Suara Merdeka, 14 Maret 2011
Tsunami yang menghantam Jepang, Jumat pekan lalu sungguh bencana dahsyat. Korban gempa dengan kekuatan 8,9 skala Richter dan tsunami itu terus bertambah. Kepolisian Jepang mencatat, korban tewas sudah menembus angka 2.000 orang. Sebagian besar belum berhasil diidentifikasi. Pihak Kepolisian Jepang, seperti dikutip Kantor Berita Kyodo menyebutkan di Prefektur Fukushima saja sudah ditemukan 1.167 mayat, sementara 600 lebih mayat ditemukan di Prefektur Miyagi dan Iwate. Wilayah-wilayah tersebut berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik.
Pemerintah lokal di masing-masing prefektur masih kesulitan mengetahui nasib puluhan ribu warganya karena kerusakan infrastruktur. Sejauh ini, sebanyak 20.820 bangunan dilaporkan rata dengan tanah dan hilang terbawa tsunami. Sementara lebih dari 300.000 orang di enam prefektur telah dievakuasi. Dari jumlah tersebut, 180.000 di antaranya adalah warga yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari reaktor nomor 1 nuklir di Fukushima. Akibat kebocoran radiasi, 19 orang dinyatakan terkontaminasi.
Di tengah keprihatinan kita, ada sejumlah pelajaran berharga yang penting untuk direnungkan. Kesiapan pemerintah Jepang menghadapi bencana patut dipuji. Laporan-laporan media massa memperlihatkan, pemerintah dan warga terlihat sudah mengantisipasi gelombang tsunami. Sistem peringatan dini berfungsi optimal, sehingga memungkinkan semua pihak menghadapi tsunami secara maksimal. Simulasi penanganan bencana dilakukan secara rutin dan intensif sehingga langkah-langkah antisipasi berjalan efektif.
Akurasi sistem peringatan dini serta sinergi pemerintah dalam program penanganan bencana terbukti efektif menekan jumlah korban. Namun, bencana itu juga membawa ancaman berikutnya, yakni bahaya radiasi nuklir. Setelah terjadi ledakan di pembangkit listrik Fukushima Dai-ichi pada Sabtu lalu, ancaman radiasi makin meningkat. Ini menjadi ancaman baru bagi Jepang. Terhadap bahaya yang lebih mengerikan dibandingkan dengan tsunami itu, pemerintah Negeri Sakura itu juga sudah menyiapkan prosedur pengamanan.
Status darurat nuklir pun langsung diumumkan, dan sekitar 170.000 warga dievakuasi dari sekitar wilayah tersebut. Namun tingkat radiasi naik melebihi angka keamanan di sekitar lokasi PLTN. Segera saja ancaman ini mengingatkan isu serupa di Tanah Air, yakni bahaya dari sebuah reaktor nuklir. Fasilitas reaksi nuklir dikelilingi oleh mesin penyimpanan baja, yang kemudian dikelilingi oleh bangunan beton. Di Jepang, hanya tsunami dahsyat yang membuat bocor pengamanan super itu.
Bayangkanlah, apa yang terjadi apabila reaktor itu adalah PLTN Muria? Kalau menangani jalan tol yang ambles dan jalan-jalan rusak saja kerepotan, adakah optimisme kita akan terbangunnya reakor nuklir yang aman dan andal? Secara ilmu dan teknologi, manusia-manusia Indonesia tentu tidak kalah dari para pakar luar negeri. Persoalan krusial terletak pada sejauh mana kebijakan dan politik pemerintah mampu menyediakan sistem yang bersih dan bertanggung jawab untuk terbangunnya infrastruktur fisik yang aman bagi warga.
Senin, 14 Maret 2011
Tsunami di Jepang dan Ancaman Nuklir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar