Sumber: Suara Merdeka, 19 Oktober 2009
Oleh Siti Rohmah
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Selama ini, usaha mikro hanya bergerak tanpa pendampingan dari pemerintah. Akibatnya, problem-problem yang ada di kalangan pengusaha mikro ini tidak bisa dideteksi. Contohnya adalah usaha batu bata di kawasan Demak, Semarang, Kudus, dan Jepara.
Kajian ini akan memperlihatkan secara deskriptif problem di Demak. Desa Karangsono yang terletak di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak terkenal dengan batu bata Penggaron, di sini terdapat 300 pengrajin batu bata.
Hampir setiap pengrajin memiliki beberapa karyawan yang dipekerjakan untuk membuat batu bata, sehingga hal ini sangat membantu perekonomian warga.
Nama Penggaron diambil dari nama salah satu kecamatan di Kota Semarang, tepatnya di daerah perbatasan Semarang-Demak. Itu diambil karena mengikuti pasaran walaupun tidak dibuat di Penggaron tapi karakteristiknya sama seperti batu bata di Penggaron. Selain batu bata penggaron ada juga jenis batu bata lain, yaitu batu bata Welahan dan Kudus.
Menyewa Tempat Namun ternyata masih banyak dari pengrajin batu bata yang masih menyewa tempat untuk proses pembuatan batu bata, tempat disewa selama beberapa tahun, setelah waktu penyewaan telah habis maka pengrajin batu bata harus mencari tempat penyewaan lain.
Meskipun hal ini sama-sama menguntungkan bagi pemilik tanah dan pengrajin batu bata, namun apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, maka akan menimbulkan masalah bagi pengrajin batu bata yang tidak mempunyai lahan. Harga sewa tanah semakin tahun akan terus naik.
Yang dituntut oleh para pengrajin batu bata adalah penyediaan bahan baku sebagai bagian dari mekanisme produksi dan tentang kesinambungan usaha terkait dengan status pengrajin batu bata.
Batu bata Penggaron terkenal kuat, tidak mudah patah, posturnya kasar dan pori-porinya yang banyak sedangkan batu bata Welahan dan kudus hampir sama. Kelebihannya batu batanya lebih halus, tidak kasar dan pori-porinya sedikit.
Cara pembuatan batu bata Penggaron memakai bahan dari tanah liat, brambut (kulit padi) dan kawul (limbah industri kayu yang kecil-kecil yang didapat dari industri pabrik kayu). Sedangkan batu bata Welahan dan Kudus memakai tanah liat dan brambut saja.
Sederhana Cara pengolahan batu bata Penggaron sederhana. Tanah biasa dicangkul dan dicacah kemudian disiram dengan air sampai hancur, setelah itu diberi brambut dan kawul. Campuran itu kemudian dicangkul dan diinjak-injak sampai homogen (menjadi satu). Hal itu diulang-ulang terus sampai tiga kali.
Setelah menjadi satu bahan siap dicetak menggunakan cetakan kayu, setelah batu bata aga kering batu bata ditata sigir (miring). Setelah kering batu bata dibawa ke Linggan (tempat pembakaran).
Biasanya kalau sudah terkumpul minimal 50.000 biji batu bata baru dibakar menggunakan kayu bakar, kayu bekas potongan gergaji atau kayu lebihan yang tidak dipakai. Limbah kayu dibeli di pabrik-pabrik kayu dengan harga Rp 1.800.000 pertruk. Proses pembakaran lebih memakan waktu sekitar 24-30 jam.
Setelah selesai dibakar batu bata dibongkar dan ditata dengan rapi sedangkan batu bata Welahan dan Kudus prosesnya hampir sama dengan batu bata Penggaron.
Bedanya dalam proses pembakaran hanya menggunakan brambut. Biasanya brambut dibeli dengan harga Rp 500.000 - Rp 600.000 per truk. Banyaknya batu bata yang dibakar minimal 10.000 biji.
Dari segi pemasaran antara batu bata Penggaron, Welahan dan Kudus hampir sama yaitu pembeli langsung datang atau menghubungi pengrajin batu bata.
Setelah itu batu bata akan dikirim ke tempat tujuan. Kalau dari segi harga batu bata Penggaron lebih murah dibanding dengan batu bata Welahan dan Kudus. Untuk saat ini harga batu bata penggaron Rp 270 per biji, batu bata Welahan Rp 300 per biji, batu bata Kudus 400 per biji.
Kendala yang dihadapi oleh pengrajin batu bata, kalau musim kemarau sering kekurangan air, padahal untuk proses pembuatan air adalah komponen yang sangat penting, namun hal itu dapat diatasi oleh pengrajin dengan membuat sumur di sawah yang dekat dengan lokasi pembuatan batu bata. Kalau air tidak mau keluar maka sumur dibor sampai keluar.
Kalau musim penghujan kendalanya adalah batu bata tidak bisa kering dalam waktu cepat sehingga mengakibatkan kenaikan harga di pasaran karena kekurangan stock.
Selama ini dapat diatasi dengan cara menyimpan persediaan stock untuk musim penghujan sehingga di saat musim penghujan tidak akan kekurangan stock bagi konsumen.
Rekomendasi yang diharapkan oleh pengrajin batu bata adalah tindak lanjut dari pemerintah secara intensif dalam bentuk modal yang berupa kredit lunak. Ini diambil dari subsidi nonenergi sekitar 83 trilyun untuk kemajuan ekonomi mikro dan industri dalam skala kecil.
Perlu pula pendampingan dalam usaha informal sehingga para pengrajin batu bata mampu mengembangkan usahanya secara mandiri dan tidak tergantung pada penyewaan lahan. (80)
Senin, 19 Oktober 2009
Pengembangan Usaha Mikro
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar