Kamis, 21 April 2011

Kartini, sang Ayunda Pergerakan

Suara Merdeka, 21 April 2011

Oleh Hadi Priyanto

Agar upaya pewarisan pemikiran Kartini bisa berjalan baik, sekolah bisa mengambil peran konstruktif dan edukatif dengan memasukkannya dalam muatan lokal

MEMAHAMI hanya sebatas kulit luar mungkin istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kedangkalan pemahaman Kartini (kaum wanita) kini, terhadap usaha-usaha RA Kartini untuk membangun peradaban bangsa. Sebagian besar Kartini kini hanya tahu RA Kartini adalah pahlawan emansipasi yang lahir di Jepara, 21 April 1879, pernah sangat menderita dalam pingitan, anak Bupati Jepara, kawin dengan Bupati Rembang dan meninggal serta dimakamkan di Bulu. Tetapi ketika pertanyaan dilanjutkan, apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh RA Kartini, banyak perempuan yang ragu untuk menjawabnya.

Padahal spirit perjuangan Kartini demikian luar biasa. Ia tidak hanya berjuang untuk membebaskan kaum wanita dari belenggu adat yang telah berabad-abad mengikat kaki dan tangan mereka tetapi yang dicita-citakan adalah membangun sebuah peradaban bangsa. Karena itu Kartini menganggap perjuangan untuk melepaskan rantai diskriminasi hanyalah sasaran antara untuk membangun peradaban baru bagi bangsa Bumiputera. Peradaban yang memberikan tempat yang sama bagi semua orang.

Dalam surat-suratnya yang sangat panjang selama hampir 5 tahun, termasuk 2 notanya kepada pemerintah Hindia Belanda, kita juga dapat belajar tentang paham nasionalisme yang disuarakan nyaring oleh Kartini. Juga perlawananya kepada kolonialisme yang dituduh Kartini berkeinginan agar bangsa Bumiputera tetap miskin dan bodoh sehingga tetap bisa dikuasai.

Karena itu Kartini telah ikut meletakkan fondasi dan spirit bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kartini telah ikut menyemai tumbuhnya bunga-bunga nasionalisme dan patriotisme di tengah-tengah bangsa Bumiputera yang terjajah ratusan tahun. Dengan caranya sendiri, ia telah ikut mengobarkan api perjuangan dan keberanian melawan kolonialisme lewat ujung penanya..

Tak hanya Pahlawan Emansipasi yang layak disandangnya tetapi ia juga layak mendapatkan anugrah sebagai Ibu Nasionalisme. Sebab jauh sebelumnya pergerakan itu menemukan momentumnya pada 1908, Kartini telah lebih dahulu melakukannya. Apa yang dilakukan tidak hanya mampu memberikan inspirasi terhadap pejuang pergerakan Indonesia dan rakyat Bumiputera tetapi telah menumbuhkan keberanian melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Memikul Beban Pokok-pokok pikiran Kartini pada tanggal 24 Desember 1911 telah diterima secara aklamasi sebagai richtsnoer atau pedoman perjuangan Indische Vereeniging di Belanda, tempat berhimpunnya para mahasiswa Indonesia. Tahun 1924 organisasi ini diganti dengan Perhimpunan Indonesia yang menjadi salah satu pelopor utama pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sementara di Tanah Air terbitnya buku Door Duisternistot Licht yang berisi kumpulan surat Kartini disambut hangat oleh para tokoh pergerakan. Bahkan ada tanggal 24 Mei 1912, di surat kabar milik Dr Douwes Dekker, De Express, Dokter Tjipto Mangunkusumo menegaskan tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan, dan perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun.

Jauh sebelum Jong Java dideklarasikan tahun 1915 dengan nama Tri Koro Dharmo, 12 tahun sebelumnya dalam suratnya kepada Ny Ovink Soer tahun 1903, Kartini sudah mengungkapkan tentang para aktivis Jong Java yang menyebut Kartini dengan panggilan ayunda, tempat mereka mencurahkan persoalan dan keyakinannya akan datangnya zaman baru yang hanya bisa dicapai dengan persatuan para aktivis perjuangan.

Karena itu pewarisan nilai, semangat juang, dan pemikiran Kartini dirasakan perlu, bukan saja untuk menjaga agar momentum peringatan tidak salah arah dan terjebak dalam acara seremonial yang kurang bermakna melainkan agar dalam setiap zaman muncul anak-anak ideologis Kartini yang berani memikul beban zaman.

Agar upaya pewarisan itu bisa berjalan baik, sekolah bisa mengambil peran konstruktif dan edukatif dengan memasukkannya dalam muatan lokal. Termasuk pewarisan melalui organisasi perempuan yang sering kali bangga menyebut dirinya pewaris semangat Kartini. (10)

Rabu, 20 April 2011

Rombongan Srikandi Tiba di Jepara

Suara Merdeka, 20 April 2011

Jepara, CyberNews
. Sepuluh Srikandi Bike to Work yang tiba Jepara pada Selasa (12/4) melanjutkan aktivitas di Bumi Kartini dengan mengunjungi lokasi-lokasi pariwisata yang ada di Kota Jepara kemarin.

Para anggota Srikandi adalah Lucy Iskandar (29), Tense Manalu (38), Rahma Anggraeni (30), Aristi Majid (30), Rahmi Diyarti (35), Rifa Ilyasa (35), Meika Manullang (27), Evie Permatasari (39), Seklie Patyuniestri (31), dan Rini Rismiati (35)

Setibanya di Jepara, mereka mengunjungi Pendopo Jepara dimana RA Kartini dipingit, Museum Kartini, Sentra Kerajinan Mulyoharjo, Pantai Bandengan dan diakhiri pada Kura-kura Ocean Park di Pantai Kartini.

Evie Permatasari, salah satu anggota mengaku, "Saya yang paling terkesan memang keberaniaan Kartini saat berusia 12 tahun yang berani mengatakan kepada perajin untuk tetap mengukir dan tidak usah takut dosa. Sikap itu bisa dibilang kenakalan dalam tanda kutip, tetapi menunjukkan perhatian Kartini atas masyarakat luar biasa," ucap Evie.

Menurutnya, keberanian Kartini kecil bersikap seperti itu memiliki andil memajukan ukir Jepara. "Saya juga salut dengan rasa seni yang dimiliki Kartini karena ada beberapa peninggalan Kartini yang memiliki seni," ucapnya.

Sementara itu, Meika Manullang dan Aristi Majid menjelaskan terkesan dengan kebersihan dan kerapian Kota Jepara yang berkali-kali mendapatkan penghargaan Adipura berkali-kali. Ia berharap soal transportasi ke Pulau Karimunjawa agar bisa dibenahi.

Sementara itu, Bupati Hendro Martojo kegiatan yang dilakukan sepuluh perempuan itu merupakan salah satu cara meuwujudkan cita-cita Kartini. Dengan bersepeda, lanjutnya, Srikandi berkampanye pentingnya menjaga lingkungan. "Sungguh perkasa, kota demi kota dilalui sambil mengajak masyarakat mencintai lingkungan yang hijau sekaligus napak tilas Kartini," jelasnya.

Sebagai ungkapan terima kasih, Bupati atas dana Pemkab Jepara dan seluruh masyarakat memberikan piagam penghargaan dan cendera mata kepada segenap awak Srikandi. ( Akhmad Efendi / CN26 / JBSM )

Senin, 04 April 2011

Seni Kentrung Jepara Di Ambang Kepunahan

Klik: http://www.for-mass.blogspot.com/

JEPARA
- Makin banyak saja kesenian tradisional di Jepara yang terancam punah. Akibat tidak berjalannya proses regenerasi, kesenian tradisonal kentrung juga mengalami ancaman itu. Para seniman kentrung sendiri bahkan tak yakin sampai kapan kesenian bisa bertahan. Seni kentrung adalah seni pentas yang melibatkan 2 -3 orang dengan cara membacakan lakon yang dalam pementasannya diiringi dengan pantun atau joke-joke yang lucu . Sehingga para penonton yang melihat dan mendengar akan terpesona oleh olah kata sang dalang , bahkan jika tak kuat bisa membuat terbahak-bahak orang yang mendengarkannya.

Selain bercerita dalam seni kentrung ini juga menggunakan alat music tabuh berupa rebana yang suaranya jika didengar bersahutan-sahutan, sehingga dalam bercerita sanga dalang sekaligus pemain music memadukannya sehingga enak didengarkan. Selain orang tua yang menjadi penggemar utama , anak muda satu dua juga senang akan kesenian kentrung ini oleh karena itu meskipun tidak seperti dahulu pada jaman kejayaannya puluhan tahun yang lalu , kini seni kentrung masih bisa kita saksikan. Biasanya seni kentrung ini didatangkan untuk memeriahkan acara semisal melekan bayi , acara 17 agustusan juga untuk melekan menyambut tahun baru hijriah.

“ Ya seperti di Radio Kartini FM Jepara setiap pergantian tahun baru hijriah pasti ada siaran langsung Kentrung di Studio, selain untuk nguri-nguri seni ini juga sebagai tanda syukuran datangnya tahun baru “, ujar Odie Melankolis seniman dari Jepara pada local.detik.com

Di Jepara dulu desa Ngasem kecamatan Batealit di kenal sebagai gudangnya dalang kentrung , namun seiring dengan merebaknya kesenian modern seni kentrung ini lambat laun makin hilang dari pededaran . Meski demikian saat ini masih dapat kita temukan dalang kentrung walaupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari hal itu disebabkan tidak adanya regenerasi dari mereka. Penerus dari dalang kentrung ini tidak bisa mewariskan keahlian mereka pada anak-anak mereka yang tidak mau menekuni seni ini , justru mereka memilih pekerjaan lainnya

Seni kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan. Joke-joke segar sering diselipkan di tengah-tengah pakem, tetap dengan parikan yang seolah di luar kepala. Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.

Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas. Selama seniman kentrung masih ada tradisi rutin untuk mementaskan seni kentrung ini pada awal tahun baru hijriah tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah Jepara lewat Radio Kartini. Selain nambani kangen untuk penggemar seni kentrung di Jepara juga sebagai ajang pelestarian seni tradisional Jepara . (FM/Oedy)

PLTN dan Risiko Multisosial

Suara Merdeka, 04 April 2011

Oleh Trisno Yulianto

LEDAKAN reaktor nuklir Fukushima, Jepang, akibat gempa beberapa waktu lalu meningkatkan radiasi 1.000 kali di atas ambang batas normal. Kebocoran reaktor akibat tekanan gempa bumi membuat guncangan dahsyat di pusat reaktor nuklir.

Ada pelajaran penting di balik ledakan reaktor itu bagi Pemerintah Indonesia yang (melalui rencana strategis Batan) berkeinginan membangun PLTN di Ujungwatu, Jepara. Pertama, Jepang yang merupakan negara berkemampuan teknologi, kedisiplinan dalam pengelolaan produk teknologi, minim korupsi saja tak bisa memprediksikan dan menjaga keamanan reaktor nuklir akibat bencana alam. Seberapa kuat dan kompeten ilmuwan, teknokrat, dan birokrat ilmu pengetahuan Indonesia bisa menjamin keselamatan masyarakat dan keamanan reaktor nuklir?

Akuntabilitas Diragukan Pembangunan PLTN di Indonesia yang direncanakan di lepas pantai Jepara, konon, akan menghabiskan alokasi anggaran Rp 80 triliun. Skema pembangunan PLTN dirancang atas estimasi anggaran yang diragukan akuntabilitasnya oleh publik. Karena, kultur perencanaan anggaran adalah penggelembungan dan dalam praktik direduksi untuk ongkos politik dan birokrasi. Jika akuntabilitas anggaran pembangunan PLTN diragukan, bisa dibayangkan bagaimana kualitas PLTN yang akan dibangun. Apakah bisa dijamin tak bakal bocor dan aman sesuai dengan rencana?

Kedua, Jepang membangun PLTN untuk memproduksi energi listrik industrial. Jepang miskin sumber daya alam, sedangkan Indonesia kaya sumber daya alam tetapi selama 40 tahun lebih tak mampu mengeksplorasi dan mengeksploatasi untuk kepentingan masyarakat. Alternatif selain PLTN bisa berupa tenaga panas bumi, panas matahari, angin, yang selama ini mengalami pembiaran inovatif. Pembangunan PLTN yang tetap diskenario pemerintah dan akan dibangun ketika resistensi masyarakat mengendur lebih didasari kepentingan orientasi proyek. Bukan kepentingan rakyat.

Ketiga, area pembangunan PLTN yang konon tetap diprioritaskan di Jawa dengan sasaran utama pantai utara memiliki zona kerawanan ekologis. Riset analisis dampak lingkungan calon lokasi yang dinyatakan aman dari guncangan gempa bumi diragukan berbagai ahli geologi independen. Sebab, Pulau Jawa tidak merupakan zona steril dari ancaman gempa, gelombang tinggi, dan berbagai deformasi ekologis lain.

Kebocoran reaktor nuklir berdampak ekonomis, kemanusiaan, dan lingkungan. Ledakan dan kebocoran PLTN Chernobyl di Ukraina, Uni Soviet, 26 April 1986, adalah model kebencanaan akibat terbakar dan melelehnya pusat reaktir nuklir. Bencana itu merenggut korban ribuan jiwa. Gas radiokatif mencemari udara, air, tanah bukan hanya di zona bahaya inti gas radioaktif, melainkan menyebar ke berbagai kawasan di Rusia dan Belarusia. Gas radiasi mencemari tanah subur, yang baru pulih dan terbebas dari pencemaran zat radioaktif setelah 30 tahun.

Isu Nasional Upaya membangun PLTN sering diletupkan jadi isu nasional di tengah kemeretasan isu krisis energi. Dalam berbagai pertemuan ilmiah, sosialisasi program, serta diskursus media, upaya membangun PLTN seolah ditempatkan sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis energi yang diprediksi menimpa Indonesia beberapa tahun ke depan. Padahal, krisis energi itu sebenarnya disebabkan oleh peningkatan permintaan dan salah kelola manajemen energi puluhan tahun. Permintaan meningkat bukan untuk menyubsidi kepentingan masyarakat banyak, melainkan oleh kerangka politik industrial yang promodal dan investasi asing.

Pembangunan PLTN di berbagai negara maju selama ini secara makro tak bermasalah, kecuali beberapa tragedi di Rusia, China, Jepang, dan AS. Namun kesiapan infrastruktur keilmuan, transparansi tanggap bencana, kesiagaan birokrasi, serta pemenuhan jaminan keamanan masyarakat di negara yang memproduksi energi dari reaktor nuklir cukup memadai. Adapun Indonesia, negara yang masih termasuk 10 besar terkorup di dunia, PLTN bisa saja menjadi bencana bagi publik dan berkah bagi penguasa dan birokrasi.

Pembangunan dan pengelolaan PLTN memerlukan biaya mahal dan produksinya menghasilkan dana melimpah. Namun, apakah PLTN kelak tidak menjadi bagian dari proyek korupsi baru dengan label ilmu teknologi modern? Kompetisi tenaga ahli nuklir di Indonesia pun patut diragukan karena belum terdidik dalam aktivitas kerja keilmuan dan praksis operatif PLTN secara langsung. Jika masa transisi mendatangkan tenaga ahli (konsultan) asing, bisa dihitung berapa ongkos yang dibutuhkan.

Pembangunan PLTN di Indonesia adalah buah simalakama kegagalan rencana eksplorasi, eksploitasi, dan manajemen sumber daya energi sejak Orde Baru hingga kini. Pemerintah acap mencari jalan pintas dengan mengadopsi teknologi pemroduksi energi dan melupakan unit kreativitas teknologi yang memiliki nilai kearifan lokal. Cetak biru pembangunan reaktor nuklir (PLTN) di Indonesia, yang konon mendapat restu Badan Atom Dunia (IAEA), tak menyentuh tuntutan publik. Tak ada garansi politik, ekonomi, ekologi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjamin keselamatan masyarakat serta kelestarian PLTN.

Meski Batan dan pemerintah meretorikakan ìmenjaminî, publik tetap meragukan. Sebab, dalam kasus lumpur Lapindo saja pemerintah gagal mengimplementasikan resolusi alam, ekonomis, dan kemanusiaan, bagaimana dengan PLTN? Bukankah kultur politik penguasa sejak 40 tahun lalu lebih senang menjadikan rakyat eksperimen dan tumbal kebijakan politik pembangunan? (51)

Selasa, 29 Maret 2011

Kebijakan Pangan di Karimunjawa

Suara Merdeka, 29 Maret 2011

Oleh Riyono Abdullah

TIDAK banyak yang menyoroti dampak musim ekstrem saat ini, terutama bagi kehidupan penduduk di pulau terpencil, seperti Karimunjawa (Karimun) Kabupaten Jepara. Oktober 2010 sampai Maret ini masuk musim barat yang merupakan musim ’’kelaparan’’ bagi warga setempat.

Tinggi ombak yang bisa 2-3 m membuat Kapal Muria Jepara-Karimun sebagai sarana utama transportasi terpaksa berhenti berlayar, termasuk Kapal Cepat Kartini yang melayani rute Semarang-Karimun.

Pada saat musim barat seperti ini kadang muncul berita bahwa terjadi kelaparan dan kelangkaan pangan di Pulau Dewandaru ini, serta Pemprov Jateng dan Pemkab Jepara biasanya cepat memberi klarifikasi.

Kepulauan Karimunjawa yang dikelilingi pulau-pulau kecil terletak 110 kilometer di timur laut Semarang, dan aksesibilitas menuju kepulauan ini sangat bergantung pada kondisi pelayaran. Masalah pertama yang sering dihadapi adalah kurangnya pasokan bahan makanan. Kedua; penanganan yang dilakukan pemerintah masih bersifat instan belum ada model pengembangan ketahanan pangan yang membuat tidak jelasnya penanganan masalah kerawanan pangan.

Khusus Desa Karimunjawa, ketergantungan pangan dari Jepara memang sangat besar. Desa dengan luas 4.302 ha ini hanya memiliki lahan pertanian produktif sekitar 62 ha. Pulau Kemujan dengan luas 1.501 ha memiliki lahan produktif pertanian seluas 210 ha, sedangkan Parang (termasuk Pulau Nyamuk) dengan luas 690 ha, sebagian besar lahannya produktif untuk pertanian, yakni 400 ha. Masalah ketiga adalah tidak adanya kebijakan atau road map pengembangan pangan yang membuat gelap kemandirian pangan di Karimunjawa.

Hasil penelitian dan kajian yang dilakukan penulis sebagai bahan tesis magister menunjukkan bahwa berdasarkan data Kecamatan Karimunjawa Dalam Angka 2009, jumlah penduduk 10.210 orang. Dengan asumsi rata-rata kebutuhan beras per kapita per tahun 125 kg (Husodo, 2006) maka dibutuhkan 1.276,25 ton beras/ tahun.

Dengan luas total sawah 32 ha dan yang produktif 9 ha, estimasi produksi beras hanya sekitar 24,3 ton per tahun atau sekitar 1,9% dari kebutuhan. Dari data ini terlihat bahwa memang kondisi sumber alam lokal memang tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Jumlah cadangan bahan pangan (beras) yang dimiliki penduduk untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan estimasi kebutuhan beras per kapita per hari adalah 0,34 kg beras, maka stok beras dalam 1 bulan yang harus ada di masyarakat Karimunjawa idealnya adalah 104 ton. Namun dari pengolahan data hasil survei, stok beras di masyarakat hanya sekitar 47,4 ton atau 45% saja dari total kebutuhan satu bulan.

Analisis SWOT menunjukkan ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi kondisi pangan di kepulauan tersebut. Pertama; strategi pemantapan ketersedian pangan meliputi peningkatan cadangan pangan menjelang musim barat, per wilayahan komoditas pangan sesuai potensi, dan pemantapan infrastruktur produksi pertanian.
Membangun Ketahanan Operasionalisasinya bisa dilakukan melalui program pembangunan lumbung pangan yang difungsikan sebagai KUD dan pasar bersama saat pasokan terganggu.

Kedua; strategi pemantapan diversifikasi konsumsi pangan meliputi penyediaan suplai dengan mengembangkan sumber daya lokal (unggulan wilayah), peningkatan knowledge, attitude, dan practice (KAP) melalui gerakan konsumsi pangan yang beragam, gizi seimbang, dan aman,
Ketiga, strategi pemantapan distribusi pangan meliputi pasokan bahan pangan dari musim ke musim, penguatan posisi tawar petani dan nelayan, pengembangan sarana dan prasarana pascapanen dan infrastruktur distribusi, kemitraan petani, nelayan dan pedagang.

Peneliti saat ke Pulau Parang melihat potensi luar biasa pertanian dan wisata yang bisa mendukung kesejahteraan warga, namun ketiadaan moda transportasi yang layak membuat pulau itu jarang dikunjungi wisatawan. Pembangunan pasar sebagai sarana penggerak ekonomi desa sangat diperlukan masyarakat Karimun, dan saat ini baru saja difungsikan pasar bantuan pemerintah. Sebelumnya yang ada hanya pasar kaget.

Ketiga kebijakan itu bisa menjawab kabar bahwa kondisi Karimunjawa termasuk kategori rawan pangan sementara. Kebijakan ini melibatkan banyak instansi dan stakeholder yang harus bersinergi membangun ketahanan pangan. (10)

Jumat, 18 Maret 2011

Hapuskan Saja Ide soal PLTN Muria

Suara Merdeka, 18 Maret 2011

Cukuplah insiden meledaknya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi akibat gempa bumi di Jepang, 11 Maret lalu, menjadi pelajaran nyata bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria di Jepara. Logika penolakan berbagai elemen masyarakat di kawasan Muria yang mendapat dukungan secara nasional, makin diperkuat oleh realitas empirik bencana-bencana nuklir dunia, dan kini krisis nuklir di Jepang. Semua menjadi referensi kuat untuk melupakan saja rencana tersebut.

Simaklah pakar fisika nuklir Iwan Kurniawan ini, ”Kurang apa Jepang? Teknologi, sumber daya manusia, dan kedisiplinannya luar biasa, tetapi bencana tetap bencana yang sulit diprediksi kadarnya”. Maka ia mengimbau Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menghentikan promosi untuk membangun PLTN Muria. Pernyataan Menko Perekonomian Hatta Radjasa juga perlu digarisbawahi: ada atau tidak ada gempa Jepang, pembangunan PLTN merupakan solusi terakhir kalau sudah tidak ada sumber energi lain.

Kita tidak hendak merendahkan SDM bangsa sendiri ketika membandingkannya dengan keandalan SDM dan kedisiplinan ala Jepang. Boleh jadi secara eufimistis kita mengatakan, ”Membangun jalan tol saja tidak beres, kok ngotot membangun PLTN yang risikonya sedemikian tinggi”. Yang ingin kita tekankan hanyalah faktor besarnya kemudaratan yang bisa saja muncul karena tingginya risiko. Berbicara tentang risiko, kita tentu berbicara yang terburuk, karena masalahnya terkait dengan keselamatan dan masa depan bangsa.

Saat ini terdapat 442 PLTN di berbagai negara di dunia. Pemicunya adalah pemanasan global akibat tingginya penggunaan bahan kabar konvensional. Karena kebutuhan energi makin besar, produk nuklir pun dipandang sebagai salah satu solusi. Pilihan itu menjadi semacam tuntutan bagi negara-negara yang perekonomiannya dinamis, seperti China dan India yang masih membutuhkan suplai energi tambahan dari nuklir. Prancis juga memenuhi sekitar 70 persen energi listriknya dari nuklir. Tetapi bagaimana pasca-Fukushima?

Jepang, selama ini terus berusaha menyempurnakan pengamanan PLTN-nya dengan teknologi yang mampu menahan gempa sekuat apa pun. Namun klaim tersebut dimentahkan oleh insiden Fukushima Daiichi. Artinya, negara yang punya kemampuan konsolidasi teknologi, infrastruktur, SDM, kultur, dan disiplin tinggi pun menghadapi titik keterbatasan dalam mencegah risiko radiasi. Kalau sekadar berpikir tentang kontribusi PLTN memang positif, tetapi yang lebih positif tentu berpikir tentang ekses dan keselamatan.

Penolakan PLTN Muria pun kini mendapat energi baru. Pemerintah tidak perlu ragu untuk surut ke belakang, bahkan sama sekali melupakan rencana tersebut. Jika suatu ketika kebutuhan energi tak bisa lagi ditawar, pilihan akhir itu harus dengan mencari tapak baru yang risikonya paling kecil, jauh dari kemungkinan risiko gempa. Dorongan pembatalan tentu jangan diartikan sebagai kemandekan dinamika ekspresi kualitas SDM bangsa ini. Bukankah masih banyak medium lain untuk mengekspresikan keunggulan?

Kamis, 17 Maret 2011

Pelajaran dari PLTN Fukushima

Suara Merdeka, 17 Maret 2011

Oleh Sahala Hutabarat

PERDANA Menteri Jepang Naoto Kan dalam konferensi pers awal menyatakan tidak ada kebocoran akibat gempa berkuatan 9 Skala Richter (SR) terhadap bangunan PLTN Fukushima, tetapi kenyataannya terjadi kebocoran pada 3 reaktor nuklir. Waktu itu, lebih dari 200 ribu orang diungsikan ke zona aman, radius 20 km dari pusat pembangkitan energi tersebut. Ledakan hidrogen kali kedua, kembali terjadi Senin lalu dan mencederai 11 pekerja. Bahkan radiasi radioaktif sudah terdeteksi oleh kapal induk AS (SM, 15/ 03/11).

Meskipun Jepang telah 165 kali mengalami gempa sejak 1800, kejadian pada 11 Maret 2011 itu adalah yang terhebat dalam sejarah kegempaan di negara itu dan dunia. Pada 1 September 1923 Negeri Matahari Terbit itu juga mengalami salah satu gempa bumi hebat (7,9 SR) pada abad ke-20, yang dikenal sebagai gempa bumi Great Kanto. Gempa itu menghantam dataran Kanto, menghancurkan Tokyo dan beberapa bagian Yokohama, dan menewaskan hampir 140 ribu orang.

Terkait dengan gempa yang diikuti tsunami di Jepang itu, sebagaimana di Aceh tahun 2004, seharusnya Pemerintah Indonesia memetik pelajaran dari Jepang dalam mempersiapkan diri menghadapi gempa melalui standar keamanan yang sangat tinggi. Sejak dini, penduduk dilatih mengatasi keadaan darurat, khususnya menghadapi gempa dan tsunami. Bahkan infrastruktur publik dikembangkan sedemikian rupa sehingga walaupun terjadi gempa berkekuatan 7-8 Skala Richter, kerusakan yang diakibatkan relatif minim.

Namun apa yang diperhitungkan manusia secara teliti dan cermat, seperti pembangunan PLTN Fukushima yang dipersiapkan dan dikelola secara baik itu tidak bisa mengalahkan kekuasaan Tuhan. Konstruksi itu tetap tidak bisa menahan gempa, akibatnya terjadi ledakan diikuti kebocoran yang mengakibatkan radiasi radioaktif pada skala 4 dalam skala 0-7.

Tingkat radiasi ini berbeda dari kebocoran di PLTN Chernobyl Rusia tahun 1986, yang mencapai skala 7 dan menewaskan sedikitnya 4 ribu jiwa, dan menghancurkan seluruh fauna dan flora sehingga daerah tersebut tidak diperbolehkan ditinggali karena sudah terpapar radiasi nuklir.

Kemampuan insinyur Jepang juga sangat mumpuni dalam membuat bangunan tahan gempa karena mereka sadar negaranya rawan gempa. Dalam sejarah kegempaan di negara lain, gempa berkekuatan 7-7,5 SR bisa meluluhlantakkan bangunan dan infrastruktur. Namun Jepang membuktikan mampu meminimalisasi kerusakan akibat gempa besar seperti pada 11 Maret lalu.

Risiko Mahal Kerugian akibat gempa pasti sangat besar tetapi di balik itu banyak hal yang dapat dipelajari, utamanya kesiapsiagaan darurat bangsa Jepang yang terbukti efektif dalam mengantisipasi dan mengatur keadaan darurat, khususnya dalam menghadapi gempa dan tsunami. Masyarakatnya tidak terlalu panik menghadapinya.

Berkaca pada bencana gempa besar yang diikuti tsunami di Jepang pada 11 Maret lalu, marilah kita menarik pelajaran,
sekaligus meninjau ulang rencana pembangunan PLTN, baik di Semenanjung Muria Jepara, Banten, maupun di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Perlunya mengkaji ulang rencana itu mengingat risikonya bila terjadi kebocoran dari reaktor pembangkitan itu, terkait gempa.

Ketiga provinsi itu belum pernah mengalami gempa tektonik, tetapi harus diingat bahwa Indonesia berada di atas lempengan tektonik yang sewaktu-waktu dapat bertubrukan dan menimbulkan gempa yang diikuti tsunami. Sejarah membuktikan bahwa gempa berulang kembali pada kisaran 140-150 tahun akibat pergerakan lempeng tektonik antara 1,5 dan 7,5 cm tiap tahun.


Pada sisi lain, pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan energi sesungguhnya sangat mahal ditinjau dari teknologi dan biaya pembangunan reaktornya (belum lagi risikonya jika terjadi kebocoran) ketimbang pemanfatan sumber energi lain seperti gas, batu bara, atau panas bumi yang relatif lebih murah dan di Indonesia potensinya berlimpah.

Marilah kita belajar dengan menimba pengalaman dari gempa dan tsunami di Jepang, supaya kita lebih berhati-hati menentukan program pembangunan nasional dengan selalu memperhatikan kondisi sumber daya alam, letak geografi, kesiapan SDM dan masyarakat, serta penerapan teknologi yang tepat. (10)

Selasa, 15 Maret 2011

Tsunami Kedua: Kebocoran PLTN

Suara Merdeka, 15 Maret 2011

Oleh Prayitno

Inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?

LEBIH kuat manakah antara serangan dengan menabrakkan pesawat Boeing 747 seperti dilakukan teroris pada gedung WTC New York dan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami di Jepang, Jumat pekan lalu? Yang jelas, keduanya sama-sama mengakibatkan kehancuran dan menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Akibat hantaman Boeing 747 bermuatan bom pada 11 September 2001 itu, gedung WTC yang didesain tahan gempa, rata dengan tanah. Hanya beda penyebabnya, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi juga tak cukup kuat dari guncangan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami itu.

Ledakan di dekat reaktor PLTN fissi yang dioperasikan Tepco tersebut, sebagaimana diberitakan harian ini, meningkatkan radiasi radioaktif. Namun Pemerintah Jepang menyatakan tingkat radiasinya rendah karena ledakan itu tak memengaruhi kontainer inti reaktornya. Tapi yang pasti, warga di sekitar pembangkit energi itu telah diungsikan. Emosi kita terusik, karena gempa 8,9 SR di Jepang itu tak hanya memicu terjadinya tsunami, namun juga mengakibatkan salah satu PLTN-nya rusak.

Tentu tidak keliru jika rasa kenyamanan bangsa Indonesia terganggu atas peristiwa yang menimpa PLTN di Jepang itu. Bukankah pemerintah lewat Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) selama ini ngotot merealisasikan proyek PLTN? Berbagai argumen dan upaya untuk meyakinkan publik bahwa PLTN aman dibangun dan kita telah menguasai teknologinya, sudah dan tengah dilakukan Batan.

Ketika terjadi polemik antara pemerintah, Batan, dan kalangan pro-PLTN pada satu sisi dan kelompok anti-PLTN fissi setelah penyerangan WTC pada sisi yang lain, ada pejabat menegaskan bahwa reaktor PLTN fissi yang akan dibangun di Ujung Lemahabang, Balong, Jepara (Semenanjung Muria), tak hanya tahan dari guncangan gempa tetapi juga didesain tak mempan serangan bom pesawat Boeing 747.

Argumen yang berkesan berandai-andai itu sering kita dengar dari otoritas Batan. Padahal selama ini, Indonesia baru mengoperasikan reaktor nuklir untuk tujuan riset dan berskala sangat kecil, seperti Reaktor GA Siwabessy di Serpong, Tangerang dan Reaktor RA Kartini di Yogyakarta. Keluarannya lebih untuk pembangunan atau rekayasa pertanian dan peternakan.

Batan juga meyakinkan kita tak akan kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku utama sebagai bahan bakar yakni uranium (U), karena di perut bumi Indonesia banyak tersimpan potensi itu. Apalagi cadangan di dunia juga cukup besar.

Pembelaan diri tersebut terbukti kurang meyakinkan, setelah aktivis anti-PLTN menyodorkan data kontroversi. Menurut mereka, data cadangan U di Indonesia kecil dan tidak valid (kurun 1966-1994) dan sejatinya tak ada cadangannya. Ditegaskan, ketersediaan U di dunia hanya untuk 40-50 tahun ke depan, di samping hal itu membuat Indonesia bergantung pada asing.

Begitu pula mengenai pengelolaan limbah radiokatif yang dihasilkan PLTN. Batan sangat yakin umur limbah PLTN fissi 24 ribu tahun, dan aman dengan cara disimpan di kontainer baja di bawah tanah dengan bangunan beton. Selain itu ada teknologi yang bisa memperpendek umur limbah (rubiatron).

Tetap Ngotot Lagi-lagi argumen pejabat pemerintah tersebut dimentahkan oleh pakar nuklir yang anti-PLTN fissi. Katanya, usia bangunan penyimpanan limbah radioaktif (sebagaimana umur pengoperasian PLTN-nya), paling hanya sampai 50 tahun. Di samping pemendekan usia limbah radioaktif oleh teknologi tidak menghilangkan faktor kebahayaannya, dan belum terbukti.

PLTN Fukushima meledak tidak karena serangan Boing 747. Tapi sampai saat ini, belum diketahui pada posisi berapa instalasi PLTN didesain aman dari guncangan gempa? Siapa yang meragukan tingkat kedisiplinan superketat dan tinggi bangsa Jepang, yang kenyang pengalaman mengelola reaktor daya? Berkaca pada peristiwa pahit, yang mungkin meleset dari perkiraan sebelumnya oleh ahli PLTN Jepang, inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?

Tidak perlu malu menarik kembali gagasan itu. Termasuk amat bijak bila melupakan rencana pembangunan PLTN pertama di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) meski pemprov telah menyediakan lahan 1.500 hektare. Dana Rp 159 miliar yang telah dialokasikan untuk studi kelayakan, bisa dialihkan untuk tujuan dan target proyek yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Cukup sudah bencana itu pada 1986 menimpa PLTN Chernobyl dan gempa 8,9 SR meledakkan PLTN (fissi) Fukushima. Kita sudah lelah dan tak tahu masih berapa lama harus berjuang menyudahi multikorupsi di negeri ini, juga persoalan besar lainnya yang melilit bangsa. (10)

Senin, 14 Maret 2011

Tsunami di Jepang dan Ancaman Nuklir

Suara Merdeka, 14 Maret 2011

Tsunami yang menghantam Jepang, Jumat pekan lalu sungguh bencana dahsyat. Korban gempa dengan kekuatan 8,9 skala Richter dan tsunami itu terus bertambah. Kepolisian Jepang mencatat, korban tewas sudah menembus angka 2.000 orang. Sebagian besar belum berhasil diidentifikasi. Pihak Kepolisian Jepang, seperti dikutip Kantor Berita Kyodo menyebutkan di Prefektur Fukushima saja sudah ditemukan 1.167 mayat, sementara 600 lebih mayat ditemukan di Prefektur Miyagi dan Iwate. Wilayah-wilayah tersebut berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik.

Pemerintah lokal di masing-masing prefektur masih kesulitan mengetahui nasib puluhan ribu warganya karena kerusakan infrastruktur. Sejauh ini, sebanyak 20.820 bangunan dilaporkan rata dengan tanah dan hilang terbawa tsunami. Sementara lebih dari 300.000 orang di enam prefektur telah dievakuasi. Dari jumlah tersebut, 180.000 di antaranya adalah warga yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari reaktor nomor 1 nuklir di Fukushima. Akibat kebocoran radiasi, 19 orang dinyatakan terkontaminasi.

Di tengah keprihatinan kita, ada sejumlah pelajaran berharga yang penting untuk direnungkan. Kesiapan pemerintah Jepang menghadapi bencana patut dipuji. Laporan-laporan media massa memperlihatkan, pemerintah dan warga terlihat sudah mengantisipasi gelombang tsunami. Sistem peringatan dini berfungsi optimal, sehingga memungkinkan semua pihak menghadapi tsunami secara maksimal. Simulasi penanganan bencana dilakukan secara rutin dan intensif sehingga langkah-langkah antisipasi berjalan efektif.

Akurasi sistem peringatan dini serta sinergi pemerintah dalam program penanganan bencana terbukti efektif menekan jumlah korban. Namun, bencana itu juga membawa ancaman berikutnya, yakni bahaya radiasi nuklir. Setelah terjadi ledakan di pembangkit listrik Fukushima Dai-ichi pada Sabtu lalu, ancaman radiasi makin meningkat. Ini menjadi ancaman baru bagi Jepang. Terhadap bahaya yang lebih mengerikan dibandingkan dengan tsunami itu, pemerintah Negeri Sakura itu juga sudah menyiapkan prosedur pengamanan.

Status darurat nuklir pun langsung diumumkan, dan sekitar 170.000 warga dievakuasi dari sekitar wilayah tersebut. Namun tingkat radiasi naik melebihi angka keamanan di sekitar lokasi PLTN. Segera saja ancaman ini mengingatkan isu serupa di Tanah Air, yakni bahaya dari sebuah reaktor nuklir. Fasilitas reaksi nuklir dikelilingi oleh mesin penyimpanan baja, yang kemudian dikelilingi oleh bangunan beton. Di Jepang, hanya tsunami dahsyat yang membuat bocor pengamanan super itu.

Bayangkanlah, apa yang terjadi apabila reaktor itu adalah PLTN Muria? Kalau menangani jalan tol yang ambles dan jalan-jalan rusak saja kerepotan, adakah optimisme kita akan terbangunnya reakor nuklir yang aman dan andal? Secara ilmu dan teknologi, manusia-manusia Indonesia tentu tidak kalah dari para pakar luar negeri. Persoalan krusial terletak pada sejauh mana kebijakan dan politik pemerintah mampu menyediakan sistem yang bersih dan bertanggung jawab untuk terbangunnya infrastruktur fisik yang aman bagi warga.

Minggu, 06 Maret 2011

Dangdut di Jepara Tak Mati-mati

Suara Merdeka, 06 Maret 2011

Oleh Akhmad Efendi

MUSIK dangdut yang memiliki ciri khas pada alat musik kendang dan seruling sudah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Jepara.

Sejak era 60-an dangdut sudah akrab di telinga publik Kota Ukir dengan beberapa grup musik yang cukup populer, seperti Bintang Pagi, Surya Pagi, dan Merah Delima. Bahkan, menurut Aris Isnandar, Ketua Persatuan Artis Melayu Indonesia (PAMI) Jepara, dangdut di Jepara merupakan barometer di Jawa Tengah.

Saat ini, ada sekitar 156 grup musik dangdut di Jepara. Pemain musik yang terlibat di dalamnya sekitar 780 orang dengan rata-rata satu grup musik beranggotakan lima orang. Sementara jumlah penyanyi sekitar 80 orang.
Perkembangan itu menunjukkan potensi musik dangdut di Jepara yang tidak ada matinya.

”Apa yang saya sampaikan mengenai dangdut Jepara merupakan barometer Jawa Tengah adalah ucapan langsung dari Rhoma Irama. Saya dengar langsung dari mulut beliau. Salah satu bentuknya memang nuansa atau perkembangan dangdut di Jepara memang luar biasa dibandingkan daerah lain. Artis level nasional, seperti Jamal Mirdad dan Susi KDI juga dari Jepara,” kata Aris.

Menurutnya, perkembangan awal dangdut di Jepara adalah hobi. Berangkat dari hal itu, bermunculan grup-grup musik dangdut.
Soal inovasi, jenis musik dangdut Jepara sangat cepat beradaptasi. Jenis dangdut koplo merupakan salah satu jenis aliran yang menjadi penghilang dahaga maniak dangdut meskipun tidak lantas menghilangkan jenis musik dangdut yang asli.

”Adanya dangdut koplo merupakan respons terhadap pasar,” terang Aris.
Hal yang sama juga disampaikan Susi Indrias Tanti, alias Susi KDI. Dia merasa perkembangan musik dangdut di Jepara, terutama dalam up date lagu-lagu populer yang beredar di masyarakat, sangat cepat. ”Yang saya rasakan memang begitu. Di bandingkan dengan daerah lain, Jepara ini cepat banget soal lagu-lagu baru yang diolah menjadi musik dangdut. Saya sendiri juga lebih enjoy dengan dangdut jenis koplo karena bisa langsung menjiwai,” tuturnya.
Menjanjikan Selain soal kreativitas dalam musik yang tidak ada matinya, aspek bisnis musik dangdut di Jepara juga menjanjikan. Menurut Aris, sekali manggung rata-rata bisa meraup pendapatan sebesar Rp 5 juta.

Dalam sebulan, ketika musim pernikahan, bisa belasan kali manggung. ”Memang cukup besar, tetapi harga itu tidak lantas harga mati. Karena tinggal paketannya dan banyaknya penyanyi yang ada. Tapi, memang cukup bagus potensi di Jepara,” terang Aris.

Persaingan pun tak dapat terelakkan. ”Dalam menghadapi persaingan ini, antara grup satu dengan yang lain saling beradu kreativitas. Grup musik yang mampu memenuhi selera pasarlah yang akan bertahan. Jadi, kondisi persaingan yang ada, saya lihat baik. Dalam kesempatan ini, saya juga berharap koordinasi pelaku musik dangdut bisa lebih ditingkatkan,” sambungnya.

Susi KDI bahkan ketika masih berkutat di lokal Jepara pada 2004 hingga 2007 dalam sebulan libur manggung hanya dua kali. Sekali manggung rata-rata mendapatkan honor Rp 250 ribu.

”Saat itu saja jumlahnya sudah lumayan. Kondisi itu memungkinkan karena penyanyi tidak melekat pada salah satu grup, sehingga bisa manggung bersama banyak grup. Tapi, ada juga penyanyi yang menjadi anggota grup tertentu sehingga ketika grupnya tampil wajib ikut. Tapi, ketika tidak manggung, bisa ikut grup dangdut yang lain,” terang Susi.

Namun, musik dangdut bukan tanpa problem. Hal itu pun dialami jenis musik yang lain. Dangdut dalam beberapa kasus tak jarang menjadi pemicu perkelahian.

”Dangdut adalah seni, yang seharusnya dinikmati. Jangan kemudian menjadi ajang tawuran. Joget juga ada etikanya, sehingga jangan berlebihan. Kalau ini bisa dimengerti para pecinta dangdut, tentu citra yang muncul di masyarakat adalah positif,” kata H Subangun, pecinta dangdut yang juga Wakil Ketua DPRD Jepara. (24)

Minggu, 13 Februari 2011

Trafficking ibarat Gunung Es

Suara Merdeka, 13 Februari 2011

Kita
dikejutkan oleh adanya berita mengenai kasus perdagangan manusia (trafficking) di Jepara, beru-baru ini. Untung, Polres Jepara berhasil membongkar jaringannya.

Senin petang, 24 Januari 2011, aparat keamanan berhasil meng­hentikan mobil di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30, yang berpenumpang empat pe­rempuan yang rencananya dipe­ker­jakan sebagai pekerja seks ko­mersial (PSK) di Palembang, Sumatera Selatan. Keempat perempuan itu, dan sepasang suami istri yang diduga sebagai penyalur, diamankan polisi.

Kasus trafficking juga terjadi beberapa hari sebelumnya di Kudus. Bahkan yang memperihatinkan, korbannya adalah dua anak yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jajaran Polres Kudus berhasil membongkar jaringannya pada 19 Januari. Petu­gas me­nang­kap korban dan kliennya saat se­dang ngamar di salah satu hotel di Kudus, sekitar pukul 16.00 WIB. Seorang induk semang dan dua orang pe­rantaranya juga ditangkap.

Pembongkaran dua kasus tersebut bisa jadi merupakan fenomena kecil dari fenomena besar perdagangan manusia di daerah ini, karena jaringan ini selalau bergerak dengan cara tersembunyi. Ibarat gunung es, kasus yang terbongkar oleh polisi mungkin baru sebagian kecil dari keadaan yang se­nya­ta­nya.

Hal ini bisa terjadi mengingat kasus serupa juga sudah pernah terbongkar dua tahun se­belumnya. Waktu itu, 18 Januari 2009, Polres Kudus berhasil menyelamatkan lima perempuan yang dipekerjakan sebagai PSK di lokalisasi Pang­kalan Bun, Kali­mantan Tengah.
Enam pelaku diamankan, empat di antaranya berasal dari Kudus, yang berperan sebagai pencari korban dan dua orang berperan sebagai otak pela­ku yang berasal dari Kali­mantan.

Sementara itu, Pada 5 Mei 2008, Polres Jepara juga berhasil menggagalkan perdagangan perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Jambi, tepatnya di lo­kalisasi Kota Baru. Empat perempuan menjadi korban. Polisi meng­amankan seorang tersangka saat membawa para korban ke daerah tujuan di jalur Keling-Kelet. Para korban dinaikkan Isuzu Panther. Tersangka tertangkap setelah polisi menerima laporan dari keluarga korban. Selanjutnya, anggota Pol­res Jepara berkoordinasi dengan Polsek Keling untuk mengejar dan menangkap mereka.
Para korban mengaku tidak tahu akan diperkerjakan sebagai PSK, sebab dijanjikan sebagai pekerja di sebuah kafe di Jambi.

Mereka juga mengaku tidak begitu mengenal tersangka, sebab keempatnya hanya ditawari mendapatkan pekerjaan dan diberi upah Rp 500.000 tiap bulannya.

Sebelum direkrut, korban di­datangi perantara dengan mena­wari pekerjaan di luar Jawa. Setelah satu per satu setuju, mereka dijemput hari Minggu untuk bertemu dengan pelaku. Namun, dalam perjalanan menuju Pati, laju mobil yang membawa para korban berhasil dihentikan polisi, tepatnya di Pasar Keling.

Waspada
Terungkapnya beberapa kasus trafficking itu, baik yang terjadi di Kudus, maupun di Jepara, telah mengundang keprihatinan berbagai pihak. Para orang tua, terutama yang memiliki anak gadis, diminta waspada dari tindak kejahatan perdagangan orang, lewat modus ta­waran kerja, dengan gaji tinggi.

”Untuk melancarkan aksinya, pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dengan menawar­kan pekerjaan. ” Pada saat pembe­rangkatan, mereka tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat,kata Kabid Per­lin­dungan Perempuan dan Anak pada Jaringan Perlindungan Pe­rempuan dan Anak (JPPA) Kudus, Endang Erowati.
Menurutnya, hal itu untuk meng­hilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk memberi ke­mudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah.

Berdasarkan penelusuran tim JPPA terhadap korban trafficking, ternyata orang tua korban memang termakan bujukan pelaku untuk tidak memedulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja. ”Se­bagian besar, orang tua juga meng­ikuti saja kehendak pelaku,” ujar­nya.

Endang mengimbau kepada orang tua untuk tidak mudah terbujuk pada tawaran kerja dengan gaji tinggi. Selain itu, kalaupun ada tawaran pekerjaan bagi anaknya, setidaknya memberitahukan kepada pemerintahan desa setempat.
”Setidaknya, jika terjadi hal-hal yang tidak baik, mudah diusut,” ujarnya.

Ketika jaringan perdagangan anak di Kudus terbongkar Januari lalu, Kapolres Kudus AKBP R. Slamet Santoso didampingi Kasat­reskrim AKP Suwardi mengungkapkan bahwa jaringan ini terstruktur dan rapi.
Pihaknya mengimbau agar orang tua selalu memantau keberadaan anaknya, baik di sekolah, maupun sepulang sekolah.

”Kami mengindikasikan, masih banyak kasus seperti ini yang belum tercium petugas. Untuk itu, kami berharap kepada masyarakat yang mengetahui kasus seperti ini, langsung melaporkannya ke petugas yang berwenang supaya segera ditindaklanjuti,” imbaunya.

Kadisdikpora Kabupaten Ku­dus, Sudjatmiko, mengharapkan semua pihak agar tidak melihat kasus perdagangan anak di Kudus sebagai sebuah gambaran umum wajah edukasi di Kota Keretak ini. Satu hal yang pasti, melalui kejadian tersebut diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

”Kepada setiap sekolah, kami sudah menginstruksikan agar dapat memberikan tambahan kegiatan agar siswa dapat disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya positif,” ung­kap­nya.
Hal senada juga dikemukakan salah seorang pendidik SMP, Basuki Sugita. Menurutnya, semua pihak tentu tidak dapat cuci tangan begitu saja pada kasus tersebut.

Pemerhati masalah sosial dari Universitas Muria Kudus (UMK), Mochamad Widjanarko, menyebut kasus perdagangan anak perempuan yang masih duduk di bangku SMK itu tidak dapat diselesaikan secara sepotong-sepotong. Banyak pihak yang harus memberikan kontribusinya, mulai dari orang tua, pen­didik dan masyarakat. (Anton W Hartono, Mauham­mad Ali -24)

Sabtu, 12 Februari 2011

Banjir Membayangi Kawasan Muria

Suara Merdeka, 12 Februari 2011

Banjir yang memorakporandakan puluhan desa di Kabupaten Pati, Kudus, dan Jepara, Minggu lalu, mendencingkan peringatan: cuaca ekstrem masih membayangi. Kalau pada beberapa tahun lalu kita masih bisa memerkirakan musim hujan lazimnya berakhir kira-kira akhir Februari atau awal Maret, sekarang semua cenderung menjadi serbatidak terduga. Secara awam, jika akhir April diprediksi baru memasuki cuaca terang, anomali cuaca harus menjadi titik perhatian tersendiri.

Dalam kondisi demikian, adaptasi bermobilitas sosial-ekonomi mesti dilakukan. Bukan hanya kerusakan infrastruktur transportasi dan yang langsung bersinggungan dengan kehidupan ekonomi masyarakat seperti sawah dan pasar; rumah-rumah penduduk pun terhantam banjir. Tanggul jebol karena pendangkalan sungai dan saluran-saluran, air sungai melimpas akibat tingginya curah hujan, hingga sifat topografi kawasan tertentu yang memang rendah sehingga menjadi tempat akumulatif parkir air.

Makin menurunnya kualitas daya tangkal sejumlah kawasan ketika curah hujan tinggi menjadi fenomena di mana-mana, termasuk Muria dan sekitarnya. Banjir bandang di Celering, Jepara beberapa pekan lalu, dan sekarang di wilayah lereng Muria dan pegunungan Kendeng utara, memiliki keterkaitan dalam kemiripan pola. Kita mesti membangun ”kecurigaan”, penurunan mutu akomodasi tanah itu terutama dipicu oleh peruntukan kawasan dan kecenderungan degradasi ekologis.

Apakah kualitas ekologis kawasan Celering, Muria, dan Kendeng mengalami degradasi karena kehilangan pilar-pilar penopang, sehingga kemampuan tangkapan airnya menurun? Perhatian dan sikap para pegiat lingkungan terhadap kawasan di lingkaran tiga gunung tersebut sebenarnya cukup intens, terutama dalam ikhtiar pengawalan Perda Tata Ruang Jawa Tengah. Hanya, banjir yang sekarang terjadi mestinya memang mengetuk kesadaran lebih besar lagi dari semua pemangku kepentingan.

Dari gejala peningkatan intensitas banjir pada musim penghujan tahun ini, maka kesiapan antisipasi di Pati, Kudus, dan Jepara menjadi ukuran bagi langkah-langkah kuratif pada tahun depan. Juga bagaimana menciptakan sistem pengendaliannya. Fokusnya adalah kesiapan, berupa manajemen antisipasi yang bersifat faali seperti pengungsian, pangan, dan langkah-langkah darurat lainnya. Selanjutnya, manajemen antisipasi yang bersifat preventif harus dijadikan sikap sepanjang waktu.

Bisa digambarkan kerusakan kantung-kantung ekonomi masyarakat: sawah, kebun, atau pasar. Juga kehancuran fasilitas seperti rumah dan sekolah-sekolah. Dituntut kesigapan otoritas-otoritas terkait dalam jangka pendek hingga masa tanggap darurat dan pemulihan selesai. Kita galang solidaritas, simpati dan empati bagi mereka yang tengah menghadapi bencana. Ke depan, bagaimana mengimplementasi konsep pencegahan dari para pemangku kepentingan di kawasan Muria dan sekitarnya.

Rabu, 26 Januari 2011

Kasus Trafficking, Jaringan Sumarti Diburu

Suara Merdeka, 26 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Polisi masih terus mengembangkan penyelidikan atas kasus perdagangan perempuan (trafficking) di Jepara yang dikirim ke Palembang, Sumatra Selatan untuk dijadikan pekerja seks komersial (PSK).

Dua tersangka utama, Sumarti (41) dan Ruli Setiawan (38) warga Desa Jlegong RT 2 RW 1, Keling, hingga kini masih ditahan di Maporles Jepara dan dimintai keterangan.

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi mengemukakan, pihaknya masih memperdalam jaringan Sumarti dan suaminya untuk tenaga perekrutan ke Palembang. Pada pemeriksaan awal, Sumarti mengaku bekerja sendirian dan empat korban tersebut datang ke rumahnya untuk meminta pekerjaan. Keterangan Sumarti ini belum bisa membuat polisi percaya. Pasalnya, disinyalir Sumarti dan Ruli tidak bekerja sendirian.

"Kami masih memburu tangan kanan Sumarti atau biasa disebut calo atau pencari perempuan yang dipekerjakan kepada tersangka," ujar Ruslan, Rabu (26/1).

Pengembangan ini bekerja sama dengan kepolisian Palembang, mencari informasi berapa perempuan dari Jepara yang direkrut Sumarti untuk menjadi PSK.

Sebelumnya, Polres Jepara berhasil membongkar jaringan perdagangan wanita (trafficking) yang dipekerjakan ke Palembang, Sumatra Selatan, Senin (24/1) petang. Polisi berhasil menghentikan mobil berpenumpang empat perempuan yang rencananya dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30.

Dari pengejaran itu, polisi mengamankan empat perempuan, yakni Win (28) warga Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Mar (25) warga Desa Sumber Rejo, Donorojo, Sof (25) warga Sowan Kidul, Kedung dan Sol (29) warga Bumiharjo Keling. Keempatnya hendak diberangkatkan ke Palembang melalui jalur darat mengendarai Kijang Inova hitam BG-2934-NL

Sementara itu, di salah satu ruang pemeriksaan reskrim Mapolres Jepara, pjs Kasat Reskrim Iptu Rismanto masih memintai keterangan Sumarti terkait jaringannya tersebut. Namun, ia tetap bersikeras tidak mau membuka mata rantai komplotannya.

Di hadapan Rismanto, Sumarti mengaku bekerja sendiri bersama suaminya untuk perekrutan perempuan. Bahkan, dia menjelaskan, bukan dirinya yang menawari pekerjaan, melainkan para korban yang mendatangi dirinya untuk meminat pekerjaan.

Salah satu pekerjaan yang ditawarkannya yakni menjadi pelayan di Kafe Monalisa di Palembang dengan iming-iming bayaran tinggi. Tersangka juga mengaku, sebelumnya, keempatnya pernah bekerja sebagai PSK di Semarang, Pati, dan Bangka Belitung. Namun, karena penghasilannya sedikit, akhirnya memilih mencoba ikut Sumarti. ( Budi Cahyono / CN16 / JBSM )

Selasa, 25 Januari 2011

Dibongkar, Jaringan Traficking Jepara

Suara Merdeka, 25 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Kepolisian Resor (Polres) Jepara berhasil membongkar jaringan perdagangan wanita (traficking) yang dipekerjakan ke Palembang, Sumatera Selatan, Senin (24/1) petang. Polisi berhasil menghentikan mobil yang mengangkut empat wanita yang rencananya dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30.

Dalam pengejaran dengan sandi Operasi Bunga yang dipimpin langsung Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi dan sejumlah anggota termasuk pejabat sementara Kasat Reskrim Iptu Rismanto.

Dari pengejaran itu, polisi berhasil mengamankan empat wanita masing-masing berinisal Win (28) warga Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Mar (25) warga Desa Sumber Rejo, Donorojo, Sof (25) warga Sowan Kidul, Kedung dan Sol (29) warga Bumiharjo Keling.

Keempatnya hendak diberangkatkan ke Palembang melalui jalur darat mengendarai Kijang Inova hitam BG-2934-NL. Selain mengamankan empat wanita, polisi juga berhasil meringkus pasangan suami istri sebagai tersangka yakni Sumarti (41) dan Ruli Setiawan (38) warga Desa Jlegong RT 2 RW 1, Keling.

Pengungkapan jaringan Sumarti ini setelah ada informasi yang masuk ke Polres Jepara beberapa waktu lalu Untuk memastikan jaringan Sumarti, polisi melakukan penyelidikan selama sepekan terakhir dan menghubungi anggota di Palembang dimana lokasi kafe milik Sumarti mempekerjakan wanita ini sebagai PSK.

"Setelah kami mendapatkan informasi dan tersangka pulang ke Jepara, penangkapan pun akhirnya dilakukan di tengah jalan saat korban hendak dibawa ke Palembang," tegas Kapolres Jepara Ruslan Ependi saat gelar perkara, Selasa (25/1).

Bayaran Tinggi
Sebelumnya, polisi mendapatkan informasi jika Sumarti dan suaminya Ruli kembali ke Jepara untuk merekrut tenaga wanita untuk dipekerjakan di kafe dengan iming-iming bayaran tinggi. Empat wanita tersebut sudah diberi uang panjar sebesar Rp 500.000. Saat pemberangkatan, mereka dijemput satu per satu oleh tersangka di rumah masing-masing.

"Sebagian korban ini tahunya bekerja di kafe atau rumah makan di Palembang. Tetapi sampai di sana dipekerjakan sebagai PSK untuk melayani hidung belang. Tarifnya berkisar antara Rp 150.000-Rp 300.000 sekali kencan," tandas Kapolres.

Di Palembang, mereka ini dipekerjakan di Kafe Monalisa yang menyediakan live musik bersanding dengan deretan kafe lainnya. Para wanita ini untuk kedoknya dipekerjakan sebagai kafe. Jika ada lelaki yang minat menyewanya, Sumarti yang bertindak sebagai mami menyediakan kamar untuk kencan para tamunya dengan anak buahnya.

Sumarti dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU nomor 21 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 15 tahuh penjara dan denda paling sedikit Rp 120 juta, paling banyak Rp 600 juta.

Sementara Ruli dijuntokan pasal 10 turut membantu perekrutan dengan ancaman setahun penjara, paling lama enam tahun dan denda paling sedikit Rp 40 juta, paling banyak Rp 240 juta.

"Untuk empat korban kami pulangkan ke rumah masing-masing. Sedangkan barang bukti satu unit mobil, dan dua tersangka masih kami mintai keterangan. Kami akan kembangkan jaringannya, apakah hanya berdua atau melibatkan orang lain," imbuh Ruslan. ( Budi Cahyono / CN26 / JBSM )

Cabuli Anak Bawah Umur, Enam Pemuda Diprodeokan

Suara Merdeka, 25 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Enam pemuda, satu di antaranya masih kelas tiga SMP, diamankan polisi karena mencabuli anak dibawah umur. Sebut saja Mawar (16), warga Kecamatan Pecangaan yang mengaku dicabuli enam pemuda, masing-masing Teg (20), Ris (25), Bok (25), ketiganya warga Desa/Kecamatan Tahunan.

Tiga tersangka lainnya yakni Rud (23) Guf (18), dan Dik (16). Mereka warga Desa Somosari, Kecamatan Batealit. Dik, masih duduk di kelas tiga di sebuah SMP di Kabupaten Jepara.

Keenam tersangka ini diciduk polisi dan dimasukkan hotel prodeo, Sabtu (22/1) siang setelah dijemput di rumah masing-masing. Sebelumnya polisi menerima laporan dari orang tua Mawar 12 Januari lalu.

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi didampingi pjs Kasat Reskrim Iptu Rismanto, mengungkapkan kronologis peristiwa yang berakhir pada pencabulan Mawar. Pencabulan ini terjadi di rumah Dik, Jumat (7/1) lalu. Sebelumnya, korban dijemput sekitar pukul 14.00 oleh tersangka Teg dan Ris dan diajak pesta minuman oplosan yang terbuat dari dextro, suplemen dan dicampur air putih di rumah Ris.

Kondisi Mawar dan rekan-rekannya tersebut setengah mabuk. Kemudian diajak ke Pantai Teluk Awur untuk melanjutkan pesta minuman keras (miras) jenis ginseng hingga mabuk berat. Sekitar pukul 16.30, mereka berangkat menuju Somosari bersama korban ke rumah Rud. "Saat itu kondisi korban mabuk berat, bahkan muntah-muntah akibat miras berlebihan. Karena tak sadar akibat mabuk, korban dipaksa Bok masuk kamar dan lalu dicabuli, setelah itu gantian rekan-rekan lainnya," kata Rismanto, Selasa (25/1).

Di situlah secara bergantian tersangka Bok, Teg dan Ris mencabuli korban. Setelah ketiga tersangka pulang ke rumahnya, pagi harinya giliran Rud, Guf dan Dik yang mencabuli secara bergantian. Saat diperiksa penyidik, para tersangka ini mengaku yang mengajak berbuat mesum adalah Mawar. Tetapi setelah dikonfrontir keterangan para tersangka, Mawar dipaksa oleh keenamnya dan dicabuli bergantian.

Rismanto menjelaskan, sebelum dibawa ke ranah hukum, pihak keluarga Mawar dengan para tersangka berusaha mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. Keluarga Mawar meminta uang damai sebesar Rp 12 juta, namun tidak disanggupi para tersangka. Keenamnya hanya sanggup membayar Rp 1 juta. Karena mengalami jalan buntu, akhirnya kasus ini dilaporkan ke Polres Jepara.

"Para tersangka akan dijerat dengan pasal 82 pada Undang-undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman kurungan penjara maksimal 15 tahun. Saat ini para tersangka sudah ditahan di Mapolres Jepara," tegas Rismanto. ( Budi Cahyono / CN16 / JBSM )

Kamis, 20 Januari 2011

Mengusung Ikon Macan Kurung

Suara Merdeka, 20 Januari 2011

Oleh Kus Haryadi

MACAN kurung adalah sebuah karya seni ukir khas Jepara yang berkembang sejak zaman RA Kartini dan mengalami kejayaan selama kurang lebih satu abad sesudahnya. Macan kurung muncul di tengah-tengah sistem pemerintahan kolonial dan adat-istiadat budaya feodal. Diduga karya seni ini sebagai ekspresi simbolis perlawanan para perajin ukir atas tekanan hidup yang dirasakan saat itu.

Karya seni itu berbentuk seekor macan yang hidup di dalam sebuah kurungan. Di dalam kurungan terdapat pula bola yang dapat menggelinding dan rantai pengikat macan. Bagian atas kurungan sering diberi berbagai hiasan berbentuk binatang, seperti burung, naga, ular, dan sebagainya.

Karya itu mempunyai keunikan tersendiri dari teknik pembuatannya. Ukiran ini dibuat pada segelondong kayu utuh tanpa dibelah dan tanpa sambungan. Karena keunikan-keunikan inilah macan kurung pernah menjadi primadona pada masa sebelum booming industri mebel ukir Jepara.

Disebut macan kurung Belakanggunung karena karya seni ini lahir dari tangan terampil seniman ukir masyarakat Dukuh Belakanggunung Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Belakanggunung merupakan salah satu wilayah yang sangat bersejarah dan paling fenomenal dalam ranah pertumbuhan kerajinan ukir kayu di kabupaten itu. Sebuah mitos keajaiban pahat pusaka dan sejarah perkembangan ukiran Jepara tidak lepas dari dukuh tersebut.

Kegiatan mengukir itu terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang sehingga menjadi pilar utama terciptanya kesejahteraan masyarakat setempat. Seni ukir macan kurung Belakanggunung juga menjadi salah satu embrio bagi tumbuhnya sentra seni ukir patung Mulyoharjo yang juga menjadi primadona Kabupaten Jepara.

Namun ketika Belakanggunung telah mengalami kejayaan sebagai sentra seni ukir patung, justru keberadaan macan kurung dewasa ini makin tergeser oleh produk-produk baru. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkannya.

Tidak diproduksinya macan kurung oleh perajin sekarang bukan karena kerumitan atau kesulitan teknis pembuatannya. Keahlian serta kreativitas perajin muda sekarang dalam membuat ukiran bahkan sering kali lebih hebat dari pendahulunya. Alasan pasarlah yang menjadi faktor utama. Perajin tidak berani membuat stok macan kurung karena rendahnya minat pembeli asing dan daya beli konsumen lokal.
Hak Cipta Dewasa ini macan kurung sudah tidak lagi menjadi primadona, namun geliat pengusungan macan kurung masih sangat terasa. Geliat tersebut nampak dalam berbagai momentum terutama yang dilakuan oleh para seniman, Pemerintah Kabupaten Jepara, media masa, dan publik Jepara.

Sesekali masih ada perajin yang membuat macan kurung walaupun tidak jelas apakah ukiran itu akan terjual atau tidak. Motivasinya bermacam-macam: ada yang mencoba menarik perhatian barang kali ada yang terpikat membeli; sekadar mengoleksi untuk apresiasi bagi pengunjung; ada pula perajin yang bernostalgia dengan kesibukan membuat karya seni itu seperti pada masa kejayaannya dulu.

Strategi kreatif juga masih terus dilakukan perajin. Salah satunya dengan cara mengemas macan kurung menjadi suvenir replika yang lebih simpel dari segi ukuran, bentuk, maupun teknik pembuatannya. Perajin menyederhanakan teknik pembuatan untuk keperluan tertentu, tanpa berbenturan dengan nilai-nilai yang harus dilestarikan. Cara ini diharapkan dapat memperkenalkan kembali macan kurung sebagai ukiran khas yang menginspirasi.

Komunitas seni peran termasuk bagian yang terinspirasi oleh macan kurung. Sebuah kelompok teater bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya sempat mengusung macan kurung sebagai lakon dalam sebuah pementasan kolosal di Jepara, Semarang, dan Jakarta.

Selain itu Pemerintah Kabupaten Jepara tiada henti berupaya melekatkan di hati masyarakat melalui berbagai kegiatan. Seperti yang dilakukan dalam beberapa kali pameran di dalam dan di luar negeri. Pemerintah mencoba menampilkan ukiran macan kurung sekaligus mendemonstrasikan proses pembuatannya.

Upaya hukum dilakukan pada tahun 2008 dengan mendaftarkan bersama dengan puluhan desain ukiran khas Jepara lainnya kepada Dirjen HKI untuk mendapatkan perlindungan hukum atas aset budaya Jepara. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap macan kurung maka diharapkan tidak akan terjadi lagi klaim hak cipta dari pihak asing. (10)

Jumat, 07 Januari 2011

Bayi Dibuang di Tempat Sampah

Suara Merdeka, 07 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Seorang bayi perempuan yang diperkirakan berusia enam bulan dalam kandungan ditemukan sudah tak bernyawa di tempat sampah sebelah barat terminas Kota Jepara, Kamis (6/1) sekitar pukul 23.30.

Mayat bayi tersebut ditemukan oleh seorang pemulung, Yuliasih (50) warga Desa Lebak, Kecamtan Pakis Aji saat mencari sampah di lokasi tersebut. Diduga, bayi tersebut dibuang oleh orang tuanya karena hasil dari hubungan gelap.

Yuliasih menuturkan, saat itu dia tengah beraktivitas mencari sampah di sekitar jalan dekat Terminal Kota. Saat mendekat, dia kaget karena di dalam tempat sampah ada sesosok bayi yang sudah tak bernyawa.

Karena panik, dia pun menginformasikan ke warga sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Kondisi mayat memprihatinkan, karena bayi tersebut dibungkus kantung plastik warna putih dan kuning secara berlapis.

Selanjutnya, warga menghubungi Mapolsek Kota dan diteruskan ke Mapolres Jepara. Tak berselang lama, anggota satreskrim dan unit identifikasi tiba di TKP. Sedangkan bayi tersebut langsung dibawa ke kamar mayat RSU RA Kartini setelah olah TKP sekitar pukul 01.20

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi didampingi Kapolsek Kota AKP Sarwo Edi Santosa di TKP mengatakan, dari olah TKP sementara diduga bayi tersebut sengaja dibuang oleh orang tuanya karena hasil hubungan gelap. "Bisa jadi karena takut aibnya terbongkar, akhirnya bayi yang dilahirkan dibuang di tempat sampah dengan maksud agar tidak diektahui identitasnya," ungkapnya, Jumat (7/1) dini hari.

Sementara itu, dari visum di RSU RA Kartini, dokter Sumadi mengungkapkan, mayat bayi tersebut diperkirakan berusia enam bulan dalam kandungan. Hal itu diketahui dari bentuk dan ukuran tubuh bayi.

"Dengan usia bayi yang prematur, ada indikasi bayi dilahirkan dengan paksa atau sengaja digugurkan," tegasnya usai visum di kamar mayat RSU RA Kartini, Jumat dini hari.

Terpisah, pejabat sementara Kasat Reskrim Polres Jepara, Iptu Rismanto menjelaskan, polisi sudah meminta keterangan saksi Yuliasih si penemu pertama. Kasus ini masih proses penyelidikan dan mencari informasi di sekitar tempat kejadian terkait wanita hamil. ( Budi Cahyono / CN26 )

Kamis, 06 Januari 2011

Korban Tiwul dalam Ketahanan Pangan

Suara Merdeka, 06 Januari 2011

Provinsi Jawa Tengah, termasuk daerah yang memiliki ketahanan pangan cukup baik. Dalam pemetaan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Jepara termasuk daerah yang diberi label warna hijau tua. Artinya, ketahanan pangannya cukup mantap. Tetapi, apa yang terjadi beberapa waktu lalu, di Jepara jatuh 6 korban jiwa sebagai akibat mengonsumsi tiwul. Apa yang terjadi ini sungguh aneh, bahkan mungkin di luar dugaan. Di zaman seperti ini ada yang mengonsumsi tiwul.

Tentu saja peristiwa tersebut mengundang pertanyaan serius, kenapa keluarga Jamhamid mengonsumsi makanan yang terbuat dari singkong tersebut. Apakah itu dilakukan sekedar ”klangenan” karena lama tidak mengkonsumsinya ? Atau terpaksa makan karena tidak memiliki bahan pangan lainnya ? Tampaknya lebih karena tidak memiliki makanan lain, sehingga dengan terpaksa mengonsumsi tiwul. Fakta ini terasa paling kuat.

Dari fakta terungkap bahwa keluarga Jamhamid tergolong tidak mampu, sehingga setiap hari hampir pasti mengonsumsi tiwul. Apalagi di tengah kenaikan harga bahan pangan yang cukup tinggi, tentu keluarga itu tidak mampu menjangkaunya. Jika pun beras tak mampu, apalagi bahan pangan lainnya hampir pasti tidak terbeli dengan baik. Apakah keluarga ini juga tidak terjangkau program beras miskin (raskin) ini juga pertanyaan yang lain.

Kita juga meyakini bahwa masih banyak dari keluarga di daerah ini yang mengonsumsi tiwul. Ada dua cara untuk melihat peristiwa tersebut, yakni pertama bahan pangan tiwul pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Hingga kini, tiwul kadangkala masih disikapi sebagai salah satu bentuk variasi bahan pangan. Jika proses pembuatan bersih, bahan pangan itu cukup higienis dan mengeyangkan.

Tetapi, jika tiwul dikonsumsi secara terpaksa lebih karena tidak memiliki pilihan lain, maka pemerintah harus menjadi peristiwa itu dicatat dengan tinta merah. Tanpa mengurangi rasa hormat bahwa pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap ketahanan pangan, tetapi fakta itu tidak bisa diabaikan. Di atas kertas benar sekali, daerah ini memiliki ketahanan pangan yang bagus. Tetapi, apakah pangan itu benar bisa terbeli oleh masyarakat.

Berkaca dari peristiwa tersebut, pemerintah di berbagai tingkatan, terutama kabupaten/kota harus meneliti kembali tentang angka-angka ketahanan pangan, kemiskinan, daya beli, dan sebagainya. Para kepala daerah perlu lebih jernih dan terbuka dalam melihat kemiskinan di daerahnya. Data angka kemiskinan jangan disulap menjadi lebih bagus supaya citra meningkat. Sebaliknya, data harus disajikan apa adanya agar solusinya juga tepat dan akurat.