Sabtu, 21 Februari 2009

Membudidayakan Tanaman Dewandaru

Oleh M Abdullah Badri
Pimred LPM IDEA Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, bergiat di Dewandaru Jepara Society

ADA satu jenis tanaman yang menurut sebagian orang berasal dari Pulau Karimunjawa, Jepara, yaitu Dewandaru. Tanaman yang disukai kalangan habaib (garis keturunan Nabi Muhammad saw) ini banyak tumbuh subur di daerah yang terletak di utara Kabupaten Jepara. Kayu tanaman yang konon dibawa pertama kali oleh Sunan Nyamplungan, putra Sunan Muria, dari sang ibunda yang pernah mendapatkannya dari negeri Cina ini memiliki keistimewaan tersendiri.

Orang yang ingin membawa keluar kayu Dewandaru dari Karimunjawa dengan menggunakan transportasi kapal, banyak yang tidak berhasil, terhalang oleh gelombang ombak besar, atau bahkan tenggelam. Pohon ini, menurut riwayat masyarakat setempat, mempunyai daya magis.

Dewandaru (Eugenia Uniflora) termasuk jenis tanaman yang sangat langka. Habitat dominannya terdapat di negara-negara Amerika Selatan, terutama di Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay (Consolini&Sarubbio, 2002). Sedangkan di Indonesia, tanaman ini menyebar di Jawa (terutama di Cirebon) dan Sumatra (Hutapea, 1994).

Kayu Dewandaru yang keras banyak dijadikan orang sebagai bahan pembuatan sovenir cantik yang cukup laku mahal dipasaran, seperti tasbih, gelang dan kalung. Bahkan ada sebagian orang yang percaya bahwa aroma wangi kayu yang memiliki warna coklat itu dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan dalam ilmu kanuragan. Ada juga yang meyakini kayu Dewandaru yang disebut orang Cina shian-to ini memiliki khasiat untuk menghilangkan gangguan gaib, pengasihan dan menambah kharisma. Meskipun demikian, ada juga yang menggunakannya sebagai tanaman hias semata.

Bukan hanya itu, daunnya yang bulat panjang berwarna hijau dan buahnya yang berwarna coklat dapat pula dimanfaatkan untuk mengurangi tekanan darah tinggi. Dapat juga dimanfatakan untuk menurunkan metabolisme lipid (Ferro, 1988). Daunnya juga berfungsi sebagai obat antidiare, diuretik, antirematik, anti-febrile, antidiabetik dan penghambat peningkatan glukosa plasma (Consolini, 2000).

Melihat banyaknya manfaat yang dikandung, Dewandaru cukup prospektif untuk dikembangkan. Apalagi dalam berbagai penelitian mutakhir yang telah dilakukan, tanaman tersebut ternyata berguna sebagai obat anti kanker, sebuah penyakit yang menjangkiti manusia modern sekarang (Handayani, 2006).

Sebagai Pintu Kehidupan
Kepulauan Karimunjawa yang terdiri atas 27 pulau, ternyata tidak hanya memiliki satu tanaman khas saja. Ada tanaman lain yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Jepara, yaitu Stigi dan Kalimasada. Dua tanaman langka ini, sebagaimana Dewandaru, juga dianggap memiliki kekuatan gaib dan khasiat tersendiri. Namun, yang setiap unsurnya berguna bagi kehidupan kita adalah Dewandaru.

Namun sayang, upaya untuk mengembangkan Dewandaru secara optimal ternyata belum menampakkan gejala positif. Ada beberapa alasan mengapa upaya pengembangan Dewandaru ini hampir tidak ada. Pertama, asumsi masyarakat tentang manfaat tanaman ini lebih dominan unsur mistisnya daripada manfaat secara lahiriyah, semisal untuk kepentingan dunia medis. Padahal, manfaat medis lebih besar pengaruhnya daripada mistis.

Kedua, minimnya pengetahuan publik mengenai manfaat tanaman ini. Literatur yang membahas keistimewaan Dewandaru sulit dijumpai dalam kajian ilmu alam. Di wikipedia yang biasanya menjadi rujukan istilah-istilah musykil tidak ditemukan manfaat Dewandaru. Hanya di beberapa blog saja yang menyedikan keterangan tentang itu. Itupun sangat terbatas.

Ketiga, belum ada penelitian yang lebih serius yang berlanjut pada pengembangan tanaman Dewandaru secara massif. Penelitian yang ada selama ini ada terkesan bersifat normatif. Sehingga, kalaupun penelitian itu menemukan hal baru yang spektakuler, tidak ada pihak yang bersedia mengembangkannya. Hasil penelitian mangkrak di rak-rak buku.

Pada tahapan selanjutnya, Dewandaru, meskipun banyak memiliki manfaat dalam bidang pengobatan, namun masuk dalam kategori “alternatif”, yang dalam persepsi umum masih diragukan.

Karenanya, diperlukan sosialisasi massif kepada masyarakat tentang besarnya manfaat tanaman “para dewa” ini –dalam mitologi orang Cina-. Untuk melakukan itu, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, para peneliti dan masyarakat. Bentuk konkritnya antara lain adalah pemerintah menyediakan ruang dan kesempatan kepada para peneliti untuk melakukan analisis lebih mendalam tentang manfaat tanaman tersebut.

Pada tahapan selanjutnya, sosialisasi hasil penelitian menjadi perkara penting yang harus dilakukan kepada masyarakat. Ketika masyarakat telah mengetahui manfaat tanaman dewandaru, diharapkan akan menarik minat mereka dalam membudidayakannya. Tentu, jika hal itu terwujud akan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang lebih riil dan lebih luas. Ruang-ruang kehidupan akan tercipta. []

Jumat, 20 Februari 2009

Duri-Duri Cinta Eza

Cerpen Hesti Setianingsih

Setengah tahun yang lalu Eza dan Febri bertemu di hari ulang tahun Lila, sahabat Eza. Tiga bulan kemudian, Eza dan Febri jadian. Waktu tiga bulan pacaran merupakan waktu yang indah, tenang, nyaman dan dramatis bagi mereka.

Kesenangan, kesedihan, dan kebimbangan telah mereka lalui bersama. Berawal dari SMS romantis yang dikirim oleh Febri untuk Eza, dan Febri adalah kakak Lila satu-satunya, serta berawal dari kebersamaan Lila dan Eza-lah yang menjadikan Febri jatuh hati pada Eza.

Setelah jam sekolah selesai, Eza masih setia menunggui sahabatnya, Lila yang sedang berlatih upacara untuk persiapan tanggal tujuh belas tahun depan. Latihan upacara pun telah berakhir, mereka beranjak untuk pulang.

Tak disangka, mobil sedan warna hitam yang melaju cukup kencang dari arah kiri, berhenti tepat di depan mereka berdua, ternyata Febri dengan temannya Doni, yang konon ceritanya mulai jatuh hati pada Lila.

“Siang Za…!” sapaan manis untuk Eza dari pacarnya. “Saya antar pulang yuk Za…!” pinta Febri dengan penuh harap. Seketika, Donni yang duduk disamping Febri, keluar dari mobil dan mempersilakan Eza untuk masuk ke dalam mobil dan duduk disamping Febri, sedangkan Lila dan Donni duduk di belakang.
***
Malam Minggu ini tak seperti malam Minggu sebelumnya, kali ini Febri tidak mengajak Eza pergi keluar. Pikir Eza mungkin karena Febri sedang sibuk dengan kuliahnya, sebagai pacar yang baik sudah tentu Eza harus bisa memakluminya. Meski demikian, hal ini tetap saja membuat Eza bete alias booring time. Terpikir oleh Eza untuk pergi nonton walau tanpa mas Febri.

Setelah dua menit berlalu, Eza sampai di depan bioskop, tapi nasib tak berpihak padanya, semua tiket telah habis terjual. “Daripada langsung pulang, lebih baik aku jalan-jalan dulu sambil lihat barang-barang yang dijual di mall ini,” pikir Eza.

Ketika sampai di lantai dua, pandangan matanya tertuju pada laki-laki berbaju hitam yang sedang asyik menyantap makanan bersama seorang cewek cantik bermata sipit. “Apa aku tidak salah lihat? Itukan Febri. Tapi…cewek yang bersamanya bukan Lila. Lalu itu siapa? Setahuku, Febri tidak mempunyai saudara perempuan selain Lila,” seribu Tanya menghantui pikiran Eza.

Spontan Eza langsung menuju ke hadapan mereka untuk menyapanya. “Mas Febri! Makan malam kok gak ngajak-ngajak?” sapa Eza dengan ketus dan sewot. “Ooo…iy…iya Za, kamu mau gabung?” jawab Febri kaku. “Oh…enggak Feb, terima kasih, aku sudah mau pulang kok, mari mbak, Feb…?” dengan tebaran senyum pahit, Eza beranjak pulang.
***
Setelah kejadian malam itu, Eza jarang sekali bertemu dengan Febri. Memang Febri selalu berusaha untuk menemui Eza, tetapi Eza selalu menghindar. Bahkan Febri meminta bantuan Lila untuk mempertemukannya dengan Eza. Namun, karena Lila menghargai perasaan Eza, Lila selalu menolak ketika kakaknya itu meminta bantuan.

Febri tetap tidak mau putus asa, dia berusaha untuk menelfon Eza, tapi tidak pernah diangkat, SMS tidak pernah dibalas, karena Eza benar-benar marah pada Febri, Eza pun tidak percaya lagi pada Febri.

Febri selalu menunggu Eza pada jam-jam pulang sekolah, pada hari itu kebutuhan Febri melihat Eza berjalan sendirian, ia langsung mengejar Eza, dan Eza pun tidak bisa lagi menghindar dari Febri. “Mengapa sangat sulit bagiku untuk bertemu dan berbicara denganmu Za…? Selalu saja kau menghindar dariku.” Tapi Eza tak menjawab sepatah kata pun.

Lama sekali rasa hening menyelimuti mereka berdua. “Sudah saatnya kita akhiri permainan ini Feb,” jawab Eza. “Permainan…! Maksud kamu apa sih Za…?” tanya Febri yang tidak mengerti akan pertanyaan Eza. Eza hanya diam membisu tanpa kata, seakan membiarkan Febri dalam kebingungan.

“Oke…, sekarang kita omongin masalah ini disitu, kita duduk sebentar disitu,” telunjuk Febri menunjuk ke sebuah kursi yang berada di bawah pohon besar dan rindang. Akhirnya Eza hanya bisa mengikuti langkah Febri, walaupun dengan penuh keterpaksaan.

Hampir lima belas menit Eza dan Febri hanya diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Febri hanya merobek-robek daun yang berguguran sembari sesekali melihat wajah Eza yang terlihat kecut dan tertunduk lesu.

“Za…, maksud kamu mengakhiri permainan ini, apa sih?” tanya Febri kemudian. “Aku sudah mengerti semuanya Feb, dan sekarang aku ingin mengakhirinya, aku tidak mau menjadi tokoh dalam sandiwara kamu dan mbak Fanny lagi.”

“Ngerti apa? Mengakhiri apa? Aku masih bener-bener tidak mengerti maksud kamu. Fanny…? Apa hubungannya dengan Fanny?” “Alah…enggak usah pura-pura dech Feb, mbak Fanny itu pacar kamu di kampus ini kan?”

Tidak terasa butiran-butiran air mata jatuh di pipi Eza dan Eza mulai bercerita, “beberapa hari yang lalu, mbak Fanny berkunjung ke rumahku dan bercerita panjang lebar tentang kisah cinta mbak Fanny dan kamu. Pada malam itu mbak Fanny berkata kalau aku tidak boleh mengganggu hubunganmu dengan mbak Fanny lagi.”

“Tapi Za…aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Please…aku mohon dengerin penjelasanku.” “Feb, aku rasa tidak ada yang perlu dijelasin lagi, sori aku harus buru-buru pulang,” ucap Eza seraya berdiri meninggalkan Febri.

“Za…,” Febri menarik tangan Eza yang mulai beranjak dari kursi. “Aku mohon Za, dengarkan dulu penjelasanku, please,” bujuk Febri menghentikan langkah Eza. “Apa yang masih bisa kamu jelaskan Feb, belum maukah kamu jujur kalau semua yang aku certain ini benar,” ucap Eza menegas, sementara Febri tetap membisu,

“Ini permintaanku yang terakhir Feb, aku mohon sekarang kamu jujur padaku. Tatap mataku, terus kamu jawab apa kamu mempunyai hubungan dengan mbak Fanny? Itu benar kan Feb?” lagi-lagi Febri hanya diam.

Dengan emosi, Eza mengucapkan perkataan yang sebenarnya tidak ingin diucapkan oleh Eza, “makasih Feb…diamnya kamu sudah menjelaskan semuanya,” ucap Eza sembari beranjak meninggalkan Febri.

Akhirnya Febri mulai membuka mulutnya, ketika setelah tiga langkah Eza beranjak meninggalkan dirinya, “tunggu Za…, itu semua memang benar, aku memang pernah mempunyai hubungan yang spesial dengan Fanny. Namun itu dulu sebelum kita berhubungan, hubungan kami telah berakhir semenjak dia pergi ke London.”

Febri berhasil menuntun Eza untuk kembali duduk di kursi, rasa hening kembali menyelimuti mereka berdua. Eza tertekuk bingung harus mempercayai perkataan mbak Fanny yang baru saja ia kenal, atau Febri yang selama ini berada di hati Eza.

“Begini Za, kamu harus mempercayai aku,” pinta Febri penuh harap. “Mengapa aku harus mempercayaimu?” Eza semakin penasaran dengan perkataan yang telah terucap dari bibir pacarmu itu.

“Sebenarnya yang makan malam bersamaku, dan orang yang dating ke rumahku itu bukan Fanny, dia adalah Fian, adik kandung Fanny.” Eza semakin dibuat bingung oleh penjelasan Febri. “Lalu, Fanny dimana? Mengapa orang itu mengaku bahwa dirinya adalah Fanny dan menyuruhku untuk menjauhimu?”

Setelah menghela nafas panjang, Febri mulai bercerita kembali, “Fanny telah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan, pesawat yang dinaikinya tergelincir dan jatuh di lautan. Sampai sekarang jasadnya belum ditemukan, kami hanya mendapatkan informasinya saja tanpa melihat jasadnya.”

“Terus mengapa Fian pergi ke rumahku dan menyuruhku menjauhimu.” Pertanyaan itu kembali melantun dari bibir tipis Eza yang begitu merah dan menggoda.

Fian mengalami depresi setelah kematian kakaknya, dia tidak rela kalau orang yang sangat dicintai kakaknya dimiliki oleh wanita lain, dan dia masih belum percaya kalau kakaknya telah meninggal, serta dia berharap kalau kakaknya dapat kembali pulang.

“Sungguh aku sangat mencintaimu Za…, apa kamu rela kehilangan cintaku hanya karena masalah yang maya ini? Aku tidak mau kehilangan kamu Za dan aku akan berusaha agar aku tidak kehilangan kamu.”

Eza masih terteguk bingung, kejadian yang sulit untuk di mengerti ini, malah datang menghampiri tali kasih mereka berdua, rasanya mulut Eza sulit untuk digerakkan, sesungguhnya Eza juga tidak ingin kehilangan Febri dan hubungan yang telah mereka rajut bersama.

Akhirnya Eza mulai membuka mulutnya dan berkata, “Aku juga tidak mau kehilanganmu Feb, aku akan membantumu mempertahankan cinta kita. Kini kita hanya bisa berhati-hati, berharap dan berdoa agar hubungan kita jauh dari bencana,” ucap Eza. “Terima kasih Za, karena kamu mau mengerti,” kata akhir yang keluar dari bibir Febri.

Karena jalinan tali kasih antara Eza dan Febri sangat kuat, serta kepercayaan yang telah ditanam sejak lahirnya hubungan cinta mereka, membuat bencara apa pun yang mengancam, sulit untuk ke tengah-tengah hubungan cinta mereka. []

Rabu, 18 Februari 2009

Menata Bundaran Pecangaan Jepara

Oleh Akhmad Shoim
Penggiat Smart Institute Jepara

SEBAGAI kota ukir, Jepara sering kali mendapat penghargaan sebagai kota yang bersih, elok, dan indah. Hasil dari menjaga kebersihan itu Jepara mendapat Kalpataru kategori kota sedang. Sayangnya, keindahan kota ukir telah tercemar oleh keteledoran warga yang kurang menaati peraturan dan tata kota. Misalnya di sekitar Bundaran Pecangaan sampai Pasar Pecangaan: sepanjang 200 meter di kanan dan kiri jalan terjajar pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya tanpa memperhatikan tata kota dan kebersihan lingkungan.

Mereka berjualan hampir 24 jam, ironisnya lagi mereka menggunakan trotoar dan badan jalan sebagai tempat untuk berjualan, terutama pada saat malam hari. Hal ini tentunya sangat mengganggu para pejalan kaki yang menggunakan trotoar sebagai jalan utama. Parahnya lagi, siang hari mereka meninggalkan gerobagnya di trotoar, sehingga ini jelas mengganggu tata dan kebersihan kota.

Dampak dari penggunaan trotoar sebagai tempat berjualan secara tidak langsung dapat membahayakan keselamatan para pejalan kaki sebagai pengguna trotoar. Sehingga, dengan terpaksa para pejalan kaki menggunakan badan jalan area berjalan. Tentu hal ini dapat mengancam keselamatan para pejalan kaki karena banyak lalu lalang kendaran dari arah yang berlawanan.

Selain itu, para tukang ojek juga berjajar di badan jalan. Mereka sering kali menyerobot penumpang yang turun dari Jakarta dan Semarang tanpa memperhatikan keselamatannya sendiri dan penumpang.

Menanggapi hal itu, semestinya pemerintah kabupaten menata kembali para pedagang kaki lima. Pemkab setidaknya memberikan mereka tempat yang layak untuk berjualan. Tentunya hal ini akan memperindah kota Jepara sebagai kota yang peduli terhadap PKL.

Selain itu, pemerintah juga menyediakan fasilitas pangkalan ojek bagi para tukang ojek agar tidak membahayakan keselamatan pengendara maupun pemumpang ojek. Sehingga, nantinya tercipta Jepara yang bersih, elok dan indah dengan tetap menjaga kebersihan dan menaati peraturan. []

Minggu, 15 Februari 2009

Lupa

Puisi Nur Janah

Lupakah kita padanya
Setelah kita merdeka
Dan hidup bahagia
Lupakah kita padanya
Saat teknologi sudah berjaya
Untuk memudahkan manusia

Lupakah kita padannya
Sejak era globalisasi berkibar hembuskan sayapnya
Mengapa kita baru ingat padanya?
Waktu Malaysia mengakuinya
Bahwa dia itu miliknya

Padahal dia itu milik kita
Sejak kita masih balita
Karena dia adalah budaya Indonesia
Yang kerap kita lupakan
Keberadaannya

Rabu, 04 Februari 2009

Yang Tak Pernah Kembali

Cerpen Murwanti Larosa

KU PANDANGI wajah kakakku yang pucat. Badannya yang terbujur dihadapanku kini, semakin hari semakin kurus. Selang infuse seakan menjadi sahabat setia yang menemaninya. Aku tak tega melihat keadaannya yang seperti itu. Entah sudah berapa hari dia menginap di ruangan yang serba steril itu.

Tak terasa air mataku menetes ketika mengingat saat-saat indah bersamanya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku jika aku telah kehilangan dirinya. Bagiku, dia bukan hanya sekedar seorang kakak tapi, sahabat serta guru terbaikku.

“Dinda, sudah sore sayang. Apa kamu nggak pulang?” suara mama membuyarkan lamunanku. Buru-buru kuusap air mataku. Sebenarnya aku belum mau pulang tapi aku juga nggak mau dianggap sebagai anak yang tidak mau mendengarkan perkataan orang tua. Akhirnya aku pulang bersama papa tapi, sebelum pulang aku berkata pada mama kalau sepulang sekolah besok aku akan datang lagi.

Dalam perjalanan pulang, yang terbayang di benakku hanyalah wajah kak Ivan. Aku takut jika keadaannya semakin parah. Aku nggak mau jika dia meninggalkanku sebelum kelulusanku. Tiba-tiba air mataku menetes lagi.

