Kamis, 01 Oktober 2009

Dari yang Lirih Sampai yang Lantang

Sumber: Annida, 01 September 2009


Cerpen Adi Zam Zam


Apakah kalian pernah mendengar nama Negeri Kegelapan?

Negeri itu adalah tempat di mana kalian yang mengaku berani membela kebenaran dan keadilan diculik dan lalu disiksa hingga kelian menyerah. Apakah kalian benar-benar teguh pendirian, ataukah sekedar pandai memulas bibir dengan segala kalimat megah akan segera terlihat nanti. Jarang ada yang bisa melepaskan diri dari sana. Andai kau sanggup melepaskan diri dari mereka, kau pun tak kan bisa menikmati kehidupan normalmu dengan tenang dan nyaman. Hidupmu akan rusak dan bahkan mungkin kau akan bunuh diri jika imanmu tidak benar-benar karang.

Kalian ingin tahu di mana letak Negeri Kegelapan?

Jangan tanya aku. Sebenarnya aku hanya tahu sedikit dari cerita mereka yang berhasil meloloskan diridari Negeri Kegelapan. Aku dan teman-temanku bahkan sedang memburu letak tempat itu, karena ayahku adalah salah seorang yang disekap oleh mereka, dan hingga detik ini beliau telah benar-benar lenyap dari kehidupan ini. Bahkan kuburnya pun.


***


"Aku ndak bisa, Bu."
"Ndak bisa bagaimana? Pantang bagi seorang gadis menolak lamaran seseorang..." suara di ujung telepon meninggi.
"Pantang?" potongku.
"Maksud Ibu, kau tak boleh menolak jodoh yang diberikan Tuhan, Nduk. Teddy itu pemuda baik-baik, sudah mapan, anaknya juga kelihatannya bakti sama orang tua."
"Ibu tahu dari mana?"
"Pokoknya Ibu sudah mencari tahu semuanya. Menyesal kalau kamu sampai menolaknya."
"Aku lebih menyesal kalau sampai putus kuliah, Bu."
"Siapa bilang kamu akan samapai putus kuliah. Ini cuma pertunangan dulu, baru kemudian..."
"Berarti dia sanggup menunggu tiga tahun lagi? Lima tahun?"
"Lin!" suara diseberang naik beberapa oktaf. Marah besar kelihatannya.
"Sampai aku menyelesaikan sebuah buku sejarah."
"Buku sejarah?" Pasti beliau melongo.

Aku tersenyum mendengar reakasi Ibu. "Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Ayah". Ayah adalah bagian yang tak terpisahkan dari masa lalu dan masa depanku. Aku tahu, jika kalimatku sudah sampai subjek Ayah, pasti kemudian Ibu akan melunak.
"Apakah menikah bagimu adalah hambatan?" Pelan tapi bermaksud menohok.
"Untuk minggu-minggu ini Lina ndak bisa, Bu."
"Kalau begitu kapan kmau bisanya?"
"Kenapa Ibu sampai mati-matian begitu sih?"
Terdengar tarikan nafas. "Kalau kamu punya dua atau tiga anak perempuan, nanti kau akan tahu bagaimana pikiran Ibumu saat ini."

Entah perlakuan macam apa yang telah diperolehnya hingga keadaannya menjadi mengenaskan begitu. Ia hanya menggambar, menggambar, dan menggambar seolah-olah ratusan kertas belum cukup. Ia seperti tak mau mengingat dan tak mau diingatkan tentang sebulan keberadaannya yang entah. "Saat itu dia hanya pamit ingin ke warnet," jawab ibunya saat pertama kami bertamu sesudah kabar kepulangannya kembali. Perempuan itu seumuran Ibuku. Sama-sama seorang janda pula, yang harus tegar untuk menghidupi anak-anaknya seorang diri. Padanya beliau punya tanggungan yang mungkin lebih berat. Ada lima perut yang masih setia meminta belas kasih dari jerih payahnya sebagai seorang pedagang pakaian. Sedang Ibuku hanya punya tiga tanggungan.

