Oleh Syaiful Mustaqim*
Bagi siswa yang naik kelas, tentu tak jadi masalah, karena ia tak perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Yang terpenting bisa beradaptasi dengan tambahan beban mata pelajaran yang semakin sulit. Itu saja. Berbeda dengan mereka yang menyandang predikat siswa baru, yang kudu melewati masa sepekan mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS).
MOS bagi siswa menjadi penting, karena konon setiap sekolah mewajibkannya, dan bila siswa berhalangan, maka harus menggantinya di tahun selanjutnya. Boleh jadi, MOS merupakan prasyarat seorang siswa resmi menjadi bagian anak didik sebuah almamater. Mudahnya, MOS adalah masa pengenalan terhadap almamater baru berkenaan dengan tata tertib, metode pembelajaran, kegiatan ekstra dan lain sebagainya.
Lumrahnya, hari pertama hingga hari ketiga diisi dengan materi yang berkenaan dengan sekolah. Selanjutnya, hari keempat sampai MOS rampung kegiatan Penerimaan Tamu Ambalan (PTA), perekrutan calon pegiat Pramuka baru.
Cara-cara yang 'standar' semacam itu menurut saya tidak adil. Karena tentu, tak semua peserta didik demen kegiatan Pramuka. Jika alasannya kedisiplinan, barangkali kegiatan selain Pramuka pun juga bisa menjadikan siswa lebih disiplin. Para siswa yang tidak suka baris-berbaris, barangkali mereka mengikuti jalannya MOS karena sekadar menggugurkan kewajiban dari sekolah bukan dari hati nurani.
Format Baru
Semestinya sekolah kini memformat ulang kegiatan MOS. Jika sebelumnya MOS laiknya yang saya uraikan di atas, maka setidaknya reformulasi sangat diperlukan. Ada poin-poin penting yang memang harus dipertahankan, namun caranya tidak mesti harus sama.
1. Pengenalan sekolah baru. Ya, itu tetap dilakukan sebab siswa harus mengetahui seluk-beluk sekolahnya yang baru plus berbagai kegiatan ekstra yang ada.
2. Penggalian potensi bakat dan minat. Artinya, seluruh kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah diformat dalam Pekan Olahraga dan Seni (Porseni). Jadi, setiap kelas berhak mendelegasikan atlitnya sesuai dengan bakat minatnya. Nantinya, para pembina ekskul yang bersangkutan tidak akan kebingungan merekrut anggota baru karena sudah diketahui sejak MOS. Sebab yang terjadi selama ini jika kegiatan ekstra tidak ada peminatnya, pihak sekolah akan mewajibkannya.
3. Ekskul Expo (Pameran kegiatan ekstra). Hal ini bisa dilakukan bebarengan dengan kegiatan Porseni yang ditangani sepenuhnya oleh pengurus OSIS dan para pegiat ekskul yang ada. Setidaknya dengan ekskul expo para pegiat kegiatan ekstra belomba-lomba menggaet anggota sebanyak-banyaknya.
Dengan memperbarui format MOS, tak akan ada lagi kasus perploncoan berdalih penegakan kedisiplinan. Kini bukan saatnya MOS menjadi ajang balas dendam senior pada juniornya. Akan tetapi, MOS merupakan momentum untuk penggalian bakat minat yang dimiliki oleh siswa, juga sebagai 'pesta' selamat datang kepada para peserta didik baru sehingga mereka bisa betah berada di sekolah baru.
*SYAIFUL MUSTAQIM, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Smart Institute Jepara
Bagi siswa yang naik kelas, tentu tak jadi masalah, karena ia tak perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Yang terpenting bisa beradaptasi dengan tambahan beban mata pelajaran yang semakin sulit. Itu saja. Berbeda dengan mereka yang menyandang predikat siswa baru, yang kudu melewati masa sepekan mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS).
MOS bagi siswa menjadi penting, karena konon setiap sekolah mewajibkannya, dan bila siswa berhalangan, maka harus menggantinya di tahun selanjutnya. Boleh jadi, MOS merupakan prasyarat seorang siswa resmi menjadi bagian anak didik sebuah almamater. Mudahnya, MOS adalah masa pengenalan terhadap almamater baru berkenaan dengan tata tertib, metode pembelajaran, kegiatan ekstra dan lain sebagainya.
Lumrahnya, hari pertama hingga hari ketiga diisi dengan materi yang berkenaan dengan sekolah. Selanjutnya, hari keempat sampai MOS rampung kegiatan Penerimaan Tamu Ambalan (PTA), perekrutan calon pegiat Pramuka baru.
Cara-cara yang 'standar' semacam itu menurut saya tidak adil. Karena tentu, tak semua peserta didik demen kegiatan Pramuka. Jika alasannya kedisiplinan, barangkali kegiatan selain Pramuka pun juga bisa menjadikan siswa lebih disiplin. Para siswa yang tidak suka baris-berbaris, barangkali mereka mengikuti jalannya MOS karena sekadar menggugurkan kewajiban dari sekolah bukan dari hati nurani.
Format Baru
Semestinya sekolah kini memformat ulang kegiatan MOS. Jika sebelumnya MOS laiknya yang saya uraikan di atas, maka setidaknya reformulasi sangat diperlukan. Ada poin-poin penting yang memang harus dipertahankan, namun caranya tidak mesti harus sama.
1. Pengenalan sekolah baru. Ya, itu tetap dilakukan sebab siswa harus mengetahui seluk-beluk sekolahnya yang baru plus berbagai kegiatan ekstra yang ada.
2. Penggalian potensi bakat dan minat. Artinya, seluruh kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah diformat dalam Pekan Olahraga dan Seni (Porseni). Jadi, setiap kelas berhak mendelegasikan atlitnya sesuai dengan bakat minatnya. Nantinya, para pembina ekskul yang bersangkutan tidak akan kebingungan merekrut anggota baru karena sudah diketahui sejak MOS. Sebab yang terjadi selama ini jika kegiatan ekstra tidak ada peminatnya, pihak sekolah akan mewajibkannya.
3. Ekskul Expo (Pameran kegiatan ekstra). Hal ini bisa dilakukan bebarengan dengan kegiatan Porseni yang ditangani sepenuhnya oleh pengurus OSIS dan para pegiat ekskul yang ada. Setidaknya dengan ekskul expo para pegiat kegiatan ekstra belomba-lomba menggaet anggota sebanyak-banyaknya.
Dengan memperbarui format MOS, tak akan ada lagi kasus perploncoan berdalih penegakan kedisiplinan. Kini bukan saatnya MOS menjadi ajang balas dendam senior pada juniornya. Akan tetapi, MOS merupakan momentum untuk penggalian bakat minat yang dimiliki oleh siswa, juga sebagai 'pesta' selamat datang kepada para peserta didik baru sehingga mereka bisa betah berada di sekolah baru.
*SYAIFUL MUSTAQIM, Pemerhati Pendidikan dan Direktur Smart Institute Jepara
0 komentar:
Posting Komentar