Sepertinya papa mengerti akan kesedihanku. “Dinda, kamu nggak usah terlalu memikirkan tentang keadaan kakakmu. Papa telah memilihkan dokter yang terbaik untuknya,” hibur papa. “Makasih ya pa,” jawabku dengan sedikit senyuman.

Aku tahu bahwa kanker otak yang dideritanya telah kronis, sulit untuk disembuhkan bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan. Tapi, meskipun kami tahu akan hal itu, kami tidak putus asa untuk berikhtiar dan memohon kepada Allah untuk kesembuhannya.

***
Tet…tet…tet…Alhamdulillah, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Aku bergegas merapikan buku-bukuku dan keluar kelas.

“Dinda…Dinda,” sepertinya ada suara yang memanggilku. Kucari-cari sumber suara itu, ternyata Lusy sahabatku yang telah memanggil. Dia memprotesku karena aku tidak menunggunya ketika keluar kelas. Aku minta maaf padanya karena aku sedang buru-buru. Kemudian aku menjelaskan padanya kalau aku mau ke rumah sakit untuk menjenguk kakakku. Mendengar kakakku masuk rumah sakit, Lusy malah panik dan langsung menarikku untuk pergi ke rumah sakit.

Sesampainya disana, aku langsung menuju ruangan tempat kakakku dirawat. Ku dapati mama sedang duduk disudut ruangan. Wajahnya kelihatan begitu lelah.

“Ma, lebih baik mama pulang dan istirahat saja dulu. Biar Dinda dan Lusy yang jagain kak Ivan,” kulihat Lusy mengangguk setuju. Sepertinya mama menyetujui saranku. Kemudian mama pulang tanpa meninggalkan pesan.

Beberapa saat setelah mama pulang, kudengar rintihan kak Ivan. “Aduh…kepalaku sakit sekali,” aku dan Lusy langsung mendekatinya. “Kak, kenapa kak?” tanyaku panik. “Kepalaku, kepalaku rasanya sakit sekali,” jawabnya.

Aku meminta tolong pada Lusy untuk memanggilkan dokter. Tak lama kemudian, Lusy datang bersama dokter dan seorang suster. Dokter itu memeriksa kak Ivan dan memberikan sebuah suntikan. Ku lihat kak Ivan tak lagi merasakan sakit di kepalanya.

“Dok, gimana keadaan kakakku?” tanyaku menyelidik. “Anda tenang saja, mungkin ini hanya rasa sakit yang biasa. Nanti, setelah istirahat pasti akan hilang,” jelas dokter. Lalu dokter itu pergi dan meninggalkan kami bertiga.
***
Hari sudah sore tapi Lusy belum mau pulang meskipun aku sudah menyuruhnya pulang. Katanya dia nggak mau aku sendirian.

Ba’da Maghrib, mama dan papa datang dengan membawa kantong plastik yang berisi makanan. Ku ajak Lusy makan bersamaku karena dia juga belum makan dari tadi. Setelah selesai makan, aku mengutarakan keinginanku pada mama kalau aku mau menginap di rumah sakit. Karena besok hari libur, mama mengizinkanku.

Malam semakin larut, Lusy akhirnya mohon pamit dan aku minta tolong pada papa untuk mengantarkan Lusy pulang. Papa kembali ke rumah sakit untuk menemani mama dan aku.

Ku lihat mama dan papa telah tertidur pulas dan waktu telah menunjukkan tengah malam. Tapi, mataku tak mau dipejamkan. Akhirnya, ku ambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam. Aku mengenakan mukena yang dibawa oleh mama dan shalat di ruangan itu. Setelah berdoa ku dengar kak Ivan memanggilku.
Kulipat mukena yang kukenakan kemudian menghampirinya. “Din, kakak minta bekal yang banyak karena kakak mau pergi jauh,” katanya dengan suara yang lemah. “Pergi kemana kak?” tanyaku tak mengerti.

Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah berpesan kalau aku harus menjadi orang yang baik dan tidak boleh mengecewakan mama dan papa. Tiba-tiba kak Ivan tersenyum dan melihat kea rah pintu. Dia menyuruhku untuk membukakan pintu. Aku tak tahu mengapa dia menyuruhku membuka pintu. Sebelum kubuka, kak Ivan menyuruhku menyingkir dari sampingnya.

Setelah aku menyingkir, dia berkata, “tamu-tamu itu mengajak kakak pergi Din.” Aku tercengang mendengar perkataannya. Aliran darahku seperti berhenti sehingga aku tidak dapat bergerak.

“Dadaku berdebar kencang, aku merasakan sesuatu yang janggal padanya. Tiba-tiba kudengar dia mengucapkan, “Asyhaduallailahaillallah wa asyhaduannaa Muhammadarrasulullah.” Ku lihat cahaya terang yang menyilaukan mata keluar dari ubun-ubun kakakku.

Aku tak dapat lagi membendung air mataku karena aku telah ditinggal jauh pergi oleh kakakku dan tak akan pernah kembali selamanya. Aku tak dapat berkata-kata kecuali mengucapkan, “Innaalillahi wainna ilahi raaji’un.” []

Selasa, 03 Februari 2009

Pungkas

Puisi Richa Miskiyya

Jangan lagi panggil aku
Dari sudut taman yang sama
Dalam ringkihan ringan tak beraturan
Serigala telah pergi
Hanya ada jejak kabur, juga raungan itu
Yang diredam hawa panas
Ceceran daun kuremas
Tertinggal dalam debu di sudut jendela
Redam sudah pucuk-pucuk edelweis
Didekap dingin peraduan yang garang
Tanah-tanah itu mulai marah
Ketika setengah tubuhku hilang
Ringkas sudah takdirku yang semu
Padam jua api di ujung rambutku
Menyisakan hitam, bukan putih, bukan pula merah

Laura at Shantytown 25/01/09

Senin, 02 Februari 2009

Menggagas Lab Sastra

Oleh Syaiful Mustaqim

Guru Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan, Jepara

KESUSASTRAAN merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks. Untuk memahami dan menekuninya, membutuhkan ruang dan waktu panjang sehingga dapat mengerti celah dan seluk beluk perkembangannya.

Dalam khazanah sastra diperlukan pelbagai peranti, di antaranya lika-liku bahasa, tata bahasa, dan gaya bahasa. Ketiga peranti tersebut adalah pondasi awal dan satu kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan jika akan menggelutinya. Jika tidak dipahami terlebih dahulu, nantinya akan muncul masalah-masalah berikutnya.

Persoalannya adalah dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di bangku sekolah, guru hanya sekadar mengajarkan tata bahasa an sich. Pada Ujian Nasional pun demikian, mayoritas soal yang diujikan hanya berkutat pada tata bahasa. Selain itu, yang lebih mencemaskan adalah pemahaman-pemahaman karya sastra yang bersifat historis, kemudian tugas peserta didik menguraikannya menjadi teks naskah dari sinopsis ke sinopsis.

Di sekolah, mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seakan termarginalkan. Hal itu terbukti dari minimnya jam pelajaran yang diberikan. Berbeda dari mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia yang mendapatkan perhatian lebih dari pihak sekolah.

Berbagai fasilitas penunjang pun diadakan untuk menunjang pengembangan mata pelajaran ilmu pasti tersebut, seperti pengadaan laboratorium. Jika pembelajaran sastra di sekolah seperti itu terus, dikhawatirkan dunia sastra Indonesia mengalami stagnasi dan sulit berkembang. Sastra hanya diajarkan sebatas teori bukan memotivasi siswa untuk mencipta sebuah karya, dalam hal ini praktik.

Selama ini jika sekolah senantiasa menganakemaskan pelajaran eksakta dengan memberikan fasilitas laboratorium, maka tidak ada salahnya terdapat laboratorium sastra.

Laboratorium sastra adalah ruangan yang di dalamnya merupakan tempat kajian analitis kesusastraan (karya sastra) dan dilengkapi dengan buku-buku sastra yang memungkinkan siswa mampu mengemukakan pendapat dalam bentuk apresiasi.

Dengan demikian, diharapkan akan muncul mekanisme pengajaran sastra yang dinamis dan siswa juga mampu mengembangkan keilmuan sastra secara apresiasi maupun karya sastra yang diciptakan. Semoga! (45)

[Suara Guru, Suara Merdeka, 12 Januari 2009]