Oleh Muhammad Rohani
Kontributor LPM Idea Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang aktif di forum kajian Dewandaru Jepara Society
BERBICARA tentang Kabupaten Jepara, tidak afdol jika tidak dikaitkan dengan sebutannya sebagai "Kota Ukir". Julukan inilah yang selama ini kita kenal untuk kabupaten yang terletak di bagian timur Pantai Utara Jawa itu. Tentu saja ini bukan asal-asalan, melainkan didasarkan atas fakta riil yang ada di lapangan. Ya, daerah ini memang menjadi sentra industri mebel ukir dan barang-barang furnitur.
Konon, industri mebel di Jepara telah ada sejak Ratu Shima berkuasa pada abad ke 7. Kemudian pada masa pemerintahan Nimas Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan utama di Pulau Jawa yang melayani ekspor-impor. Selain itu, juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak.
Dalam perkembangannya, industri ini maju pesat dan menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara. Bahkan pada tahun 1999-2000, industri ini mengalami masa keemasan. Pada waktu itu nilai ekspornya mencapai 169.251.410 dollar AS. Jumlah pelaku usaha mencapai 3.965 unit dengan nilai investasi Rp 124,6 miliar, dan pemasaran merambah ke 64 negara. Industri ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 58.210 jiwa. (Kompas, 16 Juli 2007).
Di sisi lain, di balik nama besar Jepara sebagai kota ukir, terdapat pula potensi dan keunikan lain yang dimiliki oleh daerah yang juga kaya dengan obyek wisata ini. Itulah yang penulis maksudkan dengan industri kerajinan berupa tenun ikat, produk berbahan rotan, aksesori monel (stainless steel), dan keramik-gerabah.
Kerajinan tenun ikat berpusat di Troso, Pecangaan. Industri ini melibatkan 191 unit usaha dan menyerap sekitar 1.800 tenaga kerja. Tiap tahun volume produksinya mencapai 3,1 juta meter dengan nilai produksi Rp 54,5 miliar.
Sedangkan kerajinan berbahan rotan terkonsentrasi di Jepara bagian selatan, yaitu Kecamatan Welahan. Di sana terdapat 346 unit usaha berbahan rotan yang melibatkan lebih dari 2.000 tenaga terampil. Nilai produksinya mencapai rata-rata Rp 2 miliar pertahun.
Kerajinan monel berpusat di Kecamatan Kalinyamatan. Ratusan tenaga kerja terserap, dan tiap tahunnya memproduksi belasan ribu jenis aksesoris. Selain itu, ada juga kerajinan gerabah yang berpusat di Kecamatan Mayong. Pangsa pasarnya 262 unit usaha, dan telah merambah ke luar Jawa. (Suara Merdeka, 16 Juli 2007).
Maka, tidak berlebihan jika beberapa waktu yang lalu Jepara dicanangkan sebagai The World Carving Center, Pusat Kerajinan Ukir Dunia. Ini tentu karena potensinya yang sangat besar dalam bidang kerajinan mebel ukir, dan semakin diperkuat dengan industri-industri kerajinan yang lain.
Kerajinan sebagai Industri Kreatif
Kerajinan merupakan salah satu dari 14 subsektor ekonomi kreatif yang diunggulkan oleh pemerintah. Ekonomi kreatif adalah berbagai aktivitas berbasis kreativitas, keterampilan, dan bakat, yang memiliki potensi ekonomi dan peluang kerja baru melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan intelektual.
Secara nasional, industri kreatif menyumbang 6,28 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, 28 persen di antaranya disumbangkan oleh industri kerajinan. Ini merupakan urutan kedua. Sedangkan peringkat pertama ditempati oleh produk mode yang menyumbang angka 44 persen. (Jurnal Koperasi dan UMKM, edisi IV/September 2008).
Industri kreatif ini berperan penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan citra dan identitas bangsa –di tengah gempuran hebat arus globalisasi--, serta peningkatan ekspor. Sebagai gambaran, nilai ekspor industri ini pada tahun 2007 mencapai 642 juta USD. Jumlah ini meningkat 20 persen dari ekspor tahun sebelumnya yang bernilai 534 juta USD.
Pengembangan Sektor Kerajinan
Melihat besarnya potensi industri kerajinan yang dimiliki oleh Kabupaten Jepara, serta peluang yang ditawarkan oleh industri ini, perlu kiranya pemkab Jepara mengembangkan sektor ini. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain adalah: pertama, memberikan dan mempermudah akses permodalan kepada pengusaha yang membutuhkannya, terutama bagi pengusaha kelas menengah ke bawah yang biasanya kesulitan permodalan. Selain itu, pemkab juga hendaknya menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Ciptakan birokrasi dan mekanisme perijinan yang tidak berbelit-belit, bebas pungli, dan tidak memakan waktu yang lama.
Ke-dua, meningkatkan kualitas dan kuantitas produk-produk kerajinan melalui pendidikan, pelatihan, maupun workshop. Ini sangat urgen dan menduduki posisi yang sangat strategis. Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa kewirausahaan, manajemen bisnis kerajinan, maupun skill teknis masing-masing bidang kerajinan. Bagaimanapun juga, industri kerajinan merupakan industri kreatif yang sangat menekankan dan bertumpu pada sumber daya manusia. Maka, kualitas SDM ini harus senantiasa dijaga dan ditingkatkan agar dapat terus eksis dan bisa bersaing dengan industri serupa dari daerah maupun negara lain.
Ke-tiga, mengadakan promosi dan sosialisasi kepada masyarakat luar, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ini dapat dilakukan dengan mengiklankan produk-produk kerajinan di media massa, mengadakan pameran-pameran, membuka showroom di tempat-tempat yang strategis, maupun membuat situs di internet.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan oleh pemerintah –terkait dengan pengembangan industri kerajinan ini— adalah menumbuh-kembangkan minat kaum muda Jepara terhadap produk-produk kerajinan khas Jepara tersebut. Ini sangat penting untuk menjaga eksistensi dan kelestarian industri ini di masa-masa mendatang.
Peran Lembaga Pendukung
Menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan pengembangan industri kerajinan tersebut, di Jepara telah terdapat beberapa lembaga yang konsen dengan industri kerajinan berikut pengembangannya. Lembaga-lembaga itu adalah Sekolah Ukir yang terletak di Tahunan, SMKN 2 Jepara yang berada di Kecamatan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain (STTD-NU) di Tahunan, dan Pusat Promosi dan Pasar Lelang Furnitur (PPLF) yang berlokasi di Rengging, Pecangaan.
Tiga lembaga yang disebut pertama berkonsentrasi pada pencetakan tangan-tangan terampil dan tenaga ahli di bidang kerajinan. STTD-NU misalnya, lembaga pendidikan tinggi yang dahulunya bernama Akademi Teknologi dan Industri Kayu (ATIKA) ini berkonsentrasi pada studi tentang teknologi perkayuan dan desain mebel.
Demikian juga SMKN 2 Jepara, atau yang lebih dikenal dengan SMIK Jepara, sekolah ini mempunyai fokus pada program studi tentang kerajinan kayu, tekstil, logam, keramik-gerabah, dan tata busana. Lembaga-lembaga itu cukup representatif dan memadai sebagai penyedia tangan-tangan terampil maupun tenaga ahli dalam bidang kerajinan.
Sedangkan PPLF berfungsi sebagai pusat promosi, pusat desain mebel, klinik HAKI, dan pusat informasi potensi daerah dan pariwisata.
Lengkap sudah lembaga yang diperlukan untuk pengembangan industri kerajinan yang ada di Jepara. Hanya saja, lembaga-lembaga tersebut hendaknya bisa berusaha secara maksimal untuk mendukung, mengembangkan, dan melestarikan industri kerajinan ini sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.
Jangan sampai –di tengah perjalanan nanti— mereka kehabisan energi dalam mengembangkan industri kerajinan. Sehingga fungsi dan perannya pun pudar, selanjutnya lambat-laun akan mati. (Semoga ini tidak terjadi). Apa yang menimpa Pasar Kerajinan Margoyoso cukuplah menjadi pelajaran bagi pemerintah kabupaten maupun insan kerajinan Jepara lainnya. Belajarlah dari kegagalannya. []
0 komentar:
Posting Komentar