Kontributor LPM Idea Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang aktif di forum kajian Dewandaru Jepara Society
Kabupaten Jepara dikenal sebagai penghasil kerajinan mebel ukir bertaraf Internasional. Boleh saja daerah lain mempunyai produk-produk mebel dan furnitur dengan berbagai desain. Akan tetapi untuk masalah motif ukir-ukiran, Jepara masih tak tertandingi. Ukir-ukiran inilah yang menjadikan produk-produk furnitur Jepara mempunyai kekhasan tersendiri. Selain sebagai sebuah produk budaya hasil karya masyarakat lokal, ia juga merupakan karya seni yang bernilai estetik tinggi. Tak berlebihan jika Jepara mendapat gelar sebagai The World Carving Center.
Dari manakah tangan-tangan terampil pengukir Jepara itu dihasilkan? Setidaknya ada dua cara untuk mempelajari kerajinan ukir Jepara. Pertama adalah dengan cara "magang" pada perajin yang telah mapan. Melalui cara ini seorang peminat ukir akan dibimbing langsung oleh perajin bersangkutan di brak (tempat kerja pertukangan) mereka. Tentu dalam proses dan suasana belajar yang jauh dari kesan formal.
Kebanyakan perajin ukir Jepara belajar dengan cara ini. Mereka belajar ukir secara tradisional dan konvensional, baik dari keluarga, kerabat, maupun tetangga mereka. Tak ada kurikulum, dan tak ada batasan waktu belajar. Jenis dan motif ukiran yang dipelajari disesuaikan dengan order atau pesanan yang diterima oleh si perajin. Jadi, dengan cara ini, si pembelajar akan mengetahui langsung trend pasar permebelan yang sedang berkembang dan diminati oleh buyer atau pembeli.
Penulis sendiri sewaktu tinggal di Kecamatan Batealit --salah satu sentra mebel di Jepara selain Kecamatan Tahunan, Mlonggo, dan Bangsri— juga pernah belajar ukir melalui cara ini. Namun, karena kurang telaten dan tidak kerasan, akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Yang ke-dua adalah dengan cara belajar di lembaga non-formal. Ada dua lembaga non-formal yang selama ini menyelenggarakan pendidikan ukir, yaitu Sekolah Ukir yang berlokasi di Pekeng, Tahunan, dan Pusat Pelatihan Keterampilan Ukir Kayu Fedep Jepara (PPKUFJ) yang terletak di Desa Sukodono, juga Kecamatan Tahunan.
Baik Sekolah Ukir di Pekeng, maupun PPKUFJ sama-sama menyelenggarakan pendidikan selama setahun. Sembilan bulan teori dan praktik di kelas, dan tiga bulan on the job training atau magang di perusahaan-perusahaan mebel. Pendidikan difokuskan pada keterampilan praktis mengukir, tentu setelah sebelumnya dibekali dengan teori dan pengetahuan mengenai motif dan jenis ukiran. Dengan demikian, porsi untuk praktik mempunyai bagian yang lebih besar.
Untuk menjadi siswa di Sekolah Ukir tidak disyaratkan harus tamat pendidikan formal tertentu, misalnya SLTP atau SLTA. Semuanya bisa mendaftar dan diterima, baik lulusan SD maupun SLTA. Bahkan ketika suatu hari penulis berkunjung ke PPKUFJ, penulis juga menemukan guru –yang telah mengajar di sebuah sekolah formal di Jepara-- yang ikut belajar ukir di sana. Tentu saja dia belajar secara "ekstensi", masuk hanya pada akhir pekan. Ada fasilitas lain yang disediakan pengelola, yaitu asrama bagi siswa yang berasal dari luar daerah.
Di tengah gempuran kuat arus globalisasi yang tengah melanda dunia, aset-aset bangsa yang berbasis pada kebudayaan lokal –tak terkecuali kerajinan dan kesenian ukir— menjadi elemen yang sangat penting untuk membangun citra, karakter, dan identitas bangsa di mata Internasional. Maka dari itu, mari kita lestarikan kekayaan bangsa kita. Jangan sampai negara lain mengklaim (lagi) kepemilikan atas aset-aset budaya yang telah susah payah diciptakan dan dikembangkan oleh bangsa kita, hanya karena kita lalai merawat dan melestarikannya.
Tertarik untuk turut berpartisipasi dalam upaya pelestarian itu dengan menjadi perajin dan seniman ukir? Atau ingin sekadar mengamati proses kreatif para perajin ukir Jepara? Tempat-tempat di atas merupakan pilihan yang sangat tepat. []
Kabupaten Jepara dikenal sebagai penghasil kerajinan mebel ukir bertaraf Internasional. Boleh saja daerah lain mempunyai produk-produk mebel dan furnitur dengan berbagai desain. Akan tetapi untuk masalah motif ukir-ukiran, Jepara masih tak tertandingi. Ukir-ukiran inilah yang menjadikan produk-produk furnitur Jepara mempunyai kekhasan tersendiri. Selain sebagai sebuah produk budaya hasil karya masyarakat lokal, ia juga merupakan karya seni yang bernilai estetik tinggi. Tak berlebihan jika Jepara mendapat gelar sebagai The World Carving Center.
Dari manakah tangan-tangan terampil pengukir Jepara itu dihasilkan? Setidaknya ada dua cara untuk mempelajari kerajinan ukir Jepara. Pertama adalah dengan cara "magang" pada perajin yang telah mapan. Melalui cara ini seorang peminat ukir akan dibimbing langsung oleh perajin bersangkutan di brak (tempat kerja pertukangan) mereka. Tentu dalam proses dan suasana belajar yang jauh dari kesan formal.
Kebanyakan perajin ukir Jepara belajar dengan cara ini. Mereka belajar ukir secara tradisional dan konvensional, baik dari keluarga, kerabat, maupun tetangga mereka. Tak ada kurikulum, dan tak ada batasan waktu belajar. Jenis dan motif ukiran yang dipelajari disesuaikan dengan order atau pesanan yang diterima oleh si perajin. Jadi, dengan cara ini, si pembelajar akan mengetahui langsung trend pasar permebelan yang sedang berkembang dan diminati oleh buyer atau pembeli.
Penulis sendiri sewaktu tinggal di Kecamatan Batealit --salah satu sentra mebel di Jepara selain Kecamatan Tahunan, Mlonggo, dan Bangsri— juga pernah belajar ukir melalui cara ini. Namun, karena kurang telaten dan tidak kerasan, akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Yang ke-dua adalah dengan cara belajar di lembaga non-formal. Ada dua lembaga non-formal yang selama ini menyelenggarakan pendidikan ukir, yaitu Sekolah Ukir yang berlokasi di Pekeng, Tahunan, dan Pusat Pelatihan Keterampilan Ukir Kayu Fedep Jepara (PPKUFJ) yang terletak di Desa Sukodono, juga Kecamatan Tahunan.
Baik Sekolah Ukir di Pekeng, maupun PPKUFJ sama-sama menyelenggarakan pendidikan selama setahun. Sembilan bulan teori dan praktik di kelas, dan tiga bulan on the job training atau magang di perusahaan-perusahaan mebel. Pendidikan difokuskan pada keterampilan praktis mengukir, tentu setelah sebelumnya dibekali dengan teori dan pengetahuan mengenai motif dan jenis ukiran. Dengan demikian, porsi untuk praktik mempunyai bagian yang lebih besar.
Untuk menjadi siswa di Sekolah Ukir tidak disyaratkan harus tamat pendidikan formal tertentu, misalnya SLTP atau SLTA. Semuanya bisa mendaftar dan diterima, baik lulusan SD maupun SLTA. Bahkan ketika suatu hari penulis berkunjung ke PPKUFJ, penulis juga menemukan guru –yang telah mengajar di sebuah sekolah formal di Jepara-- yang ikut belajar ukir di sana. Tentu saja dia belajar secara "ekstensi", masuk hanya pada akhir pekan. Ada fasilitas lain yang disediakan pengelola, yaitu asrama bagi siswa yang berasal dari luar daerah.
Di tengah gempuran kuat arus globalisasi yang tengah melanda dunia, aset-aset bangsa yang berbasis pada kebudayaan lokal –tak terkecuali kerajinan dan kesenian ukir— menjadi elemen yang sangat penting untuk membangun citra, karakter, dan identitas bangsa di mata Internasional. Maka dari itu, mari kita lestarikan kekayaan bangsa kita. Jangan sampai negara lain mengklaim (lagi) kepemilikan atas aset-aset budaya yang telah susah payah diciptakan dan dikembangkan oleh bangsa kita, hanya karena kita lalai merawat dan melestarikannya.
Tertarik untuk turut berpartisipasi dalam upaya pelestarian itu dengan menjadi perajin dan seniman ukir? Atau ingin sekadar mengamati proses kreatif para perajin ukir Jepara? Tempat-tempat di atas merupakan pilihan yang sangat tepat. []
1 komentar:
Saya Deky, mempunyai ponakan yg punya basic kaligrafi, dia tertarik untuk mendalami dunia ukiran. Mohon saran dan penjelasan yg lebih mendalam mengenai sekolah non formal dan "magang" di para ahli.
Matur nuwun balasane, please send to my email deky.suprianto@gmail.com
Posting Komentar