Selasa, 29 Maret 2011

Kebijakan Pangan di Karimunjawa

Suara Merdeka, 29 Maret 2011

Oleh Riyono Abdullah

TIDAK banyak yang menyoroti dampak musim ekstrem saat ini, terutama bagi kehidupan penduduk di pulau terpencil, seperti Karimunjawa (Karimun) Kabupaten Jepara. Oktober 2010 sampai Maret ini masuk musim barat yang merupakan musim ’’kelaparan’’ bagi warga setempat.

Tinggi ombak yang bisa 2-3 m membuat Kapal Muria Jepara-Karimun sebagai sarana utama transportasi terpaksa berhenti berlayar, termasuk Kapal Cepat Kartini yang melayani rute Semarang-Karimun.

Pada saat musim barat seperti ini kadang muncul berita bahwa terjadi kelaparan dan kelangkaan pangan di Pulau Dewandaru ini, serta Pemprov Jateng dan Pemkab Jepara biasanya cepat memberi klarifikasi.

Kepulauan Karimunjawa yang dikelilingi pulau-pulau kecil terletak 110 kilometer di timur laut Semarang, dan aksesibilitas menuju kepulauan ini sangat bergantung pada kondisi pelayaran. Masalah pertama yang sering dihadapi adalah kurangnya pasokan bahan makanan. Kedua; penanganan yang dilakukan pemerintah masih bersifat instan belum ada model pengembangan ketahanan pangan yang membuat tidak jelasnya penanganan masalah kerawanan pangan.

Khusus Desa Karimunjawa, ketergantungan pangan dari Jepara memang sangat besar. Desa dengan luas 4.302 ha ini hanya memiliki lahan pertanian produktif sekitar 62 ha. Pulau Kemujan dengan luas 1.501 ha memiliki lahan produktif pertanian seluas 210 ha, sedangkan Parang (termasuk Pulau Nyamuk) dengan luas 690 ha, sebagian besar lahannya produktif untuk pertanian, yakni 400 ha. Masalah ketiga adalah tidak adanya kebijakan atau road map pengembangan pangan yang membuat gelap kemandirian pangan di Karimunjawa.

Hasil penelitian dan kajian yang dilakukan penulis sebagai bahan tesis magister menunjukkan bahwa berdasarkan data Kecamatan Karimunjawa Dalam Angka 2009, jumlah penduduk 10.210 orang. Dengan asumsi rata-rata kebutuhan beras per kapita per tahun 125 kg (Husodo, 2006) maka dibutuhkan 1.276,25 ton beras/ tahun.

Dengan luas total sawah 32 ha dan yang produktif 9 ha, estimasi produksi beras hanya sekitar 24,3 ton per tahun atau sekitar 1,9% dari kebutuhan. Dari data ini terlihat bahwa memang kondisi sumber alam lokal memang tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Jumlah cadangan bahan pangan (beras) yang dimiliki penduduk untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan estimasi kebutuhan beras per kapita per hari adalah 0,34 kg beras, maka stok beras dalam 1 bulan yang harus ada di masyarakat Karimunjawa idealnya adalah 104 ton. Namun dari pengolahan data hasil survei, stok beras di masyarakat hanya sekitar 47,4 ton atau 45% saja dari total kebutuhan satu bulan.

Analisis SWOT menunjukkan ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi kondisi pangan di kepulauan tersebut. Pertama; strategi pemantapan ketersedian pangan meliputi peningkatan cadangan pangan menjelang musim barat, per wilayahan komoditas pangan sesuai potensi, dan pemantapan infrastruktur produksi pertanian.
Membangun Ketahanan Operasionalisasinya bisa dilakukan melalui program pembangunan lumbung pangan yang difungsikan sebagai KUD dan pasar bersama saat pasokan terganggu.

Kedua; strategi pemantapan diversifikasi konsumsi pangan meliputi penyediaan suplai dengan mengembangkan sumber daya lokal (unggulan wilayah), peningkatan knowledge, attitude, dan practice (KAP) melalui gerakan konsumsi pangan yang beragam, gizi seimbang, dan aman,
Ketiga, strategi pemantapan distribusi pangan meliputi pasokan bahan pangan dari musim ke musim, penguatan posisi tawar petani dan nelayan, pengembangan sarana dan prasarana pascapanen dan infrastruktur distribusi, kemitraan petani, nelayan dan pedagang.

Peneliti saat ke Pulau Parang melihat potensi luar biasa pertanian dan wisata yang bisa mendukung kesejahteraan warga, namun ketiadaan moda transportasi yang layak membuat pulau itu jarang dikunjungi wisatawan. Pembangunan pasar sebagai sarana penggerak ekonomi desa sangat diperlukan masyarakat Karimun, dan saat ini baru saja difungsikan pasar bantuan pemerintah. Sebelumnya yang ada hanya pasar kaget.

Ketiga kebijakan itu bisa menjawab kabar bahwa kondisi Karimunjawa termasuk kategori rawan pangan sementara. Kebijakan ini melibatkan banyak instansi dan stakeholder yang harus bersinergi membangun ketahanan pangan. (10)

Jumat, 18 Maret 2011

Hapuskan Saja Ide soal PLTN Muria

Suara Merdeka, 18 Maret 2011

Cukuplah insiden meledaknya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi akibat gempa bumi di Jepang, 11 Maret lalu, menjadi pelajaran nyata bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria di Jepara. Logika penolakan berbagai elemen masyarakat di kawasan Muria yang mendapat dukungan secara nasional, makin diperkuat oleh realitas empirik bencana-bencana nuklir dunia, dan kini krisis nuklir di Jepang. Semua menjadi referensi kuat untuk melupakan saja rencana tersebut.

Simaklah pakar fisika nuklir Iwan Kurniawan ini, ”Kurang apa Jepang? Teknologi, sumber daya manusia, dan kedisiplinannya luar biasa, tetapi bencana tetap bencana yang sulit diprediksi kadarnya”. Maka ia mengimbau Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menghentikan promosi untuk membangun PLTN Muria. Pernyataan Menko Perekonomian Hatta Radjasa juga perlu digarisbawahi: ada atau tidak ada gempa Jepang, pembangunan PLTN merupakan solusi terakhir kalau sudah tidak ada sumber energi lain.

Kita tidak hendak merendahkan SDM bangsa sendiri ketika membandingkannya dengan keandalan SDM dan kedisiplinan ala Jepang. Boleh jadi secara eufimistis kita mengatakan, ”Membangun jalan tol saja tidak beres, kok ngotot membangun PLTN yang risikonya sedemikian tinggi”. Yang ingin kita tekankan hanyalah faktor besarnya kemudaratan yang bisa saja muncul karena tingginya risiko. Berbicara tentang risiko, kita tentu berbicara yang terburuk, karena masalahnya terkait dengan keselamatan dan masa depan bangsa.

Saat ini terdapat 442 PLTN di berbagai negara di dunia. Pemicunya adalah pemanasan global akibat tingginya penggunaan bahan kabar konvensional. Karena kebutuhan energi makin besar, produk nuklir pun dipandang sebagai salah satu solusi. Pilihan itu menjadi semacam tuntutan bagi negara-negara yang perekonomiannya dinamis, seperti China dan India yang masih membutuhkan suplai energi tambahan dari nuklir. Prancis juga memenuhi sekitar 70 persen energi listriknya dari nuklir. Tetapi bagaimana pasca-Fukushima?

Jepang, selama ini terus berusaha menyempurnakan pengamanan PLTN-nya dengan teknologi yang mampu menahan gempa sekuat apa pun. Namun klaim tersebut dimentahkan oleh insiden Fukushima Daiichi. Artinya, negara yang punya kemampuan konsolidasi teknologi, infrastruktur, SDM, kultur, dan disiplin tinggi pun menghadapi titik keterbatasan dalam mencegah risiko radiasi. Kalau sekadar berpikir tentang kontribusi PLTN memang positif, tetapi yang lebih positif tentu berpikir tentang ekses dan keselamatan.

Penolakan PLTN Muria pun kini mendapat energi baru. Pemerintah tidak perlu ragu untuk surut ke belakang, bahkan sama sekali melupakan rencana tersebut. Jika suatu ketika kebutuhan energi tak bisa lagi ditawar, pilihan akhir itu harus dengan mencari tapak baru yang risikonya paling kecil, jauh dari kemungkinan risiko gempa. Dorongan pembatalan tentu jangan diartikan sebagai kemandekan dinamika ekspresi kualitas SDM bangsa ini. Bukankah masih banyak medium lain untuk mengekspresikan keunggulan?

Kamis, 17 Maret 2011

Pelajaran dari PLTN Fukushima

Suara Merdeka, 17 Maret 2011

Oleh Sahala Hutabarat

PERDANA Menteri Jepang Naoto Kan dalam konferensi pers awal menyatakan tidak ada kebocoran akibat gempa berkuatan 9 Skala Richter (SR) terhadap bangunan PLTN Fukushima, tetapi kenyataannya terjadi kebocoran pada 3 reaktor nuklir. Waktu itu, lebih dari 200 ribu orang diungsikan ke zona aman, radius 20 km dari pusat pembangkitan energi tersebut. Ledakan hidrogen kali kedua, kembali terjadi Senin lalu dan mencederai 11 pekerja. Bahkan radiasi radioaktif sudah terdeteksi oleh kapal induk AS (SM, 15/ 03/11).

Meskipun Jepang telah 165 kali mengalami gempa sejak 1800, kejadian pada 11 Maret 2011 itu adalah yang terhebat dalam sejarah kegempaan di negara itu dan dunia. Pada 1 September 1923 Negeri Matahari Terbit itu juga mengalami salah satu gempa bumi hebat (7,9 SR) pada abad ke-20, yang dikenal sebagai gempa bumi Great Kanto. Gempa itu menghantam dataran Kanto, menghancurkan Tokyo dan beberapa bagian Yokohama, dan menewaskan hampir 140 ribu orang.

Terkait dengan gempa yang diikuti tsunami di Jepang itu, sebagaimana di Aceh tahun 2004, seharusnya Pemerintah Indonesia memetik pelajaran dari Jepang dalam mempersiapkan diri menghadapi gempa melalui standar keamanan yang sangat tinggi. Sejak dini, penduduk dilatih mengatasi keadaan darurat, khususnya menghadapi gempa dan tsunami. Bahkan infrastruktur publik dikembangkan sedemikian rupa sehingga walaupun terjadi gempa berkekuatan 7-8 Skala Richter, kerusakan yang diakibatkan relatif minim.

Namun apa yang diperhitungkan manusia secara teliti dan cermat, seperti pembangunan PLTN Fukushima yang dipersiapkan dan dikelola secara baik itu tidak bisa mengalahkan kekuasaan Tuhan. Konstruksi itu tetap tidak bisa menahan gempa, akibatnya terjadi ledakan diikuti kebocoran yang mengakibatkan radiasi radioaktif pada skala 4 dalam skala 0-7.

Tingkat radiasi ini berbeda dari kebocoran di PLTN Chernobyl Rusia tahun 1986, yang mencapai skala 7 dan menewaskan sedikitnya 4 ribu jiwa, dan menghancurkan seluruh fauna dan flora sehingga daerah tersebut tidak diperbolehkan ditinggali karena sudah terpapar radiasi nuklir.

Kemampuan insinyur Jepang juga sangat mumpuni dalam membuat bangunan tahan gempa karena mereka sadar negaranya rawan gempa. Dalam sejarah kegempaan di negara lain, gempa berkekuatan 7-7,5 SR bisa meluluhlantakkan bangunan dan infrastruktur. Namun Jepang membuktikan mampu meminimalisasi kerusakan akibat gempa besar seperti pada 11 Maret lalu.

Risiko Mahal Kerugian akibat gempa pasti sangat besar tetapi di balik itu banyak hal yang dapat dipelajari, utamanya kesiapsiagaan darurat bangsa Jepang yang terbukti efektif dalam mengantisipasi dan mengatur keadaan darurat, khususnya dalam menghadapi gempa dan tsunami. Masyarakatnya tidak terlalu panik menghadapinya.

Berkaca pada bencana gempa besar yang diikuti tsunami di Jepang pada 11 Maret lalu, marilah kita menarik pelajaran,
sekaligus meninjau ulang rencana pembangunan PLTN, baik di Semenanjung Muria Jepara, Banten, maupun di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Perlunya mengkaji ulang rencana itu mengingat risikonya bila terjadi kebocoran dari reaktor pembangkitan itu, terkait gempa.

Ketiga provinsi itu belum pernah mengalami gempa tektonik, tetapi harus diingat bahwa Indonesia berada di atas lempengan tektonik yang sewaktu-waktu dapat bertubrukan dan menimbulkan gempa yang diikuti tsunami. Sejarah membuktikan bahwa gempa berulang kembali pada kisaran 140-150 tahun akibat pergerakan lempeng tektonik antara 1,5 dan 7,5 cm tiap tahun.


Pada sisi lain, pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan energi sesungguhnya sangat mahal ditinjau dari teknologi dan biaya pembangunan reaktornya (belum lagi risikonya jika terjadi kebocoran) ketimbang pemanfatan sumber energi lain seperti gas, batu bara, atau panas bumi yang relatif lebih murah dan di Indonesia potensinya berlimpah.

Marilah kita belajar dengan menimba pengalaman dari gempa dan tsunami di Jepang, supaya kita lebih berhati-hati menentukan program pembangunan nasional dengan selalu memperhatikan kondisi sumber daya alam, letak geografi, kesiapan SDM dan masyarakat, serta penerapan teknologi yang tepat. (10)

Selasa, 15 Maret 2011

Tsunami Kedua: Kebocoran PLTN

Suara Merdeka, 15 Maret 2011

Oleh Prayitno

Inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?

LEBIH kuat manakah antara serangan dengan menabrakkan pesawat Boeing 747 seperti dilakukan teroris pada gedung WTC New York dan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami di Jepang, Jumat pekan lalu? Yang jelas, keduanya sama-sama mengakibatkan kehancuran dan menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Akibat hantaman Boeing 747 bermuatan bom pada 11 September 2001 itu, gedung WTC yang didesain tahan gempa, rata dengan tanah. Hanya beda penyebabnya, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi juga tak cukup kuat dari guncangan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami itu.

Ledakan di dekat reaktor PLTN fissi yang dioperasikan Tepco tersebut, sebagaimana diberitakan harian ini, meningkatkan radiasi radioaktif. Namun Pemerintah Jepang menyatakan tingkat radiasinya rendah karena ledakan itu tak memengaruhi kontainer inti reaktornya. Tapi yang pasti, warga di sekitar pembangkit energi itu telah diungsikan. Emosi kita terusik, karena gempa 8,9 SR di Jepang itu tak hanya memicu terjadinya tsunami, namun juga mengakibatkan salah satu PLTN-nya rusak.

Tentu tidak keliru jika rasa kenyamanan bangsa Indonesia terganggu atas peristiwa yang menimpa PLTN di Jepang itu. Bukankah pemerintah lewat Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) selama ini ngotot merealisasikan proyek PLTN? Berbagai argumen dan upaya untuk meyakinkan publik bahwa PLTN aman dibangun dan kita telah menguasai teknologinya, sudah dan tengah dilakukan Batan.

Ketika terjadi polemik antara pemerintah, Batan, dan kalangan pro-PLTN pada satu sisi dan kelompok anti-PLTN fissi setelah penyerangan WTC pada sisi yang lain, ada pejabat menegaskan bahwa reaktor PLTN fissi yang akan dibangun di Ujung Lemahabang, Balong, Jepara (Semenanjung Muria), tak hanya tahan dari guncangan gempa tetapi juga didesain tak mempan serangan bom pesawat Boeing 747.

Argumen yang berkesan berandai-andai itu sering kita dengar dari otoritas Batan. Padahal selama ini, Indonesia baru mengoperasikan reaktor nuklir untuk tujuan riset dan berskala sangat kecil, seperti Reaktor GA Siwabessy di Serpong, Tangerang dan Reaktor RA Kartini di Yogyakarta. Keluarannya lebih untuk pembangunan atau rekayasa pertanian dan peternakan.

Batan juga meyakinkan kita tak akan kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku utama sebagai bahan bakar yakni uranium (U), karena di perut bumi Indonesia banyak tersimpan potensi itu. Apalagi cadangan di dunia juga cukup besar.

Pembelaan diri tersebut terbukti kurang meyakinkan, setelah aktivis anti-PLTN menyodorkan data kontroversi. Menurut mereka, data cadangan U di Indonesia kecil dan tidak valid (kurun 1966-1994) dan sejatinya tak ada cadangannya. Ditegaskan, ketersediaan U di dunia hanya untuk 40-50 tahun ke depan, di samping hal itu membuat Indonesia bergantung pada asing.

Begitu pula mengenai pengelolaan limbah radiokatif yang dihasilkan PLTN. Batan sangat yakin umur limbah PLTN fissi 24 ribu tahun, dan aman dengan cara disimpan di kontainer baja di bawah tanah dengan bangunan beton. Selain itu ada teknologi yang bisa memperpendek umur limbah (rubiatron).

Tetap Ngotot Lagi-lagi argumen pejabat pemerintah tersebut dimentahkan oleh pakar nuklir yang anti-PLTN fissi. Katanya, usia bangunan penyimpanan limbah radioaktif (sebagaimana umur pengoperasian PLTN-nya), paling hanya sampai 50 tahun. Di samping pemendekan usia limbah radioaktif oleh teknologi tidak menghilangkan faktor kebahayaannya, dan belum terbukti.

PLTN Fukushima meledak tidak karena serangan Boing 747. Tapi sampai saat ini, belum diketahui pada posisi berapa instalasi PLTN didesain aman dari guncangan gempa? Siapa yang meragukan tingkat kedisiplinan superketat dan tinggi bangsa Jepang, yang kenyang pengalaman mengelola reaktor daya? Berkaca pada peristiwa pahit, yang mungkin meleset dari perkiraan sebelumnya oleh ahli PLTN Jepang, inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?

Tidak perlu malu menarik kembali gagasan itu. Termasuk amat bijak bila melupakan rencana pembangunan PLTN pertama di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) meski pemprov telah menyediakan lahan 1.500 hektare. Dana Rp 159 miliar yang telah dialokasikan untuk studi kelayakan, bisa dialihkan untuk tujuan dan target proyek yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Cukup sudah bencana itu pada 1986 menimpa PLTN Chernobyl dan gempa 8,9 SR meledakkan PLTN (fissi) Fukushima. Kita sudah lelah dan tak tahu masih berapa lama harus berjuang menyudahi multikorupsi di negeri ini, juga persoalan besar lainnya yang melilit bangsa. (10)

Senin, 14 Maret 2011

Tsunami di Jepang dan Ancaman Nuklir

Suara Merdeka, 14 Maret 2011

Tsunami yang menghantam Jepang, Jumat pekan lalu sungguh bencana dahsyat. Korban gempa dengan kekuatan 8,9 skala Richter dan tsunami itu terus bertambah. Kepolisian Jepang mencatat, korban tewas sudah menembus angka 2.000 orang. Sebagian besar belum berhasil diidentifikasi. Pihak Kepolisian Jepang, seperti dikutip Kantor Berita Kyodo menyebutkan di Prefektur Fukushima saja sudah ditemukan 1.167 mayat, sementara 600 lebih mayat ditemukan di Prefektur Miyagi dan Iwate. Wilayah-wilayah tersebut berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik.

Pemerintah lokal di masing-masing prefektur masih kesulitan mengetahui nasib puluhan ribu warganya karena kerusakan infrastruktur. Sejauh ini, sebanyak 20.820 bangunan dilaporkan rata dengan tanah dan hilang terbawa tsunami. Sementara lebih dari 300.000 orang di enam prefektur telah dievakuasi. Dari jumlah tersebut, 180.000 di antaranya adalah warga yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari reaktor nomor 1 nuklir di Fukushima. Akibat kebocoran radiasi, 19 orang dinyatakan terkontaminasi.

Di tengah keprihatinan kita, ada sejumlah pelajaran berharga yang penting untuk direnungkan. Kesiapan pemerintah Jepang menghadapi bencana patut dipuji. Laporan-laporan media massa memperlihatkan, pemerintah dan warga terlihat sudah mengantisipasi gelombang tsunami. Sistem peringatan dini berfungsi optimal, sehingga memungkinkan semua pihak menghadapi tsunami secara maksimal. Simulasi penanganan bencana dilakukan secara rutin dan intensif sehingga langkah-langkah antisipasi berjalan efektif.

Akurasi sistem peringatan dini serta sinergi pemerintah dalam program penanganan bencana terbukti efektif menekan jumlah korban. Namun, bencana itu juga membawa ancaman berikutnya, yakni bahaya radiasi nuklir. Setelah terjadi ledakan di pembangkit listrik Fukushima Dai-ichi pada Sabtu lalu, ancaman radiasi makin meningkat. Ini menjadi ancaman baru bagi Jepang. Terhadap bahaya yang lebih mengerikan dibandingkan dengan tsunami itu, pemerintah Negeri Sakura itu juga sudah menyiapkan prosedur pengamanan.

Status darurat nuklir pun langsung diumumkan, dan sekitar 170.000 warga dievakuasi dari sekitar wilayah tersebut. Namun tingkat radiasi naik melebihi angka keamanan di sekitar lokasi PLTN. Segera saja ancaman ini mengingatkan isu serupa di Tanah Air, yakni bahaya dari sebuah reaktor nuklir. Fasilitas reaksi nuklir dikelilingi oleh mesin penyimpanan baja, yang kemudian dikelilingi oleh bangunan beton. Di Jepang, hanya tsunami dahsyat yang membuat bocor pengamanan super itu.

Bayangkanlah, apa yang terjadi apabila reaktor itu adalah PLTN Muria? Kalau menangani jalan tol yang ambles dan jalan-jalan rusak saja kerepotan, adakah optimisme kita akan terbangunnya reakor nuklir yang aman dan andal? Secara ilmu dan teknologi, manusia-manusia Indonesia tentu tidak kalah dari para pakar luar negeri. Persoalan krusial terletak pada sejauh mana kebijakan dan politik pemerintah mampu menyediakan sistem yang bersih dan bertanggung jawab untuk terbangunnya infrastruktur fisik yang aman bagi warga.

Minggu, 06 Maret 2011

Dangdut di Jepara Tak Mati-mati

Suara Merdeka, 06 Maret 2011

Oleh Akhmad Efendi

MUSIK dangdut yang memiliki ciri khas pada alat musik kendang dan seruling sudah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Jepara.

Sejak era 60-an dangdut sudah akrab di telinga publik Kota Ukir dengan beberapa grup musik yang cukup populer, seperti Bintang Pagi, Surya Pagi, dan Merah Delima. Bahkan, menurut Aris Isnandar, Ketua Persatuan Artis Melayu Indonesia (PAMI) Jepara, dangdut di Jepara merupakan barometer di Jawa Tengah.

Saat ini, ada sekitar 156 grup musik dangdut di Jepara. Pemain musik yang terlibat di dalamnya sekitar 780 orang dengan rata-rata satu grup musik beranggotakan lima orang. Sementara jumlah penyanyi sekitar 80 orang.
Perkembangan itu menunjukkan potensi musik dangdut di Jepara yang tidak ada matinya.

”Apa yang saya sampaikan mengenai dangdut Jepara merupakan barometer Jawa Tengah adalah ucapan langsung dari Rhoma Irama. Saya dengar langsung dari mulut beliau. Salah satu bentuknya memang nuansa atau perkembangan dangdut di Jepara memang luar biasa dibandingkan daerah lain. Artis level nasional, seperti Jamal Mirdad dan Susi KDI juga dari Jepara,” kata Aris.

Menurutnya, perkembangan awal dangdut di Jepara adalah hobi. Berangkat dari hal itu, bermunculan grup-grup musik dangdut.
Soal inovasi, jenis musik dangdut Jepara sangat cepat beradaptasi. Jenis dangdut koplo merupakan salah satu jenis aliran yang menjadi penghilang dahaga maniak dangdut meskipun tidak lantas menghilangkan jenis musik dangdut yang asli.

”Adanya dangdut koplo merupakan respons terhadap pasar,” terang Aris.
Hal yang sama juga disampaikan Susi Indrias Tanti, alias Susi KDI. Dia merasa perkembangan musik dangdut di Jepara, terutama dalam up date lagu-lagu populer yang beredar di masyarakat, sangat cepat. ”Yang saya rasakan memang begitu. Di bandingkan dengan daerah lain, Jepara ini cepat banget soal lagu-lagu baru yang diolah menjadi musik dangdut. Saya sendiri juga lebih enjoy dengan dangdut jenis koplo karena bisa langsung menjiwai,” tuturnya.
Menjanjikan Selain soal kreativitas dalam musik yang tidak ada matinya, aspek bisnis musik dangdut di Jepara juga menjanjikan. Menurut Aris, sekali manggung rata-rata bisa meraup pendapatan sebesar Rp 5 juta.

Dalam sebulan, ketika musim pernikahan, bisa belasan kali manggung. ”Memang cukup besar, tetapi harga itu tidak lantas harga mati. Karena tinggal paketannya dan banyaknya penyanyi yang ada. Tapi, memang cukup bagus potensi di Jepara,” terang Aris.

Persaingan pun tak dapat terelakkan. ”Dalam menghadapi persaingan ini, antara grup satu dengan yang lain saling beradu kreativitas. Grup musik yang mampu memenuhi selera pasarlah yang akan bertahan. Jadi, kondisi persaingan yang ada, saya lihat baik. Dalam kesempatan ini, saya juga berharap koordinasi pelaku musik dangdut bisa lebih ditingkatkan,” sambungnya.

Susi KDI bahkan ketika masih berkutat di lokal Jepara pada 2004 hingga 2007 dalam sebulan libur manggung hanya dua kali. Sekali manggung rata-rata mendapatkan honor Rp 250 ribu.

”Saat itu saja jumlahnya sudah lumayan. Kondisi itu memungkinkan karena penyanyi tidak melekat pada salah satu grup, sehingga bisa manggung bersama banyak grup. Tapi, ada juga penyanyi yang menjadi anggota grup tertentu sehingga ketika grupnya tampil wajib ikut. Tapi, ketika tidak manggung, bisa ikut grup dangdut yang lain,” terang Susi.

Namun, musik dangdut bukan tanpa problem. Hal itu pun dialami jenis musik yang lain. Dangdut dalam beberapa kasus tak jarang menjadi pemicu perkelahian.

”Dangdut adalah seni, yang seharusnya dinikmati. Jangan kemudian menjadi ajang tawuran. Joget juga ada etikanya, sehingga jangan berlebihan. Kalau ini bisa dimengerti para pecinta dangdut, tentu citra yang muncul di masyarakat adalah positif,” kata H Subangun, pecinta dangdut yang juga Wakil Ketua DPRD Jepara. (24)