Kamis, 29 Januari 2009

Tanah Air

(Budaya dalam Sajak Air Mata)

Puisi Nur Janah

Kata manis terukir di kala
Kau bubuhkan suara
Sebuah janji berkibar di angkasa
Keserakahan...

Wahai sang penguasa...
Tidak puaskah engkau
Membuat sengsara dan menderita?

Sawah, ladang luas membentang
Lautan hasilkan berjuta kekayaan
Alam menandakan kesuburan dan kemakmuran

Mengapa masih terlihat segumpal penderitaan?
Karena...kemiskinan
kelaparan
pengangguran

Bahkan sulitnya dapatkan pendidikan
Lalu apa yang kau wariskan pada kami?
Kolusi...
Korupsi...
Nepotisme...
Yang menjadi budaya dalam sajak air mata
Hingga membuat sesak rakyat biasa

Bukankah mata...!
Tetaplah negeri kita...!
Bersama wujudkan cita-cita bangsa
Yang tercantum dalam Undang-undang '45

Sabtu, 24 Januari 2009

Mengajar dengan Hati

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, Alumnus University of South Carolina, Amerika Serikat Tinggal di Kendal, Jateng

Kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini marak terjadi. Tak hanya pertikaian antarsiswa, bahkan kekerasan dalam dunia pendidikan sering dilakukan oleh oknum guru terhadap siswa. Anehnya, beberapa guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya berdalih demi menertibkan siswa, memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan lagi, dan alasan-alasan klise lain.

Jika kekerasan telah menjadi pemandangan biasa dalam dunia pendidikan, tak mengherankan jika banyak siswa pun melakukan tindakan yang sama dalam pengambilan keputusan terhadap masalah- masalah yang mereka hadapi. Mereka sering melakukan tawuran dan aksi- aksi kekerasan lain di lingkungan sekolah.

Mendidik dan mengajar memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu siswa memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur.

Pendewaan terhadap aspek intelektual anak didik dalam dunia pendidikan Indonesia pun telah banyak mengabaikan perkembangan kepribadian siswa. Banyak guru yang beranggapan bahwa target tanggung jawab mereka adalah menyelesaikan sebuah materi pelajaran.

Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual. Cita-cita tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Pemandangan seperti kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan berkurang jika banyak guru memahami hakikat pendidikan seperti yang tersirat dalam amanat undang-undang tersebut.

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Pada seorang guru siswa menggantungkan sejuta harapan agar menjadi pribadi cerdas dan berkepribadian luhur kelak. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.

Metode klasik
Fakta di lapangan membuktikan masih banyak guru-guru yang tidak menguasai ilmu keguruan. Mereka hanya mengajarkan materi yang berbasis pada peningkatan intelektual. Itu pun dengan metode-metode yang klasik.

Pada situasi ini, murid sering kali menuai kebosanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dr Haryono dalam seminar mencari format pendidikan berkualitas di Jawa Tengah mengatakan bahwa sekitar 5 persen peserta didik pada kelas akselerasi menghadapi kebosanan dengan pelajaran yang ada. Pendidikan yang seperti ini justru menimbulkan teror bagi siswa.

Landasan filosofis dan sosial budaya Indonesia memosisikan fungsi dan peran guru sebagai pengajar dan pendidik. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pengajar yang harus mampu mengajarkan materi- materi pelajaran, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Guru sering dianggap sebagai orang kedua, setelah orangtua anak didik dalam proses pendidikan.

Untuk bisa melaksanakan dwi fungsi sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mempunyai perubahan paradigma dalam proses belajar mengajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai obyek pembelajaran, tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Seorang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memosisikan dirinya lebih tinggi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator dan konselor yang bersifat saling melengkapi.

Dalam lingkup ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif, dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan menghargai anak didik, bukan menempatkan mereka sebagai botol yang dijejali guru dengan segudang pengetahuan.

Selain itu, dalam menghadapi masalah selama proses pembelajaran hendaknya guru mampu mengajarkan penyelesaian masalah secara interdisipliner melalui pendekatan intelegensia (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ).

Guru yang mampu mengelola kelas dengan kombinasi mengajar dan mendidik akan menghasilkan generasi yang kreatif dan berbudi luhur karena mereka mampu mengenali potensi dan lingkungan mereka.

Memutuskan diri menjadi seorang guru adalah panggilan hidup, sekaligus meyakinkan diri bahwa setiap tutur kata dan tindakan seorang guru adalah upaya mengantarkan sebuah peradaban menjadi lebih baik.

Mereka yang siap menjadi guru juga harus siap dengan 1.001 permasalahan di kelas yang terkadang sangat melelahkan. Mulai dari kegaduhan siswa, ketidakpatuhan siswa, bahasa siswa yang tidak sopan, dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan pekerjaannya membutuhkan kesabaran, ketulusan, dan dedikasinya dalam membimbing para siswanya untuk menjadi manusia yang cerdas, berkualitas baik pengetahuan, dan berbudi luhur.

Dalam bahasa Paulo Freire pendidikan adalah act of love. Dia mengatakan bahwa rasa cinta merupakan syarat utama mengajar. Cinta yang bersumber dari hati akan memicu totalitas seorang guru dalam mengajar.

Selain itu, Parker Palmer dalam bukunya The Courage to Teach menjelaskan bahwa menjadi guru bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Guru-guru di Indonesia yang sedang dianakemaskan pemerintah lewat program-program seperti sertifikasi hendaknya mampu menempatkan tugas mulia mereka sebagai pekerjaan yang melibatkan hati dengan penuh perhatian terhadap fenomena yang terjadi di sekolah.

Potret guru seperti yang dijelaskan oleh Freire dan Palmer inilah yang akan membawa generasi Indonesia menuju pada gerbang sumber daya yang unggul, ditandai dengan intelektualitas dan kepribadian unggul. Semoga!

[Forum, Kompas Jateng 24 Januari 2009]

Kamis, 22 Januari 2009

Menyelamatkan Pendidikan Indonesia

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, alumnus University of South Carolina, Amerika Serikat, tinggal di Kendal, Jateng

Wajah pendidikan Indonesia yang menimbulkan teror bagi siswanya ternyata bukan wacana belaka. Riset yang dilakukan oleh Dr. Nugroho dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang disampaikan dalam diskusi ”Arah Pendidikan Indonesia” pertengahan November lalu membuktikan bahwa lebih dari 5 % pengajaran di sekolah menjadikan beban berat bagi siswa dan bisa mengakibatkan stress.

Pekan lalu, saya mengadakan evaluasi dan konseling akhir sebelum ujian semester bagi kelas XII. Dalam proses konseling banyak murid mengeluhkan tertekan menghadapi ujian akhir nasional (UAN) yang naik standar kelulusannya, dari 5.25 menjadi 5.5.

Pendidikan idealnya membimbing anak didik menuju puncak kreativitas bukan menjadikan tekanan bagi siswa.

Raport merah pendidikan Indonesia yang panjang adalah buah dari kesalahan landasan filosofis pendidikan yang berpusat pada konsep transfer pengetahuan.

Secara historis, sistem pendidikan Indonesia sebenarnya mengacu kepada sistem pendidikan Amerika yang dikembangkan atas reaksi AS terhadap keberhasilan Uni Soviet meluncurkan pesawat luar angkasa Sputnik pada tahun 1957.

Para pemimpin AS saat itu berada dalam kepanikan, sehingga mereformasi sistem pendidikannya agar lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk memasuki perguruan tinggi serta menitikberatkan pada kemampuan akademik siswa agar para lulusan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Anehnya, ketika Amerika Serikat telah mengubah sistem pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan melalui proyek-proyeknya seperti “America 2000: an Educational Strategy”, justru Indonesia melanggengkan sistem tersebut lewat kebijakan-kebijakan seperti UAN.

Sistem pendidikan yang hanya berorientasi aspek kognitif hanya berpihak bagi sebagian kecil siswa. Dalam tinjuan psikologis, sistem tersebut cocok bagi manusia yang memiliki intelegensi tinggi, dan itu hanya dimiliki tak lebih dari 15 % dari populasi siswa.

Sebagian besar manusia memiliki kecenderungan lain seperti musikal, motorik, bahasa dan lainnya. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar banyak siswa merasa terbebani akibat pembelajaran yang tidak sesuai bagi mereka.

Dalam situasi seperti itu, siswa seakan tidak ada pilihan lain untuk tidak mengikuti pembelajaran di kelas. Jika dibiarkan maka pendidikan justru akan menjadi teror bagi siswa.

Belajar pada Jepang
Sistem pendidikan di Jepang sangat berbeda dengan Indonesia, mereka lebih berpihak pada penyaluran bakat siswa-siswa di sekolah. Dengan strategi ini, sistem pendidikan di Jepang terutama pendidikan dasar relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.

Buah dari sistem pendidikan yang unggul, Jepang menjadi negara yang besar dalam kualitas produksi, bahkan mampu menggunguli Amerika.

Selain itu, Jepang terkenal dengan keterampilan yang handal. Jepang mampu menghasilkan produk-produk terkenal dengan kualitas bagus yang merupakan buah tangan dari para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung.

Menegok kualitas Negara kita. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia tahun 2007/2008 sekarang menduduki peringkat nomor 107 yang masih tergolong rendah. Selain itu, hasil survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam.

Kualitas SDM yang buruk ini merupakan efek panjang dari carut marutnya sistem pendidikan Indonesia.

Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (inferior complex), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada dalam urutan bawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter.

Banyak siswa tumbuh dalam kesalahan sistem pendidikan. Bakat-bakat mereka pun terabaikan dalam kungkungan pengetahuan. Yang terjadi mereka tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan.

Pendekatan pembelajaran yang terlalu kognitif pun telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi. Situasi ini dapat memicu para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya.

Dalam situasi belajar yang tidak mendukung ini, guru dituntut menjadi aktor utama sebagai agen pembaharuan. Peningkatan otoritas bagi guru dalam pendidikan sekarang ini membuka kesempatan bagi mereka untuk mengajar secara profesional.

Guru tidak harus mengajar berdasarkan pada petunjuk teknis yang lebih banyak bersifat teoritis (textbook oriented), melainkan guru memiliki kebebasan untuk mengembangkan pembelajran menjadi lebih menarik dengan mengakomodasi kemampuan dan bakat siswa.

Guru bisa memakai teori-teori pengajaran yang baru seperti contextual learning (CTL) yang menekankan pada pembelajaran berbasis realita daripada pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan.

Demikian pula guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar belakang mereka.

Hemat saya, yang terpenting adalah keseriusan (political will) dari pemerintah untuk berani mengubah arah pendidikan Indonesia menuju pendidikan yang humanis (memanusiakan manusia) bukan dehumanis (menghilangkan kemanusiaan manusia) lewat kebijakan-kebijakan yang populis. Semoga perubahan segera terjadi!

[Koran Pak Oles/Edisi 166/1-15 Januari 2009]

Minggu, 18 Januari 2009

Sekilas Bayangan Wayang

Puisi Nur Janah
Pegiat Smart Institute Jepara, masih studi di MA Nurul Islam Kriyan, Kalinyamatan


Bila waktu telah menua oleh tahun-tahun
Masihkah kau yang diseret ke tengah pertunjukan?
Yang disaksikan anak bangsa
Agar tahu budaya nenek moyangnya

Kau lahir dan membesar di tanah Jawa
Hingga namamu semerbak dimana-mana
Dengan suara khasmu
Kau dendangkan sejarah Jawa
Dengan alunan bahasa krama
Dengan lincah kau memperagakannya
Diringi melodi sederhana

Bila masa berjalan mengikuti arah zaman yang ada
Haruskah jiwamu terperangkap dalam kekaburan?

Masa yang lalu menjadi panutan
Masa sekarang menjadi landasan
Dan masa depan menjadi tantangan
Agar seni wayang tetap lestari
Di bumi pertiwi

Sabtu, 17 Januari 2009

Usai Hujan, Bertunas Pelangi

Puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Apa arti hujan selain embun yang menyejukkan
rongga-rongga rindu, saat ladang kita dipenuhi gersang
kemenangan hingga hari menjelang keangkuhan
Musim mengajarkan alur kehidupan dari kemarau dan hujan
Berulang-ulang bagai harmoni yang tak terpisahkan
Laiknya alunan musik, terdengar indah dari nada yang berlainan

Hujan adalah serpihan warna yang tercerai
Saat hujanusai, akan kau dapati langit merangkainya menjadi sebuah
pelangi yang terbentuk dari warna yang beradu
Selalu, usai hujan tunas pelangi tumbuh
Serupa malam yang terkikis hangatnya subuh

Surakarta, 20 November 2007
[Majalah Annida, Edisi Juni 2008]

Selasa, 13 Januari 2009

Perempuan, Gerabah dan Warisan Budaya

Oleh Nanik Kurniawati

GERABAH, yang kita kenal adalah suatu barang unik yang sudah ada sejak ribuan tahun silam. Bahkan sampai sekarang pun gerabah menjadi suatu kebutuhan, terutama di pedesaan.

Bagi sebagian orang, pembuatan gerabah dimanfaatkan sebagai hobi untuk menghilangkan kejenuhan. Tapi tidak untuk sebagian yang lainnya. Di banyak daerah membuat gerabah dimanfaatkan sebagai mata pencaharian (sumber ekonomi).

Contohnya saja di Mayong, Jepara. Sebagian besar perekonomian warga Jepara memang berasal dari sektor mebel. Namun di Mayong, kebanyakan warganya menggeluti kerajinan gerabah sebagai mata pencaharian.

Kerajinan membuat gerabah sudah menjadi home industri di daerah ini. Hebatnya, pekerjaan ini justru digawangi oleh perempuan. Mereka yang tidak mempunyai pendidikan yang memadai memilih aktivitas sebagai pengrajin gerabah.

Kebanyakan pekerjaan ini digeluti oleh para Ibu rumah tangga. Dengan peralatan tradisional (ala kadarnya), para perempuan ini menyulap gumpalan tanah liat menjadi suatu produk gerabah yang apik.

Jangan salah. Meski pengerjaan gerabah ini hanya dikerjakan oleh para perempuan berpendidikan rendah, namun beraneka macam produk gerabah yang mereka hasilkan sudah dipasarkan hingga ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti: Bali, Surabaya, Sumatera, Jakarta bahkan sampai ke luar negeri.

Tidak banyak penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan ini. Mereka hanya mampu mendapatkan penghasilan 10.000-20.000 setiap harinya. Namun semua itu tidak menyurutkan langkah para perempuan ini untuk tetap berkarya dan mencari nafkah.

“Tidak banyak penghasilan yang saya dapatkan dari pembuatan gerabah, tapi saya senang. Setidaknya saya tidak hanya menunggu pemberian suami," ujar Romlah, salah satu pengrajin gerabah di Mayong.

Pekerja lain. Sumiati, ibu rumah tangga 40 tahun ini berprofesi sebagai pembuat gerabah sejak sepuluh tahun silam. Bersama suaminya selama sepuluh tahun itu ia menafkahi keluarganya.

”Kami senang menjadi pengrajin gerabah. Meski penghasilan kami tidak seberapa, namun sudah bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkap pasangan suami istri yang telah sekian tahun menekuni profesi sebagai pembuat gerabah.

Berbeda dengan Suti. Ibu dua anak ini mengaku menekuni profesi sebagai pembuat gerabah karena ingin melestarikan warisan leluhur. Sejak kecil dia sudah diajarkan untuk membuat gerabah.

“Biar bagaimanapun profesi sebagai pengrajin gerabah adalah profesi turun-temurun dari leluhur saya. Jadi saya harus tetap melestarikan profesi ini, selain untuk membantu perekonomian keluarga,” Ungkap Suti.

Berbagai alasan namun tetap satu tujuan. Ujung terakhirnya adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

“Saya harus bekerja meski sebagai pembuat gerabah. Selain bisa membantu perekonomian keluarga, saya juga bangga karena saya bisa menghasilkan produk yang digunakan banyak orang,” ujar Robi’ah, pemilik usaha sekaligus pembuat gerabah.

Berbanggalah para perempuan pengrajin gerabah. Selain sebagai produk peninggalan sejarah, kerajinan gerabah juga merupakan sumber ekonomi bagi yang menekuninya.[]

Minggu, 11 Januari 2009

Lelaki Malam dan Kejora Jingga



aku akan menulis puisi cinta terindah untukmu

tak perlu lagi kau menulis puisi
hadirmu adalah puisi
senyummu pun puisi
apalagi yang harus kau tulis
sedang semua tlah aku ukir?
aku mencatat semua tentangmu di lembar imajiku
dalam nyata aku takkan mampu

dan kau adalah puisi terindah yang tak mampu kutuliskan
setiap detik detak bersamamu adalah bait-bait sajak

aku takkan pernah selesai mengejamu
dari setiap kata yang kauucap
aku menemukan makna yang merangkap-rangkap

seperti halnya aku takkan pernah sempurna mengejamu
selalu saja ada yang luput kuraba
kabut itu demikian pekat. tak sanggup kuurai menjadi cahaya
menerangi seutuh sosokmu apa adanya

maknai aku dengan sederhana
maka kau akan menemukanku seutuhnya
bukan lewat ketinggian
bukan lewat kemegahan
aku hanya sekumpul kesederhanaan
yang tertampung dalam satu rupa

aku mengumpulkan seutas demi seutas
senyum yang berserak di tepian rindu
entah… adakah senyum itu milikmu salah satunya

senyum kerinduan pada sepenggal jiwa yang hilang
pada separuh hati yang pergi
mungkinkah di sini kutemukan setengahku

huruf demi huruf di tanganmu seolah saling menyahut
merangkai ucap laksana firman
yang kan kuhafal sebagai pedoman
hanya sebuah kemungkinan yang terentahkan

kita adalah baris demi baris puisi
terpaut ruang dan waktu imaji
sajak cinta yang paripurna
kebersatuan yg agung
dua garis yang kelak bertemu di penghujung

: di lingkaran itu kita kan bersatu

ruang maya, 301208

Selasa, 06 Januari 2009

Karena Kuingin

Cerpen Wahyu Arzetha
www.arzetha.blogspot.com

Purnama
terbit tanpa gairah. Meski sudah hampir tengah malam, tapi hangatnya belum juga terasa. Bahkan kabut pun turun sejak senja, selepas hujan yang mengguyur siang hari. Malam semakin beku tanpa kehangatan. Entah mengapa? Semua terasa hambar. Aku sendiri hanya berdiam, tanpa melakukan apa-apa. Semuanya tak menggairahkan untuk beraktifitas. Sekedar imajinasipun tak kunjung melintas di pikiran yang terus galau.

Sejenak kupejamkan mata untuk temukan sesuatu, yang mungkin akan menenangkan jiwa. Namun semua itu tetap tak mampu membantu meringankan pikiranku. Tak ada yang mengisi pikiran ini, selain dirinya. Semua tampak menghilang, saat dia hadir dalam anganku.

Dia bukan bidadari, bukan juga sang putri yang akan menghipnotis setiap laki-laki yang melihatnya. Tapi, kehadirannya telah merubah cara pandang hidupku. Cara pandang tentang cinta yang selama ini kuanggap tlah tiada. Dan kini, dia menghadirkannya untukku. Cara pandang tentang hidup, yang selama ini hanya kukenal hampa, kini kembali berwarna.

Dia bukan permaisuri yang selalu tampil jelita saat mendampingi sang pangeran dalam pesta-pesta kerajaan. Tapi dia punya kecantikan yang tak setiap orang menyadarinya. Dia yang miliki kecantikan jiwa. Kemuliaan jiwa yang masih terus terjaga. Sehingga dia pun mampu menjaga cintanya untuk satu mimpi kebahagiaan. Dan ketika orang yang dicintainya tlah meninggalkannya untuk memilih cinta yang lain. Dia pun tetap menjaga mimpi itu. Tak lain untuk satu bahagia.

Kabut yang turun semakin pekat. Bahkan batu-batu yang berserak di tanah pun tlah basah dibuatnya. Sepi pun kian mencekat. Tak ada lolong anjing, serangga malam pun enggan berderik. Semua seolah mengamini kesedihan dan kegelisahan sang rembulan.

Aku tak bisa menghilangkan bayangnya dari angan ini. Tak bisa, dan juga tak ingin kuhapus semua bayangnya. Ku biarkan semuanya membayangi anganku. Mengikuti setiap tapak langkah yang ku susuri. Karena kuingin, dia yang mendampingi hidupku. []

Jepara, 14-18 November ‘08

Minggu, 04 Januari 2009

Belajar Ukir di Jepara

Oleh Muhammad Rohani

Kontributor LPM Idea Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang aktif di forum kajian Dewandaru Jepara Society

Kabupaten Jepara dikenal sebagai penghasil kerajinan mebel ukir bertaraf Internasional. Boleh saja daerah lain mempunyai produk-produk mebel dan furnitur dengan berbagai desain. Akan tetapi untuk masalah motif ukir-ukiran, Jepara masih tak tertandingi. Ukir-ukiran inilah yang menjadikan produk-produk furnitur Jepara mempunyai kekhasan tersendiri. Selain sebagai sebuah produk budaya hasil karya masyarakat lokal, ia juga merupakan karya seni yang bernilai estetik tinggi. Tak berlebihan jika Jepara mendapat gelar sebagai The World Carving Center.

Dari manakah tangan-tangan terampil pengukir Jepara itu dihasilkan? Setidaknya ada dua cara untuk mempelajari kerajinan ukir Jepara. Pertama adalah dengan cara "magang" pada perajin yang telah mapan. Melalui cara ini seorang peminat ukir akan dibimbing langsung oleh perajin bersangkutan di brak (tempat kerja pertukangan) mereka. Tentu dalam proses dan suasana belajar yang jauh dari kesan formal.

Kebanyakan perajin ukir Jepara belajar dengan cara ini. Mereka belajar ukir secara tradisional dan konvensional, baik dari keluarga, kerabat, maupun tetangga mereka. Tak ada kurikulum, dan tak ada batasan waktu belajar. Jenis dan motif ukiran yang dipelajari disesuaikan dengan order atau pesanan yang diterima oleh si perajin. Jadi, dengan cara ini, si pembelajar akan mengetahui langsung trend pasar permebelan yang sedang berkembang dan diminati oleh buyer atau pembeli.

Penulis sendiri sewaktu tinggal di Kecamatan Batealit --salah satu sentra mebel di Jepara selain Kecamatan Tahunan, Mlonggo, dan Bangsri— juga pernah belajar ukir melalui cara ini. Namun, karena kurang telaten dan tidak kerasan, akhirnya memutuskan untuk berhenti.

Yang ke-dua adalah dengan cara belajar di lembaga non-formal. Ada dua lembaga non-formal yang selama ini menyelenggarakan pendidikan ukir, yaitu Sekolah Ukir yang berlokasi di Pekeng, Tahunan, dan Pusat Pelatihan Keterampilan Ukir Kayu Fedep Jepara (PPKUFJ) yang terletak di Desa Sukodono, juga Kecamatan Tahunan.

Baik Sekolah Ukir di Pekeng, maupun PPKUFJ sama-sama menyelenggarakan pendidikan selama setahun. Sembilan bulan teori dan praktik di kelas, dan tiga bulan on the job training atau magang di perusahaan-perusahaan mebel. Pendidikan difokuskan pada keterampilan praktis mengukir, tentu setelah sebelumnya dibekali dengan teori dan pengetahuan mengenai motif dan jenis ukiran. Dengan demikian, porsi untuk praktik mempunyai bagian yang lebih besar.

Untuk menjadi siswa di Sekolah Ukir tidak disyaratkan harus tamat pendidikan formal tertentu, misalnya SLTP atau SLTA. Semuanya bisa mendaftar dan diterima, baik lulusan SD maupun SLTA. Bahkan ketika suatu hari penulis berkunjung ke PPKUFJ, penulis juga menemukan guru –yang telah mengajar di sebuah sekolah formal di Jepara-- yang ikut belajar ukir di sana. Tentu saja dia belajar secara "ekstensi", masuk hanya pada akhir pekan. Ada fasilitas lain yang disediakan pengelola, yaitu asrama bagi siswa yang berasal dari luar daerah.

Di tengah gempuran kuat arus globalisasi yang tengah melanda dunia, aset-aset bangsa yang berbasis pada kebudayaan lokal –tak terkecuali kerajinan dan kesenian ukir— menjadi elemen yang sangat penting untuk membangun citra, karakter, dan identitas bangsa di mata Internasional. Maka dari itu, mari kita lestarikan kekayaan bangsa kita. Jangan sampai negara lain mengklaim (lagi) kepemilikan atas aset-aset budaya yang telah susah payah diciptakan dan dikembangkan oleh bangsa kita, hanya karena kita lalai merawat dan melestarikannya.

Tertarik untuk turut berpartisipasi dalam upaya pelestarian itu dengan menjadi perajin dan seniman ukir? Atau ingin sekadar mengamati proses kreatif para perajin ukir Jepara? Tempat-tempat di atas merupakan pilihan yang sangat tepat. []

Kamis, 01 Januari 2009

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Persaksian Langit

Segala tipu muslihat
Penyimpangan umat
Telah kulihat
Jeritan hambar
Jeritan samar
Telah kudengar
Pahitnya suka
Manisnya duka
Telah kurasa
Telah kulihat…sarat maksiat
Telah kudengar…sejuta dusta
Telah kurasa…tentang manusia

Jepara, 24 Februari 2005
[Harian Suara Merdeka, 20 Maret 2005]


Permintaan Langit

Maafkan aku…
jika aku tak seindah dulu
dan tak lagi berwarna biru
karena semua juga ulahmu
kau tebangi semua pilarku
untuk hiasan perabotanmu
Wahai makhluk berbudi
permintaanku hanya satu
jagalah sahabatku
bumi ini
seperti kau jaga dirimu
Andai kau sadari
sakit bumi ini adalah sakitmu
derita bumi adalah deritamu jua
sekali lagi, jagalah bumi

Jepara, 24 Februari 2005
[Majalah MOP, Edisi Mei 2005]