Sabtu, 20 Maret 2010

Pudarnya Pesona PLTN

Oleh Muh. Khamdan

KETEGANGAN
wacana dan aksi menyangkut pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara telah menemui ujung pangkalnya. Kelanjutan pembahasan proyek "mercusuar" pengadaan energi listrik nasional tersebut akan digulirkan kembali pada 2018. Tercatat pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUTN) Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang pernah dirilis pada 2008, PLTN tidak lagi masuk dalam program prioritas.


Selama ini, nuklir selalu dikampanyekan sebagai salah satu alternatif pemasok krisis energi listrik di Indonesia. Terlebih untuk mencukupi kebutuhan listrik suatu negara berpenduduk besar dengan daratan yang terbatas seperti Indonesia, diperlukan suatu sumber energi yang ramah lingkungan dan berintensitas tinggi seperti PLTN. Namun gagalnya megaproyek PLTN di Semenanjung Muria cukup menjelaskan tingkat ketegangan yang dihadapi pemerintah dengan masyarakat lokal dan pemerhati lingkungan.

Persoalan ketegangan tersebut bisa dilihat dari aksi penolakan yang terakhir terjadi di Jepara melalui bentangan spanduk sepanjang 500 meter berisi tanda tangan penolakan PLTN, di Desa Balong, Kecamatan Kembang dan pengiriman surat penolakan dari masyarakat seberat hampir 40 kg. Bahkan kalangan agamawan yang dimotori NU Kabupaten Jepara telah menggelar halaqoh fiqih lingkungan yang menghasilkan fatwa haram atas pembangunan PLTN di Jepara pada September 2007 sebagai refleksi bencana energi atas Kebocoran di pusat nuklir Chernobyl, Uni Soviet, 26 April 1986. Bisa dikatakan, aksi penolakan bukan hanya isu spekulatif karena sejauh ini selalu beriringan dengan aksi kampanye yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan terkesan konfrontatif.

Dalam langkah "pemaksaan" promosi keunggulan nuklir sebagai energi alternatif, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah memprovokasi masyarakat Jepara dan sekitarnya dengan memasuki ranah pendidikan formal. Dalam hal ini, program kampanye tidak sekadar mengadakan diskusi tetapi semakin massif dengan mengedarkan buku tentang nuklir berjudul "PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya" pada beberapa sekolah di Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara, secara gratis (Kompas,1/4). Hal Dengan program ini, tak lain karena Kementerian Negara Riset dan Teknologi berupaya menggiring para guru beserta murid mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA untuk ikut mengkampanyekan PLTN.

Melihat masa sebelumnya, kampanye pemanfaatan nuklir juga telah memasuki kampung-kampung di Kabupaten Jepara. Tentu bukan tanpa sebab jika Bappeda Jepara bekerjasama dengan Kementerian Ristek, LIPI, BPPT, dan BATAN mendeklarasikan terbangunnya Kampung Teknologi, di Desa Suwawal Timur, Pakis Aji, Jepara (25/08/08). Menariknya adalah simpati dan dukungan dari banyak pihak begitu besar terhadap langkah ini seolah membenarkan begitu besarnya manfaat nuklir untuk kesejahteraan masyarakat. Setidaknya anggapan itu dibenarkan melalui aplikasi teknik nuklir berupa gauging dan lodging diperankan dalam bidang hidrologi yang dapat membantu menemukan sumber air tanah dalam di wilayah Suwawal.� Namun juga sangat dimungkinkan deklarasi Kampung Teknologi tidak dirancang secara matang sehingga tidak berkesinambungan.

Upaya Pengesampingan
Hampir sama dengan isu politik pembangunan, sebagaimana lingkaran tematis Peter L Berger dalam bukunya Pyramids of sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan berdirinya PLTN. Untuk kepentingan pembangunan PLTN yang berkaitan dengan klaim kemajuan atas teknologi nasional, mesti diperhitungkan bentuk paling mengerikan. Cara pandang seperti ini semakin membuat banyak solusi pembangunan dengan kemungkinan resiko terkecil dengan adanya kenyataan bahwa Pulau Jawa dan wilayah Indonesia secara keseluruhan telah menjelma menjadi "Supermarket Bencana".

Semestinya respon tersebut mempunyai relevansi yang cukup praktis dengan hasil Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) yang berlangsung di Manado pada 11-15 Mei 2009, tak kurang sekitar 146 menteri kelautan dari berbagai negara sudah mempersiapkan skenario pengelolaan kelautan dan perikanan serta keanekaragaman hayati yang berkelanjutan secara lintas sektoral. Sementara 610 pakar kelautan dari dalam dan luar negeri menjadi pembicara dalam simposium tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tentunya tidak hanya semacam permainan intelektual saja.

Kajian mendalam menitikberatkan pada pengoptimalan sumber energi alternatif terbarukan dari laut seperti energi gelombang, energi yang timbul akibat perbedaan suhu antara permukaan air dan dasar laut (Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC), energi yang muncul akibat perbedaan tinggi permukaan air yang disebabkan oleh pasang surut, serta energi yang ditimbulkan oleh arus laut. Dari sejumlah sumber energi alternatif tersebut, Indonesia memiliki prospek bagus pada pengembangan energi arus laut.

Analisa tersebut dapat difahami karena wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang memiliki banyak selat, sehingga arus laut mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Di samping itu wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan arus laut dunia yang diakibatkan oleh pasang surut air laut yang dominan di Samudra Hindia akibat gerak Bulan Mengelilingi Bumi, dan pasang surut air laut yang dominan di Samudra Pasifik akibat kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi.

OTEC bukan suatu teknologi yang baru karena pada 1881, Jacques Arsene d�Arsonval, seorang fisikawan asal Perancis mengajukan usulan untuk membuat pembangkit yang mengubah suhu air laut menjadi energi listrik. Usaha ini dilanjutkan oleh George Claude yang berhasil membangun reaktor OTEC pertama pada 1930.

Pada 1974, Natural Energy Laboratory of Hawaii asal Amerika Serikat membangun reaktor OTEC terbesar di dunia yang berada di pantai Koha, Hawaii. Dan secara berlanjut, negara-negara lain segera membangun hal yang sama, seperti India, Jepang, dan Perancis.

Pembangkit listrik dengan sistem OTEC memang membutuhkan persyaratan khusus, namun itu hanya terkait dengan kondisi alam. Setidaknya sebuah instalasi OTEC membutuhkan lingkungan laut yang memiliki perbedaan suhu antara suhu permukaan dengan suhu kedalaman minimum 20 derajat celcius tiap 100 meter. Dan tentunya, hal demikian bukan suatu masalah bagi lautan tropis seperti Indonesia.
Meskipun Indonesia memiliki kecocokan dalam pengembangan OTEC, tetapi belum didukung adanya penelitian yang baik. Maklum, pola pengembangan pemenuhan energi listrik sudah diarahkan pada pembangunan PLTN. Padahal, Jepang telah mampu membuat instalasi OTEC berkapasitas 40.000 watt, sedangkan Amerika Serikat sendiri lebih unggul mencapai 50.000 watt.

Selain sebagai pembangkit tenaga listrik, OTEC dapat juga dijadikan sebagai proses membuat air tawar dari hasil kondensasi uap air laut, penghasil sistem pendingin ruangan bagi bangunan di atas laut, sekaligus mengekstrasi mineral berharga. Selain itu, hal yang penting dari pemanfaatan OTEC adalah tidak adanya limbah yang merusak lingkungan laut.

Laut yang berperan vital sebagai penyerap karbon sekaligus penghasil energi yang murah serta ramah lingkungan mesti mendapatkan perhatian kembali dari semua pihak, dan itu bisa dimulai dari daerah-daerah pesisir di seluruh Indonesia, termasuk Jepara. Maka menjadi penting untuk mengenalkan teknologi kelautan guna mengimbangi memudarnya pamor PLTN di masyarakat. Bisa jadi, pembekuan pembangunan PLTN menjadi momentum untuk menjadikan laut sebagai simbol kejayaan bangsa. (*)