Senin, 16 Agustus 2010

Tantangan Perajin Kain Troso

Suara Merdeka, 16 Agustus 2010

Oleh
Manshur Shofi

SEBULAN lewat Gubernur Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengampanyekan penggunaan seragam tenun lurik troso, untuk pakaian kerja PNS se-Jateng, khusus hari Rabu.

Imbasnya langsung terasa, denyut perajin kembali bergairah. Banjir order, permintaan mendadak datang tak terkira. Khusus Sabtu dan Minggu, pemandangan mirip showroom terlihat di jalan-jalan di Desa Troso. Sejumlah mobil berpelat luar kota berderet di jalan desa sentra produksi tenun lurik khas itu.

Troso berlokasi di di jalan raya Jepara-Kudus Km 15, dengan cuaca khas pesisir yang panas. Sejarah panjang telah terlewati akan keberadaan perajin kain, yang sampai sekarang tetap teguh menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk memproduksinya. Suara khas, toklekÖtoklekÖtoklek, membius telinga sampai malam hari. Suara unik yang muncul dari gesekan kayu alat tenunnya.

Troso juga desa superjumbo, luasnya 711,5 hektare dengan jumlah penduduknya 23.000 jiwa dibagi dalam 83 RT dan 10 RW. Tapi perajin tenun lurik hanya berpusat di daerah selatan atau istilahnya, Troso Kidul. Kain (tenun lurik) troso sebenarnya tidak punya ciri khusus, bahkan secara jujur kain tersebut dibuat tergantung pesanan dan musim. Trik untuk tetap eksis dan bertahan membuat perajin mengkreasi sendiri corak dan jenisnya.

Sebut saja kain yang diberi nama jaranan karena terdapat gambar jaran (kuda) berhadap-hadapan. Istilah kain salur, atau ada yang menyebut sebagai kain antik yang tebal dan motifnya mirip buatan Nusa Tenggara Barat, lebih cocok untuk sprei, gorden, taplak meja atau jok kursi. Sementara itu, kain ikat untuk bahan baju, lebih banyak variasi bahan dan motifnya. Benang misris mendominasi dengan gambar-gambar atau corak yang simetris. Plus model songket atau doby juga diproduksi di desa itu.

Satu ‘’rahasia’’ lagi, selama puluhan tahun Bali menjadi mitra masyarakat Troso, kain ikat yang selama ini terkenal sebagai kain Bali, sebenarnya diproduksi oleh tangan-tangan kreatif warga Troso. Padahal Troso-Bali itu harus ditempuh lebih dari 20 jam perjalanan darat. Hubungan yang unik, long distance yang tak mengurangi kemesraan tapi makin saling membutuhkan.

Tapi dua kali bom Bali itu merusak tatanan kehidupan di Indonesia, dan Troso terkena imbas cukup parah karenanya kerajinan tenun mati suri.

Bagi masyarakat Troso masa suram terasa lama. Sebelum akhirnya angin segar berhembus, enam 6 tahun lalu, tatkala Pemerintah Kabupaten Jepara di bawah kepemimpinan Bupati Drs Hendro Martojo MM mewajibkan PNS Jepara memakai seragam kain troso. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dan berlanjut sampai sekarang.

Imbasnya, muncul fenomena menarik perajin tenun troso pecah tapi dalam arti positif yakni terbentuknya tiga ‘’kubu’’ utama. Pertama, perajin yang tetap ‘’istikamah’’, masih mengandalkan Bali sebagai tujuan utama pemasaran. Kubu kedua; berkonsentrasi melayani permintaan domestik kain seragam lingkup Kabupaten Jepara.

Masa Suram
Kubu ketiga; memasok sentra-sentra batik, seperti Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Jenis kain yang diproduksi dalam bentuk polosan atau putihan, dari sutera, serat kayu, dan serat nanas. Media kain yang siap untuk dibatik ini proses pembuatnya lebih cepat dan tidak rumit dibandingkan dengan kain ikat atau lurik.
Dua kubu yang disebut di depan, yaitu perajin kain troso yang fokus ke Bali dan daerah sentra batik, sekarang mengalami

masa suram. Tidak ada keseimbangan antara harga bahan baku yang selalu naik dan harga jual kain yang stagnan. Hal itu diperparah dengan perilaku beberapa perajin yang berlomba banting harga dan tidak menjaga kualitas.

Kini tinggal satu kubu yang kuat bertahan, dan sekarang mendapat angin segar babak kedua lewat kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang mengampanyekan penggunaan seragam tenun lurik troso, untuk pakaian kerja PNS khusus hari Rabu. Hadiah besar bagi masyarakat Troso menjelang Idul Fitri, kain lurik sebagai produk-produk lokal menjadi kebanggaan, dan terpenting dapat menghidupkan perekonomian warga.

Perajin tenun lurik wajib meningkatkan kualitas tanpa mengorbankan nilai seni sebagai warisan budaya lokal, tidak terjebak pada pakem tapi harus kreatif dan kaya inovasi dengan mengombinasikan warna, corak, dan desain. Hal itu supaya produknya nyaman dipakai dan cocok dipakai dalam berbagai kesempatan dan oleh berbagai golongan. (10)

Kamis, 05 Agustus 2010

Kemasan Modern Pesta Baratan

Suara Merdeka, 05 Agustus 2010

Oleh Mulyono

SALAH satu potensi wisata budaya Jepara adalah tradisi Baratan, yang dilaksanakan tiap tanggal 15 Sya’ban kalender Hijriah atau 15 Ruwah kalender Jawa yang bertepatan dengan malam Nishfu Sya’ban. Kata Baratan berasal dari sebuah kata bahasa Arab, yaitu baraah yang berarti keselamatan atau barakah yang berarti keberkahan. Baratan adalah salah satu tradisi masyarakat Jepara yang konon berakar dari zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat.

Ketika itu, suami Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) yaitu Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman Ar Rumi) berperang melawan Arya Penangsang dan terluka. Kemudian Ratu Kalinyamat membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Peristiwa itu berlangsung malam hari, sehingga masyarakat di sepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.

Cerita tersebut adalah salah satu versi asal muasal Baratan, yang salah satunya tradisinya adalah penyalaan obor, lampu minyak, dan lampion pada malam hari. Tradisi tersebut masih bertahan hingga kini pada masyarakat di Kecamatan Kalinyamatan, Mayong, dan Pecangaan. Tradisi Baratan merupakan salah satu tradisi di Jepara selain tradisi perang obor di Tegal Sambi yang bisa dikembangkan menjadi potensi wisata.

Baratan dalam ingatan masa kecil penulis adalah salah satu hari raya yang penulis kenal, sewaktu kecil masyarakat Mayong menyebutnya badha Beratan. Saat itu belum tiap rumah tangga memiliki listrik. Sejak sore hari, tiap rumah mempersiapkan lampu-lampu minyak yang terbuat dari tanah liat, yang disebut umplung atau empluk.

Lampu tersebut dibeli dari perajin gerabah yang memang menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Mayong Lor waktu itu. Lampu diletakkan berjajar di teras rumah dan di pagar halaman. Lampu-lampu lampion impes digantung di teras rumah. Impes adalah lampion berbentuk silinder dan berkerut, masyarakat menyebutnya impes karena bisa kempes atau mimpes dan dilipat.

Pada malam Baratan, anak laki-laki selepas shalat isya berkumpul di mushala atau masjid terdekat untuk kenduri, membawa makanan yang disebut puli (sejenis gendar). Kata puli konon berasal dari bahasa Arab yaitu afwu lii, yang berarti maafkanlah aku.
Ditunggu-tunggu Puli terbuat dari bahan beras, ketan dan bleng yang dikukus kemudian ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa parut yang dibakar atau tanpa dibakar. Para ibu saling berkirim puli buatannya.

Setelah itu dengan berkelompok anak laki-laki berkeliling kampung menarik mobil-mobilannya yang telah diberi lilin menyala di dalamnya, sedangkan anak perempuan ikut berkeliling membawa impes dengan meneriakan yel-yel ritmis. Anak-anak berkeliling sampai larut malam. Saat itu malam Baratan adalah salah satu malam yang paling ditunggu-tunggu anak-anak.

Saat ini berpuluh tahun berselang, malam sudah terang benderang oleh listrik, keramaian dan aura tradisi tersebut banyak terkikis. Saat ini tradisi masih menyisakan mobil-mobilan kertas yang dulu sangat sederhana sekarang sedemikan bagus, namun bukan untuk ditarik keliling kampung.

Upaya untuk menghidupkan tradisi tersebut telah dilakukan oleh elemen masyarakat dengan dukungan Pemkab Jepara. Salah satunya adalah pawai lampion di Kecamatan Kalinyamatan. Beberapa tahun lalu, pawai ini masuk dalam catatan Muri sebagai pawai dengan pembawa lampion terbanyak, lebih dari 3.500 orang.

Tahun ini Pesta Baratan kembali digelar oleh Lembayung Production bekerja sama dengan Pemkab, ormas, dan perusahaan swasta berpusat di Kecamatan Kalinyamatan. Di facebook pun telah dibuat akun ’’Pesta Baratan’’ untuk lebih menyosialisasikan lewat dunia maya.

Menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pada tahun-tahun mendatang dalam rangka lebih mengembangkan potensi. Pertama; memperluas skala kegiatan, dengan mengundang daerah lain atau perusahaan besar untuk berpartisipasi, misalnya mengadakan lomba dan pawai mobil lampu hias.

Kedua; meningkatkan promosi sehingga lebih banyak orang yang tahu dan berpartisipasi. Ketiga; mengemas acara lebih menarik sehingga wisatawan dapat menikmati dengan nyaman. Kempat; persiapan yang lebih profesional sehingga acara dapat berlangsung lebih baik, dan lebih ’’menjual’’. (10)