Suara Merdeka, 15 Maret 2011
Oleh Prayitno
Inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?
LEBIH kuat manakah antara serangan dengan menabrakkan pesawat Boeing 747 seperti dilakukan teroris pada gedung WTC New York dan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami di Jepang, Jumat pekan lalu? Yang jelas, keduanya sama-sama mengakibatkan kehancuran dan menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Akibat hantaman Boeing 747 bermuatan bom pada 11 September 2001 itu, gedung WTC yang didesain tahan gempa, rata dengan tanah. Hanya beda penyebabnya, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi juga tak cukup kuat dari guncangan gempa 8,9 SR yang memicu tsunami itu.
Ledakan di dekat reaktor PLTN fissi yang dioperasikan Tepco tersebut, sebagaimana diberitakan harian ini, meningkatkan radiasi radioaktif. Namun Pemerintah Jepang menyatakan tingkat radiasinya rendah karena ledakan itu tak memengaruhi kontainer inti reaktornya. Tapi yang pasti, warga di sekitar pembangkit energi itu telah diungsikan. Emosi kita terusik, karena gempa 8,9 SR di Jepang itu tak hanya memicu terjadinya tsunami, namun juga mengakibatkan salah satu PLTN-nya rusak.
Tentu tidak keliru jika rasa kenyamanan bangsa Indonesia terganggu atas peristiwa yang menimpa PLTN di Jepang itu. Bukankah pemerintah lewat Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) selama ini ngotot merealisasikan proyek PLTN? Berbagai argumen dan upaya untuk meyakinkan publik bahwa PLTN aman dibangun dan kita telah menguasai teknologinya, sudah dan tengah dilakukan Batan.
Ketika terjadi polemik antara pemerintah, Batan, dan kalangan pro-PLTN pada satu sisi dan kelompok anti-PLTN fissi setelah penyerangan WTC pada sisi yang lain, ada pejabat menegaskan bahwa reaktor PLTN fissi yang akan dibangun di Ujung Lemahabang, Balong, Jepara (Semenanjung Muria), tak hanya tahan dari guncangan gempa tetapi juga didesain tak mempan serangan bom pesawat Boeing 747.
Argumen yang berkesan berandai-andai itu sering kita dengar dari otoritas Batan. Padahal selama ini, Indonesia baru mengoperasikan reaktor nuklir untuk tujuan riset dan berskala sangat kecil, seperti Reaktor GA Siwabessy di Serpong, Tangerang dan Reaktor RA Kartini di Yogyakarta. Keluarannya lebih untuk pembangunan atau rekayasa pertanian dan peternakan.
Batan juga meyakinkan kita tak akan kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku utama sebagai bahan bakar yakni uranium (U), karena di perut bumi Indonesia banyak tersimpan potensi itu. Apalagi cadangan di dunia juga cukup besar.
Pembelaan diri tersebut terbukti kurang meyakinkan, setelah aktivis anti-PLTN menyodorkan data kontroversi. Menurut mereka, data cadangan U di Indonesia kecil dan tidak valid (kurun 1966-1994) dan sejatinya tak ada cadangannya. Ditegaskan, ketersediaan U di dunia hanya untuk 40-50 tahun ke depan, di samping hal itu membuat Indonesia bergantung pada asing.
Begitu pula mengenai pengelolaan limbah radiokatif yang dihasilkan PLTN. Batan sangat yakin umur limbah PLTN fissi 24 ribu tahun, dan aman dengan cara disimpan di kontainer baja di bawah tanah dengan bangunan beton. Selain itu ada teknologi yang bisa memperpendek umur limbah (rubiatron).
Tetap Ngotot Lagi-lagi argumen pejabat pemerintah tersebut dimentahkan oleh pakar nuklir yang anti-PLTN fissi. Katanya, usia bangunan penyimpanan limbah radioaktif (sebagaimana umur pengoperasian PLTN-nya), paling hanya sampai 50 tahun. Di samping pemendekan usia limbah radioaktif oleh teknologi tidak menghilangkan faktor kebahayaannya, dan belum terbukti.
PLTN Fukushima meledak tidak karena serangan Boing 747. Tapi sampai saat ini, belum diketahui pada posisi berapa instalasi PLTN didesain aman dari guncangan gempa? Siapa yang meragukan tingkat kedisiplinan superketat dan tinggi bangsa Jepang, yang kenyang pengalaman mengelola reaktor daya? Berkaca pada peristiwa pahit, yang mungkin meleset dari perkiraan sebelumnya oleh ahli PLTN Jepang, inilah momentum yang tepat bagi Batan untuk berpikir ulang apakah masih tetap ngotot membangun PLTN fissi?
Tidak perlu malu menarik kembali gagasan itu. Termasuk amat bijak bila melupakan rencana pembangunan PLTN pertama di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) meski pemprov telah menyediakan lahan 1.500 hektare. Dana Rp 159 miliar yang telah dialokasikan untuk studi kelayakan, bisa dialihkan untuk tujuan dan target proyek yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Cukup sudah bencana itu pada 1986 menimpa PLTN Chernobyl dan gempa 8,9 SR meledakkan PLTN (fissi) Fukushima. Kita sudah lelah dan tak tahu masih berapa lama harus berjuang menyudahi multikorupsi di negeri ini, juga persoalan besar lainnya yang melilit bangsa. (10)
Selasa, 15 Maret 2011
Tsunami Kedua: Kebocoran PLTN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar