Cerpen Syaiful Mustaqim
Pembina ekstrakulikuler Jurnalistik Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan
KISAH ini menceritakan sekelumit perjalanan seorang manusia dalam menggapai cita-cita. Dia berusaha melawan arus yang ada di masyarakat untuk meraihnya. Ada hal penting yang bisa kita ambil di sini.
Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 05.3o. Aku bergegas bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekolahku lumayan jauh, kira-kira ditempuh dalam waktu seperempat jam. Bangun pagi-pagi menjadi jadwal harianku. Semenit telat bisa-bisa aku kena hukuman, entah berdiri didepan tiang bendera, bersih-bersih toilet siswa, dan seabrek hukuman yang lain. Begitulah keseharianku.
Hari ini aku sangat gelisah, pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling ku benci, sulit, dan tak akan pernah aku pahami. Selain itu, guru-gurunya pun terkenal killer. Aku bertambah takut. Berderet pelajaran hari ini, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia. Ah, aku nggak tahan, jika setiap hari aku harus mengkonsumsi sarapan pelajaran yang mengerikan itu.
Saat masuk kelas XI, aku tak punya impian untuk memilih salah satu jurusan. Ilmu Bahasa, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial. Semuanya tak ada yang cocok denganku. Akhirnya, aku hanya ikut-ikutan dengan temen-temenku kelas X dulu. Jurusan ilmu alam-lah yang aku pilih, walaupun sebenarnya aku sangat muak dengan pelajaran-pelajaran itu. Setiap hari bisa dipastikan akan ketemu dengan pelajaran-pelajaran eksak.
Aku paling kontra dengan guru-guruku, walau hanya dengan suara hati. Aku tak berani mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana tidak? Masa rumus-rumus dan segala tetek bengeknya itu harus dihafal semua. Belum lagi, setiap hari aku harus menghafal kosakata-kosakata Inggris maksimal 10 kata tiap hari. “Untuk apa semua itu?” hujatku.
Banyak para pengangguran di negeri ini, adalah hasil dari produk-produk pendidikan yang belum siap pakai. Pendidikan selama ini hanya berkutat untuk mencari nilai, nilai, dan nilai, tanpa memikirkan hal lain. Hasilnya, setelah dapat nilai bagus dan ijazah, mau cari pekerjaan kemana? Sedangkan lapangan susah didapatkan. Tak mungkin, setelah lulus SMA, bagi yang tak mampu melanjutkan studi, tetek bengek itu akan bisa berguna.
Kalaupun berguna, bisa dipastikan hanya satu persen, lainnya berupa skill dan ketrampilan. Namun, selama ini guru tak pernah mengomongkan itu, sejak menginjak dua tahun di bangku SMA aku tak pernah diajari dengan ketrampilan yang memadai. Aku sering dijejali dengan seabrek rumus-rumus. Apalagi aku, setelah lulus nanti, tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Ya, aku malu dengan orang tuaku. Hampir belasan tahun aku telah menghabiskan sebagian hasil jerih payah mereka untuk biaya sekolah, namun hasilnya masih saja nol. Aku belum bisa membalas semua jasa-jasanya yang selama ini mereka berikan. Apalagi ayahku seorang buruh pabrik, dan bundaku seorang penjahit. Usia mereka sudah semakin senja. Sekarang di gubukku, aku hanya sendiri ditemani ayah dan bunda. Mereka hanya mempunyai penghasilan sangat pas-pasan. Malah kadang-kadang kurang.
Sejak dulu, aku memang sudah tak ingin sekolah, namun mereka memaksaku untuk tetap sekolah dengan biaya yang pas-pasan. Mereka berharap aku bercita-cita setinggi langit, tidak seperti mereka. Bagiku, sekolah hanya akan mencetak calon-calon pengangguran intelek. Lihat saja mayoritas penduduk negeri ini, mereka adalah pengangguran-pengangguran terdidik. Tak banyak mereka yang mempunyai pekerjaan yang layak. “Apa bedanya sekolah dan tidak?” pikirku.
Aku tak ingin mengecewakan mereka. Masuklah aku ke bangku SMA. Apa yang terjadi? Otakku yang serba pas-pasan sulit memahami pelbagai pelajaran. Setiap kali pelajaran, sulit aku memahaminya. Aku sering tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan guruku, aku hanya diam seribu bahasa.
***
Satu keinginanku. Aku ingin menjadi penulis. Namun, pelajaran bahasa Indonesia yang berhubungan erat, tak pernah menyinggung tentang profesi itu. Pelajaran bahasa Indonesia hanya sebatas teori, praktiknya nol. Tapi apa daya, jika aku protes guru pasti marah besar, bisa dipastikan nilaiku merah, dan aku akan di black list.
Tak banyak sosok Soe Hok Gie yang berani memprotes guru karena takut tidak dinaikkan. Begitu juga guru, tak sedikit yang mau menerima protes dari anak didiknya.
Tanpa pikir panjang, cita-citaku ingin menjadi penulis harus dijalani secara otodidak. Namun, aku yakin suatu saat akan berhasil dengan gemilang. Tak pernah terlewatkan aku sering membaca edisi remaja mingguan di pelbagai macam jenis koran di koran dinding yang ditempel di perempatan kecamatan. Selain itu, karena uang sakuku yang serba pas-pasan, jadi hanya mampu membaca majalah di loper koran tanpa membelinya. Aku terkagum-kagum dengan siswa sekolah lain yang karya-karyanya sering nongol di media.
Aku iri. Kapan aku bisa laiknya mereka? Apalagi tak pernah ku jumpai penulis asli dari daerahku. Padahal, konon daerahku mempunyai ribuan sekolah. Hampir di setiap desa, dan kecamatan bisa ditemukan sekolah berdiri. Tapi tak satupun ku dapati mereka yang asli daerahku, tulisannya nongol di media.
Aku sedih, aku pun semangat. Sedih karena tak ada guru yang memberikan support anak didiknya agar bisa menulis, padahal itu lebih manfaat. Semangat. “Ini adalah tantanganku, agar aku bisa menjadi seorang penulis.” Inginku.
Berderet alamat redaksi tertata rapi di salah satu buku tulisku. Aku berharap suatu saat tulisanku akan dimuat, seperti mereka. Aku ingin mengharumkan nama sekolah, dan daerahku, walaupun nantinya pemkab tidak memberiku apa-apa. Tapi tak apa. Aku tetap semangat untuk selalu menulis.
Jika ku ingat, berulang kali aku telah mengirim tulisan ke pelbagai media, namun tak pernah ada jawaban dari redaksi kalau tulisanku hendak dimuat. Kusimpan rapi naskah-naskah yang pernah ku kirimkan ke media. Barangkali aku bisa belajar dari kegagalan-kegagalan itu, dan aku pun bisa memperbaikinya.
Kadang aku sudah putus asa. Lha wong aku tidak pernah di ajari pelajaran jurnalistik (tulis menulis) secara kontinyu, apa aku mampu berkompetisi dengan mereka? Kebanyakan dari mereka, di sekolahnya diajari ilmu jurnalistik yang memadai, selain itu setiap kali menghadirkan wartawan dari pelbagai media untuk menambah wawasan, dan turut mengisi tentang ilmu jurnalistik.
***
Pagi ini, kembali aku menulis kembali dari sebuah asa untuk barpartisipasi membangun daerah lewat menulis. Aku hanyalah insan yang tak pernah belajar bagaimana cara menulis yang baik dan benar maupun yang sesuai EYD. Aku anak dari kalangan menengah kebawah. Aku yakin, yakin dan yakin kalau suatu saat akan berhasil.
Ini adalah karyaku yang ke sembilan puluh sembilan kali. Aku tak banyak berharap tulisanku akan dimuat. “Semoga karyaku dimuat,” do’aku. Namun ini adalah bagian dari ikhtiarku. Sehingga secuil asaku benar-benar menjadi kenyataan. Amin.
[Cerpen, Kartunet.com, 05 Maret 2008]
Pembina ekstrakulikuler Jurnalistik Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan
KISAH ini menceritakan sekelumit perjalanan seorang manusia dalam menggapai cita-cita. Dia berusaha melawan arus yang ada di masyarakat untuk meraihnya. Ada hal penting yang bisa kita ambil di sini.
Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 05.3o. Aku bergegas bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekolahku lumayan jauh, kira-kira ditempuh dalam waktu seperempat jam. Bangun pagi-pagi menjadi jadwal harianku. Semenit telat bisa-bisa aku kena hukuman, entah berdiri didepan tiang bendera, bersih-bersih toilet siswa, dan seabrek hukuman yang lain. Begitulah keseharianku.
Hari ini aku sangat gelisah, pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling ku benci, sulit, dan tak akan pernah aku pahami. Selain itu, guru-gurunya pun terkenal killer. Aku bertambah takut. Berderet pelajaran hari ini, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia. Ah, aku nggak tahan, jika setiap hari aku harus mengkonsumsi sarapan pelajaran yang mengerikan itu.
Saat masuk kelas XI, aku tak punya impian untuk memilih salah satu jurusan. Ilmu Bahasa, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial. Semuanya tak ada yang cocok denganku. Akhirnya, aku hanya ikut-ikutan dengan temen-temenku kelas X dulu. Jurusan ilmu alam-lah yang aku pilih, walaupun sebenarnya aku sangat muak dengan pelajaran-pelajaran itu. Setiap hari bisa dipastikan akan ketemu dengan pelajaran-pelajaran eksak.
Aku paling kontra dengan guru-guruku, walau hanya dengan suara hati. Aku tak berani mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana tidak? Masa rumus-rumus dan segala tetek bengeknya itu harus dihafal semua. Belum lagi, setiap hari aku harus menghafal kosakata-kosakata Inggris maksimal 10 kata tiap hari. “Untuk apa semua itu?” hujatku.
Banyak para pengangguran di negeri ini, adalah hasil dari produk-produk pendidikan yang belum siap pakai. Pendidikan selama ini hanya berkutat untuk mencari nilai, nilai, dan nilai, tanpa memikirkan hal lain. Hasilnya, setelah dapat nilai bagus dan ijazah, mau cari pekerjaan kemana? Sedangkan lapangan susah didapatkan. Tak mungkin, setelah lulus SMA, bagi yang tak mampu melanjutkan studi, tetek bengek itu akan bisa berguna.
Kalaupun berguna, bisa dipastikan hanya satu persen, lainnya berupa skill dan ketrampilan. Namun, selama ini guru tak pernah mengomongkan itu, sejak menginjak dua tahun di bangku SMA aku tak pernah diajari dengan ketrampilan yang memadai. Aku sering dijejali dengan seabrek rumus-rumus. Apalagi aku, setelah lulus nanti, tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Ya, aku malu dengan orang tuaku. Hampir belasan tahun aku telah menghabiskan sebagian hasil jerih payah mereka untuk biaya sekolah, namun hasilnya masih saja nol. Aku belum bisa membalas semua jasa-jasanya yang selama ini mereka berikan. Apalagi ayahku seorang buruh pabrik, dan bundaku seorang penjahit. Usia mereka sudah semakin senja. Sekarang di gubukku, aku hanya sendiri ditemani ayah dan bunda. Mereka hanya mempunyai penghasilan sangat pas-pasan. Malah kadang-kadang kurang.
Sejak dulu, aku memang sudah tak ingin sekolah, namun mereka memaksaku untuk tetap sekolah dengan biaya yang pas-pasan. Mereka berharap aku bercita-cita setinggi langit, tidak seperti mereka. Bagiku, sekolah hanya akan mencetak calon-calon pengangguran intelek. Lihat saja mayoritas penduduk negeri ini, mereka adalah pengangguran-pengangguran terdidik. Tak banyak mereka yang mempunyai pekerjaan yang layak. “Apa bedanya sekolah dan tidak?” pikirku.
Aku tak ingin mengecewakan mereka. Masuklah aku ke bangku SMA. Apa yang terjadi? Otakku yang serba pas-pasan sulit memahami pelbagai pelajaran. Setiap kali pelajaran, sulit aku memahaminya. Aku sering tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan guruku, aku hanya diam seribu bahasa.
***
Satu keinginanku. Aku ingin menjadi penulis. Namun, pelajaran bahasa Indonesia yang berhubungan erat, tak pernah menyinggung tentang profesi itu. Pelajaran bahasa Indonesia hanya sebatas teori, praktiknya nol. Tapi apa daya, jika aku protes guru pasti marah besar, bisa dipastikan nilaiku merah, dan aku akan di black list.
Tak banyak sosok Soe Hok Gie yang berani memprotes guru karena takut tidak dinaikkan. Begitu juga guru, tak sedikit yang mau menerima protes dari anak didiknya.
Tanpa pikir panjang, cita-citaku ingin menjadi penulis harus dijalani secara otodidak. Namun, aku yakin suatu saat akan berhasil dengan gemilang. Tak pernah terlewatkan aku sering membaca edisi remaja mingguan di pelbagai macam jenis koran di koran dinding yang ditempel di perempatan kecamatan. Selain itu, karena uang sakuku yang serba pas-pasan, jadi hanya mampu membaca majalah di loper koran tanpa membelinya. Aku terkagum-kagum dengan siswa sekolah lain yang karya-karyanya sering nongol di media.
Aku iri. Kapan aku bisa laiknya mereka? Apalagi tak pernah ku jumpai penulis asli dari daerahku. Padahal, konon daerahku mempunyai ribuan sekolah. Hampir di setiap desa, dan kecamatan bisa ditemukan sekolah berdiri. Tapi tak satupun ku dapati mereka yang asli daerahku, tulisannya nongol di media.
Aku sedih, aku pun semangat. Sedih karena tak ada guru yang memberikan support anak didiknya agar bisa menulis, padahal itu lebih manfaat. Semangat. “Ini adalah tantanganku, agar aku bisa menjadi seorang penulis.” Inginku.
Berderet alamat redaksi tertata rapi di salah satu buku tulisku. Aku berharap suatu saat tulisanku akan dimuat, seperti mereka. Aku ingin mengharumkan nama sekolah, dan daerahku, walaupun nantinya pemkab tidak memberiku apa-apa. Tapi tak apa. Aku tetap semangat untuk selalu menulis.
Jika ku ingat, berulang kali aku telah mengirim tulisan ke pelbagai media, namun tak pernah ada jawaban dari redaksi kalau tulisanku hendak dimuat. Kusimpan rapi naskah-naskah yang pernah ku kirimkan ke media. Barangkali aku bisa belajar dari kegagalan-kegagalan itu, dan aku pun bisa memperbaikinya.
Kadang aku sudah putus asa. Lha wong aku tidak pernah di ajari pelajaran jurnalistik (tulis menulis) secara kontinyu, apa aku mampu berkompetisi dengan mereka? Kebanyakan dari mereka, di sekolahnya diajari ilmu jurnalistik yang memadai, selain itu setiap kali menghadirkan wartawan dari pelbagai media untuk menambah wawasan, dan turut mengisi tentang ilmu jurnalistik.
***
Pagi ini, kembali aku menulis kembali dari sebuah asa untuk barpartisipasi membangun daerah lewat menulis. Aku hanyalah insan yang tak pernah belajar bagaimana cara menulis yang baik dan benar maupun yang sesuai EYD. Aku anak dari kalangan menengah kebawah. Aku yakin, yakin dan yakin kalau suatu saat akan berhasil.
Ini adalah karyaku yang ke sembilan puluh sembilan kali. Aku tak banyak berharap tulisanku akan dimuat. “Semoga karyaku dimuat,” do’aku. Namun ini adalah bagian dari ikhtiarku. Sehingga secuil asaku benar-benar menjadi kenyataan. Amin.
[Cerpen, Kartunet.com, 05 Maret 2008]
0 komentar:
Posting Komentar