"Ternyata setelah pagi itu dia tak pulang-pulang," beliau meneruskan kalimatnya.
Kami bisa memahami perasaan beliau sama seperti memahami perasaan kami sendiri. Ti"ga-empat hari sekali bolak balik ke kantor polisi untuk menanyakan kabar pencarian mereka. Kesana-kemari bertanya ke "orang-orang pintar" itu juga bisa kami setarakan dengan jerih payah kami menghubungi berbagai LSM ke pelosok Kabupaten. Dan aku yakin, setiap malam pun beliau pasti terserang insomnia karena doa-doanya. Secara pribadi aku bahkan merasa berdosa kepada beliau karena akulah yang awal mula menyeret putra sulungnya itu ke ranah paling berbahaya ini.

Aku tahu dari setiap curhat anaknya kepadaku bahwa sang Ibu itu melarang keras anaknya untuk terjun di kancah peperangan ini. Saat ku pamerkan cerita bahwa Ayahku adalah salah seorang pejuang pembebas hak-hak orang tertindas. Tama langsung menyatakan kesediaannya meneyrahkan segala keberanian masa mudanya untuk bergabung dengan gerbong sepak terjangku. Aku yakin, saat itu si Ibu mengalah sejenak karena semangat Tama yang sulit dipadamkan. Dan sekarang pradugaku terbukti.

Si Ibu itu terkadang memperlihatkan raut masam saat kami berkali-kali bertamu. Meski aku tahu segala pransangka layaknya tak patut dipelihara, namun jika keadaan terus menerus semakin tak membaik, apakah harus diabaikan semua kekeliruan kecil itu? Tentu saja tidak. Maka kemudian kami beri pengertian kepada si Ibu bahwa segala tindakan kami sebenarnya memiliki tujuan mulia. Jika para orang tua kami selalu menanamkan benih-benih kemuliaan, bukankah pohonnya kelak akan berbuah kemuliaan pula?

Akhirnya kami ceritakan kepada si Ibu itu sampai sedetil-detilnya. Tentang bagaimana cara kami menggalang suara dan kekuatan. Tentang pergerakan-pergerakan bawah tanah yang kami rintis untuk sebuah masa depan yang sesuai dalam mimpi kami bersama. Juga tentang segala resiko karena kami telah nekat memilih dunia itu. Hingga si Ibu yang malang itu mulai memahami.

"Dia diantar seorang warga yang menemukannya tergeletak di teras rumahnya. Untung orang itu melihat foto Tama di koran. Kondisinya sangat menyedihkan," si Ibu itu terdiam sejenak untuk mengatur emosi. "Ada banyak bercak darah di pakaiannya. Bahkan saat itu dia tidak bisa bicara sepatah kata pun untuk minta tolong," suara si Ibu mengecil, menggiriskan siapa pun yang mendengar apalagi melihatnya. Air matanya telah menganak sungai.
"Apa dia cerita mengenai siapa orang-orang itu, Bu?" tanyaku.
"Aku malah ingin dia melupakan semuanya...," si Ibu mengusap air matanya.


***
Sebenarnya yang kami harapkan bukanlah kesembuhan fisiknya semata. Tapi kenangan dalam setiap mili memorinya adalah sangat penting untuk kami, karena Tegor dan Rusli juga hilang terkurung dalam ingatan itu. Jika ia tak berani mengingat, maka ke mana lagi kami harus mengendus jejak? "Kau harus mengingatnya, Tam. Kau harus bisa! Nasib Tegor dan Rusli ada di tanganmu!"

"Kau harus sabar, Jo!" sergah Ratna.
"Bersabar? Bahkan nyawa kita pun mungkin sekrang sedang terancam!" Pemuda asal Semarang itu terlihat setengah putus asa. Bolak-balik kesana-kemari seolah ruang kamar ini cukup luas untuk langkah gelisahnya.

Setiap kami paksa Tama untuk mengingat, maka tubuh yang seperti kehilangan ruh itu tiba-tiba saja marah. Mengamuk. Semua buku gambarnya ia sobek-sobek. Semua benda yang teraih dibanting. Menangis, meraung. Memukul-mukul kepalanya. Dan membuat kami harus berurusan dengan si Ibu lagi.

"Ada apa ini? Kalian sudah janji tak akan menyakitinya lagi kan?" Dan sialnya hanya si Ibu yang sanggup menenangkan pemuda yang kembali bocah itu.
"Huh! Percuma berkawan dengan pengecut yang takut siksaan!"
"Apa maksudmu?" Ratna menghadang Tarjo di pintu.
"Maksudku dia itu pengecut!" Tarjo menuding ke arah Tama.
Plakk!
"Jangan bertengkar di rumahku!"
"Apa berani kau menggantikannya menerima siksaan itu? Ini hanya soal keberuntungan saja bahwa bukan kau yang diambil!" Ratna meradang.
"Terserah! Tapi kenyataannya memang begitu kan?!" Tarjo menepis tangan Ratna yang mengahdang di pintu.

"Kalau tahu begini, tak akan kuijinkan kalian ke sini. Tak akan ku beritahu kalian tentang kepulangannya. Kalian semua memang anak-anak nakal...," hati si Ibu itu kembali pecah berkeping. Semenatar Tama seperti bocah yang tangisnya berdengung dalam dekapan induknya.
Aku rasa keegoisan memang selalu akan melukai.


***


Semula aku juga sangat egois seperti Tarjo, memaksa Tama untuk menggambar apa saja tentang ingatannya yang masih tersisa. Tapi kemudian aku tersadar saat aku menengok diriku sendiri. Saat semua kenangan indahku bersama Ayah kadang berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan, aku mulai memahami kondisi Tama. Air mata selalu tak terkendali jika Ayah tiba-tiba tersenyum dalam khayalanku.

"Dia mengatakan sesuatu, Lin! Tama ingin mengatakan sesuatu!" Ratna seperti baru menang undian. Tapi saat kulihat Tama yang masih seperti kehilangan selera memandang kehidupan, hatiku kecut.

"Lihatlah apa yang digambarnya," tangan Ratna memanggilku dari buku-buku koleksi Tama.
Ah, masih tak ada kemajuan. Masih hanya coretan tak beraturan. Tapi emmang sudah ada yang hampir membentuk gambar. Manusia-manusia kurus? Siapa yang bisa menangkap isyaratnya?
"Apa? Ayo katakan. Jangan takut kepada kami, katakanlah." Ratna mendekatkan telinganya.
"Lari..." suara itu seperti hembusan angin.
"Lari?" aku turut mendekat. Selama beberapa detik aku bisa melihat cahaya di kedua matanya. Ruhnya telah kembalikah?
"Rusli...Tagor..." hembusan itu semakin jelas.
"Iya, Rusli dan Tagor. Di mana?" Ratna menggenggam tangan itu.
"Tembak..."
"Ditembak?" tanya Ratna.
Tapi percuma. Mata itu kembali kehilangan cahaya. Tubuhnya kembali berguncang. Tangisnya sulit ditenangkan.
"Sebaliknya kita tidak terlalu memaksanya," ujarku.
"Tapi tadi..."
"Biarkan dia yang menemukan caranya sendiri."


***
"Apa kau yang mengatur semuanya, Lin?" suara di seberang terdengar begitu sinis. "Mengatur apa, Rat?
"Jangan munafik! Kenapa kau tega berbuat demikian? Kau tahu apa akibatnya jika para wartawan sampai tahu musibah yang menimpa Tama kan? Apa kau lupa pesan Ibunya Tama bahwa dia tidak boleh diusik lagi oleh siapapun? Kau egois!"
"Itu ulah Tarjo."
"Tapi kau mengetahuinya kan?!" suara itu marah.
"Dia bilang ke aku sesudah dia menyebarkan cerita itu di millis, Rat."
"Kalau kau tak menyetujuinya, kenapa kau biarkan aku tak tahu apa-apa?! Kau kejam sekali, tega memanfaatkan teman demi..."
"Ketidakadilan harus dilawan, Rat!"
Hanya terdengar suara isak di seberang.

"Dan itu tidak cukup jika hanya pulau Jawa saja. Seluruhpelosok tanah air kita ini harus melawan, Rat. Mereka punya kekuasaan, kita juga punya kekuatan. Ini sudah resiko, Rat." Tanpa sadar aku terbius kalimat Tarjo.
"Dapat upah berpaa kamu dari stasiun televisi itu?"
"Apa?"
"Dibayar berapa kamu oleh reporter yang kemarin datang ke rumah Tama?!"
Telepon itu ditutup seketika. Menyisakan sesak yang datang tiba-tiba.


***

Jika kalian telah tahu atau pernah mendengar penyiksaan macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Negeri Kegelapan, masih beranikah kalian bersuara meski lirih demi sebuah keyakinan? Seharusnnya jika kalian telah bulat memilih menjadi malaikat, aklaian harus berani berkata "ya" untuk tiada lelah apalagi gentar menantang mereka yang telah memilih menjadi setan.

Saat itu pukul satu dinihari tepat saat Ratna tersedu-sedu di ujung telepon.
"Tama telah pergi, Lin. Tama telah pergi. Ibunya baru saja meneleponku. Katakan ke Tarjo, buat yang lebih besar lagi, Lin. Gerakkan semua teman-teman kita agar mereka tak berani meremehkan kita lagi. Luka Tama harus kita balas, Lin. Luka Tama harus dibayar..."
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Jam berapa, Rat? Kapan jenazahnya dimakamkan?"


***

Wajah lelah perempuan paruh baya itu semakin kentara saat dengan khidmatnya meneguk the hangat yang ku suguhkan. "Kenapa Ibu tak mengajak Nita dan Fida?"
"Mereka juga sama sibuknya seperti kamu, jadi biarlah. Oh ya, kemarin Nita menonton wawancara eksklusif kalian."

Tak ada yang bisa aku komentari tentang hal itu. Pada akhirnya kami telah melantangkan suara untuk menentang. Kami tahu semuanya pasti belum berakhir hanya sampai di sini.

"Kamu dan teman-temanmu harus berhati-hati, Lin."
"Ibu mau mie?" Aku coba rileks.
"Ayahmu dulu juga begitu, selalu tak kehabisan cara untuk melantangkan suara. Sampai-sampai kuliahnya terbengkalai. Apa kamu kira Ayahmu sudah sarjana? Dari kenal Ibu sampai beranak-pinak ternyata ayahmu tak pernah bisa menamatkan studinya. Dan begitulah kahirnya. Majalah yang dipimpinnya dibreidel, buku-bukunya diharamkan, bahkan ia dibungkam untuk selama-lamanya. Butuh kecerdasan sendiri untuk mengatur langkah, Lin."

"Pasti ada masalah penting sampai-sampai Ibu datang ke sini langsung." Kubawakan puding sisa praktek teman-temanku tadi malam.
"Iya, memang ada kabar penting untukmu." Perempuan itu menatapku lekat.
"Tentang...?"
"Teddy, dia tidak jadi melamarmu."
Gantian wajah itu yang kuamati lekat-lekat. Lalu aku memeluknya erat.

"Aku tidak apa-apa, Lin. Ibu pikir itu malah bagus kalau akhirnya dia mundur. Mungkin dia tidak setuju dengan sepak terjangmu. Ibu juga tak ingin kau mendapatkan pendamping yang tak bisa seia-sekata mendukungmu, mengayomimu. Jadi..."

Maafkan anakmu ini, Bu. Aku sungguh tak bermaksud mengecewakanmu. Aku tahu resiko jalan yang ku tempuh. Dari yang lirih dari hati nurani hingga menjadi yang lantang dan membahayakan, aku tahu ada harga yang mersti dibayar. Dan itu tak cukup hanya dengan air mata.

"...jadi jangan tajut berbuat kebaikan karena Ibu akan selalu berada disampingmu."
Kedua mataku menghangat.


***

Kalinyamatan-Jepara, 90780

0 komentar: