Oleh M Abdullah Badri
Pimred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Anggota Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)
SEBAGAI sentra kerajinan ukir Jawa Tengah, Kabupaten Jepara terkenal dengan sebutan sebagai kota ukir. Bukan hanya di tingkat lokal, sebutan itu juga meluas hingga di tingkat nasional, bahkan internasional. Bisa dikata, ukiran Jepara yang memiliki khas khusus menjadi ikon tersendiri bagi Jepara. Ketika menyebutkan kota ukir, orang akan menyebut Jepara sebagai pusatnya.
Karena dikenal hingga manca negara, banyak investor yang kemudian beramai-ramai “menyerbu” kota petilasan kerajaan Ratu Shima tersebut. Anda akan mudah menemukan “orang-orang kompeni” yang mendirikan gudang-gudang atau pabrik-pabrik besar disana, terutama di kecamatan Tahunan yang menjadi pusat bisnis kayu Jepara.
Banyak penduduk sekitar yang kemudian mendapatkan penghasilan hidup dari bisnis kayu disana. Bagi yang memiliki modal cukup, ia bisa membuka bisnis jual kayu dan meubel. Bagi masyarakat ekonomi bawah, ia bisa menjadi buruh di gudang-gudang produksi kayu, menggunakan otot. Bagi buruh laki-laki, biasanya bekerja angkat-junjung, sedangkan bagi buruh perempuan biasanya menjadi tenaga “pengamplas”, yakni menghaluskan hasil produksi kayu setengah jadi dengan menggunakan amplas atau ambreil.
Walhasil, banyak orang Jepara yang bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bisnis yang berkaitan dengan kayu. Bahkan, ada yang mendadak menjadi kaya dari bisnis itu. Orang menyebutnya dengan Orang Baru Kaya. Itu dulu. Sekarang?
Kini anda akan menemukan sedikit orang Jepara yang berhasil dalam menjalankan bisnis kayu tersebut. Pasca tahun 2000, banyak pengusaha kayu di Jepara, pribumi maupun asing, yang gagal, gulung tikar. Bahkan ada yang dulu sempat menjadi milyarder, kini nasibnya berada pada titik nadir. Aset yang dimiliki ludes untuk menutup kerugian bisnis yang pernah ia bangun.
Apalagi para pengrajin ukiran khas Jepara, semakin sulit menemukan orangnya. Mereka banyak yang beralih kepada sektor lain, semisal menjadi pedagang, penyedia jasa umum dan pekerjaan lain yang tidak membutuhkan modal banyak. Hal itu terjadi karena ukiran kini bukan lagi menjadi bisnis yang menjanjikan.
Apa pasal? Para pengusaha meubel yang memproduksi perabot rumah tangga semisal kursi, meja dan almari kini jarang yang menggunakan ukiran sebagai motif khusus untuk memperindah hasil produksinya. Akibatnya, banyak pengukir (pengrajin ukiran kayu) yang kehilangan lahan penghasilan, menganggur. Selain itu, harga jual ukiran pun turun secara drastis.
Kalau dulu seseorang dapat membeli tanah sepetak hanya dengan membuat satu-dua buah kayu ukiran –biasanya bermotif ular naga, burung garuda atau motif bunga khas Jepara-, maka kini untuk dapat melakukan itu harus membuat hingga sepuluh kali lipat, karena harga ukiran yang semakin rendah. Kini, Anda akan jarang menjumpai pengrajin ukir Jepara yang digolongkan mampu secara ekonomi, sebagaimana pernah terjadi pada era tahun 1980-an.
Masa Depan Ukir Jepara
Setelah banyak para pengukir Jepara yang beralih profesi, masa depan ukiran Jepara yang dulu diminati banyak orang luar kian memudar. Ikon yang pernah dijadikan tanda pengenal Jepara kini tak nampak lagi dalam kehidupan ekonomi Jepara. Orang Jepara sendiri akhirnya tidak begitu mempedulikan, melestarikan hasil karya nenek moyangnya yang konon dulunya belajar ukir dari Bangsa Cina. Apatisme semacam itu mengakibatkan kekayaan intelektual Jepara dicuri oleh bangsa lain. Australia dengan angkuhnya kemudian mendaku sebagai pemilik “sah” hak intelektual ukiran itu. Harga diri dipertaruhkan. Ini tentu menjadi pengalaman berharga yang tak akan pernah dilupakan.
Kalau mau jujur, “pencurian” yang dilakukan oleh negara kanguru itu sebenarnya juga disebabkan oleh kelalaian masyarakat Jepara sendiri yang enggan mengoptimalkan pengembangan karya ukirnya.
Pemerintah juga ikut bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Salama ini, iklim investasi yang diciptakan pemerintah Jepara terkesan lebih memihak kepada “para kompeni” daripada warga pribumi. Seharusnya, pemerintah bisa mengembangkan sektor ekonomi riil kelas bawah yang menjadi tumpuan hidup banyak orang.
Andaikata pemerintah Jepara membuat mekanisme bisnis meubel yang mewajibkan kepada setiap pengusaha untuk selalu menyertakan motif ukiran Jepara dalam hasil-hasil produksinya, tentu para pengrajin ukir tidak akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sehingga, dengan sendirinya ukiran Jepara akan selalu terpelihara. Tidak akan dicuri oleh lain. Bahkan, pesona ukir Jepara akan tetap bersinar.
Selain itu, standarisasi ukiran Jepara perlu dibuat juga, baik dalam hal kualitas maupun harga. Tujuannya, agar upaya pengembangan ukiran Jepara tidak mengalami apa yang dinamakan dengan developing gap (pembangunan yang timpang). Para investor asing juga tidak akan seenaknya membuat kebijakan perusahaan yang merugikan bisnis penduduk lokal.
Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah masalah kelangkaan persediaan kayu. Kayu yang tidak mencukupi kebutuhan membuat harganya semakin langka. Lagi-lagi, para pengusaha lokal banyak yang tercekik, pengrajin ukiran juga terkena imbasnya. Karenanya, sistem distribusi kayu juga perlu mendapatkan perbaikan. Sebab, persediaan kayu di Indoensia hingga saat ini masih melimpah. Logikanya, jika terjadi kalangkaan berarti ada kesalahan dalam sistem distribusi. Semoga menjadi perhatian pemerintah. []
Selasa, 03 Maret 2009
Pudarnya Pesona Ukir Jepara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar