Suara Merdeka, 30 Desember 2009
Ironi dalam dunia pendidikan kita muncul lagi. Jargon pendidikan gratis yang disampaikan oleh sejumlah kepala daerah sering tidak paralel dengan realitas di lapangan. Bahkan, hanya karena masih menunggak uang gedung sebesar Rp 50 ribu — dari jumlah Rp 300 ribu — , seorang siswi di sebuah SMP negeri di Jepara tidak diperkenankan untuk mengambil rapor. Tragisnya, siswi putri seorang buruh mebeler tersebut merasa tertekan dan frustrasi, lalu sempat mencoba bunuh diri. Bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus itu?
Kepala sekolah yang menerapkan peraturan tentang uang gedung dan persyaratan dalam pengambilan rapor, boleh jadi tidak membayangkan akibat sefatal itu bagi siswinya. Tetapi itulah ekses, tekanan-tekanan psikologis yang mungkin tak terperhitungkan ketika segala sesuatu sudah diukur dari uang. Apalagi sebenarnya terdapat peraturan mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi pendidikan dasar baik SD maupun SMP. Peraturan Bupati Jepara 2009 tentang Pendidikan juga menjabarkan kebijakan tersebut.
Kita menilai wajar jika kemudian muncul kecaman dan pendapat dari berbagai kalangan pendidikan di Jepara. Bagaimanapun, kasus tersebut merupakan sebuah pelajaran yang sangat pahit. Apakah otoritas sekolah tidak memiliki jalan keluar dengan nalar yang ”out of the box”, yakni dengan melewati sekat-sekat yang sekadar normatif, untuk memberi keniscayaan bagi si siswi agar tetap bisa mengambil rapornya? Padahal bukankah rapor merupakan hak mengetahui hasil pembelajarannya selama satu semester?
Secara tersirat dan tersurat, realitas di tingkat lapangan pun terbentang. Uang sebesar Rp 50 ribu ternyata bukan jumlah yang mudah bagi kalangan tertentu. Sebaliknya, bisa menjadi jumlah sangat tak berarti bagi yang lain. Namun ketika jumlah yang kecil itu bisa menimbulkan akibat tak terduga, terutama terkait dengan hak atas akses pendidikan, maka kiranya kita perlu menyikapinya secara hati-hati dan sangat bijak. Dana BOS sebenarnya merupakan bagian dari jalan keluar, sehingga pengefektifannya perlu didorong dan dikawal.
Plus-minus larangan pemungutan iuran pendidikan tentu saja ada. Apakah berupa pengaruh terhadap mobilitas operasional dan mutu proses pembelajaran, atau mungkin pengaruh-pengaruh yang lain. Tetapi kapan kita melangkah ke realisasi pemaksimalan hak atas akses pendidikan bagi seluruh warga negara, jika penerapan pungutan untuk item-item tertentu tetap diperkenankan, yang bahkan pernah berlangsung secara tidak terkendali? Bisa disimpulkan sendiri, apakah kasus rapor di Jepara merupakan akibat atau bukan.
Kita hanya berharap, ”geger rapor” itu tidak akan menyulut sikap negatif pihak sekolah terhadap siswi tersebut. Struktur lembaga pendidikan di Jepara, juga lembaga-lembaga ”pengawas” di tingkat masyarakat harus ikut mengawal agar sorotan yang muncul ke sekolah tidak menyebabkan si siswi yang kemudian dirugikan. Dibutuhkan dialog terbuka, lalu langkah-langkah untuk menyikapi kasus tersebut agar tidak menjadi preseden, di mana pun. Bukan tidak mungkin, model-model sikap serupa juga masih ada di sekolah yang lain.
Rabu, 30 Desember 2009
Merenungi Kasus Rapor di Jepara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar