Rabu, 04 Februari 2009

Yang Tak Pernah Kembali

Cerpen Murwanti Larosa

KU PANDANGI wajah kakakku yang pucat. Badannya yang terbujur dihadapanku kini, semakin hari semakin kurus. Selang infuse seakan menjadi sahabat setia yang menemaninya. Aku tak tega melihat keadaannya yang seperti itu. Entah sudah berapa hari dia menginap di ruangan yang serba steril itu.

Tak terasa air mataku menetes ketika mengingat saat-saat indah bersamanya. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku jika aku telah kehilangan dirinya. Bagiku, dia bukan hanya sekedar seorang kakak tapi, sahabat serta guru terbaikku.

“Dinda, sudah sore sayang. Apa kamu nggak pulang?” suara mama membuyarkan lamunanku. Buru-buru kuusap air mataku. Sebenarnya aku belum mau pulang tapi aku juga nggak mau dianggap sebagai anak yang tidak mau mendengarkan perkataan orang tua. Akhirnya aku pulang bersama papa tapi, sebelum pulang aku berkata pada mama kalau sepulang sekolah besok aku akan datang lagi.

Dalam perjalanan pulang, yang terbayang di benakku hanyalah wajah kak Ivan. Aku takut jika keadaannya semakin parah. Aku nggak mau jika dia meninggalkanku sebelum kelulusanku. Tiba-tiba air mataku menetes lagi.

Sepertinya papa mengerti akan kesedihanku. “Dinda, kamu nggak usah terlalu memikirkan tentang keadaan kakakmu. Papa telah memilihkan dokter yang terbaik untuknya,” hibur papa. “Makasih ya pa,” jawabku dengan sedikit senyuman.

Aku tahu bahwa kanker otak yang dideritanya telah kronis, sulit untuk disembuhkan bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan. Tapi, meskipun kami tahu akan hal itu, kami tidak putus asa untuk berikhtiar dan memohon kepada Allah untuk kesembuhannya.

***
Tet…tet…tet…Alhamdulillah, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Aku bergegas merapikan buku-bukuku dan keluar kelas.

“Dinda…Dinda,” sepertinya ada suara yang memanggilku. Kucari-cari sumber suara itu, ternyata Lusy sahabatku yang telah memanggil. Dia memprotesku karena aku tidak menunggunya ketika keluar kelas. Aku minta maaf padanya karena aku sedang buru-buru. Kemudian aku menjelaskan padanya kalau aku mau ke rumah sakit untuk menjenguk kakakku. Mendengar kakakku masuk rumah sakit, Lusy malah panik dan langsung menarikku untuk pergi ke rumah sakit.

Sesampainya disana, aku langsung menuju ruangan tempat kakakku dirawat. Ku dapati mama sedang duduk disudut ruangan. Wajahnya kelihatan begitu lelah.

“Ma, lebih baik mama pulang dan istirahat saja dulu. Biar Dinda dan Lusy yang jagain kak Ivan,” kulihat Lusy mengangguk setuju. Sepertinya mama menyetujui saranku. Kemudian mama pulang tanpa meninggalkan pesan.

Beberapa saat setelah mama pulang, kudengar rintihan kak Ivan. “Aduh…kepalaku sakit sekali,” aku dan Lusy langsung mendekatinya. “Kak, kenapa kak?” tanyaku panik. “Kepalaku, kepalaku rasanya sakit sekali,” jawabnya.

Aku meminta tolong pada Lusy untuk memanggilkan dokter. Tak lama kemudian, Lusy datang bersama dokter dan seorang suster. Dokter itu memeriksa kak Ivan dan memberikan sebuah suntikan. Ku lihat kak Ivan tak lagi merasakan sakit di kepalanya.

“Dok, gimana keadaan kakakku?” tanyaku menyelidik. “Anda tenang saja, mungkin ini hanya rasa sakit yang biasa. Nanti, setelah istirahat pasti akan hilang,” jelas dokter. Lalu dokter itu pergi dan meninggalkan kami bertiga.
***
Hari sudah sore tapi Lusy belum mau pulang meskipun aku sudah menyuruhnya pulang. Katanya dia nggak mau aku sendirian.

Ba’da Maghrib, mama dan papa datang dengan membawa kantong plastik yang berisi makanan. Ku ajak Lusy makan bersamaku karena dia juga belum makan dari tadi. Setelah selesai makan, aku mengutarakan keinginanku pada mama kalau aku mau menginap di rumah sakit. Karena besok hari libur, mama mengizinkanku.

Malam semakin larut, Lusy akhirnya mohon pamit dan aku minta tolong pada papa untuk mengantarkan Lusy pulang. Papa kembali ke rumah sakit untuk menemani mama dan aku.

Ku lihat mama dan papa telah tertidur pulas dan waktu telah menunjukkan tengah malam. Tapi, mataku tak mau dipejamkan. Akhirnya, ku ambil air wudhu dan melaksanakan shalat malam. Aku mengenakan mukena yang dibawa oleh mama dan shalat di ruangan itu. Setelah berdoa ku dengar kak Ivan memanggilku.
Kulipat mukena yang kukenakan kemudian menghampirinya. “Din, kakak minta bekal yang banyak karena kakak mau pergi jauh,” katanya dengan suara yang lemah. “Pergi kemana kak?” tanyaku tak mengerti.

Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah berpesan kalau aku harus menjadi orang yang baik dan tidak boleh mengecewakan mama dan papa. Tiba-tiba kak Ivan tersenyum dan melihat kea rah pintu. Dia menyuruhku untuk membukakan pintu. Aku tak tahu mengapa dia menyuruhku membuka pintu. Sebelum kubuka, kak Ivan menyuruhku menyingkir dari sampingnya.

Setelah aku menyingkir, dia berkata, “tamu-tamu itu mengajak kakak pergi Din.” Aku tercengang mendengar perkataannya. Aliran darahku seperti berhenti sehingga aku tidak dapat bergerak.

“Dadaku berdebar kencang, aku merasakan sesuatu yang janggal padanya. Tiba-tiba kudengar dia mengucapkan, “Asyhaduallailahaillallah wa asyhaduannaa Muhammadarrasulullah.” Ku lihat cahaya terang yang menyilaukan mata keluar dari ubun-ubun kakakku.

Aku tak dapat lagi membendung air mataku karena aku telah ditinggal jauh pergi oleh kakakku dan tak akan pernah kembali selamanya. Aku tak dapat berkata-kata kecuali mengucapkan, “Innaalillahi wainna ilahi raaji’un.” []

2 komentar:

mash noer mengatakan...

good luck

mash noer mengatakan...

maybe you make one book to public your opinion.can you help me how to make like that