Cerpen Mezzalena
“Terima kasih ya,” akhirnya klausa ini yang aku pilih untuk memulai pembicaraan kita.
“Buat?” Kau pura-pura tidak tahu.
“Buat sekuntum Edelweiss kemarin,” kataku. Hendak bertanya, apa maksudmu? Tapi aku tahan. Harusnya aku sudah tahu.
“Suka?” tanyamu pendek. Pasti kau berharap aku mengangguk. Tapi, apakah aku belum pernah bercerita padamu kalau aku tidak begitu suka bunga? Lantas, kalo aku memilih tersenyum untuk menjawab pertanyaanmu itu, apakah akan menyinggungmu?
“Kok senyum aja sih?” tanyamu lagi.
“Jangan bertanya aku suka atau tidak, aku sangat senang menerimanya,” lega rasanya menemukan kalimat ini.
“Makasih ya,” ucapmu.
“Hey, kamu yang memberi kok bilang terima kasih?”
“Iya, terima kasih sudah menerimanya,” ucapmu lalu tertawa, begitu juga tawaku meyusul, kita tertawa bersama.
“Za?” panggilmu tiba-tiba. Seperti serius.
“Hmm,” jawabku pendek. Aku menoleh ke arahmu. Mencari-cari maksud dari wajahmu.
“Apa?” tanyaku akhirnya ketika tidak menemukan jawaban dari rautmu.
“Engga,“ kamu melengos, menghindar dari tebakanku. “Hanya ingin memanggilmu,” lanjutmu lagi, mengerling.
Aku diam, pura-pura tidak peduli. Padahal, aku bahkan sangat tahu, iya aku juga merasakannya. Sudah sangat lama, tak ada pertemuan seperti ini. Duduk-duduk tanpa acara. Bicara ke sana ke mari tanpa tema. Tanpa menyesali waktu yang ternyata berlalu searah, irreversible. Seringkali aku memang sengaja, tak melihat jam karena tak mau waktu mengambil jeda. Tapi, kita memang tak pernah bisa memungkiri, bahwa perpisahan adalah syarat pasti dari pertemuan. Iya, iya aku tahu, sangat tahu. Ada kata yang tertahan, dari hatimu. Tentang rasa yang sama-sama kita sembunyikan.
“Mmm,” desismu perlahan.
“Apa?” hanya pura-pura bertanya. Aku tahu kau sedang kebingungan mencairkan suasana. Mencari-cari cerita apa yang bisa mewakili hatimu. Lalu aku tersenyum.
“Kamu ga suka bunga ya?” tanyamu hati-hati kemudian, Aku tersenyum.
“Seperti yang kamu lihat dari penampilanku yang tak pernah anggun. Aku hanya cemburu sama bunga-bunga yang anggun dan cantik. Itu makanya aku ga suka bunga. Aku iri,” jawabku beserta alasan lengkap.
“Halah, bilang aja kamu ga telaten merawat bunga, pake ngeles cemburu-cemburu segala,” candamu sambil tertawa kecil.
“Tumben tebakanmu benar,” lalu tawaku ikut pecah.
“Jadi benar kamu ga suka bunga?” Ih, kenapa sih kau suka mendesakku dengan pertanyaan yang menurutku sudah cukup aku jawab.
“Dari pada bunga aku lebih suka pada rumput liar,” jawabku.
“Mereka bisa tumbuh di mana saja tanpa manja. Mencari kehidupannya sendiri dengan menanamkan akarnya kuat-kuat dalam tanah. Walaupun kemarau seperti membunuhnya, tapi nyatanya itu hanya hibernasi sesaat,” lanjutku panjang.
“Terus?” tanyamu.
“Iya gitu, saya lebih menyukai rumput dari pada bunga,” jawabku.
“Itu makanya kamu sedikit liar,” kelakarmu. Aku tersenyum kecut. Aku tahu kau sedang bercanda. Aku tak marah, karena aku tahu yang kau maksud liar bukanlah sinonim dari amoral yang mirip dengan asusila atau tuna susila. Juga, kau tak pernah meninggalkanku meski kau tahu aku tak sempurna. Jadi aku tak perlu marah walaupun menurutku kau bercanda kelewatan.
“Maaf-maaf, aku cuma becanda,” maafmu menangkap air mukaku yang berubah kecut tadi.
“iya gpp, lupakan. Mmm, kamu tahu ga rumput apa yang paling aku suka?” tanyaku kembali ke topik awal, hanya tak hendak memperpanjang pekara yang sensitif.
“Rumput itu macem-macem ya? dan bernama juga?” tanyamu.
“Ya iya lah, karena manusia berkepentingan terhadap nama-nama itu untuk membedakan jenis-jenis rumput, jadilah rumput itu bernama,” selintas terpikir tentang ujaran masyhur, apalah arti sebuah nama.
“Rumput apa yang paling kamu suka? Aku tidak pernah kenalan sama rumput-rumput, jadi ga tahu,” tanyamu. Jika aku penggemar Ebiet G Ade, maka aku akan menjawab “silahkan bertanya pada rumput yang bergoyang”.
“Mimosa pudica,” jawabku singkat.
“Apa itu? saya pernah dengar deh, apa sih? emang ada gitu nama rumput yang cantik?” tanyamu.
“Kalau kamu pernah lulus SMP pasti tahu, dulu di pelajaran biologi kita mempelajari tentang binomial nomenclature kan?,” tampak kau sedang berpikir.
“Apa sih? aku hanya ingat Oryza sativa,” serahmu.
“Si kejut,” jawabku.
“What? Putri Malu? apanya yang kamu sukai?” tanggapmu.
Aku tak menjawab. Aku tahu, kau tahu bahwa aku tak sempurna. Ketika kau menginginkan aku seanggun Edelweiss, tetap tangguh, abadi dan mempesona di mana pun berada. Kenyataannya aku hanyalah sebatang Putri Malu. Iya, hanya rumput liar yang sesekali terjebak pada kemarau. Hibernasi yang seperti mati. Bahkan pada rangsang-rangsang yang halus, aku pun kalap. Menutup diri. Tapi sebagaimana kau tahu, Putri Malu yang liar itu juga ingin berbunga, begitu pun aku. Kau juga tahu, tak ada Putri Malu yang bisa berevolusi jadi Edelweiss. Apakah kau keberatan?
Tak terasa Ta, matahari telah maghrib. Langit menggelap. Jeda lagi. Berpisah lagi. Sampai jumpa, aku pasti merindukan hari ini lagi. Sayang, tak akan pernah ada lagi, jadi ijinkan aku menuliskannya.
---diunduh dari http://mezzalena.wordpress.com
Selasa, 14 April 2009
Sekuntum Edelweiss, Setangkai Mimosa pudica
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar