Guru Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan, Jepara
KESUSASTRAAN merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Untuk memahami dan menekuninya, membutuhkan ruang dan waktu panjang sehingga dapat mengerti celah dan seluk beluk perkembangannya.
Dalam khazanah sastra diperlukan pelbagai peranti, di antaranya lika-liku bahasa, tata bahasa, dan gaya bahasa. Ketiga peranti tersebut adalah pondasi awal dan satu kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan jika akan menggelutinya. Jika tidak dipahami terlebih dahulu, nantinya akan muncul masalah-masalah berikutnya.
Persoalannya adalah dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah, guru hanya sekadar mengajarkan tata bahasa an sich. Pada Ujian Nasional pun demikian, mayoritas soal yang diujikan hanya berkutat pada tata bahasa. Selain itu, yang lebih mencemaskan adalah pemahaman-pemahaman karya sastra yang bersifat historis, kemudian tugas peserta didik menguraikannya menjadi teks naskah dari sinopsis ke sinopsis.
Di sekolah, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seakan termarginalkan. Hal itu terbukti dari minimnya jam pelajaran yang diberikan. Berbeda dari mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia yang mendapatkan perhatian lebih dari pihak sekolah.
Berbagai fasilitas penunjang pun diadakan untuk menunjang pengembangan mata pelajaran ilmu pasti tersebut, seperti pengadaan laboratorium. Jika pembelajaran sastra di sekolah seperti itu terus, dikhawatirkan dunia sastra Indonesia mengalami stagnasi dan sulit berkembang. Sastra hanya diajarkan sebatas teori bukan memotivasi siswa untuk mencipta sebuah karya, dalam hal ini praktik.
Selama ini jika sekolah senantiasa menganakemaskan pelajaran eksakta dengan memberikan fasilitas laboratorium, maka tidak ada salahnya terdapat laboratorium sastra.
Laboratorium sastra adalah ruangan yang di dalamnya merupakan tempat kajian analitis kesusastraan (karya sastra) dan dilengkapi dengan buku-buku sastra yang memungkinkan siswa mampu mengemukakan pendapat dalam bentuk apresiasi.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul mekanisme pengajaran sastra yang dinamis dan siswa juga mampu mengembangkan keilmuan sastra secara apresiasi maupun karya sastra yang diciptakan. Semoga! (45)
[Suara Guru, Suara Merdeka, 12 Januari 2009]
KESUSASTRAAN merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Untuk memahami dan menekuninya, membutuhkan ruang dan waktu panjang sehingga dapat mengerti celah dan seluk beluk perkembangannya.
Dalam khazanah sastra diperlukan pelbagai peranti, di antaranya lika-liku bahasa, tata bahasa, dan gaya bahasa. Ketiga peranti tersebut adalah pondasi awal dan satu kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan jika akan menggelutinya. Jika tidak dipahami terlebih dahulu, nantinya akan muncul masalah-masalah berikutnya.
Persoalannya adalah dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah, guru hanya sekadar mengajarkan tata bahasa an sich. Pada Ujian Nasional pun demikian, mayoritas soal yang diujikan hanya berkutat pada tata bahasa. Selain itu, yang lebih mencemaskan adalah pemahaman-pemahaman karya sastra yang bersifat historis, kemudian tugas peserta didik menguraikannya menjadi teks naskah dari sinopsis ke sinopsis.
Di sekolah, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seakan termarginalkan. Hal itu terbukti dari minimnya jam pelajaran yang diberikan. Berbeda dari mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia yang mendapatkan perhatian lebih dari pihak sekolah.
Berbagai fasilitas penunjang pun diadakan untuk menunjang pengembangan mata pelajaran ilmu pasti tersebut, seperti pengadaan laboratorium. Jika pembelajaran sastra di sekolah seperti itu terus, dikhawatirkan dunia sastra Indonesia mengalami stagnasi dan sulit berkembang. Sastra hanya diajarkan sebatas teori bukan memotivasi siswa untuk mencipta sebuah karya, dalam hal ini praktik.
Selama ini jika sekolah senantiasa menganakemaskan pelajaran eksakta dengan memberikan fasilitas laboratorium, maka tidak ada salahnya terdapat laboratorium sastra.
Laboratorium sastra adalah ruangan yang di dalamnya merupakan tempat kajian analitis kesusastraan (karya sastra) dan dilengkapi dengan buku-buku sastra yang memungkinkan siswa mampu mengemukakan pendapat dalam bentuk apresiasi.
Dengan demikian, diharapkan akan muncul mekanisme pengajaran sastra yang dinamis dan siswa juga mampu mengembangkan keilmuan sastra secara apresiasi maupun karya sastra yang diciptakan. Semoga! (45)
[Suara Guru, Suara Merdeka, 12 Januari 2009]
0 komentar:
Posting Komentar