Oleh Muh Khamdan
peneliti Paradigma Institute dan bekerja di BPSDM Depkumham RI.
MENGAGETKAN. Demikian perasaan sebagian masyarakat Jepara perkotaan setelah pembongkaran pabrik sabu-sabu di kawasan Pantai Kartini (3/5). Pabrik sabu-sabu di Kelurahan Kauman RT 4 RW 5, Kecamatan Jepara merupakan pabrik yang pertama kali terbongkar di wilayah Jawa Tengah.
Masyarakat segera bertanya, ada apa dengan Jepara? Mengapa kota santri sekaliber Jepara menjadi pusat produksi sabu-sabu ?
Dalam pemberitaan selama ini dinyatakan bahwa pabrik di Jepara adalah bagian dari jaringan mafia pabrik ekstasi Depok dan terkait jaringan internasional. Sebuah fakta yang lebih mengkhawatirkan berupa terbongkarnya pangsa pasar yang merambah lintas provinsi dan antarnegara, seperti Hongkong dan Thailand ketika omset penjualannya mencapai 30 miliar (SM, 4/5).
Terlepas dari bagaimana kasus ini akhirnya terungkap, yang perlu disesalkan adalah keterlambatan jaringan intelijen Polres Jepara membongkar sendiri. Sebagai aparatur keamanan yang membawahkan Kota Jepara, tentunya bisa mencium kasus tersebut lebih awal mengingat lokasinya berada di kawasan Pantai Kartini, sekitar 2 km dari Mapolres Jepara.
Sejak dua pekan kemarin muncul kekhawatiran di antara masyarakat bahwa Jepara akan diterpa bencana tsunami akibat ramalan Mama Lauren. Masyarakat pada akhirnya berduyun-duyun melihat kura-kura yang ingin dimandikan sehingga berimbas pada peningkatan kunjungan wisata domestik di Pantai Kartini.
Hal itulah yang membuat kaget dengan munculnya kasus yang melibatkan jaringan ekstasi internasional sekarang ini. Kalau Jepara sudah menjadi kota pilihan untuk produksi sabu-sabu, maka ibaratnya tidak ada lagi yang ditakuti oleh sindikat narkoba tersebut.
Tentunya masyarakat Jepara berharap bahwa keberadaan pabrik sabu-sabu di kawasan Pantai Kartini tidak berimbang dengan banyaknya pengguna sabu-sabu di masyarakat Jepara.
Setidak-tidaknya masyarakat masih memiliki harapan bahwa masyarakat ini masih ada counter pengawasan yang tetap dibanggakan. Mereka masih andil dalam kegiatan keagamaan dan keterbukaan interaksi sosialnya.
Anita Retno Lestari pernah mengingatkan bahwa kehidupan masyarakat santri bisa hilang ketika sudah berinteraksi dengan industri. Ditambahkan bahwa daerah industri selalu ditandai oleh kemunculan pabrik-pabrik di banyak tempat.
Pabrik-pabrik itu menghasilkan berbagai produk yang diolah dengan cara manual maupun mesin tanpa dibatasi oleh waktu atau sepanjang siang sepanjang malam (SM, 6/4).
Deddy Halim dalam Psikologi Lingkungan Perkotaan (2008) menjelaskan bahwa dalam pembentukan sebuah budaya ada lima fungsi kultural yang senantiasa menyertai kelahiran budaya baru. Representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi. Namun, lahirnya sebuah budaya pun bisa dilahirkan oleh satu fungsi saja.
Terkait pada fungsi konsumsi suatu produk misalnya, tentu masyarakat akan terpengaruh representasi simbol dan slogan, identitas sosial yang diemban, sampai pada aturan-aturan tertentu. Ibaratnya, fungsi kultural menjadi jejaring laba-laba dalam masyarakat yang memaksa untuk mengatur perilaku.
Masyarakat Industri
Dalam kondisi demikian, Comenius melalui buku legendaris The Labyrinth of the World and the Paradise of the Heart (1623) pernah menyindir masyarakat industri dengan sebutan manusia yang terasing dari lingkungannya sendiri karena perilaku yang dikondisikan oleh selera pasar.
Masyarakat Jepara sudah seharusnya mengambil pelajaran dan mulai menata kembali hubungan interaksi sosial yang terbuka agar tidak terasing dari lingkungan.
Perilaku masyarakat selalu terkait dengan lingkungan hunian ketika masyarakat itu berinteraksi.
Persepsi tentang hunian dan komunitasnya dipengaruhi faktor perbedaan individual yang dapat menimbulkan efek yang menguntungkan atau merugikan dalam berinteraksi dengan komunitasnya. Persepsi ini dipengaruhi dua hal, kongruensi individu dengan lingkungan dan kontrol terhadap lingkungan hunian.
Pemilihan rumah milik Andreas Widodo yang terletak di Jalan Cik Lanang, Kelurahan Kauman dan rumah di Kelurahan Mulyoharjo Kecataman Kota tentu bukan tanpa alasan. Rumah yang langsung berbatasan dengan laut dan berdekatan dengan permukiman penduduk nelayan serta tempat penambatan perahu-perahu yang tidak berlayar.
Kedekatan dengan laut jelas akan menghilangkan bau produksi sabu-sabu yang terkalahkan oleh aroma asin dari laut.
Memang tidak mudah mengurai praktik haram yang berlokasi semacam itu. Namun hal itu membuktikan bahwa peran kongruensi individu dalam berinteraksi serta adanya kontrol sosial atau kontrol regulasi dan keamanan sangat dibutuhkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kasus serupa di Jepara atau di daerah lainnya.
Tantangan tentunya akan ditujukan kepada pihak kepolisian di berbagai tingkatan daerah. Sejak awal masyarakat berharap bahwa lembaga ini dapat menjalankan tugasnya untuk memberantas penyakit masyarakat, terutama narkoba.
Wacana tentang evaluasi terhadap implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22/ 1999 tidak seharusnya berhenti, khususnya yang terkait dengan masalah desentralisasi di bidang kelautan.
Isu kelautan ini semakin relevan ketika kasus narkoba terbongkar di Jepara dan berada di pinggiran Pantai Kartini. Maklum, selama ini pantai yang memiliki simbol patung kura-kura terasa sepi kecuali dalam momentum tertentu semacam Syawalan.
Untuk itulah alokasi dan kontrol pengelolaan sumber daya kelautan bisa dimanfaatkan Pemda Jepara dengan cara terpusat di masyarakat lokal. Hal ini dapat mendukung kemampuan memfasilitasi kemunculan tanggung jawab dari pengguna oleh masyarakat itu sendiri terhadap lingkungannya.
Dengan demikian, upaya meramaikan kembali kelautan Jepara dengan alternatif pengelolaan berdasarkan kebersamaan pemerintah dan masyarakat, menjadi penting dan mendesak.
Faktor identitas Jepara sebagai kota bahari dan salah satu kota santri di kawasan Pantai Utara Jawa mesti dipertahankan agar tidak muncul pabrik sabu-sabu yang baru. (80)
Sumber : Suara Merdeka, 07 Mei 2009
Kamis, 07 Mei 2009
Memahami Kasus Sabu-sabu Jepara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
i like it....
makasih kunjungannya...
Posting Komentar