Suara Merdeka, 01 Februari 2010
Bagaimanakah seharusnya kita menyikapi insiden pecegatan dan penyerangan terhadap rombongan suporter Persijap Jepara oleh sekelompok orang yang disebut-sebut sebagai oknum kelompok suporter sepak bola di Semarang? Yang paling awal tentulah keprihatinan mendalam, karena peristiwa itu sudah memasuki wilayah kriminal ketimbang sekadar urusan dukung-mendukung tim sepak bola. Apa pun keterkaitannya dengan urusan masa lalu, kenyataannya yang terjadi pada Jumat malam lalu itu adalah tindak kejahatan.
Berikutnya adalah tanda tanya, apa yang sebenarnya dicari oleh kelompok penyerang itu: menghadang dan merusak bus rombongan Jepara yang akan menonton pertandingan Persijap di Jakarta? Kalau hanya dilatarbelakangi oleh dendam atas sejumlah peristiwa bentrok tahun-tahun silam, keuntungan apa yang mereka dapat kecuali hanya mudah ditandai telah melakukan tindak kejahatan penyerangan? Modus yang tampak terencana makin menumbuhkan pertanyaan: siapa aktor intelektualnya, dan apa motivasinya?
Semarang dan Jepara adalah dua entitas sepak bola yang sama-sama memiliki pendukung fanatik. Namun realitas dalam sejarah persebaran prestasi menunjukkan, jika salah satu tim mewakili entitas lebih luas – dalam hal ini region Jawa Tengah – ke tingkat lebih tinggi, publik dua entitas itu bersatu padu sebagai pendukung. Kesadaran sebagai saudara melekat dalam komunitas provinsial. Ide mulia inilah yang mestinya digalang bersama antara para petinggi kelompok suporter, juga institusi-institusi dalam kepemimpinan formal.
Kita selalu memahami jiwa keberpihakan yang mengendap di alam bawah sadar dalam urusan persuporteran sepak bola. Bukan hanya di Tanah Air, di banyak negara pun fanatisme bisa bergerak ke arah vandalisme dan anarkisme, yang kemudian menumbuhkan banyak analisis tentang kemungkinan sepak bola menjadi medium ekspresi bagi naluri-naluri tribalitas. Banyak kemungkinan adanya kepentingan atau ekspresi lain yang ”menumpang”, yang sebenarnya sangat jauh di luar lapangan dan urusan sepak bola.
Gagasan dan langkah-langkah ideal mengusung persuporteran sebagai suatu gerakan entertainment dalam memberi dukungan kepada tim kesayangan, selalu berhadapan dengan politisasi ekspresi-ekspresi lain itu. Maka sepak bola pun kerap dianalogikan sebagai ”jagat kecil” yang merefleksikan apa yang tengah dihadapi suatu bangsa atau kelompok di ”jagat besar”. Fenomena suporter bandha nekat (bonek) merupakan salah satu contoh pantulan dari ekspresi publik yang menghadapi tekanan-tekanan hidup keseharian.
Apa pun latar belakangnya, secara hukum kita tidak boleh menoleransi ketika ekspresi-ekspresi itu sudah menerbitkan gangguan atau bahkan ancaman bagi keselamatan, ketertiban, dan kenyamanan hidup masyarakat. Jangan ada apologi atau justifikasi. Kita memang harus menyelesaikan banyak soal di tingkat kehidupan rakyat, namun kekerasan yang muncul sebagai bias dari dunia persuporteran tetap menjadi tanggung jawab aparat hukum. Tindakan untuk menciptakan efek jera harus konsisten kita tegakkan.
0 komentar:
Posting Komentar