Sabtu, 27 Februari 2010

Mengembalikan Citra Pantai Kartini

SUARA MERDEKA, 27 FEBRUARI 2010

Oleh M Saifuddin Alia

BEBERAPA waktu lalu penulis bersama keluarga berlibur ke tempat wisata paling populer di Jepara, yaitu Pantai Kartini. Objek wisata kebanggaan warga Jepara itu telah mengalami kemajuan pesat sehingga benar-benar menarik dikunjungi.

Maka tidak mengherankan bila Pantai Kartini setiap harinya tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi pada saat liburan hari Minggu dan hari-hari besar lainnya, pantai itu dipadati wisatawan, baik dari Jepara maupun dari kota lain, semisal dari Kudus, Demak, Pati, Rembang, Purwodadi, atau Semarang.

Keberhasilan pengelola objek wisata Pantai Kartini menggaet banyak pengunjung tidak terlepas dari keadaannya sekarang. Wisatawan selain dapat menikmati indahnya pantai, dapat berlayar menggunakan perahu atau kapal kecil ke Pulau Panjang dengan tarif relatif terjangkau. Juga relatif aman karena ombaknya tidak terlalu besar.

Sesampainya di Pulau Panjang, wisatawan bisa menikmati indahnya pantai pasir putih. Di sana mereka dapat melihat-lihat aneka jenis burung. Tentunya bisa sekaligus berwisata religi, yaitu berziarah ke makam salah satu waliyullah, As-Syaikh Abu Bakar bin Yahya.

Kemenarikan Pantai Kartini tidak hanya terletak pada wisata pantai atau lautnya tetapi karena objek tersebut kini telah dilengkapi dengan beraneka ragam permainan. Terutama permainan anak-anak yang terbilang cukup lengkap untuk lingkup daerah. Juga tersedia tempat yang berfungsi sebagai panggung hiburan yang cukup memadai, yang setiap hari libur tidak pernah absen menampilkan sajian grup musik dangdut ataupun pop, baik lokal maupun nasional.

Khusus bagi pecinta wisata kuliner, di objek wisata pantai ini tersedia beraneka menu masakan yang lezat. Pengunjung bisa dengan mudah memilih menu kesukaannya di warung-warung yang tersedia. Soal harga, jangan khawatir karena dijamin wajar dan cukup terjangkau.

Dengan kondisi seperti itu, cukup pantas bila objek wisata tersebut selalu dibanjiri pengunjung. Namun sayang, saat berjalan-jalan menikmati indahnya Pantai Kartini, sebagian pengunjung mengungkapkan keprihatinannya. Betapa tidak? Kondisi bangunan kura-kura raksasa yang berada di tengah-tengah objek wisata yang rencananya akan dijadikan sebagai Sea World-nya Jepara itu sangat memprihatinkan.

Setelah pada pertengahan dan penghujung tahun 2009 mendapat desakan dan tuntutan secara bertubi-tubi dari anggota DPRD, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, dan elemen masyarakat agar bangunan itu segera diselesaikan, faktanya hingga kini keadaannya belum mengalami perubahan. Masih tetap kotor serta terbengkalai alias belum bisa difungsikan.
Lebih parah lagi setiap datang hujan atap bangunan kura-kura raksasa yang tampak berdiri megah itu juga pada bocor. Siripnya terlihat retak-retak, lantainya juga mulai rusak dan sebagainya.

Anggaran Perawatan Makanya dengan melihat secara langsung kondisi bangunan tersebut masih seperti itu, penulis menilai sangat wajar dan sudah sepantasnya bila pembangunan Kura-kura Raksasa yang diprakarsai Pemkab Jepara tersebut dinilai oleh sebagian masyarakat Jepara lebih banyak ruginya. Sebagai gambaran, hingga kini uang rakyat yang dipakai untuk membangun sekurang-kurangnya Rp 8 miliar. Nilai yang cukup fantastis. Anggaran sebanyak itu masih ditambah lagi dengan kucuran anggaran perawatan setiap tahun lewat APBD. Padahal faktanya pemasukan dari kura-kura raksasa masih nol besar, alias nihil, karena memang belum bisa difungsikan.

Untuk itu, sudah seharusnya Pemkab Jepara segera membenahi secara total. Pemkab jangan sampai terkesan cuek dan membiarkan proyek itu terbengkalai. Apalagi sampai ada kesan di masyarakat bahwa Pemkab kurang bertanggung jawab atas aset yang pembangunannya menelan uang rakyat miliaran rupiah.

Sebagai pemrakarsa, Pemkab hendaknya secepatnya membuktikan kepada rakyat, bahwa proyek tersebut bukan menghambur-hamburkan uang rakyat melainkan justru menguntungkan masyarakat.

Seperti yang selalu diungkapkan Bupati H Hendro Martojo di berbagai kesempatan, bahwa tujuan utama dibangunnya Kura-kura Raksasa adalah sebagai Sea World-nya Jepara.

Pembangunan itu nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif pada masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi dan kepariwisataan. Jadi, cukuplah jelas bahwa memang tidak ada alasan lagi untuk menunda-menunda menyelesaikan serta menyempurnakan bangunan tersebut.

Tujuannya satu yakni agar bangunan itu dapat bermanfaat dan dinikmati oleh masyarakat Jepara serta wisatawan pada umumnya. Jadi tidak ada lagi keprihatinan di Pantai Kartini. Sekali lagi untuk Pemkab, selamat bekerja keras dan selamat membuktikan kepada masyarakat dan wisatawan. (10)

Senin, 01 Februari 2010

Sesama Suporter Bersaudara

Suara Merdeka, 01 Februari 2010

Bagaimanakah seharusnya kita menyikapi insiden pecegatan dan penyerangan terhadap rombongan suporter Persijap Jepara oleh sekelompok orang yang disebut-sebut sebagai oknum kelompok suporter sepak bola di Semarang? Yang paling awal tentulah keprihatinan mendalam, karena peristiwa itu sudah memasuki wilayah kriminal ketimbang sekadar urusan dukung-mendukung tim sepak bola. Apa pun keterkaitannya dengan urusan masa lalu, kenyataannya yang terjadi pada Jumat malam lalu itu adalah tindak kejahatan.


Berikutnya adalah tanda tanya, apa yang sebenarnya dicari oleh kelompok penyerang itu: menghadang dan merusak bus rombongan Jepara yang akan menonton pertandingan Persijap di Jakarta? Kalau hanya dilatarbelakangi oleh dendam atas sejumlah peristiwa bentrok tahun-tahun silam, keuntungan apa yang mereka dapat kecuali hanya mudah ditandai telah melakukan tindak kejahatan penyerangan? Modus yang tampak terencana makin menumbuhkan pertanyaan: siapa aktor intelektualnya, dan apa motivasinya?

Semarang dan Jepara adalah dua entitas sepak bola yang sama-sama memiliki pendukung fanatik. Namun realitas dalam sejarah persebaran prestasi menunjukkan, jika salah satu tim mewakili entitas lebih luas – dalam hal ini region Jawa Tengah – ke tingkat lebih tinggi, publik dua entitas itu bersatu padu sebagai pendukung. Kesadaran sebagai saudara melekat dalam komunitas provinsial. Ide mulia inilah yang mestinya digalang bersama antara para petinggi kelompok suporter, juga institusi-institusi dalam kepemimpinan formal.

Kita selalu memahami jiwa keberpihakan yang mengendap di alam bawah sadar dalam urusan persuporteran sepak bola. Bukan hanya di Tanah Air, di banyak negara pun fanatisme bisa bergerak ke arah vandalisme dan anarkisme, yang kemudian menumbuhkan banyak analisis tentang kemungkinan sepak bola menjadi medium ekspresi bagi naluri-naluri tribalitas. Banyak kemungkinan adanya kepentingan atau ekspresi lain yang ”menumpang”, yang sebenarnya sangat jauh di luar lapangan dan urusan sepak bola.

Gagasan dan langkah-langkah ideal mengusung persuporteran sebagai suatu gerakan entertainment dalam memberi dukungan kepada tim kesayangan, selalu berhadapan dengan politisasi ekspresi-ekspresi lain itu. Maka sepak bola pun kerap dianalogikan sebagai ”jagat kecil” yang merefleksikan apa yang tengah dihadapi suatu bangsa atau kelompok di ”jagat besar”. Fenomena suporter bandha nekat (bonek) merupakan salah satu contoh pantulan dari ekspresi publik yang menghadapi tekanan-tekanan hidup keseharian.

Apa pun latar belakangnya, secara hukum kita tidak boleh menoleransi ketika ekspresi-ekspresi itu sudah menerbitkan gangguan atau bahkan ancaman bagi keselamatan, ketertiban, dan kenyamanan hidup masyarakat. Jangan ada apologi atau justifikasi. Kita memang harus menyelesaikan banyak soal di tingkat kehidupan rakyat, namun kekerasan yang muncul sebagai bias dari dunia persuporteran tetap menjadi tanggung jawab aparat hukum. Tindakan untuk menciptakan efek jera harus konsisten kita tegakkan.