Senin, 04 April 2011

Seni Kentrung Jepara Di Ambang Kepunahan

Klik: http://www.for-mass.blogspot.com/

JEPARA
- Makin banyak saja kesenian tradisional di Jepara yang terancam punah. Akibat tidak berjalannya proses regenerasi, kesenian tradisonal kentrung juga mengalami ancaman itu. Para seniman kentrung sendiri bahkan tak yakin sampai kapan kesenian bisa bertahan. Seni kentrung adalah seni pentas yang melibatkan 2 -3 orang dengan cara membacakan lakon yang dalam pementasannya diiringi dengan pantun atau joke-joke yang lucu . Sehingga para penonton yang melihat dan mendengar akan terpesona oleh olah kata sang dalang , bahkan jika tak kuat bisa membuat terbahak-bahak orang yang mendengarkannya.

Selain bercerita dalam seni kentrung ini juga menggunakan alat music tabuh berupa rebana yang suaranya jika didengar bersahutan-sahutan, sehingga dalam bercerita sanga dalang sekaligus pemain music memadukannya sehingga enak didengarkan. Selain orang tua yang menjadi penggemar utama , anak muda satu dua juga senang akan kesenian kentrung ini oleh karena itu meskipun tidak seperti dahulu pada jaman kejayaannya puluhan tahun yang lalu , kini seni kentrung masih bisa kita saksikan. Biasanya seni kentrung ini didatangkan untuk memeriahkan acara semisal melekan bayi , acara 17 agustusan juga untuk melekan menyambut tahun baru hijriah.

“ Ya seperti di Radio Kartini FM Jepara setiap pergantian tahun baru hijriah pasti ada siaran langsung Kentrung di Studio, selain untuk nguri-nguri seni ini juga sebagai tanda syukuran datangnya tahun baru “, ujar Odie Melankolis seniman dari Jepara pada local.detik.com

Di Jepara dulu desa Ngasem kecamatan Batealit di kenal sebagai gudangnya dalang kentrung , namun seiring dengan merebaknya kesenian modern seni kentrung ini lambat laun makin hilang dari pededaran . Meski demikian saat ini masih dapat kita temukan dalang kentrung walaupun jumlahnya bisa dihitung dengan jari hal itu disebabkan tidak adanya regenerasi dari mereka. Penerus dari dalang kentrung ini tidak bisa mewariskan keahlian mereka pada anak-anak mereka yang tidak mau menekuni seni ini , justru mereka memilih pekerjaan lainnya

Seni kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan. Joke-joke segar sering diselipkan di tengah-tengah pakem, tetap dengan parikan yang seolah di luar kepala. Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.

Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas. Selama seniman kentrung masih ada tradisi rutin untuk mementaskan seni kentrung ini pada awal tahun baru hijriah tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah Jepara lewat Radio Kartini. Selain nambani kangen untuk penggemar seni kentrung di Jepara juga sebagai ajang pelestarian seni tradisional Jepara . (FM/Oedy)

PLTN dan Risiko Multisosial

Suara Merdeka, 04 April 2011

Oleh Trisno Yulianto

LEDAKAN reaktor nuklir Fukushima, Jepang, akibat gempa beberapa waktu lalu meningkatkan radiasi 1.000 kali di atas ambang batas normal. Kebocoran reaktor akibat tekanan gempa bumi membuat guncangan dahsyat di pusat reaktor nuklir.

Ada pelajaran penting di balik ledakan reaktor itu bagi Pemerintah Indonesia yang (melalui rencana strategis Batan) berkeinginan membangun PLTN di Ujungwatu, Jepara. Pertama, Jepang yang merupakan negara berkemampuan teknologi, kedisiplinan dalam pengelolaan produk teknologi, minim korupsi saja tak bisa memprediksikan dan menjaga keamanan reaktor nuklir akibat bencana alam. Seberapa kuat dan kompeten ilmuwan, teknokrat, dan birokrat ilmu pengetahuan Indonesia bisa menjamin keselamatan masyarakat dan keamanan reaktor nuklir?

Akuntabilitas Diragukan Pembangunan PLTN di Indonesia yang direncanakan di lepas pantai Jepara, konon, akan menghabiskan alokasi anggaran Rp 80 triliun. Skema pembangunan PLTN dirancang atas estimasi anggaran yang diragukan akuntabilitasnya oleh publik. Karena, kultur perencanaan anggaran adalah penggelembungan dan dalam praktik direduksi untuk ongkos politik dan birokrasi. Jika akuntabilitas anggaran pembangunan PLTN diragukan, bisa dibayangkan bagaimana kualitas PLTN yang akan dibangun. Apakah bisa dijamin tak bakal bocor dan aman sesuai dengan rencana?

Kedua, Jepang membangun PLTN untuk memproduksi energi listrik industrial. Jepang miskin sumber daya alam, sedangkan Indonesia kaya sumber daya alam tetapi selama 40 tahun lebih tak mampu mengeksplorasi dan mengeksploatasi untuk kepentingan masyarakat. Alternatif selain PLTN bisa berupa tenaga panas bumi, panas matahari, angin, yang selama ini mengalami pembiaran inovatif. Pembangunan PLTN yang tetap diskenario pemerintah dan akan dibangun ketika resistensi masyarakat mengendur lebih didasari kepentingan orientasi proyek. Bukan kepentingan rakyat.

Ketiga, area pembangunan PLTN yang konon tetap diprioritaskan di Jawa dengan sasaran utama pantai utara memiliki zona kerawanan ekologis. Riset analisis dampak lingkungan calon lokasi yang dinyatakan aman dari guncangan gempa bumi diragukan berbagai ahli geologi independen. Sebab, Pulau Jawa tidak merupakan zona steril dari ancaman gempa, gelombang tinggi, dan berbagai deformasi ekologis lain.

Kebocoran reaktor nuklir berdampak ekonomis, kemanusiaan, dan lingkungan. Ledakan dan kebocoran PLTN Chernobyl di Ukraina, Uni Soviet, 26 April 1986, adalah model kebencanaan akibat terbakar dan melelehnya pusat reaktir nuklir. Bencana itu merenggut korban ribuan jiwa. Gas radiokatif mencemari udara, air, tanah bukan hanya di zona bahaya inti gas radioaktif, melainkan menyebar ke berbagai kawasan di Rusia dan Belarusia. Gas radiasi mencemari tanah subur, yang baru pulih dan terbebas dari pencemaran zat radioaktif setelah 30 tahun.

Isu Nasional Upaya membangun PLTN sering diletupkan jadi isu nasional di tengah kemeretasan isu krisis energi. Dalam berbagai pertemuan ilmiah, sosialisasi program, serta diskursus media, upaya membangun PLTN seolah ditempatkan sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis energi yang diprediksi menimpa Indonesia beberapa tahun ke depan. Padahal, krisis energi itu sebenarnya disebabkan oleh peningkatan permintaan dan salah kelola manajemen energi puluhan tahun. Permintaan meningkat bukan untuk menyubsidi kepentingan masyarakat banyak, melainkan oleh kerangka politik industrial yang promodal dan investasi asing.

Pembangunan PLTN di berbagai negara maju selama ini secara makro tak bermasalah, kecuali beberapa tragedi di Rusia, China, Jepang, dan AS. Namun kesiapan infrastruktur keilmuan, transparansi tanggap bencana, kesiagaan birokrasi, serta pemenuhan jaminan keamanan masyarakat di negara yang memproduksi energi dari reaktor nuklir cukup memadai. Adapun Indonesia, negara yang masih termasuk 10 besar terkorup di dunia, PLTN bisa saja menjadi bencana bagi publik dan berkah bagi penguasa dan birokrasi.

Pembangunan dan pengelolaan PLTN memerlukan biaya mahal dan produksinya menghasilkan dana melimpah. Namun, apakah PLTN kelak tidak menjadi bagian dari proyek korupsi baru dengan label ilmu teknologi modern? Kompetisi tenaga ahli nuklir di Indonesia pun patut diragukan karena belum terdidik dalam aktivitas kerja keilmuan dan praksis operatif PLTN secara langsung. Jika masa transisi mendatangkan tenaga ahli (konsultan) asing, bisa dihitung berapa ongkos yang dibutuhkan.

Pembangunan PLTN di Indonesia adalah buah simalakama kegagalan rencana eksplorasi, eksploitasi, dan manajemen sumber daya energi sejak Orde Baru hingga kini. Pemerintah acap mencari jalan pintas dengan mengadopsi teknologi pemroduksi energi dan melupakan unit kreativitas teknologi yang memiliki nilai kearifan lokal. Cetak biru pembangunan reaktor nuklir (PLTN) di Indonesia, yang konon mendapat restu Badan Atom Dunia (IAEA), tak menyentuh tuntutan publik. Tak ada garansi politik, ekonomi, ekologi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjamin keselamatan masyarakat serta kelestarian PLTN.

Meski Batan dan pemerintah meretorikakan ìmenjaminî, publik tetap meragukan. Sebab, dalam kasus lumpur Lapindo saja pemerintah gagal mengimplementasikan resolusi alam, ekonomis, dan kemanusiaan, bagaimana dengan PLTN? Bukankah kultur politik penguasa sejak 40 tahun lalu lebih senang menjadikan rakyat eksperimen dan tumbal kebijakan politik pembangunan? (51)