Layaknya jamur dimusim hujan, perkembangan mall dipelbagai kota di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tampilan-tampilan fisik bangunan mall pun didisain sedemikian rupa, agar tampak anggun, elegan dan memikat hati para konsumen. Pelbagai aneka kebutuan masyarakat disajikan di sana, mulai dari kebutuhan primer, skunder bahkan tersier. Sehingga apa pun yang dibutuhkan masyarakat, di berbagai mall pasti akan mudah didapati. Hal ini seolah menjadi pembenar bahwa wujudnya mall adalah untuk memanjakan kehidupan manusia. Ungkapan semacam ini bukanlah tanpa alasan, sebab tingginya antusias masyarakat yang memadati mall-mall diberbagai kota menjadi bukti, betapa masyarakat kita sangat menikmati kehadiran mall.
Di sisi yang sama, lembaga pendidikan pun layaknya mall, berusaha menggait pelanggan (para wali murid dan peserta didik) agar bisa terpikat dan terperdaya olehnya. Alih kata, lembaga pendidikan pun identik dengan mall. Kemiripan dan keidentikan keduanya terletak pada cara menggait pelanggan. Tak disangkal, pelbagai trik dan jurus memikat pelanggan dikeluarkan oleh pihak lembaga pendidikan. Mulai dari memasang baliho besar-besaran, iklan, promosi lewat media elektronik, pemberian "diskon", beasiswa bahkan melakukan promosi door to door ke instansi terkait. Apalagi memasuki tahun ajaran baru, intensitas dan ritme promosi lembaga pendidikan semakin menggila.
Menuju Pendidikan ala Mall
Terinspirasi dari antusias dan respon positif masyarakat terhadap kehadiran mall, tidak ada salahnya para praktisi pendidikan perlu menggagas berdirinya pendidikan ala mall. Maksudya pendidikan yang mengadopsi etos kerja dan sistem pelayanan ala mall. Eksistensi mall dan pendidikan adalah dua entitas yang berbeda, di satu pihak mall menyajikan hedonisme, konsumerisme, dan pernak-pernik kemewahan duniawi. Sedangakan pendidikan yang lazim disebut "sekolah" di pihak lainnya, mengusung pemberdayaan manusia, pencerahan pola pikir, liberasi pemikiran, dan sifat lain sejenisnya.
Paradoksal memang kesan keduanya, antara mall dan pendidikan. Bagaikan membandingkan air dengan minyak, bumi dengan langit, atau matahari dengan bulan. Namun demiikian, jangan terburu-buru menarik konklusi akan keunggulan pendidikan dibanding mall. Mengapa demikian? Sebab terlepas dari efek negatif yang ditimbulkan mall bagi masyarakat, setidaknya ada empat pelajaran positif dari mall dibanding lembaga pendidikan.
Pertama, disain tata letak ruang mall yang elegan, cantik dan menyenangkan. Disain mall semacam ini, yang membuat mall lebih disukai ketimbang disain ruang sekolah. Mall disukai, baik dari kalangan masyarakat papan bawah, menengah maupun atas, dipuja oleh kaum anak-anak, dewasa sampai manula. Sungguh penataan ruang mall yang fotogenik dan enjoyment tersebut, berbalik arah dengan tata ruang di lembaga pendidikan. Acapakali dijumpai diberbagai lembaga pendidikan kita, tata ruangnya serba "semerawut" tak karuan ujung pangkalnya--kalau tidak dikatakan--penataannya "asal-asalan." Minimnya sumber dana tidaklah bijak untuk dijadikan kambing hitam, akan buruknya tata ruang pendidikan. Bukankah sense of art adalah bagian dari proses pembelajaran yang mestinya diajarkan dan dipraktikkan?
Realitas menyedihkan lainnya adalah masih minimnya sekolah di negeri ini yang mempunyai fasilitas sanitasi seperti jamban, alias WC dan kamar mandi. Kasus tidak adanya fasilitas sanitasi ini dapat dengan mudah ditemukan dipelbagai sekolah dilingkungan sekitar. Terlebih di sekolah-sekolah dipelosok pedesaan, mungkin kasusnya menjadi lebih sangat menyedihkan. Padahal adanya fasilitas tersebut mutlak dibutuhkan oleh sekolah. Parahnya lagi, keterbatasan sarana pra sarana sekolah terkadang tidak diimbangi dengan indahnya disain tata letak ruang kelas yang menyenangkan. Sehingga peserta didik pun menjadi bosan dan tak nyaman harus berlama-lama berdiam di sekolah.
Kedua, ramah dan luwesnya tenaga kerja mall dalam melayani konsumen. Tak disangkal, para pelayan di mall-mall sangatlah ramah dan profesional dalam bekerja. Tutur sapa yang santun dipulas dengan senyum simpul dalam menyapa dan melayani konsumen. Akhirnya membuat para konsumen menjadi sangat nyaman, dan mereka pun mallas untuk pulang. Apalagi berbagai kebutuhan konsumen disuguhkan dengan menu spesial dan servis yang memuaskan.
Keramahan dan keluwesan para pelayan di mall-mall tersebut, ternyata sangat sulit diperankan oleh para staf pendidik di lembaga pendidikan. Terbukti munculnya julukan "guru killer, dosen otoriter" hanya dialamatkan kepada oknum guru dan dosen semata. Dan belum pernah terdengar adanya sebutan "pelayan killer" dan "otoriter". Kasus-kasus seperti ini, mungkin imbas dari minimnya gaji dan besarnya tanggung jawab para guru, sehingga terkadang membuat mereka khilaf dan tak profesional. Namun demikian, hendaknya sifat ramah, dan luwes haruslah melekat kepada semua orang dalam kondisi dan situasi apapun, tak terkecuali para guru.
Ketiga, di pelbagai mall selalu ada sistem garansi bagi produk-produk tertentu yang disajikan. Adanya garansi ini tentunya membuat para pelanggan tidak "gamang" atau kawatir dalam berbelanja. Sebab untuk barang-barang tertentu, jika barang cacat dapat direturn (dikembalikan). Sistem garansi atas produk penjualan ini hendaknya bisa dijadikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Pertanyaannya kemudian, beranikah sekolah memberi garansi bagi para wali murid dan peserta didik? Beranikah pihak sekolah mengembalikan sejumlah materi, jika kompetensi peserta didik hasilnya kurang memuaskan? Siapkah sekolah memberi jaminan mutu bagi para lulusannya? Jika pertanyaan-pertanyaan semacam ini terselesaikan, niscaya masyarakat akan respek terhadap lembaga pendidikan. Dan tidak menutup kemungkinan, masyarakatlah yang akan mencari sekolah bukan sekolah yang mencari peserta didik.
Keempat, mall selalu melakukan perubahan-perubahan secara masif dalam merespon kebutuhan masyarakat. Disinilah letak keistimewaan dari mall yang sulit diikuti oleh lembaga pendidikan. Diakui atau tidak, dalam dataran konseptual teoritis lembaga pendidikan lebih mumpuni dalam memahami perubahan, tetapi secara praksis ia selalu terlambat merespon perubahan. Kalau pola kerja semacam ini dipertahankan terus-menerus, tak mustahil suatu saat masyarakat tak akan lagi mempercayai terhadap institusi pendidikan.
Pelbagai nilai positif mall di atas, tentunya dapat dijadikan inspirasi dalam membangun citra positif pendidikan. Melalui pencitraan positiflah institusi pendidikan akan memikat hati para pelanggannya. Dan tak ada salahnya, jika lembaga pendidikan berani mencontoh strategi mall. Bukankah institusi pendidikan harus selalu adaktif dan selektif menerima perubahan? Pendidikan semestinya layaknya mall yang selalu meng-update dan melakukan enovasi setiap saat dalam menerjemahkan perubahan? Semoga pendidikan kita mampu melaksanakan tugas yang maha berat tersebut.[]
Di sisi yang sama, lembaga pendidikan pun layaknya mall, berusaha menggait pelanggan (para wali murid dan peserta didik) agar bisa terpikat dan terperdaya olehnya. Alih kata, lembaga pendidikan pun identik dengan mall. Kemiripan dan keidentikan keduanya terletak pada cara menggait pelanggan. Tak disangkal, pelbagai trik dan jurus memikat pelanggan dikeluarkan oleh pihak lembaga pendidikan. Mulai dari memasang baliho besar-besaran, iklan, promosi lewat media elektronik, pemberian "diskon", beasiswa bahkan melakukan promosi door to door ke instansi terkait. Apalagi memasuki tahun ajaran baru, intensitas dan ritme promosi lembaga pendidikan semakin menggila.
Menuju Pendidikan ala Mall
Terinspirasi dari antusias dan respon positif masyarakat terhadap kehadiran mall, tidak ada salahnya para praktisi pendidikan perlu menggagas berdirinya pendidikan ala mall. Maksudya pendidikan yang mengadopsi etos kerja dan sistem pelayanan ala mall. Eksistensi mall dan pendidikan adalah dua entitas yang berbeda, di satu pihak mall menyajikan hedonisme, konsumerisme, dan pernak-pernik kemewahan duniawi. Sedangakan pendidikan yang lazim disebut "sekolah" di pihak lainnya, mengusung pemberdayaan manusia, pencerahan pola pikir, liberasi pemikiran, dan sifat lain sejenisnya.
Paradoksal memang kesan keduanya, antara mall dan pendidikan. Bagaikan membandingkan air dengan minyak, bumi dengan langit, atau matahari dengan bulan. Namun demiikian, jangan terburu-buru menarik konklusi akan keunggulan pendidikan dibanding mall. Mengapa demikian? Sebab terlepas dari efek negatif yang ditimbulkan mall bagi masyarakat, setidaknya ada empat pelajaran positif dari mall dibanding lembaga pendidikan.
Pertama, disain tata letak ruang mall yang elegan, cantik dan menyenangkan. Disain mall semacam ini, yang membuat mall lebih disukai ketimbang disain ruang sekolah. Mall disukai, baik dari kalangan masyarakat papan bawah, menengah maupun atas, dipuja oleh kaum anak-anak, dewasa sampai manula. Sungguh penataan ruang mall yang fotogenik dan enjoyment tersebut, berbalik arah dengan tata ruang di lembaga pendidikan. Acapakali dijumpai diberbagai lembaga pendidikan kita, tata ruangnya serba "semerawut" tak karuan ujung pangkalnya--kalau tidak dikatakan--penataannya "asal-asalan." Minimnya sumber dana tidaklah bijak untuk dijadikan kambing hitam, akan buruknya tata ruang pendidikan. Bukankah sense of art adalah bagian dari proses pembelajaran yang mestinya diajarkan dan dipraktikkan?
Realitas menyedihkan lainnya adalah masih minimnya sekolah di negeri ini yang mempunyai fasilitas sanitasi seperti jamban, alias WC dan kamar mandi. Kasus tidak adanya fasilitas sanitasi ini dapat dengan mudah ditemukan dipelbagai sekolah dilingkungan sekitar. Terlebih di sekolah-sekolah dipelosok pedesaan, mungkin kasusnya menjadi lebih sangat menyedihkan. Padahal adanya fasilitas tersebut mutlak dibutuhkan oleh sekolah. Parahnya lagi, keterbatasan sarana pra sarana sekolah terkadang tidak diimbangi dengan indahnya disain tata letak ruang kelas yang menyenangkan. Sehingga peserta didik pun menjadi bosan dan tak nyaman harus berlama-lama berdiam di sekolah.
Kedua, ramah dan luwesnya tenaga kerja mall dalam melayani konsumen. Tak disangkal, para pelayan di mall-mall sangatlah ramah dan profesional dalam bekerja. Tutur sapa yang santun dipulas dengan senyum simpul dalam menyapa dan melayani konsumen. Akhirnya membuat para konsumen menjadi sangat nyaman, dan mereka pun mallas untuk pulang. Apalagi berbagai kebutuhan konsumen disuguhkan dengan menu spesial dan servis yang memuaskan.
Keramahan dan keluwesan para pelayan di mall-mall tersebut, ternyata sangat sulit diperankan oleh para staf pendidik di lembaga pendidikan. Terbukti munculnya julukan "guru killer, dosen otoriter" hanya dialamatkan kepada oknum guru dan dosen semata. Dan belum pernah terdengar adanya sebutan "pelayan killer" dan "otoriter". Kasus-kasus seperti ini, mungkin imbas dari minimnya gaji dan besarnya tanggung jawab para guru, sehingga terkadang membuat mereka khilaf dan tak profesional. Namun demikian, hendaknya sifat ramah, dan luwes haruslah melekat kepada semua orang dalam kondisi dan situasi apapun, tak terkecuali para guru.
Ketiga, di pelbagai mall selalu ada sistem garansi bagi produk-produk tertentu yang disajikan. Adanya garansi ini tentunya membuat para pelanggan tidak "gamang" atau kawatir dalam berbelanja. Sebab untuk barang-barang tertentu, jika barang cacat dapat direturn (dikembalikan). Sistem garansi atas produk penjualan ini hendaknya bisa dijadikan inspirasi bagi dunia pendidikan. Pertanyaannya kemudian, beranikah sekolah memberi garansi bagi para wali murid dan peserta didik? Beranikah pihak sekolah mengembalikan sejumlah materi, jika kompetensi peserta didik hasilnya kurang memuaskan? Siapkah sekolah memberi jaminan mutu bagi para lulusannya? Jika pertanyaan-pertanyaan semacam ini terselesaikan, niscaya masyarakat akan respek terhadap lembaga pendidikan. Dan tidak menutup kemungkinan, masyarakatlah yang akan mencari sekolah bukan sekolah yang mencari peserta didik.
Keempat, mall selalu melakukan perubahan-perubahan secara masif dalam merespon kebutuhan masyarakat. Disinilah letak keistimewaan dari mall yang sulit diikuti oleh lembaga pendidikan. Diakui atau tidak, dalam dataran konseptual teoritis lembaga pendidikan lebih mumpuni dalam memahami perubahan, tetapi secara praksis ia selalu terlambat merespon perubahan. Kalau pola kerja semacam ini dipertahankan terus-menerus, tak mustahil suatu saat masyarakat tak akan lagi mempercayai terhadap institusi pendidikan.
Pelbagai nilai positif mall di atas, tentunya dapat dijadikan inspirasi dalam membangun citra positif pendidikan. Melalui pencitraan positiflah institusi pendidikan akan memikat hati para pelanggannya. Dan tak ada salahnya, jika lembaga pendidikan berani mencontoh strategi mall. Bukankah institusi pendidikan harus selalu adaktif dan selektif menerima perubahan? Pendidikan semestinya layaknya mall yang selalu meng-update dan melakukan enovasi setiap saat dalam menerjemahkan perubahan? Semoga pendidikan kita mampu melaksanakan tugas yang maha berat tersebut.[]
MUKODI, pemerhati pendidikan, sekaligus kordinator divisi diskusi Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pernah dipublikasikan di Banjarmasin Post.
Pernah dipublikasikan di Banjarmasin Post.
2 komentar:
Mantaps pak!
mantaps pak!
Posting Komentar