Rabu, 26 Januari 2011

Kasus Trafficking, Jaringan Sumarti Diburu

Suara Merdeka, 26 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Polisi masih terus mengembangkan penyelidikan atas kasus perdagangan perempuan (trafficking) di Jepara yang dikirim ke Palembang, Sumatra Selatan untuk dijadikan pekerja seks komersial (PSK).

Dua tersangka utama, Sumarti (41) dan Ruli Setiawan (38) warga Desa Jlegong RT 2 RW 1, Keling, hingga kini masih ditahan di Maporles Jepara dan dimintai keterangan.

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi mengemukakan, pihaknya masih memperdalam jaringan Sumarti dan suaminya untuk tenaga perekrutan ke Palembang. Pada pemeriksaan awal, Sumarti mengaku bekerja sendirian dan empat korban tersebut datang ke rumahnya untuk meminta pekerjaan. Keterangan Sumarti ini belum bisa membuat polisi percaya. Pasalnya, disinyalir Sumarti dan Ruli tidak bekerja sendirian.

"Kami masih memburu tangan kanan Sumarti atau biasa disebut calo atau pencari perempuan yang dipekerjakan kepada tersangka," ujar Ruslan, Rabu (26/1).

Pengembangan ini bekerja sama dengan kepolisian Palembang, mencari informasi berapa perempuan dari Jepara yang direkrut Sumarti untuk menjadi PSK.

Sebelumnya, Polres Jepara berhasil membongkar jaringan perdagangan wanita (trafficking) yang dipekerjakan ke Palembang, Sumatra Selatan, Senin (24/1) petang. Polisi berhasil menghentikan mobil berpenumpang empat perempuan yang rencananya dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30.

Dari pengejaran itu, polisi mengamankan empat perempuan, yakni Win (28) warga Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Mar (25) warga Desa Sumber Rejo, Donorojo, Sof (25) warga Sowan Kidul, Kedung dan Sol (29) warga Bumiharjo Keling. Keempatnya hendak diberangkatkan ke Palembang melalui jalur darat mengendarai Kijang Inova hitam BG-2934-NL

Sementara itu, di salah satu ruang pemeriksaan reskrim Mapolres Jepara, pjs Kasat Reskrim Iptu Rismanto masih memintai keterangan Sumarti terkait jaringannya tersebut. Namun, ia tetap bersikeras tidak mau membuka mata rantai komplotannya.

Di hadapan Rismanto, Sumarti mengaku bekerja sendiri bersama suaminya untuk perekrutan perempuan. Bahkan, dia menjelaskan, bukan dirinya yang menawari pekerjaan, melainkan para korban yang mendatangi dirinya untuk meminat pekerjaan.

Salah satu pekerjaan yang ditawarkannya yakni menjadi pelayan di Kafe Monalisa di Palembang dengan iming-iming bayaran tinggi. Tersangka juga mengaku, sebelumnya, keempatnya pernah bekerja sebagai PSK di Semarang, Pati, dan Bangka Belitung. Namun, karena penghasilannya sedikit, akhirnya memilih mencoba ikut Sumarti. ( Budi Cahyono / CN16 / JBSM )

Selasa, 25 Januari 2011

Dibongkar, Jaringan Traficking Jepara

Suara Merdeka, 25 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Kepolisian Resor (Polres) Jepara berhasil membongkar jaringan perdagangan wanita (traficking) yang dipekerjakan ke Palembang, Sumatera Selatan, Senin (24/1) petang. Polisi berhasil menghentikan mobil yang mengangkut empat wanita yang rencananya dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30.

Dalam pengejaran dengan sandi Operasi Bunga yang dipimpin langsung Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi dan sejumlah anggota termasuk pejabat sementara Kasat Reskrim Iptu Rismanto.

Dari pengejaran itu, polisi berhasil mengamankan empat wanita masing-masing berinisal Win (28) warga Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Mar (25) warga Desa Sumber Rejo, Donorojo, Sof (25) warga Sowan Kidul, Kedung dan Sol (29) warga Bumiharjo Keling.

Keempatnya hendak diberangkatkan ke Palembang melalui jalur darat mengendarai Kijang Inova hitam BG-2934-NL. Selain mengamankan empat wanita, polisi juga berhasil meringkus pasangan suami istri sebagai tersangka yakni Sumarti (41) dan Ruli Setiawan (38) warga Desa Jlegong RT 2 RW 1, Keling.

Pengungkapan jaringan Sumarti ini setelah ada informasi yang masuk ke Polres Jepara beberapa waktu lalu Untuk memastikan jaringan Sumarti, polisi melakukan penyelidikan selama sepekan terakhir dan menghubungi anggota di Palembang dimana lokasi kafe milik Sumarti mempekerjakan wanita ini sebagai PSK.

"Setelah kami mendapatkan informasi dan tersangka pulang ke Jepara, penangkapan pun akhirnya dilakukan di tengah jalan saat korban hendak dibawa ke Palembang," tegas Kapolres Jepara Ruslan Ependi saat gelar perkara, Selasa (25/1).

Bayaran Tinggi
Sebelumnya, polisi mendapatkan informasi jika Sumarti dan suaminya Ruli kembali ke Jepara untuk merekrut tenaga wanita untuk dipekerjakan di kafe dengan iming-iming bayaran tinggi. Empat wanita tersebut sudah diberi uang panjar sebesar Rp 500.000. Saat pemberangkatan, mereka dijemput satu per satu oleh tersangka di rumah masing-masing.

"Sebagian korban ini tahunya bekerja di kafe atau rumah makan di Palembang. Tetapi sampai di sana dipekerjakan sebagai PSK untuk melayani hidung belang. Tarifnya berkisar antara Rp 150.000-Rp 300.000 sekali kencan," tandas Kapolres.

Di Palembang, mereka ini dipekerjakan di Kafe Monalisa yang menyediakan live musik bersanding dengan deretan kafe lainnya. Para wanita ini untuk kedoknya dipekerjakan sebagai kafe. Jika ada lelaki yang minat menyewanya, Sumarti yang bertindak sebagai mami menyediakan kamar untuk kencan para tamunya dengan anak buahnya.

Sumarti dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU nomor 21 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 15 tahuh penjara dan denda paling sedikit Rp 120 juta, paling banyak Rp 600 juta.

Sementara Ruli dijuntokan pasal 10 turut membantu perekrutan dengan ancaman setahun penjara, paling lama enam tahun dan denda paling sedikit Rp 40 juta, paling banyak Rp 240 juta.

"Untuk empat korban kami pulangkan ke rumah masing-masing. Sedangkan barang bukti satu unit mobil, dan dua tersangka masih kami mintai keterangan. Kami akan kembangkan jaringannya, apakah hanya berdua atau melibatkan orang lain," imbuh Ruslan. ( Budi Cahyono / CN26 / JBSM )

Cabuli Anak Bawah Umur, Enam Pemuda Diprodeokan

Suara Merdeka, 25 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Enam pemuda, satu di antaranya masih kelas tiga SMP, diamankan polisi karena mencabuli anak dibawah umur. Sebut saja Mawar (16), warga Kecamatan Pecangaan yang mengaku dicabuli enam pemuda, masing-masing Teg (20), Ris (25), Bok (25), ketiganya warga Desa/Kecamatan Tahunan.

Tiga tersangka lainnya yakni Rud (23) Guf (18), dan Dik (16). Mereka warga Desa Somosari, Kecamatan Batealit. Dik, masih duduk di kelas tiga di sebuah SMP di Kabupaten Jepara.

Keenam tersangka ini diciduk polisi dan dimasukkan hotel prodeo, Sabtu (22/1) siang setelah dijemput di rumah masing-masing. Sebelumnya polisi menerima laporan dari orang tua Mawar 12 Januari lalu.

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi didampingi pjs Kasat Reskrim Iptu Rismanto, mengungkapkan kronologis peristiwa yang berakhir pada pencabulan Mawar. Pencabulan ini terjadi di rumah Dik, Jumat (7/1) lalu. Sebelumnya, korban dijemput sekitar pukul 14.00 oleh tersangka Teg dan Ris dan diajak pesta minuman oplosan yang terbuat dari dextro, suplemen dan dicampur air putih di rumah Ris.

Kondisi Mawar dan rekan-rekannya tersebut setengah mabuk. Kemudian diajak ke Pantai Teluk Awur untuk melanjutkan pesta minuman keras (miras) jenis ginseng hingga mabuk berat. Sekitar pukul 16.30, mereka berangkat menuju Somosari bersama korban ke rumah Rud. "Saat itu kondisi korban mabuk berat, bahkan muntah-muntah akibat miras berlebihan. Karena tak sadar akibat mabuk, korban dipaksa Bok masuk kamar dan lalu dicabuli, setelah itu gantian rekan-rekan lainnya," kata Rismanto, Selasa (25/1).

Di situlah secara bergantian tersangka Bok, Teg dan Ris mencabuli korban. Setelah ketiga tersangka pulang ke rumahnya, pagi harinya giliran Rud, Guf dan Dik yang mencabuli secara bergantian. Saat diperiksa penyidik, para tersangka ini mengaku yang mengajak berbuat mesum adalah Mawar. Tetapi setelah dikonfrontir keterangan para tersangka, Mawar dipaksa oleh keenamnya dan dicabuli bergantian.

Rismanto menjelaskan, sebelum dibawa ke ranah hukum, pihak keluarga Mawar dengan para tersangka berusaha mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan. Keluarga Mawar meminta uang damai sebesar Rp 12 juta, namun tidak disanggupi para tersangka. Keenamnya hanya sanggup membayar Rp 1 juta. Karena mengalami jalan buntu, akhirnya kasus ini dilaporkan ke Polres Jepara.

"Para tersangka akan dijerat dengan pasal 82 pada Undang-undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman kurungan penjara maksimal 15 tahun. Saat ini para tersangka sudah ditahan di Mapolres Jepara," tegas Rismanto. ( Budi Cahyono / CN16 / JBSM )

Kamis, 20 Januari 2011

Mengusung Ikon Macan Kurung

Suara Merdeka, 20 Januari 2011

Oleh Kus Haryadi

MACAN kurung adalah sebuah karya seni ukir khas Jepara yang berkembang sejak zaman RA Kartini dan mengalami kejayaan selama kurang lebih satu abad sesudahnya. Macan kurung muncul di tengah-tengah sistem pemerintahan kolonial dan adat-istiadat budaya feodal. Diduga karya seni ini sebagai ekspresi simbolis perlawanan para perajin ukir atas tekanan hidup yang dirasakan saat itu.

Karya seni itu berbentuk seekor macan yang hidup di dalam sebuah kurungan. Di dalam kurungan terdapat pula bola yang dapat menggelinding dan rantai pengikat macan. Bagian atas kurungan sering diberi berbagai hiasan berbentuk binatang, seperti burung, naga, ular, dan sebagainya.

Karya itu mempunyai keunikan tersendiri dari teknik pembuatannya. Ukiran ini dibuat pada segelondong kayu utuh tanpa dibelah dan tanpa sambungan. Karena keunikan-keunikan inilah macan kurung pernah menjadi primadona pada masa sebelum booming industri mebel ukir Jepara.

Disebut macan kurung Belakanggunung karena karya seni ini lahir dari tangan terampil seniman ukir masyarakat Dukuh Belakanggunung Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
Belakanggunung merupakan salah satu wilayah yang sangat bersejarah dan paling fenomenal dalam ranah pertumbuhan kerajinan ukir kayu di kabupaten itu. Sebuah mitos keajaiban pahat pusaka dan sejarah perkembangan ukiran Jepara tidak lepas dari dukuh tersebut.

Kegiatan mengukir itu terus tumbuh dan berkembang sampai sekarang sehingga menjadi pilar utama terciptanya kesejahteraan masyarakat setempat. Seni ukir macan kurung Belakanggunung juga menjadi salah satu embrio bagi tumbuhnya sentra seni ukir patung Mulyoharjo yang juga menjadi primadona Kabupaten Jepara.

Namun ketika Belakanggunung telah mengalami kejayaan sebagai sentra seni ukir patung, justru keberadaan macan kurung dewasa ini makin tergeser oleh produk-produk baru. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkannya.

Tidak diproduksinya macan kurung oleh perajin sekarang bukan karena kerumitan atau kesulitan teknis pembuatannya. Keahlian serta kreativitas perajin muda sekarang dalam membuat ukiran bahkan sering kali lebih hebat dari pendahulunya. Alasan pasarlah yang menjadi faktor utama. Perajin tidak berani membuat stok macan kurung karena rendahnya minat pembeli asing dan daya beli konsumen lokal.
Hak Cipta Dewasa ini macan kurung sudah tidak lagi menjadi primadona, namun geliat pengusungan macan kurung masih sangat terasa. Geliat tersebut nampak dalam berbagai momentum terutama yang dilakuan oleh para seniman, Pemerintah Kabupaten Jepara, media masa, dan publik Jepara.

Sesekali masih ada perajin yang membuat macan kurung walaupun tidak jelas apakah ukiran itu akan terjual atau tidak. Motivasinya bermacam-macam: ada yang mencoba menarik perhatian barang kali ada yang terpikat membeli; sekadar mengoleksi untuk apresiasi bagi pengunjung; ada pula perajin yang bernostalgia dengan kesibukan membuat karya seni itu seperti pada masa kejayaannya dulu.

Strategi kreatif juga masih terus dilakukan perajin. Salah satunya dengan cara mengemas macan kurung menjadi suvenir replika yang lebih simpel dari segi ukuran, bentuk, maupun teknik pembuatannya. Perajin menyederhanakan teknik pembuatan untuk keperluan tertentu, tanpa berbenturan dengan nilai-nilai yang harus dilestarikan. Cara ini diharapkan dapat memperkenalkan kembali macan kurung sebagai ukiran khas yang menginspirasi.

Komunitas seni peran termasuk bagian yang terinspirasi oleh macan kurung. Sebuah kelompok teater bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya sempat mengusung macan kurung sebagai lakon dalam sebuah pementasan kolosal di Jepara, Semarang, dan Jakarta.

Selain itu Pemerintah Kabupaten Jepara tiada henti berupaya melekatkan di hati masyarakat melalui berbagai kegiatan. Seperti yang dilakukan dalam beberapa kali pameran di dalam dan di luar negeri. Pemerintah mencoba menampilkan ukiran macan kurung sekaligus mendemonstrasikan proses pembuatannya.

Upaya hukum dilakukan pada tahun 2008 dengan mendaftarkan bersama dengan puluhan desain ukiran khas Jepara lainnya kepada Dirjen HKI untuk mendapatkan perlindungan hukum atas aset budaya Jepara. Dengan adanya perlindungan hukum terhadap macan kurung maka diharapkan tidak akan terjadi lagi klaim hak cipta dari pihak asing. (10)

Jumat, 07 Januari 2011

Bayi Dibuang di Tempat Sampah

Suara Merdeka, 07 Januari 2011

Jepara, CyberNews
. Seorang bayi perempuan yang diperkirakan berusia enam bulan dalam kandungan ditemukan sudah tak bernyawa di tempat sampah sebelah barat terminas Kota Jepara, Kamis (6/1) sekitar pukul 23.30.

Mayat bayi tersebut ditemukan oleh seorang pemulung, Yuliasih (50) warga Desa Lebak, Kecamtan Pakis Aji saat mencari sampah di lokasi tersebut. Diduga, bayi tersebut dibuang oleh orang tuanya karena hasil dari hubungan gelap.

Yuliasih menuturkan, saat itu dia tengah beraktivitas mencari sampah di sekitar jalan dekat Terminal Kota. Saat mendekat, dia kaget karena di dalam tempat sampah ada sesosok bayi yang sudah tak bernyawa.

Karena panik, dia pun menginformasikan ke warga sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Kondisi mayat memprihatinkan, karena bayi tersebut dibungkus kantung plastik warna putih dan kuning secara berlapis.

Selanjutnya, warga menghubungi Mapolsek Kota dan diteruskan ke Mapolres Jepara. Tak berselang lama, anggota satreskrim dan unit identifikasi tiba di TKP. Sedangkan bayi tersebut langsung dibawa ke kamar mayat RSU RA Kartini setelah olah TKP sekitar pukul 01.20

Kapolres Jepara AKBP Ruslan Ependi didampingi Kapolsek Kota AKP Sarwo Edi Santosa di TKP mengatakan, dari olah TKP sementara diduga bayi tersebut sengaja dibuang oleh orang tuanya karena hasil hubungan gelap. "Bisa jadi karena takut aibnya terbongkar, akhirnya bayi yang dilahirkan dibuang di tempat sampah dengan maksud agar tidak diektahui identitasnya," ungkapnya, Jumat (7/1) dini hari.

Sementara itu, dari visum di RSU RA Kartini, dokter Sumadi mengungkapkan, mayat bayi tersebut diperkirakan berusia enam bulan dalam kandungan. Hal itu diketahui dari bentuk dan ukuran tubuh bayi.

"Dengan usia bayi yang prematur, ada indikasi bayi dilahirkan dengan paksa atau sengaja digugurkan," tegasnya usai visum di kamar mayat RSU RA Kartini, Jumat dini hari.

Terpisah, pejabat sementara Kasat Reskrim Polres Jepara, Iptu Rismanto menjelaskan, polisi sudah meminta keterangan saksi Yuliasih si penemu pertama. Kasus ini masih proses penyelidikan dan mencari informasi di sekitar tempat kejadian terkait wanita hamil. ( Budi Cahyono / CN26 )

Kamis, 06 Januari 2011

Korban Tiwul dalam Ketahanan Pangan

Suara Merdeka, 06 Januari 2011

Provinsi Jawa Tengah, termasuk daerah yang memiliki ketahanan pangan cukup baik. Dalam pemetaan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Jepara termasuk daerah yang diberi label warna hijau tua. Artinya, ketahanan pangannya cukup mantap. Tetapi, apa yang terjadi beberapa waktu lalu, di Jepara jatuh 6 korban jiwa sebagai akibat mengonsumsi tiwul. Apa yang terjadi ini sungguh aneh, bahkan mungkin di luar dugaan. Di zaman seperti ini ada yang mengonsumsi tiwul.

Tentu saja peristiwa tersebut mengundang pertanyaan serius, kenapa keluarga Jamhamid mengonsumsi makanan yang terbuat dari singkong tersebut. Apakah itu dilakukan sekedar ”klangenan” karena lama tidak mengkonsumsinya ? Atau terpaksa makan karena tidak memiliki bahan pangan lainnya ? Tampaknya lebih karena tidak memiliki makanan lain, sehingga dengan terpaksa mengonsumsi tiwul. Fakta ini terasa paling kuat.

Dari fakta terungkap bahwa keluarga Jamhamid tergolong tidak mampu, sehingga setiap hari hampir pasti mengonsumsi tiwul. Apalagi di tengah kenaikan harga bahan pangan yang cukup tinggi, tentu keluarga itu tidak mampu menjangkaunya. Jika pun beras tak mampu, apalagi bahan pangan lainnya hampir pasti tidak terbeli dengan baik. Apakah keluarga ini juga tidak terjangkau program beras miskin (raskin) ini juga pertanyaan yang lain.

Kita juga meyakini bahwa masih banyak dari keluarga di daerah ini yang mengonsumsi tiwul. Ada dua cara untuk melihat peristiwa tersebut, yakni pertama bahan pangan tiwul pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Hingga kini, tiwul kadangkala masih disikapi sebagai salah satu bentuk variasi bahan pangan. Jika proses pembuatan bersih, bahan pangan itu cukup higienis dan mengeyangkan.

Tetapi, jika tiwul dikonsumsi secara terpaksa lebih karena tidak memiliki pilihan lain, maka pemerintah harus menjadi peristiwa itu dicatat dengan tinta merah. Tanpa mengurangi rasa hormat bahwa pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap ketahanan pangan, tetapi fakta itu tidak bisa diabaikan. Di atas kertas benar sekali, daerah ini memiliki ketahanan pangan yang bagus. Tetapi, apakah pangan itu benar bisa terbeli oleh masyarakat.

Berkaca dari peristiwa tersebut, pemerintah di berbagai tingkatan, terutama kabupaten/kota harus meneliti kembali tentang angka-angka ketahanan pangan, kemiskinan, daya beli, dan sebagainya. Para kepala daerah perlu lebih jernih dan terbuka dalam melihat kemiskinan di daerahnya. Data angka kemiskinan jangan disulap menjadi lebih bagus supaya citra meningkat. Sebaliknya, data harus disajikan apa adanya agar solusinya juga tepat dan akurat.