Sumber: Suara Merdeka, 15 Oktober 2009
Oleh Rhobi Shani, S.Pd
alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, tinggal di Tahunan Jepara
Di Jepara banyak beredar sarjana karbitan, terutama sarjana pendidikan (SPd). Pasalnya, proses kuliah memperoleh gelar tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 60/1999. Selain itu, diduga menyalahi surat edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti Nomor 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007.
Surat yang ditandatangani Satryo Soemantri Brodjonegoro melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu. Surat yang ditujukan kepada Rektor Institut/ Universitas Negeri, Ketua Sekolah Tinggi Negeri, dan Koordi-nator Kopertis Wilayah I-XII tersebut menetapkan bahwa ijazah kuliah kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.
Surat edaran tersebut pun sudah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabu-paten Jepara. Surat edaran keluaran Pemkab Jepara yang ditujukan kepada pimpinan instansi sekolah dan dinas. Isinya serupa dengan surat edaran Dirjen Dikti, yaitu mengintruksikan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karier/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.
Sayang, surat edaran itu tak dikaji dan ditindaklanjuti jajaran Pemkab Jepara. Misalnya, dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2008 banyak pelamar yang menggunakan ijazah hasil kuliah jarak jauh. Seperti yang diberitakan Suara Merdeka (28/9).
Ijazah dua calon CPNS guru bahasa Jawa formasi 2008 yang diragukan oleh Badan Kepegawaian Nasional adalah ijazah hasil perkuliahan Jarak Jauh di Universitas Veteran (Univet) Sukoharjo yang diselengarakan di Jepara.
Salah satu mahasiswa berinisial MS menceritakan proses perkuliahan yang menyalahi aturan itu. Mahasiswa angkatan 2005 itu sebelumnya bekerja di Pabrik Karung Pecangaan menceritakan, perkuliahan dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu Jumat dan Minggu.
Sumber lain menceritakan, ada tenaga pengajarnya tidak dosen, melainkan guru SMP yang mengajar Bahasa Jawa. Dari proses perkulihan ini sudah tampak jelas telah menyalahi surat edran Dirjen Dikti.
Dalam pemebritaan media ini (28/9) proses kuliah tersebut dilaksanakan di gedung milik SMP N 1 Mlonggo. Kemudian, proses perkuliahan dipindahkan ke Desa Kedungcino.
Tak salah jika ijazah yang diperoleh dari kelas jauh dan Sabtu-Minggu ini dianggap tidak sah karena ada kesengajaan dari pihak perguruan tinggi mempermudah proses mendapatkan gelar sarjana.
Pada proses perkuliahan kelas jauh yang diselenggarakan Univet Sukohar-jo di Jepara tampak tak serius. Ini terjadi pada masa Praktik Profesi Lapangan (PPL) yang dilakukan mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang melaksanakan PPL tidak mengajar sesuai bidang studi jurusan kuliah yang diambil.
Seorang guru tersebut menceritakan bahwa dalam perangkat pembelajaran, misalnya Rancangan Proses Pembelajaran (RPP) tidak tercantum nama mata pelajaran. Padahal, dalam perangkat pembelajaran nama mata pelajaran adalah hal pokok yang harus dicantumkan.
Melihat peluang menjadi PNS guru bahasa Jawa cukup besar, banyak masyarakat Jepara mengikuti perkuliahan jarak jauh yang diselenggarakan Univet.
Mayoritas mahasiswa kelas jauh Univet adalah mereka yang sudah bekerja. Di antaranya telah menjadi guru tidak tetap SD dengan menggunakan ijazah DII.
Salah seorang dosen Jurusan Bahasa Jawa Univet Sukoharjo, Masukardi, mengakui instansinya memang menyelenggarakan kuliah Jarak Jauh.
Namun, baginya itu tak menjadi soal, sebab perkuliahan dilakukan dengan tatap muka. Berbeda dengan UT yang tak melaklukan perkulihan tatap muka. Dia menambahkan, kualifikasi tenaga pengajar di UT tidak bisa menjadi jaminan.
Apa yang disampaikan dosen tersebut jelas, pihak Univet menyalahi atauran Dirjen Dikti, yaitu memaksakan diri melaksanakan perkuliahan jarak jauh.
Sebetulnya, pelaksanaan perkuliahan jarak jauh boleh-boleh saja asalkan perkuliahan yang diselenggarakan UT. Sebab hanya UT diperbolehkan. Selain itu, bagi mahasiswa kelas jauh atau Sabtu-Minggu yang sudah bekerja harus ada surat izin kuliah dari pimpinan instansi tempat bekerja.
Persoalan ini saya kembalikan kepada pemerintah Kabupaten Jepara. Apakah akan mempekerjakan orang-orang yang memperoleh gelar sarjana dengan cara seperti itu. Atau berani mengambil sikap tegas menolak sarjana-sarjana karbitan tersebut. Sebagai guru saya prihatin akan kondisi ini. (80)
Kamis, 15 Oktober 2009
Mudahnya Dapat Sarjana di Jepara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar