisa langsung menuju ke lokasi. Bahkan, tidak hanya untuk membeli durian, akan tetapi juga bisa menikmati suasana kampung dengan ciri khas masayarakat sekitar.

Salah satu cara untuk mendongkrak perekonomian melalui budidaya durian adalah membuat durian berbuah lebih dari satu kali dalam setahun atau dengan membuat durian berbuah tidak pada musimnya.

Senin, 11 Januari 2010

Pelajaran Catur

Suara Merdeka, 11 Januari 2010

Oleh Yusuf Afandi
guru SD N 4 Bategede, Nalumsari, Jepara

SEJAK 2006, olah raga catur secara resmi masuk dalam salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan, namun ada hal aneh yang mungkin luput dari perhatian pemerintah.

Dalam kenyataannya olahraga catur belum dimasukkan dalam kurikulum resmi sekolah formal. Bahkan, di lembaga pendidikan tinggi pencetak guru olahraga (FPOK), tidak ada mata kuliah khusus yang memelajari catur.

Padahal di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Rusia, Zaire, dan yang kemudian menyusul belakangan adalah Jepang, sudah lama memasukkan catur dalam kurikulum pendidikannya.

Tujuan catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah bukanlah semata-mata untuk mencetak atlet dan meraih prestasi catur, tapi lebih dari itu. Di balik permainan catur terkandung nilai-nilai positif yang luar biasa.

Di antaranya belajar menganalisis dan memecahkan masalah, belajar mengambil keputusan yang konsisten, meningkatkan kecerdasan dan daya ingat, meningkatkan kepercayaan diri, melatih disiplin, mengasah logika, belajar menerima kemenangan dan kekalahan (sportif), belajar merencanakan, mengatur strategi, dan mempunyai visi ke depan untuk mencapai tujuan.
Luar Sekolah

Selama ini, di Indonesia, catur dipelajari anak-anak di luar pelajaran sekolah. Mereka belajar bermain catur dari teman, tetangga, kakak dan orang tuanya.

Beberapa anak juga ada yang dimasukkan ke klub catur atau sekolah catur dengan tujuan utama untuk meraih prestasi yang baik dalam pertandingan catur.

Kenyataan itu menggambarkan tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama dalam belajar dan bermain catur. Jadi, pada akhirnya tidak semua anak bisa bermain catur.

Lain halnya, jika olahraga catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah, hampir dipastikan semua anak bisa bermain catur dan bisa mendapatkan manfaat positif dari olahraga tersebut.

Yang perlu kita ingat, bermain catur bukan sekadar untuk menyalurkan hobi dan mendapatkan prestasi, tapi lebih dari itu bisa membentuk anak menjadi pribadi yang lebih unggul.

Mengingat nilai-nilai positif yang terkandung dalam permainan catur, sudah saatnya pemerintah untuk segera memasukkan cabang olahraga ini dalam kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah formal di seluruh Indonesia. Semoga! (45)