Sumber: Suara Merdeka, 02 Nopember 2009
Oleh Muh Khamdan
pemerhati kajian pembangunan dan fungsional widyaiswara di BPSDM Depkumham RI
Pengakuan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Jepara Achid Setiawan mengenai kerusakan pesisir pantai Jepara dan beberapa pulau sungguh memprihatinkan.
Hal demikian setidaknya memiliki korelasi dengan hasil penelitian Sri Puryono Karto Soedomo bahwa hampir keseluruhan hutan mangrove di pantura dalam kondisi rusak; sekitar 96,95 persen yang tentunya meliputi wilayah Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, sampai pada Rembang.
Rusaknya pesona kealamian hutan mangrove seiring dengan krisis lingkungan secara global yang meningkatkan kualitas pemanasan global menjadi dentum ancaman menyusutnya luas daratan secara keseluruhan.
Terlebih melemahnya kualitas lingkungan pesisir Jepara yang ditandai ancaman abrasi telah menghapus beberapa wilayah daratan Desa Bulak.
Kerusakan yang terjadi dulu dan sekarang ini memang tidak disebabkan oleh satu faktor berupa alih fungsi lahan, begitu banyak faktor yang membuat proses abrasi semakin akut, yaitu hilang atau ketiadaan hutan mangrove sebagai vegetasi hijau asli pesisir.
Pertanyaan sekarang apa yang harus dilakukan? Tidak bisa lain pemerintah daerah (Pemda) dalam lintasan jalur Pantai Utara, termasuk Kabupaten Jepara harus membuat gerakan bersama berupa Mangrove Center. Sebuah gerakan lintas sektoral yang berfungsi untuk membudidayakan ragam jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi pesisir yang berbeda-beda.
Selain itu, Mangrove Center juga memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil secara holistik.
Artinya, menjaga agar kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan.
Langkah demikian karena memahami bahwa terjadi siklus alam yang saling berpengaruh. Vegetasi pesisir berupa mangrove dalam aspek biologinya merupakan tempat berpijahnya udang, ikan, dan kepiting. Adapun untuk aspek kimiawinya mampu menyerap polutan.
Untuk itu, jika mangrove gundul maka polutan dari udara maupun daerah hulu tidak bisa lagi dinetralisasi karena ketiadaan fungsi hutan yang menghasilkan oksigen dan menyerap CO2 serta polutan-polutan lain.
Terlebih hutan mangrove adalah tameng untuk memecah sekaligus penahan gelombang laut yang besar karena selama ini infrastruktur fisik seperti breakwater dari beton yang menelan dana ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah tidak mampu menekan laju abrasi kawasan pesisir.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut adalah mengintegrasikan ekonomi ke dalam lingkungan. Untuk menjamin pembangunan berwawasan lingkungan tersebut, terdapat tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan.
Pertama, dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi.
Kedua, dimensi politik yang mencakup proses politik yang menentukan penampilan pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan.
Ketiga, dimensi sosial budaya yang mengaitkan antara tradisi atau sejarah dengan dominasi teknologi, pola pemikiran, dan agama.
Salah satu masalah besar dalam orientasi pembangunan yang berlangsung selama ini adalah adanya kebiasan terhadap kota.
Masyarakat-masyarakat pesisir tersingkir dengan lingkungan huniannya sendiri karena adanya perumahan atau hotel di kawasan pantai dengan slogan ’’kota di desa’’.
Bahkan ada semacam kesengajaan dengan berdirinya kawasan industri atau pabrik olahan di sepanjang pantai.
Daerah pantai harus diperuntukkan bagi ruang publik berupa rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata agar tidak tereksploitasi secara massif.
Karena setelah diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah justru terjadi percepatan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan.
Jackson melalui bukunya Crabgrass Frontier (1985) memaparkan adanya tren masyarakat modern melakukan perpindahan dari pusat kota menuju pinggir kota.
Maka pernyataan Jackson yang lebih dari dua puluh tahun tersebut menjadi pembenaran ketika sekarang usaha properti bangkit dengan menawarkan surga hunian secara besar-besaran melalui ekspansi daerah pinggiran kota.
Ironisnya itu menjorok menuju kawasan pesisir pantai karena keindahan. Argumentasi penghematan lahan perkotaan yang kian menyempit serta mengurangi masalah psikologis masyarakat perkotaan dan gaya hidup back to village justru mengancam kawasan vegetasi alam pesisir berupa hutan mangrove.
Pergumulan dari perebutan wacana tersebut adalah amanat eksplisit bahwa lingkungan menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, pasal 28 Bab XA UUD 1945 tentang HAM.
Sebagaimana lingkaran tematis Peter L Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Untuk kepentingan pembangunan hunian atau industri dan objek lainnya, hutan mangrove yang berkaitan dengan ekosisitem pesisir mengalami kerusakan. Imbasnya, penangkapan secara berlebihan (over fishing) yang mengancam pasokan ikan di Laut Jawa tidak mampu diimbangi adanya klaster perikanan lain seperti udang yang sangat tergantung keberadaan hutan mangrove.
Dengan demikian, lebih cepat lebih baik terwujudnya Mangrove Center sebagai polisi atas vegetasi hijau dan lingkungan pesisir seiring dengan keberadaan Perda Pesisir untuk kesejahteraan masyarakat pesisir kembali. (80)
Senin, 02 November 2009
Penyelamatan Pulau Panjang Jepara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar