Oleh Agus Mutohar
Pendidik, alumnus University of South Carolina AS.
SETIAP tahun Hari Guru diperingati pada 25 November; namun tampaknya keberpihakan nasib kepada guru masih rendah. Di Jawa Tengah. misalnya, saat ini ribuan guru sedang berjuang untuk mendapatkan kursi pegawai negeri sipil (PNS) lewat formasi pemerintah daerah (pemda) maupun Departemen Agama (Depag), walaupun dengan jatah yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah pendaftar.
Itulah sebuah realita bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi wacana. Pun dengan munculnya program sertifikasi, masih memunculkan diskriminasi. Perbandingan 70 % sertifikasi untuk guru negeri dan 30 % untuk guru swasta adalah wujud nyata diskriminasi tersebut.
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang seimbang kepada guru swasta. Pasalnya, berdasarkan data di lapangan. guru swastalah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena minimnya gaji yang diterima mereka.
Mendapatkan penghasilan Rp 500.000 per bulan merupakan hal yang sulit bagi guru swasta; mereka bak sales yang harus berpindah-pindah mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Bahkan ada juga yang berprofesi sebagai tukang parkir atau tukang ojek untuk menopang perekonomian keluarga.
Verbalisme dan sloganisme pahlawan tanpa tanda jasa juga berpengaruh kepada terpuruknya nasib guru. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan dengan tulus, tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya.
Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu; juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesi, kepastian karier, hubungan antarpribadi, dan perlindungan hukum.
Berkait dengan fakta tersebut , akhir-akhir ini kita sering melihat pemberitaan di media cetak maupun televisi adanya guru yang melaksanakan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-haknya kepada pemerintah. Saat itulah, pemandangan ironis dipertontonkan. Guru harus berteriak-teriak menyuarakan nuraninya, bahkan karena luapan emosinya mereka banyak yang mencucurkan air mata sambil memanjatkan doa di depan pemerintah demi perbaikan nasib.
Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai dengan hak-hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional.
Peningkatan Diri
Pakar pendidikan Arif Rahman dalam wawacancara ekslusif TV One, Minggu 23 November 2008, mangatakan bahwa tugas guru saat ini semakin berat. Selain dihadapkan kepada permasalahan moralitas siswa, guru juga dihadapkan kepada tuntutan akan kualitas pendidikan yang semakin tinggi.
Penelitian dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2006 melaporkan, Indonesia mendapatkan peringkat ke-44 dari 56 negara berkembang dalam hal kemampuan penguasaan membaca, matematika, dan bahasa. Peringkat tersebut tergolong sangat rendah, terpaut jauh di bawah Malaysia, negara yang pernah mendatangkan guru-guru Indonesia beberapa dekade lalu.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan ”pekerjaan rumah” (PR) bagi guru. Pasalnya, pendidikan dan guru adalah dua komponen yang tak dapat dipisahkan.
Guru, dalam pandangan Paulo Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang mengajarkan pengetahuan (kognitif), tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers) dalam memperbaiki tatanan sosial yang ada.
Jika dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih baik.
Untuk tujuan itu, guru harus mulai berbenah diri meningkatkan kualitas kelimuan maupun meningkatkan integritas kepribadiannya lewat pendidikan maupun pelatihan-pelatihan.
Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 juta yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma empat (D-4). Dari jumlah itu, satu juta guru mengajar di sekolah dasar (SD) dan 173 ribu lainnya mengajar di madrasah ibtidaiyah (MI).
Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Fakta tersebut semakin mengharuskan guru-guru di Indoensia untuk berbenah diri.
Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan.
Perubahan kurikulum dengan beragam julukannya CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun merknya, tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala guru tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab.
Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreativitas mereka. Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekpresi, sehingga tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran salah prosedur atau menyalahi standar birokrasi.
Untuk itu, guru harus mampu kreatif melakukan modifikasi pembelajaran di sekolah sehingga tidak berkesan hanya transfer pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi juga memperhatikan aspek emosional dan psikomotorik peserta didik.
Maju tidaknya kualitas pendidikan akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Professor Gregory Jay, pakar pendidikan dari University of Wisconsin, Milwaukee, Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada saya saat diskusi September lalu, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan (future investment). Bangsa yang tidak menanamkan pendidikan yang baik sekarang, akan mengalami kehancuran di masa-masa mendatang.
Semoga momentum 25 November menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para guru yang diiringi dengan peningkatan profesionalisme, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang maju di masa mendatang. Semoga!
[Wacana, Suara Merdeka, 25 November 2008]
Selasa, 25 November 2008
Keseimbangan Nasib Guru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar