Kamis, 22 Januari 2009

Menyelamatkan Pendidikan Indonesia

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, alumnus University of South Carolina, Amerika Serikat, tinggal di Kendal, Jateng

Wajah pendidikan Indonesia yang menimbulkan teror bagi siswanya ternyata bukan wacana belaka. Riset yang dilakukan oleh Dr. Nugroho dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang disampaikan dalam diskusi ”Arah Pendidikan Indonesia” pertengahan November lalu membuktikan bahwa lebih dari 5 % pengajaran di sekolah menjadikan beban berat bagi siswa dan bisa mengakibatkan stress.

Pekan lalu, saya mengadakan evaluasi dan konseling akhir sebelum ujian semester bagi kelas XII. Dalam proses konseling banyak murid mengeluhkan tertekan menghadapi ujian akhir nasional (UAN) yang naik standar kelulusannya, dari 5.25 menjadi 5.5.

Pendidikan idealnya membimbing anak didik menuju puncak kreativitas bukan menjadikan tekanan bagi siswa.

Raport merah pendidikan Indonesia yang panjang adalah buah dari kesalahan landasan filosofis pendidikan yang berpusat pada konsep transfer pengetahuan.

Secara historis, sistem pendidikan Indonesia sebenarnya mengacu kepada sistem pendidikan Amerika yang dikembangkan atas reaksi AS terhadap keberhasilan Uni Soviet meluncurkan pesawat luar angkasa Sputnik pada tahun 1957.

Para pemimpin AS saat itu berada dalam kepanikan, sehingga mereformasi sistem pendidikannya agar lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk memasuki perguruan tinggi serta menitikberatkan pada kemampuan akademik siswa agar para lulusan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Anehnya, ketika Amerika Serikat telah mengubah sistem pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan melalui proyek-proyeknya seperti “America 2000: an Educational Strategy”, justru Indonesia melanggengkan sistem tersebut lewat kebijakan-kebijakan seperti UAN.

Sistem pendidikan yang hanya berorientasi aspek kognitif hanya berpihak bagi sebagian kecil siswa. Dalam tinjuan psikologis, sistem tersebut cocok bagi manusia yang memiliki intelegensi tinggi, dan itu hanya dimiliki tak lebih dari 15 % dari populasi siswa.

Sebagian besar manusia memiliki kecenderungan lain seperti musikal, motorik, bahasa dan lainnya. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar banyak siswa merasa terbebani akibat pembelajaran yang tidak sesuai bagi mereka.

Dalam situasi seperti itu, siswa seakan tidak ada pilihan lain untuk tidak mengikuti pembelajaran di kelas. Jika dibiarkan maka pendidikan justru akan menjadi teror bagi siswa.

Belajar pada Jepang
Sistem pendidikan di Jepang sangat berbeda dengan Indonesia, mereka lebih berpihak pada penyaluran bakat siswa-siswa di sekolah. Dengan strategi ini, sistem pendidikan di Jepang terutama pendidikan dasar relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.

Buah dari sistem pendidikan yang unggul, Jepang menjadi negara yang besar dalam kualitas produksi, bahkan mampu menggunguli Amerika.

Selain itu, Jepang terkenal dengan keterampilan yang handal. Jepang mampu menghasilkan produk-produk terkenal dengan kualitas bagus yang merupakan buah tangan dari para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung.

Menegok kualitas Negara kita. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia tahun 2007/2008 sekarang menduduki peringkat nomor 107 yang masih tergolong rendah. Selain itu, hasil survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam.

Kualitas SDM yang buruk ini merupakan efek panjang dari carut marutnya sistem pendidikan Indonesia.

Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (inferior complex), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada dalam urutan bawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter.

Banyak siswa tumbuh dalam kesalahan sistem pendidikan. Bakat-bakat mereka pun terabaikan dalam kungkungan pengetahuan. Yang terjadi mereka tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan.

Pendekatan pembelajaran yang terlalu kognitif pun telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi. Situasi ini dapat memicu para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya.

Dalam situasi belajar yang tidak mendukung ini, guru dituntut menjadi aktor utama sebagai agen pembaharuan. Peningkatan otoritas bagi guru dalam pendidikan sekarang ini membuka kesempatan bagi mereka untuk mengajar secara profesional.

Guru tidak harus mengajar berdasarkan pada petunjuk teknis yang lebih banyak bersifat teoritis (textbook oriented), melainkan guru memiliki kebebasan untuk mengembangkan pembelajran menjadi lebih menarik dengan mengakomodasi kemampuan dan bakat siswa.

Guru bisa memakai teori-teori pengajaran yang baru seperti contextual learning (CTL) yang menekankan pada pembelajaran berbasis realita daripada pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan.

Demikian pula guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar belakang mereka.

Hemat saya, yang terpenting adalah keseriusan (political will) dari pemerintah untuk berani mengubah arah pendidikan Indonesia menuju pendidikan yang humanis (memanusiakan manusia) bukan dehumanis (menghilangkan kemanusiaan manusia) lewat kebijakan-kebijakan yang populis. Semoga perubahan segera terjadi!

[Koran Pak Oles/Edisi 166/1-15 Januari 2009]

0 komentar: