Cerpen Nur Halimah
Dikamar yang sempit dan pengap itu, Rano mengobrak-abrik seluruh isi lemari ibunya. Semua pakaian yang sudah tertata rapi pun kini berserakan dilantai rumah yang beralaskan tanah itu.
“Bu, benderanya dimana?” teriak Rano, sambil terus mencarinya diantara tumpukan pakaian yang masih tersisa dalam lemari.
Ibu yang mendengar teriakan Rano langsung beranjak dari duduknya dan menghentikan mengiris bawangnya. “Bendera apa Rano?” menyusul Rano yang ada dikamar.
“Ya ampun! Kamu ini apa-apaan?” tanya ibu heran dan melayangkan pandangannya kesemua sudut kamar. Ia sangat kaget dengan keadaan kamarnya yang berantakan. Ia belum sampai masuk kedalam kamar dan hanya berdiri didepan pintu kamarnya.
Rano hanya menoleh dan sama sekali tidak menggubris pertanyaan ibunya barusan. Ia masih sibuk mencari benderanya, “Benderanya mana bu? Bendera yang buat tujuh belasan,” ucapnya dengan wajah yang sangat kebingungan.
“Kamu cari dilemari yang paling bawah sana. Seingat ibu, dulu dia menaruhnya disitu,” lalu masuk dan memunguti semua pakaian yang berserakan ditanah.
Rano langsung jongkok dan mencari dibagian bawah lemari itu. Cukup lama sudah ia mengobrak-abrik seluruh lemari milik ibunya dan akhirnya setelah lama mencari ia bisa mendapatkan apa yang ia cari yaitu bendera.
Ternyata barang itu terselip diantara pakaian-pakaian yang sudah tidak layak pakai dan jelek.
“Ya! Ketemu bu benderanya!” teriak Rano kegirangan. Ia melompat-lompat diatas tempat tidur dan mengibar-ngibarkan benderanya.
Ibu yang melihat anaknya itu pun hanya bisa tersenyum sekaligus heran. Ia tak tahu kenapa anaknya itu tiba-tiba mencari-cari bendera merah putihnya, dan begitu senang ketika menemukannya.
Sejenak ia berpikir. Ia baru ingat kalau sekarang adalah bulan Agustus dan empat hari lagi adalah tanggal 17 Agustus yang artinya adalah hari kemerdekaan Indonesia. Setiap menjelang tanggal 17 itu, ada kebiasaan di desanya untuk memasang bendera di depan rumah sebagai tanda penghormatan pada para pahlawan.
Tiba-tiba Rano terdiam dan kembali duduk diatas tempat tidur, ia terlihat sedang memperhatikan benderanya dengan seksama. “Bu, benderanya kok bolong?” tanya Rano kecewa, ia menunjukkan bagian yang berlubang itu pada ibunya.
Lubangnya memang cukup besar untuk seukuran bendera milik Rano. Kondisinya juga kalau dilihat-lihat memang sudah sangat tidak layak pakai. Warnanya sudah pudar, bukannya merah dan putih lagi tapi sudah orange dan coklat. Selain itu juga ada banyak lubang-lubang kecil dibeberapa bagian.
Ibu meminta bendera yang sedang dipegang Rano itu, “Ya sudah, nanti ibu tambal yang bolong ini,” ucap ibu menenangkan Rano.
Tapi Rano masih belum bisa tenang dengan janji ibu barusan. Ia berlari dan keluar dari kamar ibunya dengan wajah yang murung. Ia pergi menuju kamarnya. Dikamar yang juga sangat sederhana dan berlantaikan tanah itu pula, Rano mengambil celengan semar kecil miliknya yang ia taruh didalam lemarinya. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, rasanya ringan sekali. Ia kemudian duduk diatas tempat tidurnya dan memangku celengan semarnya itu.
“Apa aku beli bendera yang baru saja ya? Pakai uang ini,” Rano bingung.
Ia sangat ingin sekali memasang bendera yang besar dan bagus didepan rumahnya, tapi bendera miliknya sudah tidak layak pakai. Tapi kalau ia membeli bendera dengan uang itu, ia harus merelakan uang tabungan yang seharusnya ia pakai untuk persiapan masuk SMA dua tahun lagi itu habis. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia berdiri dan BRAK!. Suara bantingan benda yang jatuh dan sangat keras.
Ibu yang mendengar suara benda yang jatuh dan pecah itu langsung berlari dari kamarnya dan menuju asal suara yang didengarnya, yaitu kamar Rano. “Ada apa Rano?” tanya ibu bingung sekaligus panik dan berdiri didepan pintu.
Rano menoleh dan mengarahkan pandangan matanya kelantai, ibu mengikuti arah mata Rano yang hanya terdiam. Dan betapa kagetnya ibu ketika melihat serpihan-serpihan celengan semar milik anaknya itu dilantai. Disitu juga berserakan pula uang recehan dan beberapa lembar uang kertas.
“Buat apa kamu pecahkan celengan itu nak? Itukan satu-satunya uang tabungan yang kamu punya?” tanya ibu kecewa.
Sambil memunguti uangnya yang berserakan ditanah, dan suara yang sedikit ketakutan serta menunduk Rano menjawab “Buat beli bendera bu.”
“Ibu kan sudah bilang akan memperbaiki bendera itu, kenapa kamu korbankan si semar,” menyusul Rano kedalam kamar dan duduk diatas tempat tidur.
“Tapi benderanya sudah jelek bu, Rano kan malu,” jawab Rano yang duduk disamping ibunya.
“Malu sama siapa?” tanya ibu heran.
“Malu sama para pahlawan kemerdakaan bu. Rano malu dengan beliau-beliau itu,” ucap Rano berapi-api Ia sudah lupa dengan ketakutannya tadi dan kini ia tiba-tiba menjadi sangat bersemangat menjawab pertanyaan ibunya barusan.
“Mereka sudah mengorbankan seluruh tumpah darah mereka dengan kemerdekaan kita bu, demi terbebasnya Indonesia dari para penjajah, masak kita nggak mau menghargai jasa-jasa dan segala pengorbanan mereka itu bu?” sejenak Rano berhenti.
“Apalah arti sebuah uang kalau dengan Rano memasang bendera yang layak dan indah dilihat itu, kalau para pahlawan yang berada disurga itu bisa bahagia, mereka akan merasa dihargai dengan itu bu,” ucap Rano berapi-api dan berdiri didepan ibunya.
Ibu yang mendengar seluruh orasi anaknya itupun kagum sekaligus bangga dengan sikap anaknya yang sangat menghargai para pahlawannya itu. Ia sama sekali tak menyangka kalau anaknya yang biasanya cengengesan dan tak peduli dengan sekitar itu bisa sangat dewasa kali ini.
“Memangnya uangmu sudah cukup nak?” tanya ibu.
Rano lalu menghitung uang yang ada ditangannya, terlihat ada uang recehan lima ratusan dan beberapa lembar uang kertas ditangannya. “Ada tiga belas ribu dua ratus rupiah bu,” Rano menunjukkannya pada ibunya. “Kira-kira cukup apa nggak ya bu?” lanjutnya.
“Ibu juga tidak tahu Ran, tapi kalau yang ukuran kecil mungkin sudah bisa terbeli,” ucap ibu sambil berpikir.
“Yang kecil ya bu?” tanya Rano kecewa.
Ibu mengangguk, lalu tak lama kemudian Rano pamit pada ibu untuk pergi kepasar yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya.
Rano menyusuri jalan dibawah teriknya matahari, ia sama sekali tak mempedulikannya.
Walaupun panas sangat menyengat dan menembus kulit, ia tetap bersemangat. Belum sampai Rano dipasar, ia sudah menemukan penjual bendera yang sedang berderet rapi di trotoar.
Ia menghentikan langkahnya didepan seorang penjual laki-laki yang sudah cukup tua usianya. Diantara pohon-pohon peneduh jalan diberinya tali untuk menaruh dan menggantung bendera-bendera yang dia jual.
Rano jongkok dan sibuk memilih-milih bendera merah putih yang ingin dia beli.
“Duh…yang mana ya yang harganya murah?” Rano bingung.
“Yang murah nak? Ini yang murah, sepuluh ribu sudah dapat,” ucap pak penjual tua itu memberi saran dan menunjukkan benderanya.
“Kok kecil ya mbah?” Rano kembali memilih dan mencari bendera yang berukuran besar.
Tak lama ia pun berhasil menemukannya. “Kalau yang ini berapa mbah?” menunjukkan bendera yang dipilihnya. Ukurannya sangat besar, kalau anda pernah melihat acara pengibaran bendera di Istana Merdeka, hampir sebesar itu ukurannya.
“Kalau yang itu ya lima puluh ribu nak, mbah tidak ambil untung. Buat kamu mbah sudah kasih diskon itu,” ucapnya dengan logat jawa yang medok.
Rano berpikir, dari mana ia bisa membeli bendera itu sedangkan uangnya hanya ada tiga belas ribu. “Ini nggak boleh ditawar mbah?” tanya Rano meyakinkan.
Lelaki itu menggeleng, lalu Rano kembali meneruskan memilih benderanya. Tak lama, tiba-tiba lelaki tua itu berkata pada Rano, “Titip dagangan kakek sebentar ya nak, mbah mau kencing kebelakang sana sebentar,” ucap si kakek lalu berdiri dan meninggalkan dagangannya.
Setelah agak lama kakek itu pergi meninggalkan dagangannya. Rano mulai memiliki pikiran yang jelek.
“Hei Rano, kamu ambil saja bendera yang kau inginkan,” entah dari mana ada suara itu, tiba-tiba saja terngiang ditelinganya.
Rano bingung, ia menoleh kekanan dan kekiri namun tak ada seorang pun yang berada disampingnya.
“Jangan Rano, itu tidak boleh. apa kamu mau mengecewakan para pahlawanmu itu?” terdengar suara yang serupa namun menyerukan hal yang berbeda.
Berulang kali ucapan serupa menghampiri Rano, ia sangat bingung dan juga bimbang.
Apakah ia akan mengikuti suara pertama ataukah suara yang kedua.
Tiba-tiba ditengah kebingungannya, ada seorang pria setengah baya yang menghampiri dan menepuk bahu kanannya. Rano menoleh, ia kaget karena ternyata yang menyapanya adalah pak Anton, ketua RT di daerah tempat tinggal Rano.
“Kamu mau ngapain Ran?” tanya pak Anton memulai pembicaraan.
“Ini pak, mau beli bendera.”
“Penjualnya mana?”
Tak berapa lama Rano dan pak Anton bercakap-cakap, datanglah kakek penjual bendera itu. Rano kemudian kembali menawar harga bendera yang ia inginkan itu, tapi kakek itu menolak harga yang diajukan Rano.
Mendengar perdebatan antara Rano dan penjual itu, pak Anton menjadi kasihan dan iba dengan keinginan Rano yang begitu menggebu-gebu untuk memiliki bendera yang dipilihnya.
Akhirnya Rano putus asa, ia berniat untuk pergi dan pindah pada penjual yang lain. Tapi tiba-tiba pak Anton mencegahnya. Rano tak jadi pergi dan ia kembali berdiri disamping pak Anton.
“Kamu benar-benar menginginkan bendera itu Rano?” tanya pak Anton.
Rano mengangguk, ia memang benar-benar menginginkan bendera itu. Dan tak begitu lama, ternyata pak Anton menyodorkan selembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya pada kakek penjual itu.
Betapa senangnya Rano ketika pak Anton menyerahkan bungkusan plastik hitam yang berisikan bendera yang dipilihnya. Ia tak henti-hentinya berucap terima kasih pada pak Anton, sang penolongnya.
Setelah pamit, ia langsung berlari pulang. Sesampainya ia dirumah, ia langsung menuju belakang rumah dan mengambil sebuah bambu panjang untuk mengibarkan benderanya. Ia langsung memasang bendera itu dengan segera. Setelah terpasang, ia memperhatikan dan tersenyum bangga melihatnya.
Ibu yang melihat dari dalam rumah, heran dengan bendera yang begitu besar berkibar didepan rumahnya. Ia menyusul Rano yang masih berdiri dibawah tiang bendera bambunya. Ibu tak bertanya dari mana Rano bisa membeli bendera yang begitu besarnya. Ia hanya menoleh dan terseyum bangga melihat bendera yang berkibar dengan anggunnya didepan rumahnya.
“Akhirnya Rano benar-benar bisa membuat para pejuang itu tersenyum bangga bu,” ucap Rano tanpa menoleh pada ibu dan tetap memperhatikan benderanya.
Ibu yang mendengar perkataan anaknya pun ikut tersenyum.
*Cerpenis muda asal Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan Jepara
Senin, 17 Agustus 2009
Lusuhnya Sang Sakaku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar