Rabu, 30 Desember 2009

Merenungi Kasus Rapor di Jepara

Suara Merdeka, 30 Desember 2009

Ironi dalam dunia pendidikan kita muncul lagi. Jargon pendidikan gratis yang disampaikan oleh sejumlah kepala daerah sering tidak paralel dengan realitas di lapangan. Bahkan, hanya karena masih menunggak uang gedung sebesar Rp 50 ribu — dari jumlah Rp 300 ribu — , seorang siswi di sebuah SMP negeri di Jepara tidak diperkenankan untuk mengambil rapor. Tragisnya, siswi putri seorang buruh mebeler tersebut merasa tertekan dan frustrasi, lalu sempat mencoba bunuh diri. Bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus itu?

Kepala sekolah yang menerapkan peraturan tentang uang gedung dan persyaratan dalam pengambilan rapor, boleh jadi tidak membayangkan akibat sefatal itu bagi siswinya. Tetapi itulah ekses, tekanan-tekanan psikologis yang mungkin tak terperhitungkan ketika segala sesuatu sudah diukur dari uang. Apalagi sebenarnya terdapat peraturan mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi pendidikan dasar baik SD maupun SMP. Peraturan Bupati Jepara 2009 tentang Pendidikan juga menjabarkan kebijakan tersebut.

Kita menilai wajar jika kemudian muncul kecaman dan pendapat dari berbagai kalangan pendidikan di Jepara. Bagaimanapun, kasus tersebut merupakan sebuah pelajaran yang sangat pahit. Apakah otoritas sekolah tidak memiliki jalan keluar dengan nalar yang ”out of the box”, yakni dengan melewati sekat-sekat yang sekadar normatif, untuk memberi keniscayaan bagi si siswi agar tetap bisa mengambil rapornya? Padahal bukankah rapor merupakan hak mengetahui hasil pembelajarannya selama satu semester?

Secara tersirat dan tersurat, realitas di tingkat lapangan pun terbentang. Uang sebesar Rp 50 ribu ternyata bukan jumlah yang mudah bagi kalangan tertentu. Sebaliknya, bisa menjadi jumlah sangat tak berarti bagi yang lain. Namun ketika jumlah yang kecil itu bisa menimbulkan akibat tak terduga, terutama terkait dengan hak atas akses pendidikan, maka kiranya kita perlu menyikapinya secara hati-hati dan sangat bijak. Dana BOS sebenarnya merupakan bagian dari jalan keluar, sehingga pengefektifannya perlu didorong dan dikawal.

Plus-minus larangan pemungutan iuran pendidikan tentu saja ada. Apakah berupa pengaruh terhadap mobilitas operasional dan mutu proses pembelajaran, atau mungkin pengaruh-pengaruh yang lain. Tetapi kapan kita melangkah ke realisasi pemaksimalan hak atas akses pendidikan bagi seluruh warga negara, jika penerapan pungutan untuk item-item tertentu tetap diperkenankan, yang bahkan pernah berlangsung secara tidak terkendali? Bisa disimpulkan sendiri, apakah kasus rapor di Jepara merupakan akibat atau bukan.

Kita hanya berharap, ”geger rapor” itu tidak akan menyulut sikap negatif pihak sekolah terhadap siswi tersebut. Struktur lembaga pendidikan di Jepara, juga lembaga-lembaga ”pengawas” di tingkat masyarakat harus ikut mengawal agar sorotan yang muncul ke sekolah tidak menyebabkan si siswi yang kemudian dirugikan. Dibutuhkan dialog terbuka, lalu langkah-langkah untuk menyikapi kasus tersebut agar tidak menjadi preseden, di mana pun. Bukan tidak mungkin, model-model sikap serupa juga masih ada di sekolah yang lain.

Selasa, 29 Desember 2009

Optimalisasi Peran Blog Sekolah

Suara Merdeka, 29 Desember 2009

Oleh Syaiful Mustaqim
pengelola blog aktif di Smart Institute Jepara

DI Kabupaten Jepara ada dua blog sekolah (madrasah) yang menurut hemat penulis memiliki nilai lebih. Selain tampilannya menarik, admin (pengelola) senantiasa memperbarui isinya, yakni blog milik Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan, pengelola kadang menuliskan reportase (berita) tentang kegiatan sekolah.

Satunya lagi, blog yang dikelola oleh sivitas akademika Madrasah Aliyah (MA) Matholi’ul Huda Troso Pengelola secara keseluruhan menuliskan berita kegiatan sekolah.

Terdapat perbedaan yang mencolok antara keduanya, sebagian besar berita yang di-posting di blog Walisongo merupakan kliping media (berita yang dipublikasikan di media), adapun blog Matholi’ul Huda pemberitaan murni dari pengelola.

Sayangnya kedua blog tersebut hanya dikelola oleh seorang, artinya penulis berita, artikel, esai, ataupun kolom hanya ditulis seorang ataupun sekadar mengunduh berita sekolah yang telah dipublikasikan di media. Selebihnya, hanya mengambil artikel di web-web.

Berbeda dari sekolah lain, blog malah belum dikelola sebagaimana mestinya. Hanya memuat profil dan kurikulum, sementara mengenai kegiatan sekolah tidak dipublikasikan di media online tersebut. Ada pula yang hanya memiliki alamat blog sehingga boleh dikata sebagai ajang coba-coba.

Sayangnya, di era teknologi informasi seperti saat ini masih banyak sekolah (madrasah) yang belum memiliki media online tersebut.

Blog sekolah memang dikelola seorang pengelola. Tetapi seluruh elemen yang ada di lembaga pendidikan semestinya berpartisipasi mengoptimalkan peran blog itu.

Dibutuhkan kerja sama antara pengelola, siswa dan guru. Pengurus OSIS ataupun seluruh kegiatan ekstrakulikuler di sekolah berkewajiban mewartakan hasil kegiatannya.

Bisa saja siswa menuliskan karya-karyanya sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga guru bisa memonitoring siswa-siswinya yang memiliki bakat.

Guru pun demikian, perlu menuliskan karyanya sesuai dengan disiplin keilmuannya. Misalnya artikel tentang pendidikan, hukum, sosial, ekonomi, agama, sastra, budaya, seni dan sebagainya.
Mempermudah Melalui kerja sama tersebut nantinya seluruh elemen yang ada di sekolah ikut berperan sehingga hal itu akan mempermudah kerja pengelola. Artinya, berbagai tulisan dikirimkan oleh guru, siswa, serta khalayak umum, sementara pengelola hanya mem-posting dan menata perwajahannya.

Media berfungsi untuk menginformasikan kepada pembaca. Semisal media cetak, di kalangan sekolah bisa berupa buletin, tabloid, ataupun majalah yang juga berperan menginformasikan kepada seluruh elemen sekolah atau masyarakat umum.

Media elektronik pun demikian. Sementara media online, selain mempunyai peran yang sama keberadaannya bisa diakses oleh seluruh dunia. Hal itulah keuntungan lebih yang dimiliki oleh media online.

Di samping sebagai media informasi, blog sekolah dapat dijadikan wadah untuk berekspresi dan berkreasi seluruh elemen sekolah. Sehingga antara sekolah satu dan yang lain memiliki ciri khas tersendiri, baik dari karya yang dimuat, pemikiran yang disampaikan, maupun kritik yang dilontarkan.

Nantinya ciri khas tersebut yang akan membedakan daya intelektual dan kecenderungan arah berpikir sivitas akademika.

Penulis menyayangkan apabila terdapat blog sekolah yang hanya berisi profil, guru, dan kurikulum, serta tidak meng-up date-nya dengan posting-an terbaru, hanya memiliki alamat blog saja ataupun beberapa sekolah di Jepara hingga kini belum memiliki media online.

Padahal jika dikelola dengan baik secara tidak langsung akan mempromosikan sekolah kepada khalayak.

Media promosi yang penulis maksud tidak hanya berisi profil dan foto guru saja.

Khalayak akan lebih tertarik jika sekolah aktif (melakukan kegiatan ataupun berprestasi). Keaktifan itu dipublikasikan dalam blog yang dikelola sekolah. Hal itu memungkinkan tidak hanya penduduk sekitar saja yang akan memasuki sekolah tetapi daerah lain pun tertarik.

Selama ini, optimalisasi peran blog sekolah di Jepara masih sangat minim padahal fungsinya sangat banyak hal itu dipengaruhi minimnya tradisi menulis serta belum maksimalnya sosialisasi pentingnya blog bagi masyarakat (sekolah) yang mengakibatkan masyarakat enggan untuk mengelolanya.

Seyogianya, pemerintah kabupaten bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk menyosialisasikan pentingnya blog di sekolah. Kemudian, diperlukan monitoring (pengawasan) kepada sekolah-sekolah agar blog itu dikelola secara terus menerus. (10)

Sabtu, 26 Desember 2009

Tren Baru Pop Religi Jepara

Suara Merdeka, 26 Desember 2009

Oleh M Abdullah Badri
peneliti budaya di Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

SELAMA ini, masyarakat Jepara dikenal sebagai warga yang memiliki minat relatif tinggi terhadap musik dangdut. Hampir setiap malam, jika mau melakukan safari ke pelosok dan sudut desa di Kota Ukir itu,

Anda tidak akan kesulitan menemukan pergelaran orkes dangdut utuh atau organ tunggal.

Apalagi ketika banyak warga sedang melangsungkan gawe besar keluarga, semacam nikahan dan sunatan. Bahkan untuk tasyakuran haji atau umrah, tidak jarang dirayakan dengan dangdutan.

Tontonan gratis itu membuat masyarakat berdatangan, berdesak-desakan menikmati musik khas Indonesia itu, ngibing (bergoyang) bareng, yang seringkali memicu timbulnya kekerasan antarpenonton.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, ada banyak polisi diterjunkan untuk mengondisikan penonton orkes. Dangdutan memang hiburan, namun juga berarti ancaman keamanan dan ketertiban.

Ratusan atau bahkan mencapai angka ribuan manusia yang hadir di arena jika tidak dikondisikan sedemikian rupa oleh aparat, bukan tidak mungkin, dan bahkan sering, menimbulkan kekacauan.

Sekarang euforia dangdut di Jepara telah digeser oleh keriuhan lain yang barangkali dianggap lebih positif, yakni maulidan (perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW). Beberapa bulan terakhir, hampir setiap malam ada perhelatan acara maulidan di mana-mana.

Seperti memiliki idola, ketika tokoh agama itu membacakan teks maulid Nabi dalam acara tersebut, orang ber-bondong-bondong menyimak suara merdu yang dilantunkan olehnya serta nasihat-nasihatnya, baik yang berkaitan dengan problem agama maupun sosial humaniora. Habib Syekh bin Abdul Qodir. Ya, itulah nama idola baru masyarakat Jepara belakangan ini.

Orang yang sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan keagamaan, mengikuti arus baru itu, menghadiri acara tersebut. Sekadar melepaskan rasa penasaran atau memang ia ingin menjadi aktor yang terlibat langsung.

Bukan hanya warga sekitar yang hadir, orang luar kota juga tidak jarang mengikuti ke mana pun sang idola manggung. Penggemarnya juga berasal dari berbagai kalangan. Tua, muda, anak-anak, pedagang asongan, petani, santri, abangan, semua mengikuti syair arab yang dilantunkan itu.

Hafal Seperti sebuah konser musik populer, hampir semua penonton bisa mengikuti syair-syair atau nyanyian lagu pujian kepada Nabi Muhammad yang dibawakannya.

Bahkan saking seringnya mengikuti acara yang sama, ada yang hafal kumpulan syair yang tersusun hingga puluhan halaman itu, di luar kepala. Kumpulan syair pujian tersebut bernama Simtud Duror, karya Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsy, pujangga kelahiran Hadramaut, Yaman.

Yang menarik adalah euforia praktik keagamaan itu ternyata menyedot ribuan hadirin. Pernah suatu ketika dalam malam yang sama di desa yang sama, orkesan dangdut dan maulidan diadakan bersamaan oleh dua orang bertetangga.

Namun kuantitas penikmat dangdut ternyata tidak bisa melebihi tumpahnya hadirin yang mengikuti pangajian maulidan itu, mengikuti idola baru itu. Orang lebih memilih menghadiri pengajian daripada dangdutan. Mengapa?

Barangkali ada dua hal menarik sebagai penggambaran karakter sosial dan kultur budaya masyarakat Jepara. Pertama, ketertarikan masyarakat terhadap acara keagamaan seperti maulidan adalah karena mayoritas penduduknya masih memegang teguh nilai dan tradisi yang sudah berlaku sejak lama.

Kedua, mereka merindukan suasana baru yang lebih aman daripada dangdutan yang kadang melahirkan kecemasan pribadi dan sosial, namun masih dalam suasana yang menghibur serta menyajikan nilai tambah dalam peningkatan pengetahuan dan spiritual.

Acara maulidan itu bukan hanya membacakan dan melantunkan bait menjadi lagu merdu, namun juga ada keterangan tambahan dari pembicara, idola baru itu.

Bahkan, dalam kesempatan tertentu, disediakan waktu khusus kepada hadirin untuk memberikan pertanyaan kepada pembicara itu. Hal yang tidak didapati dalam pertunjukan orkes dangdut.

Dengan mengikuti acara itu, orang akan lebih dekat dengan teks sejarah kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad. Namun jika dilihat secara substansial, acara yang mulanya dimaksudkan untuk tujuan dakwah menjadi seperti pertunjukkan konser musik band, yang semata untuk mencari hiburan dan keriuhan sensasi.

Bagaimana tidak, tutur kata yang dilontarkan tidak lebih banyak daripada syair arab yang dilagukan dengan iringan rebana itu. Hiburan bukan iringan, tapi menjelma tujuan. (10)

Kamis, 26 November 2009

Kurban dan Komunikasi

Sumber: Suara Merdeka, 26 November 2009

Oleh Akhmad Efendi SPdI
guru di Madrasah Aliyah Wahid Hasyim Bangsri Jepara

BEGITU
banyak pesan yang terkandung dalam peristiwa kurban. Makna yang sering muncul dalam momentum peringatan Idul Adha adalah agar setiap manusia berusaha menghilangkan ego dan membunuh sifat-sifat kebinatangannya. Sifat-sifat negatif itu lantas diganti dengan keinginan untuk mendekat diri kepada Allah.

Dalam tulisan ini, saya mencoba memberi makna lain dalam peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim atas perintah Allah terhadap putranya, Nabi Ismail, yang kemudian diganti dengan domba dari surga.
Nilai penting yang juga terkandung dalam kisah itu adalah ajakan yang sangat jelas untuk mengedepankan proses komunikasi.

Ibrahim yang berposisi sebagai seorang bapak tidak bertindak otoriter dalam memberi instruksi terhadap anaknya Ismail meski mendapat perintah dari Allah. Ibrahim justru mengajak diskusi Ismail dalam artian meminta pendapat tentang mimpi yang dialaminya.

Proses komunikasi harmonis yang terjalin dalam hubungan bapak-anak itu sejatinya juga menjadi pesan yang tidak kalah penting. Dalam peristiwa itu, yang dikedepankan adalah sikap saling legawa untuk menerima peran masing-masing.

Di tengah gonjang-ganjing nasional mulai dari peristiwa bencana, kecelakaan, hingga kasus korupsi, masyarakat kita semestinya tetap menjaga jalinan komunikasi agar bangsa ini tidak makin terpuruk. Saling bertukar pendapat agar sikap apatis terhadap bangsa tidak semakin parah.

Terlebih dalam dunia pendidikan yang juga sedang dilanda banyak isu. Rencana pengubahan format pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang digulirkan Mendiknas Muhammad Nuh jelas sangat memerlukan sosialisasi dan komunikasi dengan banyak pihak.

Rasional
Berkaca pada kisah Ibrahim, meski mendapat banyak kritikan, Mendiknas harus bisa membangun komunikasi dengan penjelasan yang rasional terkait rencana-rencana pembenahan pedidikan nasional. Hal itu diperlukan sebagai rangkaian proses tesis, antitesis, dan sintesis.

Di ranah praksis, masih bermunculan kasus-kasus kekerasan oknum guru terhadap murid dalam proses belajar mengajar. Hal itu terjadi dikarenakan buntunya komunikasi antara guru dengan murid. Hasilnya, relasi yang terbangun tidak untuk bekerja sama meraih hasil belajar yang baik, tetapi keinginan saling menaklukkan.

Hal ini perlu diperhatikan para guru agar tidak menjadikannya sebagai cara berpikir. Perlu diingat kembali proses belajar mengajar adalah sebuah sistem yang termasuk di dalamnya adalah guru, murid, dan metode yang membutuhkan kerja sama harmonis.

Semoga dalam momentum peringatan Idul Adha ini, seluruh elemen bangsa semakin cerdas dalam berkomunikasi. Sehingga kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi semakin mengecil. (45)

Senin, 09 November 2009

Guru Profesional, Bukan Tawaran

Sumber: Suara Merdeka, 09 November 2009

Oleh M Saifuddin Alia
guru MTs Negeri Wirosari Grobogan dan Madrasah Aliyah Ismailiyyah Jepara


TULISAN
Agus Wibowo, ”Menjadi Guru Profesional” (Suara Merdeka, 12/10) menarik dikajirenungkan. Khususnya, bagi guru yang telah menerima tunjangan profesi. Apalagi pemberlakuan PP Nomor 41 Tahun 2009 berupa realisasi tunjangan guru ke depan selalu melekat pada gaji setiap bulan (Suara Merdeka, 21/10). Jadi sepantasnyalah bila mereka tergugah oleh tulisan Agus Wibowo tersebut.

Inti tulisan itu, secara keseluruhan, menuntut para guru yang telah menerima peningkatan kesejahteraan berupa berbagai tunjangan, terutama tunjangan profesi, bisa berlaku secara profesional. Itu berarti mereka mampu menjadi pendidik profesional. Nah, pertanyaannya sekarang, sudahkah mereka menjadi guru profesional?

Bila jawabannya sudah, mereka wajib mempertahankan dan meningkatkan. Namun bila jawabannya belum, mereka sepaturnya berjuang untuk secepatnya menjadi guru profesional. Mengingat, menjadi guru profesional saat ini bukanlah tawaran, melainkan suatu keniscayaan atau kewajiban bagi setiap pendidik.

Memang, menurut pendapat Langeveld, guru hanyalah salah satu dari lima komponen penting dalam pendidikan. Namun jika dilihat dari realitas saat ini, guru mempunyai posisi paling vital di antara komponen-komponen lain dalam pendidikan.

Sebab, guru merupakan penentu pola dan warna komponen lain. Maka tak berlebihan jika dalam budaya masyarakat Jawa dikenal istilah guru kuwi sumur kang lumaku tinimba.

Bagaimanapun harapan masyarakat sekarang terhadap guru masih sangat tinggi.

Karena, masyarakat yakin hanya di tangan gurulah, harapan untuk membangun generasi penerus yang lebih berkualitas dapat terwujud.

Harapan masyarakat terhadap guru itu tidaklah berlebihan, mengingat guru hakikatnya adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan anak didik.

Nah, mengingat tugas, tanggung jawab, serta peran guru begitu besar, setiap guru dituntut selalu profesional dalam melaksanakan tugas kependidikan.

Dan, untuk dapat dikatakan profesional, setidak-tidaknya seorang guru harus memiliki kemampuan dasar yang sering disebut kompetensi.

Pertama, guru mesti mampu menguasai landasan kependidikan. Kedua, menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah dan menguasai bahan pendalaman bidang studi. Ketiga, mampu memanfaatkan sumber dan media belajar. Keempat, mampu mengorganisasikan materi dan program belajar.

Kelima, menguasai serta mampu memilih dan melaksanakan metode pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran tertentu. Keenam, mampu mengelola kelas dan interaksi belajar-mengajar. Ketujuh, mampu mengetahui dan menggunakan assessment siswa. Kedelapan, mampu mengenal fungsi program bimbingan konseling.

Kesembilan, mampu mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah dengan baik. Kesepuluh, mampu memahami hasil-hasil penelitian pendidikan untuk keperluan pengajaran.

Akhirnya, itulah minimal kompetensi profesional yang harus dimiliki setiap guru. Bila seluruh guru di Tanah Air, terutama guru yang telah memperoleh tunjangan profesi, mempunyai kompetensi tersebut, niscaya mutu pendidikan ke depan akan makin baik. (53)

Senin, 02 November 2009

Penyelamatan Pulau Panjang Jepara

Sumber: Suara Merdeka, 02 Nopember 2009

Oleh Muh Khamdan
pemerhati kajian pembangunan dan fungsional widyaiswara di BPSDM Depkumham RI

Pengakuan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Jepara Achid Setiawan mengenai kerusakan pesisir pantai Jepara dan beberapa pulau sungguh memprihatinkan.

Hal demikian setidaknya memiliki korelasi dengan hasil penelitian Sri Puryono Karto Soedomo bahwa hampir keseluruhan hutan mangrove di pantura dalam kondisi rusak; sekitar 96,95 persen yang tentunya meliputi wilayah Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, sampai pada Rembang.

Rusaknya pesona kealamian hutan mangrove seiring dengan krisis lingkungan secara global yang meningkatkan kualitas pemanasan global menjadi dentum ancaman menyusutnya luas daratan secara keseluruhan.

Terlebih melemahnya kualitas lingkungan pesisir Jepara yang ditandai ancaman abrasi telah menghapus beberapa wilayah daratan Desa Bulak.

Kerusakan yang terjadi dulu dan sekarang ini memang tidak disebabkan oleh satu faktor berupa alih fungsi lahan, begitu banyak faktor yang membuat proses abrasi semakin akut, yaitu hilang atau ketiadaan hutan mangrove sebagai vegetasi hijau asli pesisir.

Pertanyaan sekarang apa yang harus dilakukan? Tidak bisa lain pemerintah daerah (Pemda) dalam lintasan jalur Pantai Utara, termasuk Kabupaten Jepara harus membuat gerakan bersama berupa Mangrove Center. Sebuah gerakan lintas sektoral yang berfungsi untuk membudidayakan ragam jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi pesisir yang berbeda-beda.

Selain itu, Mangrove Center juga memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil secara holistik.

Artinya, menjaga agar kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan.

Langkah demikian karena memahami bahwa terjadi siklus alam yang saling berpengaruh. Vegetasi pesisir berupa mangrove dalam aspek biologinya merupakan tempat berpijahnya udang, ikan, dan kepiting. Adapun untuk aspek kimiawinya mampu menyerap polutan.

Untuk itu, jika mangrove gundul maka polutan dari udara maupun daerah hulu tidak bisa lagi dinetralisasi karena ketiadaan fungsi hutan yang menghasilkan oksigen dan menyerap CO2 serta polutan-polutan lain.

Terlebih hutan mangrove adalah tameng untuk memecah sekaligus penahan gelombang laut yang besar karena selama ini infrastruktur fisik seperti breakwater dari beton yang menelan dana ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah tidak mampu menekan laju abrasi kawasan pesisir.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut adalah mengintegrasikan ekonomi ke dalam lingkungan. Untuk menjamin pembangunan berwawasan lingkungan tersebut, terdapat tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan.

Pertama, dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi.

Kedua, dimensi politik yang mencakup proses politik yang menentukan penampilan pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan.

Ketiga, dimensi sosial budaya yang mengaitkan antara tradisi atau sejarah dengan dominasi teknologi, pola pemikiran, dan agama.

Salah satu masalah besar dalam orientasi pembangunan yang berlangsung selama ini adalah adanya kebiasan terhadap kota.

Masyarakat-masyarakat pesisir tersingkir dengan lingkungan huniannya sendiri karena adanya perumahan atau hotel di kawasan pantai dengan slogan ’’kota di desa’’.

Bahkan ada semacam kesengajaan dengan berdirinya kawasan industri atau pabrik olahan di sepanjang pantai.

Daerah pantai harus diperuntukkan bagi ruang publik berupa rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata agar tidak tereksploitasi secara massif.

Karena setelah diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah justru terjadi percepatan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan.

Jackson melalui bukunya Crabgrass Frontier (1985) memaparkan adanya tren masyarakat modern melakukan perpindahan dari pusat kota menuju pinggir kota.

Maka pernyataan Jackson yang lebih dari dua puluh tahun tersebut menjadi pembenaran ketika sekarang usaha properti bangkit dengan menawarkan surga hunian secara besar-besaran melalui ekspansi daerah pinggiran kota.

Ironisnya itu menjorok menuju kawasan pesisir pantai karena keindahan. Argumentasi penghematan lahan perkotaan yang kian menyempit serta mengurangi masalah psikologis masyarakat perkotaan dan gaya hidup back to village justru mengancam kawasan vegetasi alam pesisir berupa hutan mangrove.

Pergumulan dari perebutan wacana tersebut adalah amanat eksplisit bahwa lingkungan menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, pasal 28 Bab XA UUD 1945 tentang HAM.

Sebagaimana lingkaran tematis Peter L Berger dalam Pyramids of Sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.

Untuk kepentingan pembangunan hunian atau industri dan objek lainnya, hutan mangrove yang berkaitan dengan ekosisitem pesisir mengalami kerusakan. Imbasnya, penangkapan secara berlebihan (over fishing) yang mengancam pasokan ikan di Laut Jawa tidak mampu diimbangi adanya klaster perikanan lain seperti udang yang sangat tergantung keberadaan hutan mangrove.

Dengan demikian, lebih cepat lebih baik terwujudnya Mangrove Center sebagai polisi atas vegetasi hijau dan lingkungan pesisir seiring dengan keberadaan Perda Pesisir untuk kesejahteraan masyarakat pesisir kembali. (80)

Jumat, 23 Oktober 2009

Kali Gelis Siapa yang Punya?

Sumber: Suara Merdeka, 23 Oktober 2009

Oleh Masruri
pengamat masalah sosial, tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati


Ketika investor sulit masuk wilayah Sirahan, penambang kemudian memilih lokasi sekitar 800 meter ke arah selatan. Itulah Kali Gelis yang berbatasan antara Desa Payak, Cluwak, Pati dan Desa Damarwulan, Keling, Jepara.

Ketika penambangan di lokasi tersebut sudah berlangsung enam bulan, reaksi penolakan mulai muncul dari warga Damarwulan yang mengklaim, areal penambangan berada di wilayahnya.

Sementara, pihak penambang meyakini areal tersebut masuk Desa Payak, Cluwak, Pati.

Selain klaim wilayah, keberatan warga Damarwulan terhadap penambangan tersebut karena melibatkan alat angkut puluhan armada truk.

Dalam kalkulasi mereka, akan terjadi ketidakseimbangan antara material (batu dan pasir) yang diangkut, dengan yang datang secara alami pada musim banjir.

Karena itu, adalah wajar jika kemudian muncul kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup, juga sekaligus kecemburuan sosial karena masyarakat (di mana pun) memiliki image bahwa alam terdekat adalah “milik” masyarakat setempat.

Munculnya penambangan baru yang dilengkapi alat angkut lebih besar memberikan kesan bahwa milik mereka dikeruk, dibawa (keluar), dan yang menikmati hanya segelintir orang saja.

Beberapa penambang tradisional dan petani yang memanfaatkan bantaran Kali Gelis untuk membuka lahan persawahan pun menggerutu, “Kula namung kebagian blumbang ipun,” yang artinya saya hanya kebagian lubang bekas penambangan.
Tempo Dulu Kali Gelis seperempat abad silam adalah sungai yang bening dengan debet air yang melimpah. Sungai yang dalam legenda masyarakat pernah dilewati kapal Dampo Awang saat akan menemui Sunan Muria itu, kini mulai kehilangan keindahannya.

Kali Gelis kini sudah menjadi areal persawahan dan penambangan. Saat musim kemarau, Kali Gelis berubah menjadi hamparan bebatuan dan pasir.

Hanya sedikit air yang mengalir seakan membenarkan ramalan Jayabaya bahwa sebagian dari tanda datangnya zaman akhir adalah ketika sungai mulai kehilangan kedung.

Kali Gelis yang selama ini diposisikan sebagai “milik bersama” oleh warga yang tinggal di perbatasan Kabupaten Pati dengan Jepara, kini berubah fungsi menjadi “sungai industri”. Maka, pertanyaan pun muncul, kali ini milik siapa?

Tentang klaim batas wilayah, awal tahun 80-an pernah terjadi ketika warga Damarwulan mengklaim sawah yang berlokasi di tengah-tengah Kali Gelis, tepatnya di persil 97a yang sudah bertahun-tahun digarap warga Sirahan.

Dari peta berjudul “Resident Jepara Rembang” Pati - Tajoe Regentshap Distrik Desa Bakalan - Sirahan No. 72 = 70 in een blad Schaal 1 : 5000 yang disalin petugas pengairan bernama Mustamin tertanggal 6 September 1955 itu menunjukkan tanah (sawah) di tengah Kali Gelis itu masuk wilayah Desa Bakalan-Sirahan.

Pada peta tersebut, tertera Kali Gelis yang berada di wilayah paling barat Desa Sirahan masuk wilayah Pati.

Artinya, jika saat ini muncul klaim bahwa lokasi penambangan di Kali Gelis yang berada di selatan Desa Sirahan atau di antara wilayah Payang dengan Damarwulan, logikanya juga masuk wilayah Payak, Cluwak, Pati.

Namun, keterangan Kades Damarwulan, Keling, Jepara yang meyakini areal penambangan berada di wilayahnya juga harus dihargai.

Menurutnya, sebelum banjir bandang yang meluluhlantakkan areal persawahan di bantaran Kali Gelis tahun 2000, posisi alur Kali Gelis berada di sebelah timur areal penambangan.

Karena banjir bandang itu menyebabkan alur sungai bergeser ke arah barat. Artinya, lokasi yang saat ini ditambang disinyalir bekas sawah yang dulu digarap warga Damarwulan.

Keyakinan lain bahwa areal penambangan itu masuk wilayah Damarwulan karena di sebelah timur Kali Gelis - posisi saat ini - ada beberapa petak tanah (sawah) berleter C atas nama warga Damarwulan.

Negatifnya, petani yang menggarap lahan sawah di bawah lokasi penambangan mengkhawatirkan aktivitas penambangan mengakibatkan makin rendahnya posisi dasar sungai sehingga air tidak bisa naik mengairi sawah mereka.

Kompromi dengan latar belakang ekonomi biasanya lebih rasional dan sangat mungkin terjadi.

Namun jika aktivitas penambangan itu tidak memerhatikan kelestarian alam, hingga menyebabkan terganggunya kebutuhan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari menambang atau kemungkinan matinya jalur irigasi, maka warga tentu sepakat mengatakan: “Kalau air sudah tidak ada, manusia tidak bisa makan uang.’’ (80)

Senin, 19 Oktober 2009

Pengembangan Usaha Mikro

Sumber: Suara Merdeka, 19 Oktober 2009

Oleh Siti Rohmah
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang

Selama ini, usaha mikro hanya bergerak tanpa pendampingan dari pemerintah. Akibatnya, problem-problem yang ada di kalangan pengusaha mikro ini tidak bisa dideteksi. Contohnya adalah usaha batu bata di kawasan Demak, Semarang, Kudus, dan Jepara.

Kajian ini akan memperlihatkan secara deskriptif problem di Demak. Desa Karangsono yang terletak di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak terkenal dengan batu bata Penggaron, di sini terdapat 300 pengrajin batu bata.

Hampir setiap pengrajin memiliki beberapa karyawan yang dipekerjakan untuk membuat batu bata, sehingga hal ini sangat membantu perekonomian warga.

Nama Penggaron diambil dari nama salah satu kecamatan di Kota Semarang, tepatnya di daerah perbatasan Semarang-Demak. Itu diambil karena mengikuti pasaran walaupun tidak dibuat di Penggaron tapi karakteristiknya sama seperti batu bata di Penggaron. Selain batu bata penggaron ada juga jenis batu bata lain, yaitu batu bata Welahan dan Kudus.

Menyewa Tempat Namun ternyata masih banyak dari pengrajin batu bata yang masih menyewa tempat untuk proses pembuatan batu bata, tempat disewa selama beberapa tahun, setelah waktu penyewaan telah habis maka pengrajin batu bata harus mencari tempat penyewaan lain.

Meskipun hal ini sama-sama menguntungkan bagi pemilik tanah dan pengrajin batu bata, namun apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, maka akan menimbulkan masalah bagi pengrajin batu bata yang tidak mempunyai lahan. Harga sewa tanah semakin tahun akan terus naik.

Yang dituntut oleh para pengrajin batu bata adalah penyediaan bahan baku sebagai bagian dari mekanisme produksi dan tentang kesinambungan usaha terkait dengan status pengrajin batu bata.

Batu bata Penggaron terkenal kuat, tidak mudah patah, posturnya kasar dan pori-porinya yang banyak sedangkan batu bata Welahan dan kudus hampir sama. Kelebihannya batu batanya lebih halus, tidak kasar dan pori-porinya sedikit.

Cara pembuatan batu bata Penggaron memakai bahan dari tanah liat, brambut (kulit padi) dan kawul (limbah industri kayu yang kecil-kecil yang didapat dari industri pabrik kayu). Sedangkan batu bata Welahan dan Kudus memakai tanah liat dan brambut saja.

Sederhana Cara pengolahan batu bata Penggaron sederhana. Tanah biasa dicangkul dan dicacah kemudian disiram dengan air sampai hancur, setelah itu diberi brambut dan kawul. Campuran itu kemudian dicangkul dan diinjak-injak sampai homogen (menjadi satu). Hal itu diulang-ulang terus sampai tiga kali.

Setelah menjadi satu bahan siap dicetak menggunakan cetakan kayu, setelah batu bata aga kering batu bata ditata sigir (miring). Setelah kering batu bata dibawa ke Linggan (tempat pembakaran).

Biasanya kalau sudah terkumpul minimal 50.000 biji batu bata baru dibakar menggunakan kayu bakar, kayu bekas potongan gergaji atau kayu lebihan yang tidak dipakai. Limbah kayu dibeli di pabrik-pabrik kayu dengan harga Rp 1.800.000 pertruk. Proses pembakaran lebih memakan waktu sekitar 24-30 jam.

Setelah selesai dibakar batu bata dibongkar dan ditata dengan rapi sedangkan batu bata Welahan dan Kudus prosesnya hampir sama dengan batu bata Penggaron.

Bedanya dalam proses pembakaran hanya menggunakan brambut. Biasanya brambut dibeli dengan harga Rp 500.000 - Rp 600.000 per truk. Banyaknya batu bata yang dibakar minimal 10.000 biji.

Dari segi pemasaran antara batu bata Penggaron, Welahan dan Kudus hampir sama yaitu pembeli langsung datang atau menghubungi pengrajin batu bata.

Setelah itu batu bata akan dikirim ke tempat tujuan. Kalau dari segi harga batu bata Penggaron lebih murah dibanding dengan batu bata Welahan dan Kudus. Untuk saat ini harga batu bata penggaron Rp 270 per biji, batu bata Welahan Rp 300 per biji, batu bata Kudus 400 per biji.

Kendala yang dihadapi oleh pengrajin batu bata, kalau musim kemarau sering kekurangan air, padahal untuk proses pembuatan air adalah komponen yang sangat penting, namun hal itu dapat diatasi oleh pengrajin dengan membuat sumur di sawah yang dekat dengan lokasi pembuatan batu bata. Kalau air tidak mau keluar maka sumur dibor sampai keluar.

Kalau musim penghujan kendalanya adalah batu bata tidak bisa kering dalam waktu cepat sehingga mengakibatkan kenaikan harga di pasaran karena kekurangan stock.

Selama ini dapat diatasi dengan cara menyimpan persediaan stock untuk musim penghujan sehingga di saat musim penghujan tidak akan kekurangan stock bagi konsumen.

Rekomendasi yang diharapkan oleh pengrajin batu bata adalah tindak lanjut dari pemerintah secara intensif dalam bentuk modal yang berupa kredit lunak. Ini diambil dari subsidi nonenergi sekitar 83 trilyun untuk kemajuan ekonomi mikro dan industri dalam skala kecil.

Perlu pula pendampingan dalam usaha informal sehingga para pengrajin batu bata mampu mengembangkan usahanya secara mandiri dan tidak tergantung pada penyewaan lahan. (80)

Kamis, 15 Oktober 2009

Mudahnya Dapat Sarjana di Jepara

Sumber: Suara Merdeka, 15 Oktober 2009

Oleh Rhobi Shani, S.Pd
alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Semarang, tinggal di Tahunan Jepara

Di Jepara banyak beredar sarjana karbitan, terutama sarjana pendidikan (SPd). Pasalnya, proses kuliah memperoleh gelar tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 60/1999. Selain itu, diduga menyalahi surat edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti Nomor 595/D5.1/2007 terhitung sejak tanggal 27 Februari 2007.

Surat yang ditandatangani Satryo Soemantri Brodjonegoro melarang model Kelas Jauh dan Kelas Sabtu-Minggu. Surat yang ditujukan kepada Rektor Institut/ Universitas Negeri, Ketua Sekolah Tinggi Negeri, dan Koordi-nator Kopertis Wilayah I-XII tersebut menetapkan bahwa ijazah kuliah kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.

Surat edaran tersebut pun sudah ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabu-paten Jepara. Surat edaran keluaran Pemkab Jepara yang ditujukan kepada pimpinan instansi sekolah dan dinas. Isinya serupa dengan surat edaran Dirjen Dikti, yaitu mengintruksikan ijazah yang diperoleh dari perkuliahan kelas jauh dan Sabtu-Minggu tidak sah dan tidak dapat digunakan terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karier/ penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI, dan Polri.

Sayang, surat edaran itu tak dikaji dan ditindaklanjuti jajaran Pemkab Jepara. Misalnya, dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2008 banyak pelamar yang menggunakan ijazah hasil kuliah jarak jauh. Seperti yang diberitakan Suara Merdeka (28/9).

Ijazah dua calon CPNS guru bahasa Jawa formasi 2008 yang diragukan oleh Badan Kepegawaian Nasional adalah ijazah hasil perkuliahan Jarak Jauh di Universitas Veteran (Univet) Sukoharjo yang diselengarakan di Jepara.

Salah satu mahasiswa berinisial MS menceritakan proses perkuliahan yang menyalahi aturan itu. Mahasiswa angkatan 2005 itu sebelumnya bekerja di Pabrik Karung Pecangaan menceritakan, perkuliahan dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu Jumat dan Minggu.

Sumber lain menceritakan, ada tenaga pengajarnya tidak dosen, melainkan guru SMP yang mengajar Bahasa Jawa. Dari proses perkulihan ini sudah tampak jelas telah menyalahi surat edran Dirjen Dikti.

Dalam pemebritaan media ini (28/9) proses kuliah tersebut dilaksanakan di gedung milik SMP N 1 Mlonggo. Kemudian, proses perkuliahan dipindahkan ke Desa Kedungcino.

Tak salah jika ijazah yang diperoleh dari kelas jauh dan Sabtu-Minggu ini dianggap tidak sah karena ada kesengajaan dari pihak perguruan tinggi mempermudah proses mendapatkan gelar sarjana.

Pada proses perkuliahan kelas jauh yang diselenggarakan Univet Sukohar-jo di Jepara tampak tak serius. Ini terjadi pada masa Praktik Profesi Lapangan (PPL) yang dilakukan mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang melaksanakan PPL tidak mengajar sesuai bidang studi jurusan kuliah yang diambil.

Seorang guru tersebut menceritakan bahwa dalam perangkat pembelajaran, misalnya Rancangan Proses Pembelajaran (RPP) tidak tercantum nama mata pelajaran. Padahal, dalam perangkat pembelajaran nama mata pelajaran adalah hal pokok yang harus dicantumkan.

Melihat peluang menjadi PNS guru bahasa Jawa cukup besar, banyak masyarakat Jepara mengikuti perkuliahan jarak jauh yang diselenggarakan Univet.

Mayoritas mahasiswa kelas jauh Univet adalah mereka yang sudah bekerja. Di antaranya telah menjadi guru tidak tetap SD dengan menggunakan ijazah DII.

Salah seorang dosen Jurusan Bahasa Jawa Univet Sukoharjo, Masukardi, mengakui instansinya memang menyelenggarakan kuliah Jarak Jauh.

Namun, baginya itu tak menjadi soal, sebab perkuliahan dilakukan dengan tatap muka. Berbeda dengan UT yang tak melaklukan perkulihan tatap muka. Dia menambahkan, kualifikasi tenaga pengajar di UT tidak bisa menjadi jaminan.

Apa yang disampaikan dosen tersebut jelas, pihak Univet menyalahi atauran Dirjen Dikti, yaitu memaksakan diri melaksanakan perkuliahan jarak jauh.

Sebetulnya, pelaksanaan perkuliahan jarak jauh boleh-boleh saja asalkan perkuliahan yang diselenggarakan UT. Sebab hanya UT diperbolehkan. Selain itu, bagi mahasiswa kelas jauh atau Sabtu-Minggu yang sudah bekerja harus ada surat izin kuliah dari pimpinan instansi tempat bekerja.

Persoalan ini saya kembalikan kepada pemerintah Kabupaten Jepara. Apakah akan mempekerjakan orang-orang yang memperoleh gelar sarjana dengan cara seperti itu. Atau berani mengambil sikap tegas menolak sarjana-sarjana karbitan tersebut. Sebagai guru saya prihatin akan kondisi ini. (80)

Kamis, 01 Oktober 2009

Dari yang Lirih Sampai yang Lantang

Sumber: Annida, 01 September 2009


Cerpen Adi Zam Zam


Apakah kalian pernah mendengar nama Negeri Kegelapan?

Negeri itu adalah tempat di mana kalian yang mengaku berani membela kebenaran dan keadilan diculik dan lalu disiksa hingga kelian menyerah. Apakah kalian benar-benar teguh pendirian, ataukah sekedar pandai memulas bibir dengan segala kalimat megah akan segera terlihat nanti. Jarang ada yang bisa melepaskan diri dari sana. Andai kau sanggup melepaskan diri dari mereka, kau pun tak kan bisa menikmati kehidupan normalmu dengan tenang dan nyaman. Hidupmu akan rusak dan bahkan mungkin kau akan bunuh diri jika imanmu tidak benar-benar karang.

Kalian ingin tahu di mana letak Negeri Kegelapan?

Jangan tanya aku. Sebenarnya aku hanya tahu sedikit dari cerita mereka yang berhasil meloloskan diridari Negeri Kegelapan. Aku dan teman-temanku bahkan sedang memburu letak tempat itu, karena ayahku adalah salah seorang yang disekap oleh mereka, dan hingga detik ini beliau telah benar-benar lenyap dari kehidupan ini. Bahkan kuburnya pun.


***


"Aku ndak bisa, Bu."
"Ndak bisa bagaimana? Pantang bagi seorang gadis menolak lamaran seseorang..." suara di ujung telepon meninggi.
"Pantang?" potongku.
"Maksud Ibu, kau tak boleh menolak jodoh yang diberikan Tuhan, Nduk. Teddy itu pemuda baik-baik, sudah mapan, anaknya juga kelihatannya bakti sama orang tua."
"Ibu tahu dari mana?"
"Pokoknya Ibu sudah mencari tahu semuanya. Menyesal kalau kamu sampai menolaknya."
"Aku lebih menyesal kalau sampai putus kuliah, Bu."
"Siapa bilang kamu akan samapai putus kuliah. Ini cuma pertunangan dulu, baru kemudian..."
"Berarti dia sanggup menunggu tiga tahun lagi? Lima tahun?"
"Lin!" suara diseberang naik beberapa oktaf. Marah besar kelihatannya.
"Sampai aku menyelesaikan sebuah buku sejarah."
"Buku sejarah?" Pasti beliau melongo.

Aku tersenyum mendengar reakasi Ibu. "Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Ayah". Ayah adalah bagian yang tak terpisahkan dari masa lalu dan masa depanku. Aku tahu, jika kalimatku sudah sampai subjek Ayah, pasti kemudian Ibu akan melunak.
"Apakah menikah bagimu adalah hambatan?" Pelan tapi bermaksud menohok.
"Untuk minggu-minggu ini Lina ndak bisa, Bu."
"Kalau begitu kapan kmau bisanya?"
"Kenapa Ibu sampai mati-matian begitu sih?"
Terdengar tarikan nafas. "Kalau kamu punya dua atau tiga anak perempuan, nanti kau akan tahu bagaimana pikiran Ibumu saat ini."

Entah perlakuan macam apa yang telah diperolehnya hingga keadaannya menjadi mengenaskan begitu. Ia hanya menggambar, menggambar, dan menggambar seolah-olah ratusan kertas belum cukup. Ia seperti tak mau mengingat dan tak mau diingatkan tentang sebulan keberadaannya yang entah. "Saat itu dia hanya pamit ingin ke warnet," jawab ibunya saat pertama kami bertamu sesudah kabar kepulangannya kembali. Perempuan itu seumuran Ibuku. Sama-sama seorang janda pula, yang harus tegar untuk menghidupi anak-anaknya seorang diri. Padanya beliau punya tanggungan yang mungkin lebih berat. Ada lima perut yang masih setia meminta belas kasih dari jerih payahnya sebagai seorang pedagang pakaian. Sedang Ibuku hanya punya tiga tanggungan.

"Ternyata setelah pagi itu dia tak pulang-pulang," beliau meneruskan kalimatnya.
Kami bisa memahami perasaan beliau sama seperti memahami perasaan kami sendiri. Ti"ga-empat hari sekali bolak balik ke kantor polisi untuk menanyakan kabar pencarian mereka. Kesana-kemari bertanya ke "orang-orang pintar" itu juga bisa kami setarakan dengan jerih payah kami menghubungi berbagai LSM ke pelosok Kabupaten. Dan aku yakin, setiap malam pun beliau pasti terserang insomnia karena doa-doanya. Secara pribadi aku bahkan merasa berdosa kepada beliau karena akulah yang awal mula menyeret putra sulungnya itu ke ranah paling berbahaya ini.

Aku tahu dari setiap curhat anaknya kepadaku bahwa sang Ibu itu melarang keras anaknya untuk terjun di kancah peperangan ini. Saat ku pamerkan cerita bahwa Ayahku adalah salah seorang pejuang pembebas hak-hak orang tertindas. Tama langsung menyatakan kesediaannya meneyrahkan segala keberanian masa mudanya untuk bergabung dengan gerbong sepak terjangku. Aku yakin, saat itu si Ibu mengalah sejenak karena semangat Tama yang sulit dipadamkan. Dan sekarang pradugaku terbukti.

Si Ibu itu terkadang memperlihatkan raut masam saat kami berkali-kali bertamu. Meski aku tahu segala pransangka layaknya tak patut dipelihara, namun jika keadaan terus menerus semakin tak membaik, apakah harus diabaikan semua kekeliruan kecil itu? Tentu saja tidak. Maka kemudian kami beri pengertian kepada si Ibu bahwa segala tindakan kami sebenarnya memiliki tujuan mulia. Jika para orang tua kami selalu menanamkan benih-benih kemuliaan, bukankah pohonnya kelak akan berbuah kemuliaan pula?

Akhirnya kami ceritakan kepada si Ibu itu sampai sedetil-detilnya. Tentang bagaimana cara kami menggalang suara dan kekuatan. Tentang pergerakan-pergerakan bawah tanah yang kami rintis untuk sebuah masa depan yang sesuai dalam mimpi kami bersama. Juga tentang segala resiko karena kami telah nekat memilih dunia itu. Hingga si Ibu yang malang itu mulai memahami.

"Dia diantar seorang warga yang menemukannya tergeletak di teras rumahnya. Untung orang itu melihat foto Tama di koran. Kondisinya sangat menyedihkan," si Ibu itu terdiam sejenak untuk mengatur emosi. "Ada banyak bercak darah di pakaiannya. Bahkan saat itu dia tidak bisa bicara sepatah kata pun untuk minta tolong," suara si Ibu mengecil, menggiriskan siapa pun yang mendengar apalagi melihatnya. Air matanya telah menganak sungai.
"Apa dia cerita mengenai siapa orang-orang itu, Bu?" tanyaku.
"Aku malah ingin dia melupakan semuanya...," si Ibu mengusap air matanya.


***
Sebenarnya yang kami harapkan bukanlah kesembuhan fisiknya semata. Tapi kenangan dalam setiap mili memorinya adalah sangat penting untuk kami, karena Tegor dan Rusli juga hilang terkurung dalam ingatan itu. Jika ia tak berani mengingat, maka ke mana lagi kami harus mengendus jejak? "Kau harus mengingatnya, Tam. Kau harus bisa! Nasib Tegor dan Rusli ada di tanganmu!"

"Kau harus sabar, Jo!" sergah Ratna.
"Bersabar? Bahkan nyawa kita pun mungkin sekrang sedang terancam!" Pemuda asal Semarang itu terlihat setengah putus asa. Bolak-balik kesana-kemari seolah ruang kamar ini cukup luas untuk langkah gelisahnya.

Setiap kami paksa Tama untuk mengingat, maka tubuh yang seperti kehilangan ruh itu tiba-tiba saja marah. Mengamuk. Semua buku gambarnya ia sobek-sobek. Semua benda yang teraih dibanting. Menangis, meraung. Memukul-mukul kepalanya. Dan membuat kami harus berurusan dengan si Ibu lagi.

"Ada apa ini? Kalian sudah janji tak akan menyakitinya lagi kan?" Dan sialnya hanya si Ibu yang sanggup menenangkan pemuda yang kembali bocah itu.
"Huh! Percuma berkawan dengan pengecut yang takut siksaan!"
"Apa maksudmu?" Ratna menghadang Tarjo di pintu.
"Maksudku dia itu pengecut!" Tarjo menuding ke arah Tama.
Plakk!
"Jangan bertengkar di rumahku!"
"Apa berani kau menggantikannya menerima siksaan itu? Ini hanya soal keberuntungan saja bahwa bukan kau yang diambil!" Ratna meradang.
"Terserah! Tapi kenyataannya memang begitu kan?!" Tarjo menepis tangan Ratna yang mengahdang di pintu.

"Kalau tahu begini, tak akan kuijinkan kalian ke sini. Tak akan ku beritahu kalian tentang kepulangannya. Kalian semua memang anak-anak nakal...," hati si Ibu itu kembali pecah berkeping. Semenatar Tama seperti bocah yang tangisnya berdengung dalam dekapan induknya.
Aku rasa keegoisan memang selalu akan melukai.


***


Semula aku juga sangat egois seperti Tarjo, memaksa Tama untuk menggambar apa saja tentang ingatannya yang masih tersisa. Tapi kemudian aku tersadar saat aku menengok diriku sendiri. Saat semua kenangan indahku bersama Ayah kadang berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan, aku mulai memahami kondisi Tama. Air mata selalu tak terkendali jika Ayah tiba-tiba tersenyum dalam khayalanku.

"Dia mengatakan sesuatu, Lin! Tama ingin mengatakan sesuatu!" Ratna seperti baru menang undian. Tapi saat kulihat Tama yang masih seperti kehilangan selera memandang kehidupan, hatiku kecut.

"Lihatlah apa yang digambarnya," tangan Ratna memanggilku dari buku-buku koleksi Tama.
Ah, masih tak ada kemajuan. Masih hanya coretan tak beraturan. Tapi emmang sudah ada yang hampir membentuk gambar. Manusia-manusia kurus? Siapa yang bisa menangkap isyaratnya?
"Apa? Ayo katakan. Jangan takut kepada kami, katakanlah." Ratna mendekatkan telinganya.
"Lari..." suara itu seperti hembusan angin.
"Lari?" aku turut mendekat. Selama beberapa detik aku bisa melihat cahaya di kedua matanya. Ruhnya telah kembalikah?
"Rusli...Tagor..." hembusan itu semakin jelas.
"Iya, Rusli dan Tagor. Di mana?" Ratna menggenggam tangan itu.
"Tembak..."
"Ditembak?" tanya Ratna.
Tapi percuma. Mata itu kembali kehilangan cahaya. Tubuhnya kembali berguncang. Tangisnya sulit ditenangkan.
"Sebaliknya kita tidak terlalu memaksanya," ujarku.
"Tapi tadi..."
"Biarkan dia yang menemukan caranya sendiri."


***
"Apa kau yang mengatur semuanya, Lin?" suara di seberang terdengar begitu sinis. "Mengatur apa, Rat?
"Jangan munafik! Kenapa kau tega berbuat demikian? Kau tahu apa akibatnya jika para wartawan sampai tahu musibah yang menimpa Tama kan? Apa kau lupa pesan Ibunya Tama bahwa dia tidak boleh diusik lagi oleh siapapun? Kau egois!"
"Itu ulah Tarjo."
"Tapi kau mengetahuinya kan?!" suara itu marah.
"Dia bilang ke aku sesudah dia menyebarkan cerita itu di millis, Rat."
"Kalau kau tak menyetujuinya, kenapa kau biarkan aku tak tahu apa-apa?! Kau kejam sekali, tega memanfaatkan teman demi..."
"Ketidakadilan harus dilawan, Rat!"
Hanya terdengar suara isak di seberang.

"Dan itu tidak cukup jika hanya pulau Jawa saja. Seluruhpelosok tanah air kita ini harus melawan, Rat. Mereka punya kekuasaan, kita juga punya kekuatan. Ini sudah resiko, Rat." Tanpa sadar aku terbius kalimat Tarjo.
"Dapat upah berpaa kamu dari stasiun televisi itu?"
"Apa?"
"Dibayar berapa kamu oleh reporter yang kemarin datang ke rumah Tama?!"
Telepon itu ditutup seketika. Menyisakan sesak yang datang tiba-tiba.


***

Jika kalian telah tahu atau pernah mendengar penyiksaan macam apa yang dilakukan oleh orang-orang Negeri Kegelapan, masih beranikah kalian bersuara meski lirih demi sebuah keyakinan? Seharusnnya jika kalian telah bulat memilih menjadi malaikat, aklaian harus berani berkata "ya" untuk tiada lelah apalagi gentar menantang mereka yang telah memilih menjadi setan.

Saat itu pukul satu dinihari tepat saat Ratna tersedu-sedu di ujung telepon.
"Tama telah pergi, Lin. Tama telah pergi. Ibunya baru saja meneleponku. Katakan ke Tarjo, buat yang lebih besar lagi, Lin. Gerakkan semua teman-teman kita agar mereka tak berani meremehkan kita lagi. Luka Tama harus kita balas, Lin. Luka Tama harus dibayar..."
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun... Jam berapa, Rat? Kapan jenazahnya dimakamkan?"


***

Wajah lelah perempuan paruh baya itu semakin kentara saat dengan khidmatnya meneguk the hangat yang ku suguhkan. "Kenapa Ibu tak mengajak Nita dan Fida?"
"Mereka juga sama sibuknya seperti kamu, jadi biarlah. Oh ya, kemarin Nita menonton wawancara eksklusif kalian."

Tak ada yang bisa aku komentari tentang hal itu. Pada akhirnya kami telah melantangkan suara untuk menentang. Kami tahu semuanya pasti belum berakhir hanya sampai di sini.

"Kamu dan teman-temanmu harus berhati-hati, Lin."
"Ibu mau mie?" Aku coba rileks.
"Ayahmu dulu juga begitu, selalu tak kehabisan cara untuk melantangkan suara. Sampai-sampai kuliahnya terbengkalai. Apa kamu kira Ayahmu sudah sarjana? Dari kenal Ibu sampai beranak-pinak ternyata ayahmu tak pernah bisa menamatkan studinya. Dan begitulah kahirnya. Majalah yang dipimpinnya dibreidel, buku-bukunya diharamkan, bahkan ia dibungkam untuk selama-lamanya. Butuh kecerdasan sendiri untuk mengatur langkah, Lin."

"Pasti ada masalah penting sampai-sampai Ibu datang ke sini langsung." Kubawakan puding sisa praktek teman-temanku tadi malam.
"Iya, memang ada kabar penting untukmu." Perempuan itu menatapku lekat.
"Tentang...?"
"Teddy, dia tidak jadi melamarmu."
Gantian wajah itu yang kuamati lekat-lekat. Lalu aku memeluknya erat.

"Aku tidak apa-apa, Lin. Ibu pikir itu malah bagus kalau akhirnya dia mundur. Mungkin dia tidak setuju dengan sepak terjangmu. Ibu juga tak ingin kau mendapatkan pendamping yang tak bisa seia-sekata mendukungmu, mengayomimu. Jadi..."

Maafkan anakmu ini, Bu. Aku sungguh tak bermaksud mengecewakanmu. Aku tahu resiko jalan yang ku tempuh. Dari yang lirih dari hati nurani hingga menjadi yang lantang dan membahayakan, aku tahu ada harga yang mersti dibayar. Dan itu tak cukup hanya dengan air mata.

"...jadi jangan tajut berbuat kebaikan karena Ibu akan selalu berada disampingmu."
Kedua mataku menghangat.


***

Kalinyamatan-Jepara, 90780

Senin, 28 September 2009

Makna Simbolik Syawalan

Sumber: Suara Merdeka, 28 September 2009

Oleh Prof Dr Mudjahirin Thohir
antropolog Undip

Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian
kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.

Orang Jawa mengenal tiga ’’hari raya’’, yaitu Bada Besar, Bada Gedhe, dan Bada Kupat. Bada Besar. Kadang disebut juga Hari Raya Haji, menunjuk pada Idhul Adha (10 Dzulhijjah). Bada Gedhe, atau terkadang disebut Hari Raya Lebaran, adalah istilah lain dari Idul Fitri. Sementara Bada Kupat disebut juga Bada Syawal adalah hari raya yang merujuk pada tanggal 8 Syawal. Seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.

Kata ’’bada’’ sinonim dengan kata ’’lebar’’. Bada adalah pelafalan lidah Jawa atas kata ”bakda” (bhs. Arab). Namun demikian, istilah ’’lebaran’’ hanya diacukan pada Idul Fitri. Mengapa? Karena orang Islam secara massif berlebaran atau menyudahi atau ’’selesai dari’’ menjalankan puasa Ramadan selama sebulan.

Dalam praktiknya, istilah bakda (baca: bada) menunjuk pada waktu yang besar atau yang dibesarkan yang perlu diperingati terutama oleh orang Islam. Karena itu, secara sosiologis, istilah itu diduga muncul pertama kalinya dari komunitas santri.

Pada komunitas santri, terdapat tiga sel yang saling menghidupi, yaitu santri dalam arti pelajar di pesantren; kiai (guru di pesantren); dan pranata keagamaan yang disosialisasikan dalam dunia pesantren. Di komunitas pesantren itulah kiai men-sunnahmuaqqod-kan para santri untuk melakukan tambihus-syiam, yaitu puasa syawal.

Kalau puasa Syawal itu dikerjakan, maka kepadanya dijanjikan ampunan atas kesalahan (dosa) yang dilakukan setahun lalu. Ampunan Tuhan adalah urusan hablum minallah. Urusan sesamanya, yang disebut hablum minan-nas, juga harus diselesaikan. Jika keduanya dapat dijangkau dengan sempurna, maka ungkapkan kata: ’’Minal a’idin wal faidzin’’.

Kata ’’sempurna’’ atau ’’penyempurnaan’’ dalam bahasa Arab disebut kaffaat atau kaffatan. Dalam lidah Jawa, kata itu dilafalkan ’’kupat’’ atau ’’kupatan’’. Ini adalah dugaan awal mengapa pada tanggal 8 Syawal disebut Bada Kupat.

Kerabat dan Guru

Pada pada saat Bada Kupat ini, mereka baru bersilaturrahim kepada kerabat dan gurunya. Dari ujung ke ujung atau berkunjung sehingga kegiatan bersillaturahim ini diberi istilah ’’ujung’’.

Ada dua tujuan inti dari Ujung. Yang pertama, meminta maaf atau berharap untuk bisa saling memaafkan. Yang kedua, memohon (ngalap berkah) terutama dari guru atau kiai dan dari kerabat yang dituakan.

Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.

Dalam konteks ini, kupat-lepet sebagai ungkapan mengaku lepat atau luput. Pengakuan demikian penting karena itu kata kupat jika ditarik ke ranah filosofi Jawa bisa bermakna ’’nyukupke kang papat’’ (melengkapi empat hal), atau ’’laku kang papat’’ (melakukan empat hal). Keempat hal itu ialah (1) puasa Ramadan selama sebulan, (2) membayar zakat fitri, (3) shalat Id, dan (4) puasa enam hari pada bulan syawal.

Alur kognitif seperti itu dilakukan pada tanggal 8 Syawal sehingga untuk menandai semua hajat simbolik demikian disebut Syawalan. Di berbagai daerah, terutama di Jawa Pesisiran Utara, terdapat dua model bagaimana mengekspresikan ’’hari kemenangan’’ Syawalan.

Pertama, dalam bentuk pesta yang tidak terkait dengan napas keagamaan seperti pesta lomban di laut sebagaimana yang ditradisikan di Demak, Jepara, dan Rembang.

Dan yang kedua justru dinapasi oleh aura keagamaan, dengan melakukan berkunjung (baca: ziarah) ke makam leluhur seperti ke makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, atau ke makam Kiai Asy’ari (dikenal Kiai Guru) di Kaliwungu Kendal.

Ziarah ke makam penyiar Islam seperti itu, tidak didasarkan atas kesamaan waktu haul (ulang tahun kematian) tokoh yang bersangkutan, melainkan secara antropologis lebih didasarkan pada kewajiban etis santri berkunjung kepada Sang Guru usai menjalankan puasa tambahan (puasa Syawal).

Kewajiban berziarah seperti itu bertolak pada konsep guru di kalangan santri itu sendiri. Di kalangan santri, istilah guru, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, tetap ditempatkan sebagai ’’gurunya’’. Karena itu pula, di kalangan santri, tidak ada dan tidak dikenal istilah ’’mantan’’ guru.

Para santri yang kemudian membangun pesantren di daerah asal, yang berarti pula yang bersangkutan kemudian menjadi kiai sekaligus tokoh agama, memiliki santri dan umat seputarnya. Mereka, mengajak santri-santrinya untuk berziarah ke makam guru atau kiainya dalam waktu yang bersamaan, yaitu pada sekitar tanggal 8 Syawal.

Pola seperti itu, lambat laun berjalan secara massal, dan diikuti oleh puluhan ribu orang sebagaimana yang terjadi pada acara Syawalan di Kaliwungu Kendal. Inilah awal dari tradisi berziarah dan ziarah yang ditradisikan.

Efek seperti itu, tentu saja mengundang berbagai pihak (seperti para pedagang musiman dan penjaja permainan dengan segala hiruk-pikuknya). Syawalan menjadi semacam ’’pasar akbar’’ ketika masing-masing orang melakukan sejumlah transaksi, baik transaksi ekonomi, transaksi sosial, transaksi budaya, dan keberagamaan. (80)

Kamis, 10 September 2009

Lebaran Ke Pantai Teluk Awur Jepara, Duh Asyiknya!

Sumber: Suara Merdeka, 10 September 2009

Oleh
Fatkhul Muin

Salah satu pantai di kabupaten Jepara yang cukup indah dan menarik untuk di kunjungi adalah Pantai Teluk Awur. Disebut Teluk memang kondisi lautnya yang menjorok ke daratan, sehingga panjang pantai kalau dilihat tidak lurus memanjang namun mendekati bentuk setengah elips.

Dalam situs pemerintah kabupaten Jepara pantai Teluk Awur ini belum masuk pada daerah tujuan wisata kabupaten Jepara, namun demikian jika dilihat pantai ini tidak kalah menariknya dengan pantai Kartini Jepara ataupun pantai Tirto Samudra Bandengan.

Jika hari Minggu atau libur pantai ini cukup ramai dikunjungi oleh pelancong baik dari sekitar Jepara sendiri, ada pula warga luar kota Jepara yang juga mampir mencoba melihat keindahan pantai yang masih alami ini. Dikatakan alami pantai ini sama sekali belum terpoles oleh unsur pariwisata, tidak ada tempat parkir. Karcis tanda masuk maupun rumah-rumahan tempat untuk berteduh. Namun demikian pengunjung tidak akan kepanasan karena sepanjang pantai ini penuh dengan tanaman hijau yang dapat digunakan untuk berteduh. Wisatawan yang datang cukup dengan menggelar tikar dibawah rimbunnya tanaman sembari menikmati semilirnya angin pantai , indahnya ombak yang bergulung tak lupa menikmati bekal dari rumah sungguh nikmat rasanya.

Bukan itu saja sebagian pantai ini juga rimbun dengan tanaman mangrove yang ditanam oleh kamunitas pecinta alam dan pantai sebagai pilot proyek penanggulangan abrasi pantai yang saat ini telah menggerus pantai di Jepara khususnya bagian selatan. Mangrove ini tumbuh cukup rimbun sehingga cukup nyaman untuk tempat berteduh, Namun sayang saking rimbunnya kadang-kadang tempat ini digunakan pacaran para muda-mudi yang sedang dimabuk cinta.

Berenang sepuasnya
Untuk fasilitas pendukung meskipun cukup sederhana warga sekitar telah menyediakannya untuk kenyamanan para pengunjung. Tempat parkir misalnya untuk mobil tidak masalah disana tenpatnya cukup luas tinggal memilih ditempat mana kita mau parkir, untuk kendaraan roda dua bisa langsung diparkir di bibir pantai sehingga jika ramai Sepeda motor kelihatan berjajar rapi.

Untuk yang mempunyai hobi berenang Pantai Teluk awur kondisi airnya cukup bersih karena jauh dari lalu lalangnya perahu dan kapal, sehingga aman jika digunakan untuk mandi dan berenang. Bagi yang tidak bisa berenang warga sekitar telah menyediakan ban-ban mobil yang besar sehingga bisa digunakan untuk berenang dipinggir pantai, biaya sewanyapun relatif murah sekali pakai Rp 1.000-Rp 2.000. Begitu pula tempat mandi bilas, warga sekitar juga telah menyediakannya meskipun kondisinya sederhana namun bisa digunakan untuk membersihkan badan dari asinnya air laut.

Sehingga sayang jika kita telah sampai di pantai ini tidak nyebur ke laut, jadi bila pembaca mencoba datang jangan lupa membawa baju renang dan peralatan untuk mandi bila tidak ingin menyesal jika pulang.

Yang mempunyai hobi memancing pengunjung juga bisa menuntaskan kesenangannya di pantai ini. Selain ikannya cukup lumayan, juga kita bisa menyewa perahu jika ingin ke tengah laut.

Soal makanan, bagi pengunjung yang tidak membawa bekal warga menyediakan berbagai macam menu yang bisa dipilih, dari makanan kecil, minuman ringan sampai dengan nasi beserta lauk pauknya. Harganyapun relatif murah, sehingga bagi wisatawan yang kantongnya pas-pasan tidak ada halangan untuk mengunjungi pantai ini.

Khusus untuk Liburan hari lebaran, tempat ini juga menyediakan hiburan yang menarik misalnya pentas music atau kesenian lainnya. Oleh karenanya untuk liburan lebaran nanti tidak ada ruginya bila Anda menyempatkan mengunjungi obyek wisata pantai yang murah meriah ini. Selamat mencoba.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Jejak Urwah, Buron Terorisme

Ponpes Al-Muttaqin: Kami Tidak Mengajarkan Kekerasan

Oleh Rosidi

Ponpes Al-Muttaqin di Sowan Kidul, Kabupaten Jepara disorot, karena salah satu buron kasus terorisme, Bagus Budi Pranoto alias Urwah, pernah nyantri di sekolah itu. Pengapus ponpes menegaskan ponpes Al Muttaqin tidak mengajarkan kekerasan.

"Kami tidak mengajarkan kekerasan," kata KH Sartono Munadi, pengasuh Ponpes Al-Muttaqin saat ditemui detikcom Selasa (25/8/2009) lalu di rumahnya yang teduh di kompleks pesantren. Ustad Sartono tampak santun dan bersahabat.

Bangunan rumah Kiai Sartono sederhana, namun cukup teduh. Rumah
bercat putih berpagar merah itu memiliki halaman samping yang cukup luas.
Sebuah mobil Suzuki Carry terparkir di halaman rumahnya. Sementara di dalam rumah, terdapat lima kursi dan sebuah meja bundar, yang di atasnya, terletak empat kitab yang cukup tebal.

Kiai Sartono menceritakan perihal pesantren yang dirintisnya sekitar 20 tahun lalu. "Kami sama dengan pesantren pada umumnya. Hanya dalam penyampaian, kami menggunakan bahasa pengantar Bahasa Arab, Inggris dan Indonesia, agar santri yang dari luar Jawa juga bisa memahami," ujar dia.

Sementara kitab-kitab yang diajarkan, antara lain Aisarut Tafaasir, Silsilah Tafsir, Fikih Sunnah dan Minhajul Muslim. "Tidak ada yang beda. Sementara untuk tauhid, kita memakai kitab Qidah Thahawiyah karya Dr. Sholeh Fauzan," terang Kiai Sartono yang sehari-hari juga berprofesi sebagai petani dan berdagang konveksi kecil-kecilan.

Terkait dengan isu terorisme saat ini yang lagi jadi perbincangan hangat, Kiai Sartono mengaku tidak pernah merasa mengajari santrinya menjadi teroris atau melakukan tindak kekerasan lain. "Kalau ada alumnus ponpes saya, mungkin karena setelah lulus, ia terbawa arus dengan teman atau ia belajar dengan siapa. Pergaulan sekarang kan kompleks," tutur dia.

Pada prinsipnya, menurut dia, pihaknya mendirikan pesantren dengan bekerja dan ikhlas, agar bisa membantu pemerintah menyiapkan generasi yang cerdas dan berkahlaq. "Kalau pemerintah mencari-cari kejelekannya saja, pasti dapat. Di manapun. Tetapi apakah pemerintah memperhatikan dan memberi apresiasi kepada pesantren sebagai lembaga pendidikan yang notabene wajah Islam Indonesia," tegas Kiai yang mengaku ponpesnya tidak ada sangkut paut atau hubungan apa pun dengan Abu Bakar Ba'asyir.

Hingga Sabtu (29/8/2009) polisi belum bisa menangkap Urwah, yang menjadi buron kasus bom Marriott dan Ritz-Carlton. Jejak terakhirnya, Urwah tinggal di sebuah rumah di RT 01 RW 04 di kampung Buntarejo, Kadokan, Grogol, Sukoharjo. Dia masih terlihat pada 7 Agustus 2009, beberapa jam sebelum polisi melakukan penggerebekan di Jatiasih da Temanggung.

Sumber: Detik.com, 29 Agustus 2009

Jumat, 28 Agustus 2009

2 Pulau di Karimunjawa Dikelola Asing

Oleh Rosidi

Di
tengah kontroversi penjualan pulau di internet, ternyata ada fakta pulau-pulau di Indonesia sudah biasa dikelola asing. Di kepulauan Karimunjawa saja, ada dua pulau yang dikelola oleh orang berkewarganegaraan asing (WNA).

Berdasarkan data dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, saat ini ada 8 pulau di Karimunjawa yang dikuasai oleh perorangan. Dua pulau yang dikelola WNA adalah Pulau Menyawakan dan Pulau Kumbang.

Pulau Menyawakan tercatat dikuasai oleh Mr Lak dan Mr Hands. Sementara Pulau Kumbang dikelola oleh nama Mr Jell. Ketiganya memperoleh izin pengelolaan pulau karena mereka menikah dengan perempuan berkewarganegaraan Indonesia.

"Pengelolaan lahan Karimunjawa oleh pihak asing hanya bersifat penanam modal di bidang pariwisata dan pembangunan resort," kata Ketua Balai Taman Nasional Karimun Jawa Hariyanto, Jumat (28/8/2009).

Hal itu juga dibenarkan oleh Bupati Jepara Hendro Martojo. Dia memastikan, meski dikelola pihak asing, pulau-pulau tersebut masih di bawah pengawasan Pemerintah Kabupaten Jepara.

"Pulau-pulau itu masih di bawah pengawasan kami," tandas Hendro.

Boleh jadi pulau-pulau tersebut memang tidak 'dijual', namun tokoh masyarakat di kepulauan Karimunjawa khawatir, pulau-pulau yang masih indah tersebut akan rusak karena pengelola hanya mementingkan sisi bisnis.

"Karimunjawa harus diselamatkan dari tangan orang-orang yang hendak mengeruk kekayaan alamnya tanpa peduli terhadap kelestarian lingkungannya," kata Kepala Sekolah di Madrasah Safinatul Huda, Karimunjawa, Hisyam Zamroni.

Dia pun berharap, pemerintah dapat mengawasi sehingga perusakan lingkungan di Karimunjawa tidak terjadi. "Kearifan lokal di Karimunjawa harus dijaga, jangan sampai tergerus oleh zaman dan hilang. Kearifan lokal itu kan identitas masyarakat," katanya.

Akhir-akhir ini, penjualan pulau yang berada di kawasan Indonesia ramai dibicarakan. Terbaru, tiga pulau di kepulauan Mentawai diiklankan 'for sale' di situs Private Islands Online.

Iklan itu tentu saja mengundang kontroversi. Departemen Dalam Negeri pun akan meminta klarifikasi pada Gubernur Sumatera Barat tentang hal itu.

Sumber: Detik.com, 28 Agustus 2009

Kamis, 27 Agustus 2009

Melongok Ponpes Al Muttaqin Jepara

Tak Ada Yang Perlu Dicurigai di Ponpes Urwah

Oleh Rosidi

Dulu
Ponpes Al Mukmin Ngruki Sukoharjo dan Ponpes Daarussyahadah Boyolali disorot karena beberapa tersangka terorisme pernah belajar di pondok ini. Kini, setelah Bagus Budi Pranoto alias Urwah menjadi buron, Ponpes Al Muttaqin Jepara juga disorot. Urwah alumnus ponpes ini.

Bagaimana sebenarnya aktivitas di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Muttaqin? Detikcom telah berkunjung ke Pondok Pesantren ini pada Selasa (25/8/2009) lalu.

Ponpes ini terletak relatif jauh dari pusat kota Jepara, Jawa Tengah. Namun, untuk menemukan ponpes yang terletak di Desa Sowan Kidul, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara ini, tidaklah sulit. Nama Ponpes ini dikenal oleh warga di Kecamatan Kedung.

Berada di lahan sekitar 2 hektar, saat ini Ponpes tersebut memiliki sekitar 750 santri yang berasal dari kabupaten atau kota dari berbagai pelosok nusantara, termasuk NTB dan NTT. "Santri ada yang datang dari NTB, NTT, Lampung, Bekasi dan lain sebagainya," kata Abdurrohman, ustad kelahiran Kota Gudeg, Yogyakarta.

Usia pondok ini tidak setua Ponpes Ngruki. Pondok ini baru berdiri tahun 1988 dan sudah mengantongi izin secara sah sebagai lembaga pendidikan. Ponpes ini terdiri dari dua jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang setara SMP dan Madrasah Aliyah (MA), setara dengan SMA.

Pemantauan detikcom, suasana ponpes ini tidak berbeda dengan Ponpes lainnya. Di bagian depan, terdapat sebuah gerbang terbuat dari bambu. Di dalamnya, terdapat pos jaga, dengan lima orang yang sedang berjaga sembari membaca kitab maupun buku pelajaran.

Di depan pos jaga, ada ruang tamu terbuat dari kayu yang cukup sangat unik. Plang di depan ruangan bertuliskan 'Ruang Tamu' itulah yang menandaskan tempat merupakan tempat untuk menyambut orang luar pondok yang hendak bersilaturrahmi.

Di samping ruang tamu, ada masjid yang cukup bersih. Beberapa santri nampak membaca al-Qur'an. Maklum, di bulan puasa ini, mereka diminta oleh ustadnya untuk memperbanyak amal sholeh, baik dengan membaca al-Qur'an maupun berdzikir.

Pada Ramadan ini, kegiatan mengaji, selain kegiatan rutin, ditambah. "Setiap sore ada kegiatan mengaji kitab dan al-Qur'an. Sementara habis shubuh, diadakan kuliah pagi yang diisi oleh santri secara bergantian," terang Abdurrohman, alumnus Ponpes Al-Muttaqin yang sudah tiga tahun ikut membantu mengajar.

Secara kasat mata, tidak ada yang perlu dicurigai terhadap ponpes ini. Namun, menurut sumber detikcom di kepolisian, karena salah satu alumnusnya, Bagus alias Urwah, menjadi tersangka kasus bom JW Marriott Jakarta dan The Ritz-Carlton, maka ponpes ini pun dipantau aparat.

Tapi seperti sorotan terhadap Ponpes Ngruki dan Daarussyahadah sebelumnya, biasanya para tersangka terorisme itu tak melibatkan lembaga pendidikan tempat dia belajar. Demikian pula yang terjadi pada Ponpes Al Muttaqin. Apalagi, para pelaku terorisme sudah lama meninggalkan ponpes dan bergumul dengan komunitas, jamaah, organisasi, kelompok, atau jaringan-jaringan tertentu.

Sumber: Detik.com, 27 Agustus 2009

Rabu, 19 Agustus 2009

PLTN Muria Dan Problem Keseimbangan

(KOMPAS, 19 AGUSTUS 2009)

Oleh M Abdullah Badri

Lama tak tersiar kabar, bukan berarti rencana Pembangunan Listrik Tenaga Nuklir Balong, Semenanjung Muria Jepara, berhenti. Proyek yang dimotori Badan Tenaga Atom Nasional itu, pada tahun 2007 sempat menjadi isu nasional, bahkan internasional. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama Cabang Jepara bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap rencana tersebut. Alasannya, mudarat yang ditimbulkan lebih terang daripada manfaat yang bisa diambil.

Meski rencana tersebut menurut pemerintah dimaksudkan sebagai langkah mengatasi krisis energi yang akan terjadi pada 2025, toh demikian reaksi warga terhadap rencana pembangunannya, ketika itu, masih tegas menolak. Bahkan, ketika penulis berkunjung ke sana, terpampang banyak spanduk di jalan-jalan setapak kampung yang menyatakan penolakan keras. ”Hidup Mati Warga Balong Tolak PLTN,” demikian salah satu bunyi spanduk itu. Apakah penolakan itu masih terdengar nyaring?

Setelah tidak diekspos media secara besar-besaran selama kurang lebih dua tahun, penolakan rencana seperti ditelan bumi. Bahkan, beberapa waktu lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menneg Ristek) Kusmayanto Kadiman menegaskan bahwa tak ada perubahan dalam rencana pembangunan PLTN Muria. Megaproyek yang mengacu pada UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bahkan ditargetkan beroperasi pada 2016.

Informasi tersebut berbeda dengan kabar yang saya terima dari seorang sarjana nuklir dari Jepara. Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa setelah mendengar penolakan PLTN dari warga Balong, yang berbuntut pada keluarnya fatwa haram PLTN dari LBM NU Cabang Jepara, presiden memutuskan untuk menunda keputusan jalan dan tidaknya PLTN Muria hingga 2015.

Secara ideal, PLTN adalah perwujudan dari mimpi untuk membangun bangsa. Kita yakin pemerintah mencanangkan program itu untuk kepentingan rakyat banyak. Sumber energi yang diprediksi menelan biaya hingga Rp12 triliun itu rencananya dibangun dengan kekuatan hingga 6.000 mega watt (MW). Siapa pun akan mendukung rencana mulia itu.

Namun, dalam praktik, untuk mendapatkan dukungan itu harus melewati negosiasi agar tercapai apa yang disebut kesetimbangan sosial dan kultural. Terjadinya penolakan tegas dari warga Balong karena belum adanya kesetimbangan kepentingan bersama.

Tiga kesetimbangan
Warga yang daerahnya dijadikan lokasi proyek merasa khawatir akan bahaya PLTN sebagaimana kecelakaan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, 25 April 1986, yang menewaskan ratusan korban. Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa PLTN yang akan dibangun itu berbeda dengan yang dulu ada di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Jelas tidak akan terjadi kesetimbangan sosial, manakala mekanisme yang ditempuh adalah petak umpet, sembunyi-sembunyi.

Ketika penulis berkunjung ke Balong, banyak warga yang pada awalnya mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan PLTN, padahal bangunan untuk melakukan kegiatan penelitian proyek tersebut sudah berdiri kokoh. Mereka mengetahui rencana tersebut setelah ada wartawan asing yang datang meliput ke desa. Jika cara ini yang ditempuh, jelas tidak akan menemukan kesetimbangan sosial, justru keriuhan.

Barangkali pemerintah merasa perlu membangun PLTN untuk memenuhi keseimbangan energi di masa depan. Sebuah harapan yang optimistis. Secara filosofis, Tuhan memang menciptakan alam ini dengan kesetimbangan ekologis yang pasti. Dunia dan alam ini adalah titipan Tuhan yang diberikan sepenuhnya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.

Jika manusia memanfaatkannya dengan baik, kebutuhan manusia akan tercukupi. Tidak akan ada kekurangan energi. Yang membuat bumi rusak adalah kerakusan. Mahatma Gandhi pernah berkata: bumi ini bisa menampung segala apa yang ada di atasnya, kecuali kerakusan dan keserakahan manusia. Apakah pembangunan PLTN berangkat dari kerakusan atau kesadaran mengelola amanat Tuhan, tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang yang berkepentingan.

Tiadanya kesetimbangan etis dalam pengelolaan PLTN pascapembangunan juga menyisakan problem. Banyak orang yang menyangsikan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk mengelola megaproyek yang akan menyedot biaya besar tersebut.

Mental masyarakat kita masih belum bisa dianggap mandiri, bersih dari korupsi, dan kecurangan politik. Banyak unsur human error yang dijadikan alasan beberapa pihak menolak ambisi pemerintah itu. Ada kekhawatiran, bila PLTN Muria benar-benar direalisasikan, bukan kesetimbangan energi dalam negeri yang tercipta, melainkan pengangkutan energi ke luar negeri.

Tiga problem kesetimbangan tersebut, yakni kesetimbangan sosial, ekologis, dan etis perlu diselesaikan pemerintah bila ingin memuluskan rencana tersebut. Pemerintah, yang terutama diwakili Pemerintah Kabupaten Jepara, harus berani menghadapi masyarakat yang menolak. Jangan sampai masyarakat terus dirundung kekhawatiran.

Selain itu, media juga harus memantau secara simultan perkembangan proses menuju kesetimbangan itu, agar berjalan sesuai dengan mekanisme yang berlaku serta ketentuan-ketentuan hukum yang telah distandardisasi dunia internasional. Ini terutama berkaitan dengan proses negosiasi antara pemerintah dan warga.

Pernyataan Menneg Ristek yang terus melanjutkan rencana pembangunan PLTN Muria akan menemukan kebenarannya jika bisa menyelesaikan ketiga problem kesetimbangan tersebut. Pendekatan politik an sich, tanpa ada upaya-upaya mencapai kesetimbangan secara kultural hanya akan melahirkan ketidakpuasan massa di mana-mana.

Meratapi Pers Sekolah Jepara

Oleh M Saifuddin Alia
Konsultan di Smart Institute Jepara dan Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Wilayah Jawa Tengah


Harus diakui perkembangan pers sekolah di Jepara masih jauh dari keinginan. Berbeda dari pers sekolah di Kudus yang meningkat cukup tajam. Saat ini mayoritas sekolah atau madrasah di Kota Keretek itu telah memiliki majalah ataupun buletin.

Sebut saja Madrasah Aliyah (MA) Banat dengan El-Banat, SMA Al-Ma’ruf dengan majalah Suara Al-Ma’ruf, MA Qudsiyyah Menara dengan El-Qudsy, MA TBS Kudus dengan At-Thullab dan sebagainya.

Untuk itu, mengingat pers sekolah kian hari semakin urgen, maka mau tidak mau mulai sekarang pers sekolah di Jepara harus kita tata, bangun dan kembangkan bersama-sama. Memang untuk merintis dan membangun pers sekolah di Jepara tidaklah mudah, namun bila ada kesadaran seluruh komponen, niscaya membangun pers sekolah bukanlah pekerjaan yang sulit.

Apalagi bila ada kesadaran dan dukungan dari kepala sekolah, guru dan wali murid secara total. Niscaya tidak lama lagi pers sekolah di Jepara dari aspek kuantitas dan kualitas akan mampu bersaing dengan pers sekolah di Kudus.
Dukungan Pertama, dukungan kepala sekolah. Dukungan kepala sekolah se-Kabupaten Jepara sangatlah penting mengingat peranan kepala sekolah dalam konteks ini nyaris tidak ada bandingannya. Karena sesungguhnya pers sekolah ada maupun tidak ada di suatu sekolah atau madrasah sepenuhnya tergantung kepalanya.

Bila kepala sekolah menyetujui dan mendukung keberadaannya, maka terwujudlah pers sekolah. Tapi sebaliknya bila kepala sekolah tidak mengizini bahkan melarang, maka mustahil pers sekolah dapat terwujud.

Mengingat begitu besarnya peranan kepala sekolah dalam menentukan ada dan tidak ada pers sekolah, maka setiap kepala sekolah di Jepara dituntut memiliki pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pers sekolah. Dengan tercipta kesadaran ini, diharapkan ke depan seluruh kepala sekolah di Jepara mendukung secara total keberadaan dan kemajuan pers sekolah.

Bahkan lebih dari itu, setiap kepala sekolah juga diharapkan lebih bangga bila sekolahnya memunyai pers sekolah. Apalagi sampai mampu mengelola dan menerbitkan mading, buletin, tabloid, ataupun majalah secara konsisten.

Kedua, dukungan guru. Dukungan guru dalam hal ini tidak kalah urgen, sebab pada hakikatnya peranan guru dalam membangun pers sekolah sangatlah menentukan. Sebab bila kepala sekolah telah memberi izin atas keberadaan pers sekolah, maka eksistensi selanjutnya sepenuhnya tergantung pada guru.

Apakah pers sekolah dalam perjalanannya produktif atau tidak, bermutu atau tidak, maju atau stagnan, semua tergantung pada peranan guru. Maka guru dituntut untuk selalu proaktif dan konsisten dalam ikut membangun dan membesarkan pers sekolah.

Permasalahannya adalah saat ini baru sedikit guru yang mengerti, paham dan menguasai jurlistik serta mau dengan serius membimbing siswa. Inilah problem krusial bagi sekolah. Kebanyakan sekolah di Jepara tidak memunyai guru yang menguasai jurnalistik.

Untuk itu wajar bila sering pihak sekolah dan siswa justru kebingungan dalam mengelola pers sekolah, karena sama sekali tidak memiliki guru yang mampu mendampingi.

Nah, bila keadaannya memang seperti itu, kepala sekolah harus sigap dengan menugasi salah seorang guru, terutama guru bahasa Indonesia segera belajar jurnalistik. Bila dengan cara yang demikian dinilai kurang tepat, maka kepala sekolah bisa mencari tenaga (baca: orang) yang benar-benar mempunyai kemampuan jurnalistik untuk membimbing mereka.

Saya kira sekarang sudah banyak tersedia orang yang kemampuan jurnalistik. Utamanya para aktivis pers mahasiswa, baik yang telah memperoleh gelar sarjana maupun yang masih aktif kuliah. Mereka dapat dimintai bantuan membangun pers sekolah secara profesional.

Ketiga, dukungan wali murid. Dukungan wali murid dalam hal ini sangatlah menentukan. Sebab se-usia tingkat SMP dan SMA umunya masih patuh pada orang tuanya.

Mengingat begitu penting peranannya, segenap wali murid diharapkan dapat memberi nasihat pada anak-anaknya untuk masuk menjadi anggota pers sekolah. Hal seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh para wali murid di Jepara secara konsisten dan totalitas.

Akhirnya, itulah strategi untuk membangun pers sekolah. Bila hal tersebut mendapat dukungan totalitas dari Pemda dan seluruh perusahaan di Jepara serta dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, niscaya pers sekolah di Jepara akan tumbuh dengan subur, berkualitas dan dapat memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi siswa. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 19 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009

Lusuhnya Sang Sakaku

Cerpen Nur Halimah

Dikamar yang sempit dan pengap itu, Rano mengobrak-abrik seluruh isi lemari ibunya. Semua pakaian yang sudah tertata rapi pun kini berserakan dilantai rumah yang beralaskan tanah itu.

“Bu, benderanya dimana?” teriak Rano, sambil terus mencarinya diantara tumpukan pakaian yang masih tersisa dalam lemari.

Ibu yang mendengar teriakan Rano langsung beranjak dari duduknya dan menghentikan mengiris bawangnya. “Bendera apa Rano?” menyusul Rano yang ada dikamar.

“Ya ampun! Kamu ini apa-apaan?” tanya ibu heran dan melayangkan pandangannya kesemua sudut kamar. Ia sangat kaget dengan keadaan kamarnya yang berantakan. Ia belum sampai masuk kedalam kamar dan hanya berdiri didepan pintu kamarnya.

Rano hanya menoleh dan sama sekali tidak menggubris pertanyaan ibunya barusan. Ia masih sibuk mencari benderanya, “Benderanya mana bu? Bendera yang buat tujuh belasan,” ucapnya dengan wajah yang sangat kebingungan.

“Kamu cari dilemari yang paling bawah sana. Seingat ibu, dulu dia menaruhnya disitu,” lalu masuk dan memunguti semua pakaian yang berserakan ditanah.

Rano langsung jongkok dan mencari dibagian bawah lemari itu. Cukup lama sudah ia mengobrak-abrik seluruh lemari milik ibunya dan akhirnya setelah lama mencari ia bisa mendapatkan apa yang ia cari yaitu bendera.

Ternyata barang itu terselip diantara pakaian-pakaian yang sudah tidak layak pakai dan jelek.

“Ya! Ketemu bu benderanya!” teriak Rano kegirangan. Ia melompat-lompat diatas tempat tidur dan mengibar-ngibarkan benderanya.

Ibu yang melihat anaknya itu pun hanya bisa tersenyum sekaligus heran. Ia tak tahu kenapa anaknya itu tiba-tiba mencari-cari bendera merah putihnya, dan begitu senang ketika menemukannya.

Sejenak ia berpikir. Ia baru ingat kalau sekarang adalah bulan Agustus dan empat hari lagi adalah tanggal 17 Agustus yang artinya adalah hari kemerdekaan Indonesia. Setiap menjelang tanggal 17 itu, ada kebiasaan di desanya untuk memasang bendera di depan rumah sebagai tanda penghormatan pada para pahlawan.

Tiba-tiba Rano terdiam dan kembali duduk diatas tempat tidur, ia terlihat sedang memperhatikan benderanya dengan seksama. “Bu, benderanya kok bolong?” tanya Rano kecewa, ia menunjukkan bagian yang berlubang itu pada ibunya.

Lubangnya memang cukup besar untuk seukuran bendera milik Rano. Kondisinya juga kalau dilihat-lihat memang sudah sangat tidak layak pakai. Warnanya sudah pudar, bukannya merah dan putih lagi tapi sudah orange dan coklat. Selain itu juga ada banyak lubang-lubang kecil dibeberapa bagian.

Ibu meminta bendera yang sedang dipegang Rano itu, “Ya sudah, nanti ibu tambal yang bolong ini,” ucap ibu menenangkan Rano.

Tapi Rano masih belum bisa tenang dengan janji ibu barusan. Ia berlari dan keluar dari kamar ibunya dengan wajah yang murung. Ia pergi menuju kamarnya. Dikamar yang juga sangat sederhana dan berlantaikan tanah itu pula, Rano mengambil celengan semar kecil miliknya yang ia taruh didalam lemarinya. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, rasanya ringan sekali. Ia kemudian duduk diatas tempat tidurnya dan memangku celengan semarnya itu.

“Apa aku beli bendera yang baru saja ya? Pakai uang ini,” Rano bingung.

Ia sangat ingin sekali memasang bendera yang besar dan bagus didepan rumahnya, tapi bendera miliknya sudah tidak layak pakai. Tapi kalau ia membeli bendera dengan uang itu, ia harus merelakan uang tabungan yang seharusnya ia pakai untuk persiapan masuk SMA dua tahun lagi itu habis. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia berdiri dan BRAK!. Suara bantingan benda yang jatuh dan sangat keras.

Ibu yang mendengar suara benda yang jatuh dan pecah itu langsung berlari dari kamarnya dan menuju asal suara yang didengarnya, yaitu kamar Rano. “Ada apa Rano?” tanya ibu bingung sekaligus panik dan berdiri didepan pintu.

Rano menoleh dan mengarahkan pandangan matanya kelantai, ibu mengikuti arah mata Rano yang hanya terdiam. Dan betapa kagetnya ibu ketika melihat serpihan-serpihan celengan semar milik anaknya itu dilantai. Disitu juga berserakan pula uang recehan dan beberapa lembar uang kertas.

“Buat apa kamu pecahkan celengan itu nak? Itukan satu-satunya uang tabungan yang kamu punya?” tanya ibu kecewa.

Sambil memunguti uangnya yang berserakan ditanah, dan suara yang sedikit ketakutan serta menunduk Rano menjawab “Buat beli bendera bu.”

“Ibu kan sudah bilang akan memperbaiki bendera itu, kenapa kamu korbankan si semar,” menyusul Rano kedalam kamar dan duduk diatas tempat tidur.

“Tapi benderanya sudah jelek bu, Rano kan malu,” jawab Rano yang duduk disamping ibunya.

“Malu sama siapa?” tanya ibu heran.

“Malu sama para pahlawan kemerdakaan bu. Rano malu dengan beliau-beliau itu,” ucap Rano berapi-api Ia sudah lupa dengan ketakutannya tadi dan kini ia tiba-tiba menjadi sangat bersemangat menjawab pertanyaan ibunya barusan.

“Mereka sudah mengorbankan seluruh tumpah darah mereka dengan kemerdekaan kita bu, demi terbebasnya Indonesia dari para penjajah, masak kita nggak mau menghargai jasa-jasa dan segala pengorbanan mereka itu bu?” sejenak Rano berhenti.
“Apalah arti sebuah uang kalau dengan Rano memasang bendera yang layak dan indah dilihat itu, kalau para pahlawan yang berada disurga itu bisa bahagia, mereka akan merasa dihargai dengan itu bu,” ucap Rano berapi-api dan berdiri didepan ibunya.

Ibu yang mendengar seluruh orasi anaknya itupun kagum sekaligus bangga dengan sikap anaknya yang sangat menghargai para pahlawannya itu. Ia sama sekali tak menyangka kalau anaknya yang biasanya cengengesan dan tak peduli dengan sekitar itu bisa sangat dewasa kali ini.

“Memangnya uangmu sudah cukup nak?” tanya ibu.

Rano lalu menghitung uang yang ada ditangannya, terlihat ada uang recehan lima ratusan dan beberapa lembar uang kertas ditangannya. “Ada tiga belas ribu dua ratus rupiah bu,” Rano menunjukkannya pada ibunya. “Kira-kira cukup apa nggak ya bu?” lanjutnya.

“Ibu juga tidak tahu Ran, tapi kalau yang ukuran kecil mungkin sudah bisa terbeli,” ucap ibu sambil berpikir.

“Yang kecil ya bu?” tanya Rano kecewa.

Ibu mengangguk, lalu tak lama kemudian Rano pamit pada ibu untuk pergi kepasar yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya.

Rano menyusuri jalan dibawah teriknya matahari, ia sama sekali tak mempedulikannya.

Walaupun panas sangat menyengat dan menembus kulit, ia tetap bersemangat. Belum sampai Rano dipasar, ia sudah menemukan penjual bendera yang sedang berderet rapi di trotoar.

Ia menghentikan langkahnya didepan seorang penjual laki-laki yang sudah cukup tua usianya. Diantara pohon-pohon peneduh jalan diberinya tali untuk menaruh dan menggantung bendera-bendera yang dia jual.

Rano jongkok dan sibuk memilih-milih bendera merah putih yang ingin dia beli.

“Duh…yang mana ya yang harganya murah?” Rano bingung.

“Yang murah nak? Ini yang murah, sepuluh ribu sudah dapat,” ucap pak penjual tua itu memberi saran dan menunjukkan benderanya.

“Kok kecil ya mbah?” Rano kembali memilih dan mencari bendera yang berukuran besar.

Tak lama ia pun berhasil menemukannya. “Kalau yang ini berapa mbah?” menunjukkan bendera yang dipilihnya. Ukurannya sangat besar, kalau anda pernah melihat acara pengibaran bendera di Istana Merdeka, hampir sebesar itu ukurannya.

“Kalau yang itu ya lima puluh ribu nak, mbah tidak ambil untung. Buat kamu mbah sudah kasih diskon itu,” ucapnya dengan logat jawa yang medok.

Rano berpikir, dari mana ia bisa membeli bendera itu sedangkan uangnya hanya ada tiga belas ribu. “Ini nggak boleh ditawar mbah?” tanya Rano meyakinkan.

Lelaki itu menggeleng, lalu Rano kembali meneruskan memilih benderanya. Tak lama, tiba-tiba lelaki tua itu berkata pada Rano, “Titip dagangan kakek sebentar ya nak, mbah mau kencing kebelakang sana sebentar,” ucap si kakek lalu berdiri dan meninggalkan dagangannya.

Setelah agak lama kakek itu pergi meninggalkan dagangannya. Rano mulai memiliki pikiran yang jelek.

“Hei Rano, kamu ambil saja bendera yang kau inginkan,” entah dari mana ada suara itu, tiba-tiba saja terngiang ditelinganya.

Rano bingung, ia menoleh kekanan dan kekiri namun tak ada seorang pun yang berada disampingnya.

“Jangan Rano, itu tidak boleh. apa kamu mau mengecewakan para pahlawanmu itu?” terdengar suara yang serupa namun menyerukan hal yang berbeda.

Berulang kali ucapan serupa menghampiri Rano, ia sangat bingung dan juga bimbang.

Apakah ia akan mengikuti suara pertama ataukah suara yang kedua.

Tiba-tiba ditengah kebingungannya, ada seorang pria setengah baya yang menghampiri dan menepuk bahu kanannya. Rano menoleh, ia kaget karena ternyata yang menyapanya adalah pak Anton, ketua RT di daerah tempat tinggal Rano.

“Kamu mau ngapain Ran?” tanya pak Anton memulai pembicaraan.

“Ini pak, mau beli bendera.”

“Penjualnya mana?”

Tak berapa lama Rano dan pak Anton bercakap-cakap, datanglah kakek penjual bendera itu. Rano kemudian kembali menawar harga bendera yang ia inginkan itu, tapi kakek itu menolak harga yang diajukan Rano.

Mendengar perdebatan antara Rano dan penjual itu, pak Anton menjadi kasihan dan iba dengan keinginan Rano yang begitu menggebu-gebu untuk memiliki bendera yang dipilihnya.

Akhirnya Rano putus asa, ia berniat untuk pergi dan pindah pada penjual yang lain. Tapi tiba-tiba pak Anton mencegahnya. Rano tak jadi pergi dan ia kembali berdiri disamping pak Anton.

“Kamu benar-benar menginginkan bendera itu Rano?” tanya pak Anton.

Rano mengangguk, ia memang benar-benar menginginkan bendera itu. Dan tak begitu lama, ternyata pak Anton menyodorkan selembar uang lima puluh ribu dan menyerahkannya pada kakek penjual itu.

Betapa senangnya Rano ketika pak Anton menyerahkan bungkusan plastik hitam yang berisikan bendera yang dipilihnya. Ia tak henti-hentinya berucap terima kasih pada pak Anton, sang penolongnya.

Setelah pamit, ia langsung berlari pulang. Sesampainya ia dirumah, ia langsung menuju belakang rumah dan mengambil sebuah bambu panjang untuk mengibarkan benderanya. Ia langsung memasang bendera itu dengan segera. Setelah terpasang, ia memperhatikan dan tersenyum bangga melihatnya.

Ibu yang melihat dari dalam rumah, heran dengan bendera yang begitu besar berkibar didepan rumahnya. Ia menyusul Rano yang masih berdiri dibawah tiang bendera bambunya. Ibu tak bertanya dari mana Rano bisa membeli bendera yang begitu besarnya. Ia hanya menoleh dan terseyum bangga melihat bendera yang berkibar dengan anggunnya didepan rumahnya.

“Akhirnya Rano benar-benar bisa membuat para pejuang itu tersenyum bangga bu,” ucap Rano tanpa menoleh pada ibu dan tetap memperhatikan benderanya.
Ibu yang mendengar perkataan anaknya pun ikut tersenyum.

*Cerpenis muda asal Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan Jepara