Oleh M Saifuddin Alia
Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Jateng, Peneliti di CES Jawa Tengah
SATU bulan sudah kita ditempa dengan berbagai macam ujian dan cobaan, melewati ujian dan cobaan sebagai proses penyucian serta pematangan mental spiritual kitan sehingga dapat menambah kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan inilah yang harus dijadikan modal utama untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang dijiwai oleh semangat toleransi. Mengingat puasa bukan saja merupakan karitas individual, tetapi juga dapat menunjuk pada transformasi sosial. Transformasi, mengutip definisi dari Dr Moeslim Abdurrahman (1955), merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukannya pemaksaan.
Tranformasi, dengan demikian, merupakan gerakan kultural yang didasarkan atas tiga syarat profetis sebagaimana diniscayakan Kuntowijoyo dengan me-refer surat Ali- Imran ayat 110, yaitu humanisasi atau emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar) dan transendensi (tu’minuuna billah). Itulah cita-cita profetis yang diidealkan Islam, yaitu upaya mendesain peradaban manusia ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris (Burhanuddin, 1999).
Apalagi secara konsepsial Alquran yang selalu kita baca selama bulan Ramadan ini telah membangun pondasi awal yang berpijak pada tiga pilar utama untuk membangun masyarakat yang plural, toleran, dan beradap; (1) persamaan manusia, (2) martabat manusia, dan (3) kebebasan manusia.
Khusus mengenai kebebasan manusia, Muhammad Tahir Azhari, menggarisbawahi lima hal, yaitu (1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, (3) kebebasan memiliki harta benda, (4) kebebasan berusaha dan memilih pekerjaan dan (5) kebebasan memilih tempat tinggal.
Bersifat universal
Itulah sesungguhnya pesan subtansial bersifat universal yang bisa kita ambil setelah menjalankan ritual puasa Ramadan yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari- hari lintas agama, suku, etnis, golongan, status sosial dan lain sebagainya.
Hal ini sangatlah penting untuk kita renungkan dan laksanakan mengingat sikap toleransi dalam berbangsa dan bernegara kita, kian hari semakin memprihatinkan. Sehingga acapkali masih terjadi adanya gesekan antarumat beragama bahkan tidak jarang seagama yang dapat mengganggu proses pembangunan nasional serta bisa membahayakan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Makanya, sebagai konsekwensi logisnya, umat Islam ke depan dalam memperjuangkan dan mendakwahkan ajaran Islam harus menggunakan cara bil hikmah wal mauidhatul hasanah. Jelasnya, dengan penuh kasih sayang, tutur kata yang lembut dan santun, sejuk, damai serta semangat toleransi yang tinggi, sebagaimana dicontohkan Nabi Agung Muhammad SAW. Bukannya berdakwah dengan cara kekerasan— seperti masih seringkali dipraktikkan oleh sebagian kecil umat Islam di Indonesia— yang justru nyata-nyata telah merugikan umat dan agama Islam itu sendiri.
Momentum Idul Fitri
Untuk itu, dalam momentum Idul Fitri, penulis mengajak seluruh umat Islam Indonesia, khususnya yang berdomisili di Jawa Tengah untuk senantiasa meneladani cara Nabi Muhammad SAW dalam mendakwahkan ajaran Islam. Di mana Muhammad SAW sebagai seorang rasul dan sekaligus menjadi pemimpin negara Madinah pada waktu itu, selalu bersikap lemah lembut, bijak, toleran dan selalu mengakomodasi semua kepentingan masyarakat tanpa mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan sedikitpun. Justru dengan cara seperti itulah menjadikan kepemimpinannya —baik kepemimpinan agama maupun negara— terhitung sukses.
Cara dan strategi seperti itulah yang diikuti dan dilaksanakan dengan konsisten oleh para penyebar Islam di tanah Jawa, Walisongo. Seperti yang tergambar jelas dalam berbagai literatur, metode dakwah Walisongo adalah bil hikmah wal mauidhatul hasanah yang sarat dengan akhlaqul karimah dan toleransi. Jauh dari praktik kekerasan, kebrutalan, caci maki dan teror, yang masih seringkali ditunjukkan oleh sebagian kecil umat Islam di tanah Jawa itu sendiri, justru dengan metode dakwah seperti itu Islam dapat diterima dengan baik serta bisa berkembang pesat di tanah Jawa, dan bahkan berhasil menjadi agama mayoritas di tanah air.
Inti ajaran Alquran
Yang harus kita catat dan renungkan, bahwa berdakwah dengan mengedepankan sikap akomodasi, humanisasi dan toleransi itu merupakan inti dari ajaran Alquran yang termaktub dalam Surat Al A’raf; ’’Sesungguhnya Kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk berkenal-kenalan”. Ayat ini, sungguh memberi wawasan pada kita bahwa keragaman, kemajemukan, dan pluralisme hidup manusia adalah realitas kehidupan di bumi.
Adapun pada aspek lainnya, ayat itu juga memiliki tujuan untuk menciptakan kesadaran kognitif manusia agar saling mengenal satu sama lain dalam suatu proses dan dialektika hidup bersama. Karena hanya dengan modal pluralitas dan kesadaran manusia itulah roda kehidupan dengan dinamika, dialektika dan perbedaannya dapat berjalan terus.
Namun sayang, seringkali kita (baca: umat Islam) sebagai warga Indonesia yang majemuk belum mampu menangkap pesan ilahiyah tentang toleransi dan pluralitas itu. Kita belum mampu menangkap dan menjadikannya sebagai potensi untuk memajukan peradaban umat manusia secara utuh. Malah kadang yang terjadi sebaliknya, toleransi dan pluralisme kita respon dengan sikap negatif serta tidak proporsional.
Tragisnya lagi, respon negatif atas toleransi dan pluralisme itu, seringkali diwarnai dengan perdebatan teologis antar atau sesama pemeluk agama. Hal ini tidak saja akan membawa perbedaan paham, pemikiran, dan penghayatan terhadap apa yang diyakininya, tetapi terkadang malah justru berakibat lebih fatal, yaitu pecahnya konflik fisik.
Padahal dalam Islam sendiri tidak mengenal adanya paksaan dalam beragama. Agama Islam lahir justru membawa perdamaian dan kemaslahatan umat. ’’Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya jalan hidup yang benar telah jelas berbeda dari jalan hidup yang sesat. Maka berangsiapa ingkar kepada tirani dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q. S. Al- Baqarah;: 256).
Jadi, jelaslah sudah bahwa missi mengajak umat manusia pada jalan kebenaran hendaknya didasari oleh semangat toleransi, seperti yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dan Walisongo di Jawa.
Alhasil, di Hari Raya Idul Fitri ini, kita dituntut mampu menemukan serta merealisasikan makna dan pesan universal yang terkandung di dalamnya. Terutama pesan toleransi dan pluralismenya sebagai modal utama hidup berbangsa di negara yang majemuk ini. Selamat Idul Fitri. []
[Opini, Wawasan 06 Oktober 2008]
1 komentar:
Smart Institute Jepara, blog kamu bagus deh. Saya kira kamu juga kreatif karena mampu membuat artikel sebagus ini. kamu rela membuang waktu dan pikiran untuk menghasilakan ide yang baik ini.
jangan pernah berhenti untuk menyumbangkan ide anda di blog ini. saya yakin blog ini pasti sangat bermanfaat.
Sukses terus deh brothe.
Posting Komentar