STIGMA yang melekat pada masyarakat Jepara, dan hingga kini belum sirna dalam kesadaran kolektif dari masyarakat luar kabupaten tersebut, adalah karakter materialisme dan hedonisme. Stigma tersebut begitu mengakar sehingga membawa dampak negatif dalam relasi sosial masyarakat Jepara dengan masyarakat kota sekitarnya.
Generalisasi stigma itu bahkan dikaitkan dengan mitologi tentang Ratu Kalinyamat yang pernah bertapa dengan telanjang, tanpa penutup apa pun. Cerita yang belum tentu benar tersebut disinyalir sebagai awal mula terjadinya dosa turunan. Karakter perempuan Jepara yang konon sithik isine serta matrealistik, kemudian dianggap sebagai sifat warisan Ratu Kalinyamat. Kalinyamat merupakan leluhur masyarakat Jepara yang kaya. Benarkah ada dosa turunan?
Stigma dalam bahasa lain merupakan bagian dari tindak kekerasan. Dalam istilah Gramsci, stigma disebut dengan kekerasan simbolik. Kekerasan dengan menggunakan simbol dan pencitraan, lebih nyata akibatnya daripada kekerasan dalam bentuk fisik.
Betul nyatanya, stigma matrealistik yang dilekatkan kepada warga Jepara benar-benar membawa dampak yang sangat besar. Saya sendiri, yang lahir di Jepara, ketika bertemu ataupun bertandang keluar kota, merasakan hal itu.
Asumsi di luar menyatakan, orang Jepara itu matrealistik dan adhi-adhi (banyak menuntut). Saya juga disebut demikian, dan menjadi korban kekerasan simbolik itu. Bahkan, ada sebagian orang yang menyatakan tidak akan menikah dengan orang Jepara, laki-laki maupun perempuan. Kekhawatiran mereka tidak lain karena karakter yang terkenal matre tersebut. Padahal tidak semuanya demikian.
Kemapanan Ekonomi
Jika mau jujur, sebenarnya karakter materialistik bisa ditemukan kapan dan di mana pun, serta bisa muncul dari siapa pun. Faktor paling utama membentuk karakter yang serbainstan dan selalu berorientasi kepada kebendaan itu adalah kemapanan ekonomi. Ya, kemampuan meme-nuhi kebutuhan dasar akan melahirkan budaya konsumeristik.
Pada zaman Jahiliyyah Arab, materialisme telah menjadi karakter umum mayarakat. Sebab, perdagangan ketika itu telah membawa kemajuan pada sektor ekonomi. Akhirnya, semuanya diukur dengan uang dan keuntungan.
Paradigma yang dipakai adalah empirisme dan rasionalisme. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan idealisme dan humanisme dikesampingkan.
Itulah, mengapa Nabi Muhammad saw di utus untuk mengembalikan nilai-nilai lama yang hancur karena budaya materialisme yang menjangkiti peradaban Arab ketika itu. Liutammima makarimal akhlaq (menyempurnakan akhlak-akhlak mulia), demikian bahasa hadis.
Dalam kesempatan lain, kita juga bisa menemukan karakter materialisme dalam peradaban Barat. Semua mengakui, Barat sangat materialistik dalam melihat realitas dunia. Apa Sebab? Kamajuan ekonomi mereka telah tercapai.
Lalu bagaimana dengan Jepara? Apakah pembangunan ekonominya telah mapan, sehingga melahirkan budaya materialistik?
Setiap orang Jepara, dalam pandangan masyarakat luar, dianggap kaya. Salah satu sebabnya adalah karena Jepara identik dengan kota ukir dan bisnis mebel yang dalam kacamata banyak orang "pasti" banyak duit.
Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, dan juga tidak selamanya salah. Memang, di daerah tertentu bisnis mebel melahirkan bangunan-bangunan bertingkat, seperti di Kecamatan Tahunan, Bangsri, dan Batealit. Namun di daerah lain, seperti Kecamatan Kedung, Keling, dan Kelet, kehidupan masyarakatnya masih banyak di bawah garis kemiskinan. Anda akan kesulitan menemukan gaya hidup materialisme di kecamatan-kecamatan tersebut, karena mata pencaharian masyarakat sekitar rata-rata adalah petani, buruh, dan nelayan.
Benang merah yang dapat ditarik adalah bahwa masyarakat Jepara tidak seluruhnya materialistik. Hanya kalangan tertentu saja yang demikian, yaitu yang mapan secara ekonomi (kebanyakan). Hal itu bisa ditemukan dalam setiap waktu dan tempat.
Bila dibandingkan, standar hidup penduduk Kota Semarang jauh lebih mapan daripada warga Jepara. Artinya, budaya komsumerisme berkembang lebih luas daripada Jepara.
Masalahnya, stigma materialisme yang jelas-jelas berdampak negatif terhadap relasi sosial itu, kadang dipertahankan oleh warga Jepara sendiri. Ketika orang lain mengatakan bahwa wong njeporo itu sugih dan matre, justru anggapan tersebut dibenarkan dengan perilakunya. Seakan-akan dia membenarkan asumsi tersebut, terutama para kaum "kartini"-nya. Karakter ngadhi-adhi dengan nyata ditampakkan kepada orang lain. Wajar bilamana stigma tersebut terus melekat.
Ada dua tokoh wanita dari Jepara yang sangat tersohor, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini. Sang Ratu adalah penguasa, sedangkan Kartini adalah korban budaya patriarki. Kalinyamat hedonis, sedangkan Kartini sosialis.
Lalu, mengapa karakter Kalinyamat lebih melekat daripada Kartini? Yang jelas, wong njeporo sendiri yang lebih tahu. Stigma materialis akan sirna jika warga Jepara mau berupaya menghilangkannya sendiri, bukan melegitimasi dengan sikap dan tindakannya sendiri. Sepertinya, hanya kaum miskin Jepara saja yang mampu melakukan. Semoga asumsi saya salah!
M ABDULLAH BADRI, Sekred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, anggota Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)
[Wacana Lokal, Suara Merdeka, 22 Mei 2008]
0 komentar:
Posting Komentar