Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus
Ritus puasa bukan hal baru bagi umat manusia. Hampir semua (untuk tidak menyebut keseluruhan) agama melakukan ritus ini. Orang-orang Kristen, Yahudi, Konfusianisme, Hindu, Tao, Jainisme, serta agama lama. Menurut Jalaluddin Rahmat (Bermain Politik Di Bulan Puasa: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer, 1998), tujuan ritus ini untuk bertaubat atau menyucikan diri.
Orang-orang Babylonia dan Asyyiria melakukan puasa sebagai salah satu bentuk pertaubatan. Orang-orang India Amarika dan Inca di Peru berpuasa untuk menolak bencana akibat dosa-dosa mereka. Orang Yahudi berpuasa sebagai pertaubatan dan penyucian diri pada tangal 10 Tishri, bulan ke tujuh dari tahun eklesiatik Yahudi jatuh pada September atau Oktober. Mereka menyebut hari puasa itu Yom Kapur (bahasa Ibrani yom hakkipurin, hari bertaubat) (hlm.116).
Ritus Ramadhan ini pun demikian, muaranya sama : pertaubatan. Untuk mencapai derajat ketaqwaan, seperti disiratkan dalam QS. Al Baqarah : 182, salah satunya, seorang muslim harus melalui pintu pertaubatan. Dengan menjalankan taubat berarti seorang muslim telah berjalan beberapa jengkal untuk mendekap derajat ketaqwaan.
Taubat di sini berarti totalitas meninggalkan segala perilaku dosa, perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah. Bukan Taubat Sambel, taubat yang diiringi perbuatan dosa. Model taubat tersebut, sesungguhnya hanya akan mengaburkan makna taubat itu sendiri. Karena simbol kesucian diri dalam taubat terkotori oleh perilaku dosa.
Korupsi
Praktik korupsi tergolong dosa. Karena praktik tersebut merampas hak liyan. Dalam wejangan Islam, seorang mukmin dilarang keras merampas sesuatu yang bukan haknya. Uang negara, misalnya, haram dikorupsi karena itu bukan hak milik angota dewan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.
Kita lupa bahwa korupsi dapat dilakukan siapa saja, meminjam istilah Sosiolog Clifford Geertz, mulai dari Abangan sampai Priyayi, yang bermuara pada kesengsaraan rakyat. Sebuah Puisi mbeling mengambarkannya : "Pejabat korupsi kuasa/ Pengusaha korupsi harta/ Ilmuan korupsi data/ Dosen korupsi angka/ Mahasiswa korupsi unjuk rasa/ Wartawan korupsi berita/ Ulama korupsi fatwa/ Lantas apa yang tersisa? Rakyat yang sengasara".
Mencermati puisi di atas, korupsi ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat, yang akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akan tetapi oleh semua orang, terlebih mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Barangkali korupsi yang dilakukan anggota dewan lebih berbahaya dari pada lainnya. Karena perumusan kebijakan pada bidang-bidang lain mengikuti alur yang dibuat pejabat. Jika pejabat memerhatikan rakyat, maka kebijakannya tidak berbau korupsi. Artinya rakyat akan sejahtera. Sehingga energi pemerintah memberantas korupsi tertumpu di sana. Meskipun demikian, korupsi yang dilakukan pihak lain akan tetap merugikan orang lain.
Terapi Moral
Salah satu fungsi puasa sebagai pertaubatan inilah, yang menjadikannya terapi moral untuk memenggal korupsi dari dalam. Jika upaya dari luar, berupa ancaman hukuman belum mampu membendung sikap korup, maka jalan inilah alternatifnya.
Sikap korupsi adalah permasalahan mental yang selalu berada dibalik raga, oleh sebab itu penanganannya haruslah dari dalam atau jiwa. Ini sejalan dengan pesan lagu Indonesia Raya yang menitahkan rakyat Indonesia untuk membangun bangsa dari dalam (jiwa) terlebih dahulu, setelah itu raga. "Bangunlah jiwanya bangunlah badannya/Untuk Indonesia Raya".
Sadar atau tidak umat Islam sedang menjalani terapi moral sebulan penuh. Idealnya puasa selama 29/30 hari mampu menundukkan sikap korup. Namun, sampai saat ini, tak satupun ritus puasa membekas. Buktinya korupusi masih merajalela. Telah berapa puluh kali kita menjalani terapi moral ini? Adakah yang salah dengan puasa ini ataukah kita yang lalai mewiridkan bulan Ramadhan di bulan selainnya?
Barangkali jawabannya terletak pada paradigma kita memandang puasa sebagai perintah saja. Kita tidak memosisikannya sebagai ajang peeampaan mental. Kita hanya menjadi fiil (objek), bukan fail (subjek). Meskipun sebagai perintah, puasa sesungguhnya merupakan terapi moral yang harus kita hayati fungsinya untuk mengobati sikap korup yang kita derita. Dengan cara sungguh-sungguh menjalankan perintah Allah di bulan puasa dan mendawamkannya hingga berjumpa bulan Ramadhan berikutnya. Semoga! []
[Jawa Pos Radar Kudus 7 September 2008]
Ritus puasa bukan hal baru bagi umat manusia. Hampir semua (untuk tidak menyebut keseluruhan) agama melakukan ritus ini. Orang-orang Kristen, Yahudi, Konfusianisme, Hindu, Tao, Jainisme, serta agama lama. Menurut Jalaluddin Rahmat (Bermain Politik Di Bulan Puasa: Puasa Menghadapi Hedonisme Kontemporer, 1998), tujuan ritus ini untuk bertaubat atau menyucikan diri.
Orang-orang Babylonia dan Asyyiria melakukan puasa sebagai salah satu bentuk pertaubatan. Orang-orang India Amarika dan Inca di Peru berpuasa untuk menolak bencana akibat dosa-dosa mereka. Orang Yahudi berpuasa sebagai pertaubatan dan penyucian diri pada tangal 10 Tishri, bulan ke tujuh dari tahun eklesiatik Yahudi jatuh pada September atau Oktober. Mereka menyebut hari puasa itu Yom Kapur (bahasa Ibrani yom hakkipurin, hari bertaubat) (hlm.116).
Ritus Ramadhan ini pun demikian, muaranya sama : pertaubatan. Untuk mencapai derajat ketaqwaan, seperti disiratkan dalam QS. Al Baqarah : 182, salah satunya, seorang muslim harus melalui pintu pertaubatan. Dengan menjalankan taubat berarti seorang muslim telah berjalan beberapa jengkal untuk mendekap derajat ketaqwaan.
Taubat di sini berarti totalitas meninggalkan segala perilaku dosa, perilaku yang bertentangan dengan aturan Allah. Bukan Taubat Sambel, taubat yang diiringi perbuatan dosa. Model taubat tersebut, sesungguhnya hanya akan mengaburkan makna taubat itu sendiri. Karena simbol kesucian diri dalam taubat terkotori oleh perilaku dosa.
Korupsi
Praktik korupsi tergolong dosa. Karena praktik tersebut merampas hak liyan. Dalam wejangan Islam, seorang mukmin dilarang keras merampas sesuatu yang bukan haknya. Uang negara, misalnya, haram dikorupsi karena itu bukan hak milik angota dewan, tetapi untuk kesejahteraan rakyat.
Kita lupa bahwa korupsi dapat dilakukan siapa saja, meminjam istilah Sosiolog Clifford Geertz, mulai dari Abangan sampai Priyayi, yang bermuara pada kesengsaraan rakyat. Sebuah Puisi mbeling mengambarkannya : "Pejabat korupsi kuasa/ Pengusaha korupsi harta/ Ilmuan korupsi data/ Dosen korupsi angka/ Mahasiswa korupsi unjuk rasa/ Wartawan korupsi berita/ Ulama korupsi fatwa/ Lantas apa yang tersisa? Rakyat yang sengasara".
Mencermati puisi di atas, korupsi ternyata tidak hanya dilakukan oleh pejabat, yang akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. Akan tetapi oleh semua orang, terlebih mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Barangkali korupsi yang dilakukan anggota dewan lebih berbahaya dari pada lainnya. Karena perumusan kebijakan pada bidang-bidang lain mengikuti alur yang dibuat pejabat. Jika pejabat memerhatikan rakyat, maka kebijakannya tidak berbau korupsi. Artinya rakyat akan sejahtera. Sehingga energi pemerintah memberantas korupsi tertumpu di sana. Meskipun demikian, korupsi yang dilakukan pihak lain akan tetap merugikan orang lain.
Terapi Moral
Salah satu fungsi puasa sebagai pertaubatan inilah, yang menjadikannya terapi moral untuk memenggal korupsi dari dalam. Jika upaya dari luar, berupa ancaman hukuman belum mampu membendung sikap korup, maka jalan inilah alternatifnya.
Sikap korupsi adalah permasalahan mental yang selalu berada dibalik raga, oleh sebab itu penanganannya haruslah dari dalam atau jiwa. Ini sejalan dengan pesan lagu Indonesia Raya yang menitahkan rakyat Indonesia untuk membangun bangsa dari dalam (jiwa) terlebih dahulu, setelah itu raga. "Bangunlah jiwanya bangunlah badannya/Untuk Indonesia Raya".
Sadar atau tidak umat Islam sedang menjalani terapi moral sebulan penuh. Idealnya puasa selama 29/30 hari mampu menundukkan sikap korup. Namun, sampai saat ini, tak satupun ritus puasa membekas. Buktinya korupusi masih merajalela. Telah berapa puluh kali kita menjalani terapi moral ini? Adakah yang salah dengan puasa ini ataukah kita yang lalai mewiridkan bulan Ramadhan di bulan selainnya?
Barangkali jawabannya terletak pada paradigma kita memandang puasa sebagai perintah saja. Kita tidak memosisikannya sebagai ajang peeampaan mental. Kita hanya menjadi fiil (objek), bukan fail (subjek). Meskipun sebagai perintah, puasa sesungguhnya merupakan terapi moral yang harus kita hayati fungsinya untuk mengobati sikap korup yang kita derita. Dengan cara sungguh-sungguh menjalankan perintah Allah di bulan puasa dan mendawamkannya hingga berjumpa bulan Ramadhan berikutnya. Semoga! []
[Jawa Pos Radar Kudus 7 September 2008]
0 komentar:
Posting Komentar