Suara Merdeka, 18 Maret 2011
Cukuplah insiden meledaknya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi akibat gempa bumi di Jepang, 11 Maret lalu, menjadi pelajaran nyata bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria di Jepara. Logika penolakan berbagai elemen masyarakat di kawasan Muria yang mendapat dukungan secara nasional, makin diperkuat oleh realitas empirik bencana-bencana nuklir dunia, dan kini krisis nuklir di Jepang. Semua menjadi referensi kuat untuk melupakan saja rencana tersebut.
Simaklah pakar fisika nuklir Iwan Kurniawan ini, ”Kurang apa Jepang? Teknologi, sumber daya manusia, dan kedisiplinannya luar biasa, tetapi bencana tetap bencana yang sulit diprediksi kadarnya”. Maka ia mengimbau Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menghentikan promosi untuk membangun PLTN Muria. Pernyataan Menko Perekonomian Hatta Radjasa juga perlu digarisbawahi: ada atau tidak ada gempa Jepang, pembangunan PLTN merupakan solusi terakhir kalau sudah tidak ada sumber energi lain.
Kita tidak hendak merendahkan SDM bangsa sendiri ketika membandingkannya dengan keandalan SDM dan kedisiplinan ala Jepang. Boleh jadi secara eufimistis kita mengatakan, ”Membangun jalan tol saja tidak beres, kok ngotot membangun PLTN yang risikonya sedemikian tinggi”. Yang ingin kita tekankan hanyalah faktor besarnya kemudaratan yang bisa saja muncul karena tingginya risiko. Berbicara tentang risiko, kita tentu berbicara yang terburuk, karena masalahnya terkait dengan keselamatan dan masa depan bangsa.
Saat ini terdapat 442 PLTN di berbagai negara di dunia. Pemicunya adalah pemanasan global akibat tingginya penggunaan bahan kabar konvensional. Karena kebutuhan energi makin besar, produk nuklir pun dipandang sebagai salah satu solusi. Pilihan itu menjadi semacam tuntutan bagi negara-negara yang perekonomiannya dinamis, seperti China dan India yang masih membutuhkan suplai energi tambahan dari nuklir. Prancis juga memenuhi sekitar 70 persen energi listriknya dari nuklir. Tetapi bagaimana pasca-Fukushima?
Jepang, selama ini terus berusaha menyempurnakan pengamanan PLTN-nya dengan teknologi yang mampu menahan gempa sekuat apa pun. Namun klaim tersebut dimentahkan oleh insiden Fukushima Daiichi. Artinya, negara yang punya kemampuan konsolidasi teknologi, infrastruktur, SDM, kultur, dan disiplin tinggi pun menghadapi titik keterbatasan dalam mencegah risiko radiasi. Kalau sekadar berpikir tentang kontribusi PLTN memang positif, tetapi yang lebih positif tentu berpikir tentang ekses dan keselamatan.
Penolakan PLTN Muria pun kini mendapat energi baru. Pemerintah tidak perlu ragu untuk surut ke belakang, bahkan sama sekali melupakan rencana tersebut. Jika suatu ketika kebutuhan energi tak bisa lagi ditawar, pilihan akhir itu harus dengan mencari tapak baru yang risikonya paling kecil, jauh dari kemungkinan risiko gempa. Dorongan pembatalan tentu jangan diartikan sebagai kemandekan dinamika ekspresi kualitas SDM bangsa ini. Bukankah masih banyak medium lain untuk mengekspresikan keunggulan?
Jumat, 18 Maret 2011
Hapuskan Saja Ide soal PLTN Muria
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar