Oleh Awaludin Marwan, S.H
Pegiat Dewandaru Jepara Society
Patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan kemerdekaan Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis. Kemerdekaan pada intinya harapan dan cita tentang kesejahteraan manusia. Kemerdekaan absurd hanya mengalih fungsikan penggantian penindasan lama dengan penindasan baru.
Suasana mencekam bukan berakibat dari kobaran perang, namun karena masyarakat yang terhimpit kemiskinan dan keterbelakangan. Kemerdekaan harusnya menjadi solusi bagi kesengsaraan masyarakat pascakolonial yang membebaskan dan membahagiakan. Justru dengan kemerdekaan ini, kondisi diperkeruh dengan maraknya praktek korupsi dan suap oleh politisi di menara gading sana yang seharusnya sebagai negarawan yang memperdulikan nasib rakyatnya.
Kemerdekaan pascakolonial bisa diartikan membebaskan kelas konglomerat dan politisi busuk, mencengkeram kuat upaya penyejahteraan masyarakat kelas rendah. Kebijakan yang di buat pemerintah Indonesia beserta politisi di Senayan yang cenderung lebih berpihak pada kaum neo-liberalisme, membuat rakyat dipaksa mengikuti skenario pemerintah yang tak rasional. Kenaikkan harga BBM, pencabutan subsidi, privatisasi, dan ratifikasi konvenan internasional yang sama sekali tidak menguntung masyarakat Indonesia menjadi warna yang kental bagaimana elit negara mengisi kemerdekaan ini.
Perkembangan refleksi kemerdekaan kini kian jauh dari makna yang sesungguhnya. Tidak hanya semangat kemerdekaan yang sama sekali tidak pernah dipakai elit Negara dalam menyusun kebijakannya. Namun refleksi kemerdekaan mengalami pergeseran pada ranah yang lebih luas. Kemerdekaan yang harusnya memiliki esensi keprihatinan, maraknya aksi hedonis yang dilancarkan oleh tiap sudut kota negeri dalam memperingati hari kemerdekaan membuat kekecewaan menjadi teramat sangat. Aksi hedonis, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Epikuras dan Aristippos, berarti kata tentang kenikmatan (hedone). Kenikmatan badaniah yang sifatnya sementara dipandang lebih menyenangkan ketimbang kenikmatan rohaniah.
Unsur penghambur-hamburan harta begitu lekat dengan perayaan kemerdekaan di sudut kota negeri ini. Suasana lomba, pawai, hiburan dan bentuk kegiatan yang sesungguhnya membuat kita lena pada makna kemerdekaan subtansial, sekarang, menjadi tradisi absolute. Seolah-olah perayaan kemerdekaan berarti penghiasan aksesoris tempat-tempat, perlombaan, karnaval, dan kegiatan lain yang tak jelas.
Perayaan kemerdekaan bukan lagi merekontruksikan gagasan tentang cita bangsa. Terus bertanya tentang hasil evaluasi pelaksanaan humanisasi, keadilan sosial, moral, dan etika bangsa dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa ini.
Lunturnya Nasionalisme
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) dalam dimensi yang di baca oleh Benedict Anderson (1983) Imagined Comunities merupakan konsep antropologi yang semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Pada konsepsi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined”. Artinya, orang-orang mendefinisikan dirinya sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah mengenal, bertemu atau bahkan mendengar. Namun dalam benak mereka, hidup imagined mengenai kesatuan bersama. Itulah setiap warga bangsa sepatutnya mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan Negara.
Di dalam domain ini, jiwa patriotisme dan etika mengutamakan kepentingan bangsa sebuah keharusan yang di lakukan warga bangsa. Namun kenyataannya prinsip ini hanya sebuah slogan dalam kehidupan berbangsa belaka. Prinsip ini lepas dari laku dan disiplin kehidupan bermasyarakat. Masyarakat kita lebih mengutamakan hak milik pribadi ketimbang kepentingan bersama.
Kebiasaan oligarkisme dan individualisme lebih dominan ketimbang prinsip komunal-sosial. Sebagai contoh, partai beserta elitnya saling melakukan black campaign dan negative campaign di ranah politik mendekati masa pemilu, para intelektual saling mencemooh karena dugaan praktek permainan kepetingan di balik pemikiran, aksi kekerasaan pelanggaran hak asasi layim terjadi akibat perbedaan keyakinan kepercayaan dan banyak kasus lain. Sederetan kasuistis ini menandakan lemahnya nilai-nilai kebangsaan dan tumbuh suburnya oligarkisme dan individualisme.
Oligarkisme dan individualism adalah motor penggerak lunturnya nasionalisme. Dia menyeret kita pada kondisi ketidak pekaan sosial, disorientasi nilai dan tujuan bangsa untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia hanya menginginkan kesejahteraan dan kecerdasan bagi kaum bahkan pribadinya sendiri.
Gesernya Jeparaisme
Nasionalisme dipandang sebagai konsepsi yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut dengan ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos dan simbolisme. Ketika unsur ini di bicarakan , maka Jepara sebagai sebuah lokalitas memiliki semua unsur ini.
Pada abad ke-7 Jepara diperintah oleh ratu yang arif, bijaksana, keras, dan tegas dalam menegakkan disiplin serta penuh tangggung jawab dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ia bertahta dikerajaan Kalingga, bergelar Ratu Shima. Pada masa pemerintahan Demak, di Jepara hadar tokoh putri lainnya yaitu ratu kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa.
Belajar dari uraian diatas, maka masyarakat Jepara sebenarnya sudah bisa bangkit dan lahir kembali dengan atribut kultural yang otonom. Menciptakan paham Jeparaisme, menempatkan warga Jepara dengan gagasan, jiwa, dan raga untuk kemajuan Jepara seutuhnya. Meskipun mungkin kita harus berhenti sejenak menyaksikan ketimpangan budaya masyarakat Jepara.
Budaya yang menghinggapi masyarakat Jepara antara lain, plutokrasi dan hedonisasi. Plutokrasi yang pernah subur di Sparta Yunani zaman itu memperlihatkan keterbudakan orang-orang pada harta sebagai tolok ukur derajat manusia. Pengusaha lebih merasa bahwa kekayaannya selama ini hanya didapat atas kerja kerasnya sendiri, tanpa memperdulikan lingkungan sekitar yang miskin, bahkan melupakan penggabdiannya pada masyarakat, Negara dan bangsanya, apalagi daerahnya.
Sedangkan hedonisasi, nampaknya bersatu dalam jiwa generasi muda Jepara. Anak-anak muda lebih mengutamakan gengsi pergaulan, kompetisi meniru gaya model artis, dan terperangkap pada kehidupan glamour. Pada titik ini, sangat tidak mungkin bisa memberikan ruang kontemplasi bagi mereka untuk mencurahkan keprihatinannya, membangun daerahnya kedepan.
Dengan generasi muda seperti ini, harapan untuk kemajuan Jepara hampir mencapai puncak kepupusan. Padahal ketauladanan telah dicerminkan tokol lokal yang sekaligus menjadi tokoh nasional Jepara, RA Kartini. Di samping pemikirannya tentang emansipasi perempuan, beliau berpikir keras tentang kesejahteraan masyarakat Jepara saat itu. Sumbangsihnya sangat berpengaruh pada perkembangan kerajinan mebel ukir Jepara yang hingga saat ini masih menjadi komoditas unggulan masyarakat Jepara.
Kerajinan ukir mengalami perkembangan lebih lanjut secara pesat setelah kemunculan RA Kartini yaitu putri keempat dari R.M.AA Sosroningrat Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880-1905. Pada masa RA Kartini yang mampu memberikan kontribusi yang luar biasa karena jaman dahulu ukiran itu hanya dibuat untuk kepentingan bangsawan sehingga rakyat biasa belum memiliki penghasilan atas ukiran tersebut. Atas dasar pemikiran Kartini kemudian, dia berharap agar ukiran bisa diproduksi secara massal dan semua rakyat bisa membuatnya. Akibatnya, perajin atau rakyat biasa mampu meningkatkan penghasilan keluarganya (Gustami, 2000: 205).
Karena usaha keras RA Kartini inilah memperkenalkan kerajinan ukir Jepara ke Eropa Barat, pada akhirnya kerajinan ini memiliki pangsa pasar yang bisa di nikmati oleh kebanyakkan masyarakat Jepara hingga saat ini. RA Kartini salah satu putri terbaik Jepara, bagaimanapun kita masih berharap akan lahirnya RA Kartini- RA Kartini baru di zaman ini dengan gagasan-gagasannya yang dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat masyarakat Jepara ke depan. []
Pegiat Dewandaru Jepara Society
Patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan kemerdekaan Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis. Kemerdekaan pada intinya harapan dan cita tentang kesejahteraan manusia. Kemerdekaan absurd hanya mengalih fungsikan penggantian penindasan lama dengan penindasan baru.
Suasana mencekam bukan berakibat dari kobaran perang, namun karena masyarakat yang terhimpit kemiskinan dan keterbelakangan. Kemerdekaan harusnya menjadi solusi bagi kesengsaraan masyarakat pascakolonial yang membebaskan dan membahagiakan. Justru dengan kemerdekaan ini, kondisi diperkeruh dengan maraknya praktek korupsi dan suap oleh politisi di menara gading sana yang seharusnya sebagai negarawan yang memperdulikan nasib rakyatnya.
Kemerdekaan pascakolonial bisa diartikan membebaskan kelas konglomerat dan politisi busuk, mencengkeram kuat upaya penyejahteraan masyarakat kelas rendah. Kebijakan yang di buat pemerintah Indonesia beserta politisi di Senayan yang cenderung lebih berpihak pada kaum neo-liberalisme, membuat rakyat dipaksa mengikuti skenario pemerintah yang tak rasional. Kenaikkan harga BBM, pencabutan subsidi, privatisasi, dan ratifikasi konvenan internasional yang sama sekali tidak menguntung masyarakat Indonesia menjadi warna yang kental bagaimana elit negara mengisi kemerdekaan ini.
Perkembangan refleksi kemerdekaan kini kian jauh dari makna yang sesungguhnya. Tidak hanya semangat kemerdekaan yang sama sekali tidak pernah dipakai elit Negara dalam menyusun kebijakannya. Namun refleksi kemerdekaan mengalami pergeseran pada ranah yang lebih luas. Kemerdekaan yang harusnya memiliki esensi keprihatinan, maraknya aksi hedonis yang dilancarkan oleh tiap sudut kota negeri dalam memperingati hari kemerdekaan membuat kekecewaan menjadi teramat sangat. Aksi hedonis, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Epikuras dan Aristippos, berarti kata tentang kenikmatan (hedone). Kenikmatan badaniah yang sifatnya sementara dipandang lebih menyenangkan ketimbang kenikmatan rohaniah.
Unsur penghambur-hamburan harta begitu lekat dengan perayaan kemerdekaan di sudut kota negeri ini. Suasana lomba, pawai, hiburan dan bentuk kegiatan yang sesungguhnya membuat kita lena pada makna kemerdekaan subtansial, sekarang, menjadi tradisi absolute. Seolah-olah perayaan kemerdekaan berarti penghiasan aksesoris tempat-tempat, perlombaan, karnaval, dan kegiatan lain yang tak jelas.
Perayaan kemerdekaan bukan lagi merekontruksikan gagasan tentang cita bangsa. Terus bertanya tentang hasil evaluasi pelaksanaan humanisasi, keadilan sosial, moral, dan etika bangsa dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa ini.
Lunturnya Nasionalisme
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) dalam dimensi yang di baca oleh Benedict Anderson (1983) Imagined Comunities merupakan konsep antropologi yang semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Pada konsepsi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined”. Artinya, orang-orang mendefinisikan dirinya sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah mengenal, bertemu atau bahkan mendengar. Namun dalam benak mereka, hidup imagined mengenai kesatuan bersama. Itulah setiap warga bangsa sepatutnya mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan Negara.
Di dalam domain ini, jiwa patriotisme dan etika mengutamakan kepentingan bangsa sebuah keharusan yang di lakukan warga bangsa. Namun kenyataannya prinsip ini hanya sebuah slogan dalam kehidupan berbangsa belaka. Prinsip ini lepas dari laku dan disiplin kehidupan bermasyarakat. Masyarakat kita lebih mengutamakan hak milik pribadi ketimbang kepentingan bersama.
Kebiasaan oligarkisme dan individualisme lebih dominan ketimbang prinsip komunal-sosial. Sebagai contoh, partai beserta elitnya saling melakukan black campaign dan negative campaign di ranah politik mendekati masa pemilu, para intelektual saling mencemooh karena dugaan praktek permainan kepetingan di balik pemikiran, aksi kekerasaan pelanggaran hak asasi layim terjadi akibat perbedaan keyakinan kepercayaan dan banyak kasus lain. Sederetan kasuistis ini menandakan lemahnya nilai-nilai kebangsaan dan tumbuh suburnya oligarkisme dan individualisme.
Oligarkisme dan individualism adalah motor penggerak lunturnya nasionalisme. Dia menyeret kita pada kondisi ketidak pekaan sosial, disorientasi nilai dan tujuan bangsa untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia hanya menginginkan kesejahteraan dan kecerdasan bagi kaum bahkan pribadinya sendiri.
Gesernya Jeparaisme
Nasionalisme dipandang sebagai konsepsi yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut dengan ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos dan simbolisme. Ketika unsur ini di bicarakan , maka Jepara sebagai sebuah lokalitas memiliki semua unsur ini.
Pada abad ke-7 Jepara diperintah oleh ratu yang arif, bijaksana, keras, dan tegas dalam menegakkan disiplin serta penuh tangggung jawab dalam mengendalikan roda pemerintahan. Ia bertahta dikerajaan Kalingga, bergelar Ratu Shima. Pada masa pemerintahan Demak, di Jepara hadar tokoh putri lainnya yaitu ratu kalinyamat yang berhasil mengantarkan Jepara menjadi ibu kota pelabuhan terpenting di pesisir utara tanah Jawa.
Belajar dari uraian diatas, maka masyarakat Jepara sebenarnya sudah bisa bangkit dan lahir kembali dengan atribut kultural yang otonom. Menciptakan paham Jeparaisme, menempatkan warga Jepara dengan gagasan, jiwa, dan raga untuk kemajuan Jepara seutuhnya. Meskipun mungkin kita harus berhenti sejenak menyaksikan ketimpangan budaya masyarakat Jepara.
Budaya yang menghinggapi masyarakat Jepara antara lain, plutokrasi dan hedonisasi. Plutokrasi yang pernah subur di Sparta Yunani zaman itu memperlihatkan keterbudakan orang-orang pada harta sebagai tolok ukur derajat manusia. Pengusaha lebih merasa bahwa kekayaannya selama ini hanya didapat atas kerja kerasnya sendiri, tanpa memperdulikan lingkungan sekitar yang miskin, bahkan melupakan penggabdiannya pada masyarakat, Negara dan bangsanya, apalagi daerahnya.
Sedangkan hedonisasi, nampaknya bersatu dalam jiwa generasi muda Jepara. Anak-anak muda lebih mengutamakan gengsi pergaulan, kompetisi meniru gaya model artis, dan terperangkap pada kehidupan glamour. Pada titik ini, sangat tidak mungkin bisa memberikan ruang kontemplasi bagi mereka untuk mencurahkan keprihatinannya, membangun daerahnya kedepan.
Dengan generasi muda seperti ini, harapan untuk kemajuan Jepara hampir mencapai puncak kepupusan. Padahal ketauladanan telah dicerminkan tokol lokal yang sekaligus menjadi tokoh nasional Jepara, RA Kartini. Di samping pemikirannya tentang emansipasi perempuan, beliau berpikir keras tentang kesejahteraan masyarakat Jepara saat itu. Sumbangsihnya sangat berpengaruh pada perkembangan kerajinan mebel ukir Jepara yang hingga saat ini masih menjadi komoditas unggulan masyarakat Jepara.
Kerajinan ukir mengalami perkembangan lebih lanjut secara pesat setelah kemunculan RA Kartini yaitu putri keempat dari R.M.AA Sosroningrat Bupati Jepara yang memerintah sejak tahun 1880-1905. Pada masa RA Kartini yang mampu memberikan kontribusi yang luar biasa karena jaman dahulu ukiran itu hanya dibuat untuk kepentingan bangsawan sehingga rakyat biasa belum memiliki penghasilan atas ukiran tersebut. Atas dasar pemikiran Kartini kemudian, dia berharap agar ukiran bisa diproduksi secara massal dan semua rakyat bisa membuatnya. Akibatnya, perajin atau rakyat biasa mampu meningkatkan penghasilan keluarganya (Gustami, 2000: 205).
Karena usaha keras RA Kartini inilah memperkenalkan kerajinan ukir Jepara ke Eropa Barat, pada akhirnya kerajinan ini memiliki pangsa pasar yang bisa di nikmati oleh kebanyakkan masyarakat Jepara hingga saat ini. RA Kartini salah satu putri terbaik Jepara, bagaimanapun kita masih berharap akan lahirnya RA Kartini- RA Kartini baru di zaman ini dengan gagasan-gagasannya yang dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat masyarakat Jepara ke depan. []
0 komentar:
Posting Komentar